Buku bertajuk ‘Finks’ menambah deretan bukti baru, bahwa raksasa sastra seperti Baldwin, Márquez, atau Hemingway dibujuk menjadi agen AS dalam Perang Dingin ranah kebudayaan.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.
Sekian tahun lalu, terungkap fakta bahwa pada 1966 Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA) memiliki hubungan dengan publikasi sastra The Paris Review dan lusinan majalah kebudayaan lainnya. Sejumlah editor hancur reputasinya bersama penerbitan yang mereka punya. Sementara itu penerbitan dan penulis lain yang selamat ngeles, lalu menyatakan kerja sama dengan CIA itu sekadar kekhilafan masa muda. Sebagian lagi malah membela CIA sebagai satuan “tanpa kekerasan dan terhormat” yang mencoba berbuat baik. Melalui buku mencerahkan bertajuk Finks: How the CIA Tricked the World’s Best Writers, penulis Joel Whitney membongkar mitos bahwa tindakan agensi intelijen ini di ranah kebudayaan sebagai upaya bermoral. Dia sekaligus mengungkap daftar panjang berisi penulis-penulis yang terlibat aktif mengubah citra Amerika menjadi lebih positif, terutama di negara-negara yang sudah dibikin rusuh dengan kudeta, pembunuhan, dan intervensi Amerika lainnya. Penggambaran positif itu dilakukan, salah satunya, melalui karya sastra.
CIA mengembangkan beberapa proyek rahasia, misalnya pendanaan penulis muda yang sedang naik daun dan membuat strategi propaganda budaya menggandeng pelopor kesusastraan dari seluruh penjuru dunia. Penerima dananya mulai dari Libanon, Uganda, India hingga Amerika Latin. Lembaga intelijen ini menggerogoti proses demokrasi di setiap negara sasaran, atas dalih mendukung upaya warga memberantas Komunisme. CIA juga mendirikan Congress for Cultural Freedoms (CCF). CCF membangun strategi editorial untuk setiap tokoh kesusastraan terpilih, mendukung mereka mengatur dan menguasai pembicaraan soal isu kebudayaan di negara-negara yang segmen pembaca bukunya menolak perspektif pro-Amerika. Salah satu pendiri Paris Review, Peter Matthiessen, adalah agen CIA. Matthiessen menjual wawancara berbayar bernuansa pro-demokrasi kepada majalah mitra di Jerman, Jepang, dan lainnya.
Kasus lain misalnya adalah Mundo Nuevo yang dibuat untuk menawarkan perspektif kiri-moderat. Tujuannya demi mencuri hati dan kepercayaan pembaca di Amerika Latin yang sebetulnya cenderung mendukung sosialisme. Karya-karya sastra yang terbit di Mundo Nuevo secara khusus meredam perspektif radikal selama Revolusi Kuba. Terkadang CIA juga menyediakan editor untuk menerbitkan buku spesifik pro-demokrasi; intel AS itu sesekali bekerja langsung dengan penulis membentuk diskursus anti-komunis lewat karya-karya yang bicara soal humanisme universal. Melalui upaya-upaya ini, CFF menunggangi kerja intelektual paling progresif kurun 1960-1970-an demi membendung meluasnya simpati pada Uni Soviet. Temuan serupa di Indonesia sudah muncul, melalui buku yang ditulis oleh Wijaya Herlambang bertajuk Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film.
Keterlibatan CIA dalam propaganda anti-Komunis di ranah kebudayaan telah lama diketahui beberapa kalangan. Dampak pengaruh intelijen—terutama pada awal karir penulis populer yang kini dikenal berideologi kiri—sangat mengejutkan. Whitney, penulis Finks sekaligus pemimpin redaksi majalah sastra Guernica, butuh empat tahun menggali arsip demi mengkonfirmasi daftar mengejutkan ini. James Baldwin, Gabriel García Márquez, Richard Wright, dan Ernest Hemingway, yang kini dianggap raksasa sastra dunia, pada masa-masa tertentu memiliki hubungan dengan jaringan intelijen Amerika Serikat. Minat CIA tak hanya pada sastra. Pelukis aliran ekspresionis seperti Jackson Pollock dan Mark Rothko juga dibiayai oleh CIA.
Fakta ini, hanya saja, jangan sampai merusak kenangan indah kita saat membaca Love in the Time of Cholera-nya Márquez yang tetaplah kisah luar biasa. Whitney menjelaskan dengan kejernihan metodis bagaimana setiap penulis menjadi antek CIA, kadang tanpa mereka sadar atau mereka setujui. Upaya Whitney justru ingin membersihkan reputasi banyak buku kanon sastra dari sekadar alat propaganda. Ini metode yang harus kita pahami di masa kiwari. Sekarang adalah era di mana algoritma Facebook mendikte perbincangan publik. Jurnalis dengan itikad terbaik sekalipun rentan terjerumus pada kisah-kisah yang dimaksudkan pemerintah Amerika Serikat (atau pemerintah lainnya) sebagai pengalihan isu.
