Senin, 17/10/2016 11:00 WIB | Oleh: Muhamad Ridlo Susanto 

“Ya saya geregetan, ingin memukul. Saya baru bicara dengan dia empat tahunan lalu. Setelah dia menjabarkan pokok permasalahan kenapa mengusir warga Cikuya. Tadinya saya tidak mau bicara. Malah saat anaknya mau maju jadi anggota DPRD Cilacap, dan orang Cikuya disuruh mendukung, saya jawab ‘Maaf, kalau disuruh mendukung’,” kata Karsiman.

Karsiman takkan lupa pada satu nama; Rubidi Mangun Sudarmo. Pasalnya karena Rubidi-lah, ia terusir dan harus kehilangan tanah keluarganya di Cikuya –yang saat ini secara administratif berada di Desa Bantarsari, Kecamatan Wanareja, Kabupaten Cilacap. Itu sebab, selama puluhan tahun, Karsiman menyimpan dendam pada Rubidi.

Peristiwa yang menimpa Karsiman dan 70-an keluarga lainnya yang senasib, terjadi pada November 1965. Kala itu, mereka tengah mengelola lahan pertanian seluas 72 hektar di Kampung Cikuya.

Tapi, tiba-tiba Rubidi beserta tentara –memaksa agar puluhan keluarga tersebut hengkang dari Cikuya. Malah, beberapa pria dewasa ditangkap dengan tudingan terlibat PKI.

Agak beruntung, karena Karsiman yang saat itu berusia 15 tahun, tak ikut diboyong tentara. Dan sejak itulah, wajah Rubidi begitu membekas di kepala Karsiman.

Namun, nasib mempertemukan Rubidi dan Karsiman, setelah 45 tahun –dalam sebuah Organisasi Tani Lokal (OTL).

“Baru sekarang ini dia nongol setelah ada kelompok tani. Setelah ada Organisasi Tani Lokal (OTL). OTL ini kan ada tahun 2001. Pertama kali bertemu dengan Rubidi tahun 2010. Setelah ada pemerataan tanah, dia baru nongol.”

Pasalnya, tanah Rubidi di Tanah Trukahan Cipari seluas dua hektar juga dicaplok tentara. “Saya adalah korban. Soalnya situasinya kan lain,” ujar Rubidi.

Rubidi lahir di Sambilgaluh, Kulonprogo pada 1933. Saat berusia dua tahun, ia bersama orangtuanya pindah ke Cipancur, Desa Bantarsari, Kecamatan Wanareja, Cilacap.

Beranjak dewasa, Rubidi termasuk pemuda yang cakap, pintar, dan cerdas. Karena itulah ia masuk Partai Nasional Indonesia (PNI) dan cukup disegani.

Tapi dilema besar menghinggapinya kala ditunjuk Letnan Kolonel Arifin menjadi Wakil Komandan Pasukan Gabungan Operasi Penumpasan Gerombolan PKI di Kawasan Cilacap Barat. Pasalnya, mertua dan istrinya adalah tokoh PKI dan Gerwani. Sementara ia sendiri adalah kader PNI yang loyal. Rubidi muda tak bisa menolak. Sebab nyawa taruhannya.

November 1965, ia dipilih menjadi Wakil Komandan yang memimpin warga sipil atau organisasi masyarakat seperti NU, Muhammadiyah, Ansor, Partai Nasional Indonesia (PNI). Para pasukan ini dipersenjatai.

Tugas utama Rubidi; mengusir warga yang berada dalam radius tapal kuda operasi –yang berarti termasuk Kecamatan Cipari, Wanareja, Sidareja,  Cimanggu dan Majenang.

“Tugas saya yang pokok adalah mengembalikan masyarakat kembali seperti semula. Artinya yang punya rumah, ya kembali ke rumah. Makanya disebut sebagai operasi keamanan,” sambung Rubidi.

Salah satu kampung yang jadi sasaran Rubidi, adalah Cikuya –daerah yang diduga menjadi tempat persembunyian PKI.

