Ariel Heryanto* | 11 Des 2012, 00:00

KAJIAN mengenai pembunuhan massal 1965-1966 di Indonesia, bahkan kajian atas politik negara secara umum, akan mengalami perombakan dengan diluncurkannya film dokumenter The Act of Killing yang disutradarai Joshua Oppenheimer dan baru-baru ini diluncurkan di Toronto International Film Festival.

The Act of Killing berbeda dari berbagai film dokumenter dengan tema serupa yang selama ini pernah ada. Inilah film panjang pertama tentang pembunuhan massal 1965-1966 yang menampilkan para pelaku pembantaian, bukan korban atau simpatisan, sebagai tokoh utama. Dalam film ini, mereka mantan tokoh organisasi paramiliter Pemuda Pancasila yang ikut membantai ratusan orang pengikut atau yang diduga komunis di Sumatra Utara, sebagai bagian dari pembantaian berlingkup nasional yang seluruhnya memakan hampir satu juta jiwa.

Selama ini berbagai film pasca-1998 mengenai pembunuhan massal 1965 atau dampak susulannya dibikin khusus untuk memberi suara bagi para penyintas (survivor) dan anggota keluarga mereka, terkadang disertai komentar simpatik dari narasumber ahli. Setahu saya paling sedikit sudah ada 16 judul film semacam itu, produksi anak bangsa, selain film asing dengan topik yang sama.

Berbagai film itu mengakhiri kebisuan di layar lebar di negara ini hampir seperempat abad. Beberapa perempuan lanjut usia dan ringkih muncul di sebagian besar film tersebut, berbicara dengan bersemangat tentang penderitaan tiada akhir yang mereka alami, serta mengutuk ketidakadilan dan kegagalan pemerintah untuk mengakui kebiadaban yang telah terjadi.

Berbagai film bertema 1965 selama ini disusun dengan pemilahan tegas antara pahlawan yang baik ibarat malaikat dan tokoh penjahat seperti setan. Mirip dengan film-film propaganda Orde Baru tentang kejahatan PKI. Dalam hal ini, The Act of Killing luar biasa dan sekaligus merisaukan, karena secara radikal menggugat paradigma hitam-lawan-putih yang selama ini berkuasa.

Film ini menampilkan pengakuan para pelaku pembunuhan massal dalam sebuah kerangka cerita yang kompleks, dengan sub-narasi berlapis, padat dengan ironi dan kontradiksi. Ketimbang menyodorkan “fakta” baru atau “bukti-bukti” serius tentang kejahatan kemanusiaan pada 1965-1966, film ini menampilkan gaya ugal-ugalan para pelaku pembantaian ketika bersaksi tentang kekejaman yang mereka kejar hingga ke titik terjauh. Di depan kamera, mereka memperagakan tahap demi tahap cara membantai korban, juga kunjungan di lokasi-lokasi tempat kejadian pada 1965 melalui reka-tindakan, dan dengan bergantian memerankan tokoh pembantai dan korban.

Dalam The Act of Killing, para pembunuh itu menyatakan keyakinan bahwa masyarakat selama ini keliru menganggap bahwa komunis itu kejam atau brutal. “Kita lebih kejam daripada mereka”. The Act of Killing menggambarkan secara blak-blakan apa yang selama ini justru dikubur hidup-hidup dalam sejarah resmi dan pernyataan-pernyataan pemerintah sejak 1966. Adegan mengerikan yang pernah direkam berbagai film dokumenter, termasuk Pengkhianatan G30S PKI, tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan yang tampilkan di The Act of Killing.

Mengapa para pelaku kekerasan itu mau, bahkan tampak sangat bersemangat menceritakan tindakan yang mereka akui sendiri sebagai kejahatan? Tidakkah mereka kuatir akan menanggung akibatnya?

Jawaban singkat, meski belum lengkap, atas pertanyaan itu tersedia jelas di sepanjang film: para pembantai ini sangat bangga mengumbar kisah kekejaman mereka. Para pelaku ini menyadari risiko yang mungkin bisa timbul akibat kesaksian mereka yang direkam film ini untuk dipertunjukkan ke muka umum. Risiko itu mereka bahas, dan pembahasan mereka direkam The Act of Killing dan menjadi bagian yang penting dari film itu.

Kondisi semacam apa –nyata atau dalam angan-angan– yang memungkinkan para pembunuh ini sedemikian nyaman dan bebas mengobral pengakuan tentang tindak kejahatan mereka? Situasi seperti apa yang memberi mereka kekebalan hukum dalam masa beberapa puluh tahun? Beberapa adegan The Act of Killing memberikan sebagian jawabnya. Para tokoh utama film ini menikmati perlindungan dari sesama pembantai dan politisi antikomunis yang berhasil mendaki karier politik dan memangku jabatan negara di tingkat pusat atau provinsi selama beberapa dekade belakangan.

Peneliti Loren Ryter pernah menerbitkan kajian akademik tentang peran politik kelompok milisi dan preman pada periode Orde Baru dan hubungan mereka dengan aparat negara yang saling menguntungkan. Dengan fokus kajian pada organisasi Pemuda Pancasila, Ryter menekankan pentingnya peran organisasi Pemuda Pancasila cabang Medan dalam pembunuhan massal 1965-1966. Kota Medan merupakan tempat lahir dan basis terkuat organisasi ini. Namun, sebagaimana disinggung Ryter, sejak berubahnya politik setelah 1998, kini tak jelas lagi sejauh mana dan seberapa lama para politisi itu mau dan mampu melindungi para preman sebagai mitra politik dan dagang di berbagai provinsi.