“Pengalihan isu, termasuk lewat medan sastra, diperlukan demi mengubah pembicaraan soal hak-hak sipil di setiap negara,” kata Whitney. Pembentukan wacana di ranah kebudayaan menjadi salah satu favorit CIA selama Perang Dingin. Kita kini mudah melihat dampak operasi kebudayaan itu dalam situasi hari ini: isu-isu tergenting di negara jarang sekali menjadi berita viral. Mengingat Donald Trump beberapa minggu lagi menjabat sebagai presiden Negeri Adi Daya, Finks tiba pada waktu yang tepat. Buku ini mengekspos cara kerja mesin politik mempengaruhi narasi publik termasuk di bidang kesenian, mengatur wacana mana yang akan disebar dan mana yang dibungkam. Berikut wawancara saya dengan Whitney, membahas motivasinya menulis buku ini, sekaligus menguak apa yang bisa kita pelajari dari situasi perang dingin terhadap keruwetan era media sosial seperti sekarang.
VICE: Kenapa, sih, kamu harus merusak citra semua penulis favoritku—dan kekagumanku pada mereka?
Joel Whitney: Kamu berhak dan pasti ingin tahu kebenaran soal kerja-kerja intelektual para penulis dan penerbit yang kamu cintai itu, serta tujuan-tujuan mereka sebetulnya. Bukan berarti mereka tidak lagi pantas untuk dikagumi kan. Bagi penulis seperti Richard Wright atau James Baldwin, aku merasa mereka bergabung atau berpartisipasi dalam aktivitas CIA karena pemimpin operasi ini adalah mentor mereka. Para penulis besar ini baru berusia 20-an saat itu. Namanya juga anak muda, ketika profesor dengan reputasi skala internasional membimbingmu, kamu pasti akan meresponnya dengan senang hati. Aku lebih tertarik membahas apa sikap nama-nama itu setelah mereka tahu kenyataan di balik upaya pembentukan wacana ini.
Macam-macam sih ya cara mereka ngeles dari tudingan menjadi “antek CIA”. Di buku ini kamu mengutip Gabriel Garcia Márquez bahwa “when you write, it’s you who informs the publication.” Kalau begitu, untuk apa CIA bekerja sama dengan begitu banyak penulis berideologi kiri dari Amerika Latin, yang tulisan-tulisannya justru mendorong ide kemandirian bangsanya? Bisakah kita mengukur sejauh mana CIA berhasil mempengaruhi kerja para seniman itu?
Nah, inilah persoalan yang penting. Itulah kenapa operasi kebudayaan penuh kerahasiaan. Tanpa diskusi publik mengenai tujuan-tujuan mereka yang sebenarnya, tidak akan ada akuntabilitas, dan kamu bisa leluasa mengganti-ganti targetnya. Salah satu contohnya adalah pelopor majalah sastra Amerika Latin, Cuadernos [ del Congreso por la Libertad de la Cultura]. Cuadernos mampu membujuk kelompok garis keras agar yakin Amerika Serikat pernah melakukan sejumlah hal baik di Amerika Latin. Wacana di publikasi itu mampu meredam kebencian orang-orang kiri yang seringkali tak terlalu komunis dalam praksis ideologinya. Setelah muncul Revolusi Kuba, kita melihat perpindahan target [operasi CIA]. Daripada meredam kelompok kiri garis keras, CIA menyadari bahwa “kelompok penulis kiri garis halus” dapat menjangkau lebih banyak pembaca.
Pada dasarnya, inti operasi CIA aku temukan dari politik keredaksian beberapa majalah. Diskursus wacana membutuhkan wasit. Misalnya, debat berkepanjangan antara kelompok kiri progresif yang antiperang dan kiri intervensionis. Media antek CIA ini akan menjadi wasit, memenangkan salah satu pihak. Itulah kenapa, aku dulu selalu penasaran, mengapa muncul kesan kelompok kiri intervensionis selalu terdengar nyaring [di media massa], sementara kelompok kiri progresif antiperang selalu terkesan termarjinalkan.
“Pengaruh CIA pada dunia penerbitan bersifat terselubung dan niatnya sejak awal memang menyemai propaganda. Tujuan akhirnya adalah mengontrol persepsi intelektual dunia dalam memandang kebijakan AS.”