“Pagi-pagi saya datang ke sana. Sarno, sudah dibawa keluar. Anak-anak Wanareja sudah ada di sana. Termasuk Kurdi, yang bersenjata, juga sudah di sana. Bahkan ketika saya ke sana, senjatanya ditodongkan ke kepala Sarno. Dibunyikan, duar. Saya kagetnya luar bisa. Bangsat, saya bilang kayak gitu,” tuturnya.

Sarno yang disebut itu adalah pentolan PKI. Sementara Kurdi, pasukan sipil bersenjata yang diperintah menangkapi anggota/simpatisan PKI. Rubidi juga menyebut, dirinya membujuk warga Cikuya untuk pergi dengan sukarela.

“Saya memang mengatakan seperti ini, ‘kalau sampeyan tetap di sini, sampeyan akan diancam. Tetapi kalau sampeyan rela (pergi), tidak menyembunyikan (pelarian), Sarno akan dibawa ke Majenang. Makanya sekarang gabung saja, ke sana’. Lalu Bru..ngg, semua pergi dari situ,” jelas Rubidi.

Tapi hal itu dimentahkan Adminem –warga Cikuya yang terusir. Saat itu, ia diancam bakal ditembak jika tak pergi dari kampungnya. Suaminya, Rasmad bahkan dibawa tentara lantaran disangka anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) –organsiasi yang berafiliasi dengan PKI.

“Dipaksa. Kalau tidak mau pergi, ditembak. Kalau tidak mau keluar, tidak mau pergi, ditembak. Semuanya bawa senjata. Pakai seragam polisi. (Suami saya) Pak Rasmad, ya di sana (penjara),” tutur Ratmini.

Adminem dan ke-empat anaknya lantas diangkut ke Majenang dengan truk. “Saya dibawa pakai truk ke Majenang. Benar-benar seperti hewan. Perasaan saya sangat perih. Mudah-mudahan (tanah saya) bisa kembali lagi,” katanya lirih.

Korban Rubidi lainnya, Sandiarja juga masih ingat dengan kekejaman Rubidi. Dendam pun tak terelakkan. Pasalnya, dirinya sempat dibui 13 bulan karena dituduh sebagai anggota BTI. Padahal, ia sama sekali tidak tahu apa itu BTI apalagi PKI.

“Ya tidak dendam lah. Kan sesama manusia. Paling saya membathin seperti ini, ‘Oh, ini orangnya’,” ujar Sandiarja.

Kini, Sandiarja, Rubidi, dan Karsiman, berada dalam perahu yang sama dan dengan tujuan yang sama pula; merebut tanah yang dicaplok negara. Dan dendam itu, perlahan lenyap seiring waktu.

“Ya, saya sudah tidak mendendam. Kalau dari dulu sampai sekarang masih dendam terus kan nggak bener. Kita kan sesama manusia. Hidup di dunia itu hanya beberapa hari,” tuturnya.

Sementara Karsiman, telah memaafkan Rubidi. Nasib sepenanggunggan, jadi alasan ia menerima Rubidi.

“Ya, karena bagaima kita perasaan sebagai sesama manusia lah. Sudah seperti ini terjadinya, ya bagaimana lagi. Ya tidak dendam lah. Apalagi sekarang dia sudah menjadi kawan seperjuangan. Dia mendukung kelompok Sumber Tani. Kemudian, dia juga bisa menjabarkan kronologi persoalan yang ada di wilayah sana. Berarti ya masih satu ide,” ucap Karsiman.

Sedangkan Rubidi, bakal menyerahkan hidupnya untuk membela warga Cikuya yang telah dirampas hartanya.

“Tanah dibuka oleh masyarakat. Menurut hukum. Itu berlaku di seluruh dunia bahkan, tidak hanya di Indonesia,” tutup Rubidi.

Editor: Quinawaty

Sumber: KBR.ID

This post is also available in: Indonesian