Muhidin M Dahlan | 30 September, 2017
Buku putih Tragedi Nasional: Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia menjadi dasar narasi tunggal tentang PKI versi orde baru.
Dari runtutan kronik, film Pengkhianatan G30S/PKI (selanjutnya disebut Pengkhianatansaja) besutan Arifin C. Noer menjadi pengukuhan populer dari buku sejarah resmi yang memberi “pembenaran” atas pembantaian massal dan pendirian kamp kerja paksa jilid II Pulau Buru. Karya Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, Tragedi Nasional: Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia(Jakarta: Intermasa, 1968) adalah buku awal yang “membersihkan” memori masyarakat dari bau amis darah membasahi narasi politik (di) Jawa dan Bali.
Nah, menyambut momentum “pembangunan Indonesia tinggal landas”, buku itu perlu ditransformasikan dalam kebudayaan populer yang kemudian melahirkan film yang dibunuh oleh Reformasi dan oleh Panglima TNI sekarang ingin dibangkitkan lagi.
Kedigdayaan film Pengkhianatan memasuki memori anak-anak SD hingga dewasa di seluruh Indonesia itu dikunci lagi oleh buku tafsir resmi negara yang kedua: Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994). Buku itu hadir tepat saat Orde Harto mempersiapkan parade besar bernama: “Tahun Emas Indonesia”. Di tahun emas itu, negara-militer ini mengunci mati isu PKI dengan buku yang wajib hadir di semua perpustakaan sekolah.
Dua buku ini adalah “buku putih”, bukan hanya karena memang sampul dasarnya adalah putih, tapi dua buku ini menjadi sikap resmi bagaimana institusi militer menafsir dan mengambil tindakan terhadap “Gerakan 30 September” tersebut. Semua cerita, skenario, dan juga pandangan-pandangan dalam melihat peristiwa itu mengacu pada cerita satu-padu: PKI yang melakukannya. PKI satu-satunya institusi politik yang melakukan perbuatan “biadab” itu.
Ratusan ribu orang kemudian dilenyapkan. Cerita tentang pelenyapan itu, kisah tentang pembantaian massal itu, kemudian dipandang wajar dan PKI sudah sepantasnya menerima sehingga tak perlu dicatatkan kronologisnya, bagaimana penggambarannya secara spesifik, bahkan menyebut jumlah berapa yang dibantai militer dan sipil bersenjata atas titah “negara” pun tak layak dilakukan.
Dua buku putih yang beredar di ribuan sekolah di semua strata, dari SD hingga Perguruan Tinggi, selama puluhan tahun, berhasil menanamkan pesan: PKI tak layak hidup di bumi Indonesia.
Kitab Pertama Karangan Nugroho dan Ismail Saleh
Mari membuka buku Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, Tragedi Nasional: Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia. Buku ini dicetak pertama kali Pembimbing Masa pada 1968. Dalam cetak ulangnya pada 1989 berganti penerbit menjadi Intermasa.
Data
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) hasil interogasi dari tokoh-tokoh PKI, baik sipil maupun militer, yang didapatkan dalam sebuah upacara bernama “Mahkamah Militer Luar Biasa”. BAP tokoh-tokoh yang dijadikan acuan: Njono (Jakarta), Sakirman (Jakarta), Sudisman (Jakarta), Sujono Pradigdo, Mayor Muljono Soerjowardojo (Jogja), Josep Rapidi (Surakarta), Letnan Satu Ngadimo Hadisuwignjo (Jakarta), Mayor Udara Sujono (Jakarta), Letnan Kolonel Untung Samsuri (Jakarta), Marsekal Udara Omar Dhani (Jakarta), Brigjend Soeparjo (Jakarta), Jatim Sudirahardjo (Surakarta), Soemarto (Surakarta). Termasuk belasan saksi yang dihadirkan walau tak pernah divonis pengadilan mana pun.
Tapi di mana BAP Sjam Kamaruzaman dan Pono? Tak ada.
Sumber-sumber lain adalah Laporan Kronologis yang disusun Seksi Penerangan Komando Operasi Tertinggi Angkatan Darat tentang G30S, seperti “Catatan/Fakta sekitar Peristiwa ‘Gerakan 30 September’ yang terjadi di daerah Jawa Tengah” atau “Laporan tentang “G 30 S”/PKI Surakarta”.