Jadi CCF menerbitkan serta mempromosikan penulis-penulis yang kiri tapi engga kiri-kiri amat untuk membentuk persepsi pembaca?
Cara yang mereka lakukan adalah menggunakan figur budayawan kiri seperti Garcia Márquez, mempromosikan karya-karya kreatif mereka mirip trik Kuda Troya. Jadi para penulis sastra yang dibina CIA akan terus menguasai perbincangan kebudayaan, contohnya selama Revolusi Kuba. Sekilas pembentukan wacana ini berlangsung alamiah. Tapi hal ini tentu tidak akuntabel ataupun demokratis. Bagi mereka yang menyadari telah dimanfaatkan CIA, posisinya jelas tidak enak.
Akademisi Patrick Iber pernah mengungkap bagaimana budayawan Emir Rodríguez Monegal menerbitkan esai antiperang Vietnam sekadar buat meyakinkan publik bahwa dia bukan antek CIA. Posisinya sangat rumit, tapi di situlah aku mulai tertarik mengkaji isu ini. Aku wajib mengesampingkan kecenderungan naif langsung menghakimi sikap para sastrawan dan budayawan di masa lalu. Aku lebih tertarik membahas kapan para penulis dan pekerja intelektual itu mengubah pikirannya soal program CIA, atau kapan orang terguncang, atau kapan seseorang dijadikan antek, menyadarinya, lalu jadi sakit hati untuk beberapa saat.
Ketika kaitan CIA dan Paris Review bersama penerbitan lainnya terungkap, serangan balik muncul sporadis. Majalah asal Beirut, Hiwar langsung tutup dan karir editornya Tawfiq Sayigh hancur. Mengapa Paris Review bisa selamat?
Pertanyaanmu ini menjadi tujuan utama bukuku. Aku rasa banyak tulisan [Paris Review] tidak pernah langsung bersinggungan atau mengulas kudeta, pembunuhan, atau intervensi yang membuat Amerika Serikat dibenci selama Perang Dingin. Ketika Hiwar dan majalah lainnya terekspos sebagai kolaborator CIA, mereka langsung disangkutpautkan dengan segala intervensi yang dibenci warga negara pascakolonial.
Pengaruh CIA di dunia penerbitan mungkin hanya di tingkatan propaganda. Hal yang sama bisa dilakukan oleh sebagian besar donor kegiatan budaya. Apapun sebutannya, itu semua tetap upaya mengontrol perbicangan demokratis warga, upaya mengontrol pilar demokrasi keempat. Operasi CIA adalah sebuah cara mengendalikan para intelektual supaya memandang positif kebijakan dan ideologi AS.
Kembali lagi soal Paris Review , banyak editor mereka terbukti memonitor para penulis dan ekspatriat, serta kejadian-kejadian ranah kebudayaan di seantero Prancis. Kenapa mereka bisa mengganti setiap editor setelah skandal CIA terungkap sebegitu mudahnya?
Hal ini menunjukan yang terjadi di ruang redaksi mereka sejenis kongkalikung halus. Peter Matthiessen mengakui mereka memata-matai, tapi dia buru-buru mengundurkan diri ketika kedoknya terungkap. Ada sejumlah konspirasi di luar sana yang bilang dia tak pernah mengundurkan diri dari CIA (dan bosnya mempekerjakan penulis-penulis bayangan untuknya). Aku pernah mencoba mengamati temuan-temuanku, dan aku bisa bilang rumor itu cukup berdasar. Apakah Nelson Aldrich dan Frances Fitzgerald memata-matai kawan-kawan penulis ketika mereka bekerja untuk CCF? Aku rasa tidak. Mereka pada dasarnya membuat penerbitan itu seakan-akan melakukan pekerjaan budaya tidak berdosa, sambil menjadi humas kepentingan Amerika. Sebetulnya tidak sulit membayangkan diri kita sebagai García Márquez saat itu, menerima uang, lalu belakangan melakukan tindakan yang tidak sesuai keinganan si donor dengan mengakrabi pemimpin Kuba. Itulah sisi lain operasi terselubung ini. CIA seakan-akan mengizinkan para sastrawan berkata pada diri sendiri, “kayaknya aku engga sebusuk itu”, menjustifikasi kelakuan mereka [menerima dana dari CIA]. Masalahnya ketika seorang jurnalis dan penulis bilang begitu, artinya dia sudah memilih sikap berlawanan dengan prinsip dasar jurnalistik, yaitu transparansi.
CIA mengubah penulis menjadi duta budaya bahkan ketika mereka tidak menulis sesuatu yang pro-Amerika secara eksplisit. Kebanyakan cuma mengiklankan “alternatif ala Amerika.” Apa bedanya dengan situasi sekarang? Penulis Barat masih memonopoli sastra dunia—apakah tidak ada lagi dari mereka yang mengangkat narasi yang sama?