Untuk menghormati etika yang mendasari pembuatan film dokumenter, para pembuat film tak hanya menunjukkan rekaman kasar adegan-adegan film kepada para aktor yang juga mantan pembantai. Melangkah lebih jauh, sutradara Oppenheimer mengundang mereka ambil bagian dalam proses pembuatan film. Para mantan preman itu diberi kebebasan menciptakan cerita fiksi dalam proyek kolaborasi ini, berdasarkan ingatan dan pengalaman-langsung mereka selama pembunuhan massal 1965-1966 serta tanggapan mereka atas peristiwa di masa lalu itu. Ketika Oppenheimer mempertanyakan apakah mereka tidak kuatir menghadapi kemungkinan tuduhan kejahatan perang, salah seorang menjawabnya dengan nada mengejek dan penuh rasa percaya diri: “Wah saya siap… Tolong sampaikan supaya saya dipanggil.”

The Act of Killing bukan sebuah film dokumenter dengan alur cerita yang lurus. Ini sebuah film dokumenter mengenai pelaku sejarah, dan bagaimana para pelaku ini membuat film tentang diri mereka berdasarkan ingatan akan tindakan mereka pada 1965-1966. Sambil menampilkan sejarah lisan, film ini sekaligus berkisah tentang cerita khalayan yang dibuat secara sadar agak berlebihan oleh para pelaku pembantaian, serta tanggapan mereka terhadap semua itu. Dengan demikian, para pelaku bukan sekadar objek di depan kamera, namun juga pihak yang berperan aktif sebagai penulis kisah tentang tindakan kejam mereka sendiri yang dituturkan dalam penuh semangat, tawa-ria, dan kegembiraan.

Dengan demikian sebagian fakta teranyam dengan fiksi yang secara sadar disusun sebagai khayalan, dicampur ingatan masa lampau, dan pengalaman bersaksi masa kini di depan kamera. Hasilnya? Sebuah kolase memukau dan kaya makna, dengan diselingi horor, canda tawa, nyanyian, dan dansa, tetapi juga ironi dan kejutan.

Film ini memperkaya pengetahuan dan kesadaran kita tidak lebih dan tidak kurang dibanding film-film serupa yang dibuat sebelumnya, baik yang dibuat dengan tujuan utama memberikan kebenaran faktual (seperti kesaksian para korban dalam film dokumenter pasca-1998) maupun yang disusun dengan sengaja menebarkan kebohongan (seperti propaganda antikomunis buatan pemerintah Orde Baru). Dengan caranya sendiri-sendiri, berbagai jenis film itu berkisah tentang apa artinya mengungkapkan sebuah pesan di tengah kancah politik di zamannya, dan kondisi apa yang memungkinkan dituturkannya pesan itu dengan makna tertentu.

Entah apa persisnya yang ingin dicapai para protagonis film ini. Di layar, mereka mengaku hanya ingin menyampaikan kebenaran sejarah apa adanya kepada seluruh dunia, tidak hanya Indonesia.Pengakuan semacam ini mudah menjadikan mantan para pembunuh ini sebagai pahlawan, seperti diltampilkan dalam sebuah acara talk-show di TVRI lokal (dan tampil dalam The Act of Killing).

Oppenheimer tidak memberikan kesempatan kepada para pembunuh itu untuk menobatkan-diri sebagai pahlawan. Namun, dia juga tidak menampilkan mereka sebagai orang-orang yang bodoh atau momok. Dalam salah satu adegan yang tampaknya keluar dari naskah, salah seorang preman senior yang terkenal kejam dan senang membanggakan diri, mendadak ambruk karena tak mampu menahan emosi atau rasa bersalah, di saat dilakukan pengambilan gambar dan dia berperan sebagai seorang tahanan komunis yang dulu pernah disiksanya sebelum dibunuh.

Propaganda resmi tentang “G30S/PKI” berusia lebih panjang ketimbang rezim Orde Baru yang menciptakannya. The Act of Killing membuka peluang memudar propaganda yang selama ini dikeramatkan negara. Ini bisa terjadi, jika salinan film dokumenter ini tersedia dan dijangkau jutaan penonton Indonesia melalui youtube yang bisa diakses di warnet atau ponsel pintar di tanah air, salah satu pengguna Facebook terbesar di dunia dan pasar terbesar DVD bajakan.

Jika ini terjadi, kita akan menyaksikan ironi terbesar yang harus ditelan oleh berbagai pihak yang saling berlawanan secara politis. Kebohongan terbesar dan terkeji sebuah bangsa bisa terkoyak, bukan berkat kegigihan para penyintas menggugat keadilan, atau jasa beberapa tokoh yang memperjuangkan mereka, namun lewat kesaksian sekelompok pembantai bermulut besar.

___

*Ariel Heryanto, associate pofessor di The Australian National University. Salah satu bukunya berjudul State Terrorism and Political Identity In Indonesia: Fatally Belonging (London: Routledge, 2007). Tulisan ini hasil pemendekan dan terjemahan oleh Mira Renata atas tulisan aslinya yang diterbitkan dalam IIAS Newsletter, No 61, Tahun 2012.
Sumber: Historia.Id

This post is also available in: Indonesian