Sistematika Buku
Buku berukuran 15 x 22 cm ini tebalnya 240 halaman. Dengan jumlah halaman seperti itu, sistematika dibagi tiga. Bagian pertama “Kisah Kejadian” yang direkonstruksi Nugroho Notosusanto yang pernah menjadi Anggota Detasemen Staf Brigade 17 (1948), pengajar pada Sesko ABRI, dan Rektor UI. Nugroho adalah serdadu cum sejarawan cum sastrawan. Bagian ini mendapat porsi 63 halaman.
Di bagian inilah, rekonstruksi berdasarkan BAP yang diambil dari operasi pembunuhan massal dan penyiksaan dibentuk. Pembaca akan “menikmati” bagaimana PKI merencanakan pengambilalihan kekuasaan. PKI adalah satu-satunya pengambil inisiatif dan pelaku. Semua unsur lain tak terdeteksi di sini.
Bagian Kedua adalah “Pembuktian” yang terdiri dari 56 halaman. Bagian ini disusun Ismail Saleh. Ia meniti karier militer sejak sersan tahun 1945 hingga Letnan Jenderal TNI-AD pada 1981. Adapun keahlian hukumnya diperoleh dari Perguruan Tinggi Hukum Militer. Ia juga pada 1976 memimpin Kantor Berita ANTARA, Sekretaris Kabinet pada 1979. Pada 1981 menjadi Jaksa Agung dan tiga tahun kemudian ditunjuk sebagai Menteri Kehakiman R.I.
Di bagian ini Ismail Saleh membuka tiga halaman pertama papernya dengan legalitas Mahkamah Militer Luar Biasa yang dipusatkan di Gedung Bappenas Jl Suropati, Jakarta. Bahwa apa yang dilakukan rezim ini benar secara hukum. Bahwa seorang sipil sah dihadapkan di Mahkamah Militer yang umumnya menangani perkara anggota militer kalau keadaan dinyatakan membahayakan keselamatan dan keamanan negara.
Tujuannya tiada lain adalah “tidak dengan maksud membalas dendam atas kematian beberapa perwira Angkatan Darat… tidak pula membatasi diri hanya mengadili personil militer saja. Apabila Mahmilub berbuat demikian, berarti sama saja dengan mengakui bahwa Gerakan 30 September semata-mata adalah urusan intern Angkatan Darat, yang memang menjadi tujuan PKI” (hlm. 74).
Bagian Ketiga adalah “Gambar-Gambar”. Enam gambar tentang peristiwa penggalian jenazah di Lubang Buaya, sepuluh gambar adalah foto wajah perwira-perwira Angkatan Darat yang terbunuh dalam rangkaian Gerakan 30 September (8 di Jakarta dan 2 di Yogyakarta), tujuh foto “gembong-gembong” pimpinan PKI, dua foto peristiwa di ruang sidang Mahmilub, serta dua foto tentang “kedekatan” Presiden Sukarno dan D.N. Aidit di hadapan massa PKI ketika berulangtahun ke-45 pada Mei 1965.
Dan Bagian Keempat adalah “Lampiran-Lampiran”. Ada sembilan belas surat atau berkas yang terdiri dari Undang-Undang, keputusan-keputusan presiden, surat keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat selaku panglima operasi pemulihan keamanan, surat keputusan panglima Kostrad, salinan berita acara, hingga Dekrit No 1 Komando Gerakan 30 September yang dibacakan pada 1 Oktober oleh Letkol Untung di corong RRI. Lalu ada pula bagan kudeta, bagan susunan Staf Umum AD, bagan susunan Kodam, hingga bagan jalannya berkas perkara sampai penyerahan ke pengadilan.
Pola Penulisan
Buku ini disusun secara kronologis dengan catatan kaki melimpah yang dijadikan rujukan penulisan. Dimulai penggambaran peristiwa yang dirancang Biro Khusus PKI dengan gembong-gembongnya yang lain di tubuh militer hingga proses pengadilan di Mahmillub.
Nyaris seluruh penjelasan dalam buku ini mengarah pada satu titik yang begitu gamblang: PKI adalah aktor perancang dan eksekusi semua perebutan kekuasaan.
Catatan Kaki
Buku ini tak memberi celah bagi kecenderungan faktor-faktor yang lain di Jumat subuh berdarah itu. Karena fokusnya hanya satu, bahwa satu-satunya penanggung jawab “kup” itu adalah PKI, maka gerakan yang semula hanya bertitel “Gerakan 30 September” itu kemudian diberi akronim lengkap G30S/PKI — sebelumnya tak ada tambahan “/PKI”.