Itu pertanyaan bagus, mengingatkanku pada kerja-kerja Guernica selama masa kepresidenan George W. Bush. AS terlibat perang yang parah, dan aku takut, malu, tapi aku hanya cowok lulusan program S2 sastra, jadi apa yang bisa kulakukan untuk membantu? Perasaan itu dirasakan juga oleh banyak penulis saat ini—apa nih yang bisa kita lakukan untuk mengungkap sejarah yang sebenarnya? Aku butuh dijadikan “antek”. Malu sekali rasanya dipimpin Bush atau Donald Trump dan bajingan-bajingan lainnya yang sering curang demi dapat kursi di pemerintahan. Atas semua keinginan itu, aku akan bilang propaganda positif sama menjijikannya dengan disinformasi dan propaganda negatif.
Sekalinya kamu memulai propaganda negatif, itu bisa dengan cepat berubah menjadi disinformasi. Kamu terdorong meladeni setiap argumen yang membuat musuhmu terlihat buruk. Di saat The Paris Review mulai banyak memuat wawancara Boris Pasternak, misi propaganda terselubung mereka berubah menjadi seperti ini: “Kami ingin penulis Amerika dan Barat lebih dikenal di negara-negara lain.”
Boris Pasternak adalah mata-mata AS di Soviet. Dia juga salah satu penulis asing yang memberi testimoni untuk narasi yang diinginkan AS, dan oleh sebab itu menjadi kesayangan CIA. Benar begitu?
Itulah kisah Pasternak. Dia awalnya menulis Doctor Zhivago sebagai orang mandiri dan tokoh oposisi Soviet. CIA ingin mendekatinya, jadi Pasternak dicitrakan sebagai simbol mengapa demokrasi Barat “lebih baik dari komunisme” di ranah budaya.
Kritik Pasternak sebenarnya tidak harus selalu dipahami sebagai kritik sistem negaranya. Siapa Pasternak yang kamu kenal? Apa kita punya sosok seperti Pasternak sekarang?
Edward Snowden tak ada apa-apanya dibandingkan Pasternak. Aku tidak tahu apakah kamu bisa membandingkan seorang penulis kreatif mengkritik negara, dengan pembocor data rahasia seperti Snowden. Tapi maksudku, aku ingin orang kini melihat Pasternak bukan sekadar simbol pejuang di ranah kebudayaan dunia, dengan sikap pro-demokrasi AS. Orang-orang ini memang sekarang jadi simbol, tapi dulu mereka adalah pemikir independen. Di banyak kasus, mereka sebetulnya hanya mencoba menyampaikan kisah mereka.
Jika penulis ingin menghindari batasan kabur antara ekspresi jujur dan propaganda, haruskah kita menolak pendanaan dari unsur pemerintah? Mungkinkah tindakan ini memberi peluang kita berkarya lebih luwes?
Jelas akan lebih luwes. Kita harus punya tembok pemisah. Saya tidak bilang penulis atau jurnalis wajib menolak sepenuhnya semua jenis dana dari pemerintah. Hanya saja, kalau kita menerima dana pemerintah ya seharusnya itu tidak boleh dirahasiakan. Kita menghadapi kekacauan, dunia yang busuk. Sebagai jurnalis, kita perlu menerima pendanaan seperti apapun yang bisa kita dapatkan. [Tapi] kita mesti pintar mengakalinya, semacam yang dilakukan García Márquez.
Media sosial menihilkan kekuasaan editor sebagai penjaga gerbang informasi dan persebaran wacana. Menurutmu apakah kondisi sekarang memudahkan CIA untuk mengontrol diskursus publik?
Aku rasa sebagian sistem media sosial sekarang lebih bisa diandalkan menahan upaya penyusupan wacana oleh pemerintah.
Tapi ada cara lain untuk membentuk wacana pasar kebudayaan. Kalau kamu amati industri perfilman— Argo, Zero Dark Thirty, dll.—pemerintah AS melalui Hollywood membayar miliaran dolar demi membohongi diri sendiri, membentuk citra positif. Aku rasa di satu titik awal era perang melawan teror, pemerintahan Bush menemui para sineas kemudian bilang, “Kami akan memberi kalian sebuah misi.”
Sekarang taktik pencitraan lewat produk budaya semacam ini tidak terasa baru. Tapi jangan lupa, kesadaran ini muncul berkat pengungkapan maraknya operasi terselubung semacam itu selama era Perang Dingin dulu.
Follow Mary von Aue di Twitter .
This post is also available in: Indonesian