Selasa, 08 Des 2015 15:50 WIB  ·   Is Mujiarso

Jakarta – Deretan foto hitam putih itu merekam sosok-sosok dalam pose yang sama. Duduk, atau berdiri tegap, menghadap ke arah kamera. Di antara mereka ada yang tersenyum tipis, namun ada juga yang terkesan “tanpa ekspresi” atau datar-datar saja, seperti sedang berfoto untuk KTP. Ada yang tampil sederhana hanya dengan mengenakan daster, namun ada juga yang seolah-olah berdandan khusus untuk keperluan pemotretan tersebut.

Yang menyamakan mereka adalah usia. Ya, mereka semua sudah tua, dan telah merasakan pengalaman yang sama. Mereka adalah para mantan tahahan politik. Mereka adalah perempuan-perempuan yang pernah tergabung dalam Gerwani, dan tergulung gelombang politik huru-hara 1965. Mereka “kembali” lewat jepretan kamera fotografer Adrian Mulya, dan mengisi Museum Temporer ‘Rekoleksi Memori’ yang dibuka di Taman Ismail Marzuki, Jakarta hingga 12 Desember.

Adrian memberi judul rangkaian karya fotografi karyanya dengan ‘Pemenang Kehidupan’. Apa maknanya?

“Mereka telah mengalami tahun-tahun yang pahit dan sakit, yang mereka lalu dengan tenang dan berani. Saya ingin menempatkan mereka sebagai pemenang kehidupan,” ujarnya.

Foto-foto tersebut merupakan bagian dari buku dengan judul yang sama yang dikerjakan oleh Adrian bersama Lilik HS. Adrian mengumpulkannya sejak 2007 hingga 2015. Tak hanya memotret, ia juga melengkapinya dengan wawancara yang dilakukan pada 2014-2015. Sebagian dari para penyintas itu ia temui di sebuah panti jompo Waluya Sejati Abadi di Jalan Kramat, Jakarta Pusat.

Memperdalam ilmunya di Galeri Fotojurnalistik Antara, Adrian menaruh minatnya pada foto dokumenter. Ketertarikannya untuk memotret para penyitas tragedi 1965 berawla dari keingintahuannya tentang Gerwani, yang di film digambarkan sebagai wanita-wanita yang menari dan menyiksa para jenderal.

“Memotret para mbah itu bagi saya adalah memotret kehidupan itu sendiri,” ujarnya. Setelah dokumentasinya menjadi buku, Adrian mengaku tak akan berhenti. Ia bertekad akan terus mendokumentasikan perjalanan hidup mereka sampai satu per satu hilang.

Salah satu penyintas yang terabadikan oleh kamera Adrian adalah Suti, yang kini telah berusia 92 tahun. Ia tertarik ikut Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang kemudian berganti nama menjadi Gerwani karena dalam organisasi itu ada program antipoligami. Sikap antipoligami Suti tumbuh setelah melihat perlakuan yang tidak adil pada istri pertama suaminya.

Hal yang hampir sama terjadi pada Mariyam Labonu, yang pernah aktif di Gerwani ranting Besusu, Palu, Sulawesi Tengah. Di kemudian hari bertahan hidup dengan memberikan kursus pemberantasan buta huruf, menjahit dan bikin kue, aktivitas politik Mariyam di masa lalu didorong oleh sikap antipoligami karena melihat ketidakadilan yang dialami ibunya.

Museum Temporer ‘Rekoleksi Memori’ digelar bersama-sama dengan pemutaran film bertema 1965 di Kineforum, TIM. Acara ini merupakan peringatan untuk Hari HAM Sedunia, 10 Desember. Isu seputar tragedi kemanusiaan 1965 diangkat sebagai pintu masuk sebelum nantinya publik juga akan diingatkan pada kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya.

“Seluruh peristiwa harus dibuat seterang-terangnya, sejernih-jernihnya, karena sejarah itu adalah pelita bagi generasi hari ini untuk mengenal jatidirinya, dan memberikan petunjuk untuk masa depan,” Yulia Evina Bhara dari Partisipasi Indonesia sebagai penggagas acara tersebut.

Sumber: Detik.Com

This post is also available in: Indonesian