Selain itu, buku ini, walaupun diterbitkan pada 1968, sama sekali tak menyentuh pembunuhan massal masyarakat Indonesia oleh peristiwa G30S ini. Judul “Tragedi Nasional” yang dibubuhkan penulisnya mesti dipahami tidak sebagai Tragedi Pembantaian Massal, tapi “sekadar” terbunuhnya 8 perwira Angkatan Darat di Jakarta dan Yogyakarta. Terbunuhnya jenderal-jenderal itu adalah tragedi nasional, pembantaian yang lain buka tragedi dan karenanya tak perlu dicatat.
Kitab Kedua Terbitan Sekertariat Negara
Mari berpindah ke buku kedua. Buku ini terbit 26 tahun setelah buku yang disusun Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh dan 10 tahun setelah Arifin C. Noer merilis film Pengkhianatan yang panjang durasinya mencetak rekor sejarah: 4,5 jam.
Judul lengkap buku terbitan Sekretariat Negara Republik Indonesia ini: Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya (1994, xvi 118 hlm).
Penulis dan Penerbit
Tak ada nama penulis dalam buku ini. Pembaca hanya diberi tahu siapa penerbitnya, yakni Sekretariat Negara Republik Indonesia. Hal itu dipertegas dengan “Kata Pengantar” oleh Moerdiono selaku Sekretaris Negara. Di pengantar itu pula kita mendapatkan nama status buku ini, yakni: “Buku Putih”. Umumnya, “Buku Putih” mendapatkan pengertian sebagai sikap resmi sebuah institusi atas sebuah peristiwa, dalam hal ini peristiwa yang berakronim abadi: G30S/PKI.
Data
Dikutip dari buku dan putusan-putusan Mahmillub. Ada 26 buku yang dijadikan rujukan yang terdiri dari 4 karangan Aidit, 2 buku Nugroho Notosutanto, dan selebihnya buku-buku tipis terbitan Departemen Penerangan di era Presiden Sukarno yang umumnya pidato 17 Agustus setiap tahun.
Sementara itu, semua cerita direkonstruksi dari 24 Putusan Mahmillub terhadap Biro Khusus, anggota CC maupun CDB PKI, perwira-perwira yang terlibat dalam drama penculikan 1 Oktober 1965.
Dalam teknik penulisan data itu, catatan kaki dihilangkan oleh “tim penulis” yang tak disebutkan subjeknya.
Sistematika Buku
Buku yang berukuran 15 x 22 cm ini setebal 291 halaman. Dengan jumlah halaman seperti itu, sistematika dibagi dalam sepuluh bab (173 halaman, sebut saja “Isi”), di luar daftar pustaka, glosari, biodata dan anteseden tokoh-tokoh PKI yang namanya terkutip, indeks, serta empat bagian lampiran (118 halaman). Bagian yang kedua itu sebut saja “Data”.
Dilihat dari penjatahan halaman dengan bahasan yang luas dan kronikal, bisa dipastikan irama penulisan bergaya pendek-pendek yang langsung ke pokok soal. Di bagian “Isi” dijelaskan tentang kelahiran PKI, dua pemberontakan PKI yang “gagal”, serta cerita bagaimana PKI membangun dirinya selama 15 tahun sebelum 30 September 1965. Di bagian “Isi” yang lain, dan ini menjadi spektrum utama buku ini, adalah penjelasan ringkas dan menghentak bagaimana PKI merencanakan, mempersiapkan, dan melaksanakan perebutan kekuasaan. Dan, pada “Isi” yang terakhir adalah penumpasan yang dilakukan Angkatan Darat dibantu aksi massa selama dua tahun (1966-1968).
Pola Penulisan
“Buku Putih” ini di bagian awal menjadi semacam biografi ringkas institusi politik bernama Partai Komunis Indonesia. Di 124 halaman penjelasan itu, partai ini digambarkan sebagai institusi politik yang suka bikin gaduh sejak 1926, 1948, hingga 1965. Pemberontakan di Banten, Jakarta Raya, Jawa Barat, dan Sumatera Barat pada 1926 dan 1927 dipandang sebagai sebuah kejahatan politik.
Peristiwa yang dikenal dengan “Peristiwa Tiga Daerah” (Tegal-Brebes-Pemalang) pada Desember 1945 tidak dianggap sebagai bagian yang inheren terhadap sikap massa-rakyat dalam haru-biru Proklamasi 1945, yakni pembebasan dari sikap tertindas bertahun-tahun oleh kolonialisme dengan para kaki tangannya pamongpraja, tapi dipandang sebagai penyusupan untuk memanfaatkan organ-organ non-komunis “agar dapat menyusun kekuatan baru guna merebut kekuasaan pada saat yang tepat di kemudian hari”.
Peristiwa Madiun 18 September 1948 tiada lain dipandang sebagai usaha teror bersenjata, penculikan, dan pembunuhan. Keberhasilan PKI dalam Pemilu 1955 dilihat sebagai keberhasilan agitasi dan propaganda Aidit untuk mengkomuniskan Indonesia. PKI yang secara ideologis memandang Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa dipandang hanya akal-akalan saja.
Sementara di bagian “Isi” yang berikutnya, dan ini menjadi pokok utama buku ini, adalah bagaimana secara “sistematis” dan “terencana” PKI menyusun perebutan kekuasaan. Yang dimaksud “sistematis” dan “terencana” adalah PKI membangun sebuah “Biro Khusus” menggalang perwira-perwira di tubuh Angkatan Bersenjata di semua CDB. Walau “sistematisnya” dan “terencananya” hanya pada Biro Khusus yang tidak dikenal dalam struktur organisasi PKI, semua konsekuensi itu harus dipundaki PKI dan organ-organ onderbouw lain di semua lini masyarakat.
Penjelasan pendukung atas term “terencana” dan “sistematis” itu adalah “fakta” bahwa PKI memanipulasi pidato-pidato Soekarno untuk menciptakan situasi ofensif-revolusioner. Juga, bagaimana kelihaian PKI menyusup ke dalam jajaran aparatur negara seperti Aidit, Njoto, Subandrio. Atau, menyusup ke partai lain seperti Partai Indonesia (Partindo) dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Ali Sastroamidjojo dan Soerachman yang memimpin PNI dianggap sebagai PNI yang disusupi PKI.
Aksi-aksi massa yang berlangsung pada 1964, seperti Aksi Sepihak yang dilakukan Barisan Tani Indonesia (BTI) di Jawa Tengah (Klaten), Jawa Timur (Kediri), Jawa Barat (Indramayu), dan Sumatera Utara (Bandar Betsy, Simalungun) tidak dianggap sebagai pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 yang mandek di lapangan, melainkan percobaan menguji se-ofensif apa massa PKI yang sudah dimiliki.
Aksi-aksi teror seperti Kanigoro (Kediri), perusakan kantor Gubernur Jawa Timur oleh demonstrasi Gabungan Organisasi Wanita Surabaya (GOWS), demonstrasi anti-Amerika yang anti terhadap film-film Amerika, dan pengganyangan terhadap kelompok Manifes Kebudayaan yang melakukan pertemuan besar dengan tajuk Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) dipandang sebagai percobaan-percobaan.
Slogan-slogan pidato pimpinan PKI dalam pidato-pidato di hadapan massa seperti “Ganyang Malaysia”, “Ganyang Kapbir”, “Ganyang Nekolim” dipandang sebagai usaha mewujudkan situasi “ofensif revolusioner sampai ke puncaknya”.
Semua peristiwa itu dinamai prolog. Pada waktu “perebutan kekuasaan” yang sudah ditentukan itu didukung CC PKI berdasarkan rapat Politbiro PKI yang ketiga 28 Agustus 1965. Di bawah restu Politbiro (Aidit, Njoto, Lukman, Sakirman, Sudisman), rapat-rapat gerakan dilakukan. Semuanya dilakukan oleh Biro Khusus yang memang memiliki tugas mendekati dan mendidik perwira “berpikiran maju” di tubuh ABRI. Pembaca tak diberi kesempatan sekalimat pun mengidentifikasi mana Politbiro, mana Biro Khusus, mana CC PKI. Semuanya dianggap sama: PKI.
Porsi penjelasan dan detail penyiksaan tidak dibeberkan. Tak ada deskripsi mengerikan soal jenderal-jenderal yang disiksa secara mengerikan, kecuali paragraf ini: “Korban penculikan terdiri atas empat orang yang matanya ditutup dengan kain merah, dengan kedua belah tangannya diikat dari belakang, serta tiga orang lainnya lagi dalam keadaan meninggal …. Keempat orang yang masih hidup itu disiksa sehingga akhirnya meninggal. Selanjutnya para sukwan PKI melemparkan korban-korban itu ke dalam sumur.” (hlm. 103)
Setelah jenderal-jenderal dibunuh, setelah Dewan Revolusi diumumkan pada pagi harinya di RRI, di daerah-daerah basis PKI dinyatakan sudah “siap”. Namun, mereka kalah sigap oleh ABRI manunggal rakyat. Daerah-daerah yang dimaksud adalah Jawa Tengah (Semarang, Surakarta, Wonogiri), Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur (Malang, Surabaya, Jember, Madiun), Sumatera Utara (Medan, Deli Serdang, Langkat, dan Simalungun), Sumatera Barat (Lubuk Alung), Riau, Bali, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.
Pembunuhan Jenderal di hari Jumat tanggal 1 Oktober itulah, menurut “buku putih” ini memicu reaksi spontan massa—saya ulangi: REAKSI SPONTAN—untuk menyerang semua markas PKI. Di mana-mana. Jadi, itu bukan dilakukan secara “sistematis” dan “terencana”, melainkan luapan emosi yang spontan atas terfitnahnya jenderal-jenderal Angkatan Darat. Tak ada penjelasan apa pun berapa ratus ribu mangsa algojo-algojo massa yang “bereaksi spontan” itu, kecuali bahwa setahun setelah itu ditengara PKI masih hidup dengan strategi barunya “kritik otokritik” dan “tripanji”.
Misalnya, pembentukan Comite Proyek (Compro) di pelbagai tempat seperti Blitar Selatan. Atau Compro Jawa Tengah yang terdiri dari Compro Muria, Compro Sindoro-Sumbing dan Slamet, dan Compro Merapi-Merbabu.
Kewaspadaan itu yang kemudian menjadikan PKI sebagai bahaya laten yang sewaktu-waktu kemunculannya dengan dikukuhkannya TAP MPRS No XXV/MPRS/1996.
Buku Putih, Setelah Puluhan Tahun Berkuasa
Dua buku putih ini menegaskan PKI satu-satunya aktor yang jadi dalang dan pelaku sekaligus kup “Gerakan 30 September”, baik dalam pencetusan gagasan, kegiatan perencanaan, persiapan, maupun eksekusi. Buku ini juga memberi andaian yang kemudian dilahap tanpa ampas oleh masyarakat bahwa jika Gerakan 30 September berhasil, maka PKI akan terkerek ke puncak kekuasaan dan membersihkan semua unsur yang menentang rencana dan garis PKI.
Oleh karena itu, buku ini mengakhiri paragrafnya dengan frase serupa doa dan sekaligus peringatan keras: “Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang dilancarkan oleh Pemerintah telah berhasil mengungkapkan dan menumpas jaringan-jaringan PKI… Sekalipun Komunisme di mana-mana mengalami kehancurannya, namun Marxisme dan ideologi Komunis tetap ada.” (hlm. 171)
Saya ingin menggarisbawahi paragraf awal tulisan ini ihwal bagaimana dua buku putih ini menancapkan pengaruhnya dalam memori kolektif masyarakat. Setidaknya beberapa pertimbangan:
Pertama, buku ini adalah sikap resmi sebuah rezim yang dilindungi sepatu lars. Karena sikap resmi, tafsir lain tak dibenarkan hidup. Semua teks yang mencoba merusak narasi teks ini dibeslah tanpa ampun dan penulisnya dipersekusi. Karena itu, generasi pembaca yang lahir pada 60-an dan 70-an minim mendapatkan bacaan lain di semua strata pendidikan. Inilah buku yang tafsirnya dijaga dengan senjata terkokang.
Kedua, penulisan dua buku ini efektif. Ditulis tidak seperti detektif yang menyembunyikan teka-teki pelaku dalam peristiwa. Hanya satu fakta yang diyakini 100 persen kebenarannya: PKI dalang dan sekaligus pelaku pembunuhan jenderal-jenderal untuk merebut kekuasaan. Karena dakwaan sudah diberikan di awal, maka penjelasan berikutnya hanyalah mendaftar dakwaan-dakwaan.
Ketiga, buku ini berpretensi besar untuk “dipercayai”. Metodenya untuk mengambil nyaris 100 persen sumber pengakuan dari tokoh-tokoh PKI yang ditangkap dan di-Mahmillub-kan bermuara pada: semuanya telah diakui oleh PKI sendiri. Dengan pengakuan itu, maka fakta bahwa PKI bersalah menjadi sahih.
Keempat, di ujung semua itu sulit sekali memberikan empati kepada pembantaian massal lantaran semua dakwaan hanya menunjuk pada satu titik: PKI-lah dan bukan yang lain-lain. Dan mereka wajar mendapatkan semua akibatnya.
Pesan besar dua buku ini hendak dibangunkan kembali oleh panglima Tentara Nasional Indonesia kita dengan jalan populer: nobar! Sekaligus, ini ujian besar bahwa teks-teks yang menandingi buku ini di era Reformasi yang makin berjalan tersaruk-saruk ini masih cukup kuat posisinya.
Sumber: Tirto.Id
This post is also available in: Indonesian