Nuzul Mboma
Semuanya bermula dari kegemaran saya membuka lembaran literatur sejarah di perpustakaan terkait tragedi pra/paska 1965, yang sampai detik ini masih diperdebatkan dan kontroversial. Cerita tentang seorang kakek berusia 80-an menjadi setitik cahaya untuk menelusuri lebih jauh mengenai tragedi 1965.
Kakek ini dulunya angota Pemuda Rakyat yang berafiliasi dengan partai kiri. Ia termasuk yang selamat dari — meminjam istilah politbiro — “teror putih”: pembunuhan dan pengejaran orang-orang kiri, hingga ratusan ribu nyawa melayang. Tragedi yang tak ada bandingannya dalam sejarah modern. Bak bola bergulir, peristiwa yang terjadi di pusat berimbas ke seantero negeri, tak terkecuali Ujung Pandang (Makassar).
Di usianya yang senja, Kakek masih sehat. Ia tetap bangga dan cinta dengan partainya, meski kini sudah jadi sejarah masa lalu bahkan terlarang, dengan dikeluarkannya TAP MPRS 1966, sejak kaum kanan menguasai parlemen.
Dengan segudang rasa penasaran dan hasrat euforia sejarah, saya memberanikan diri mencari jejak si Kakek. Suatu malam di pinggiran kota Makassar yang jauh dari hiruk pikuk keramaian kota, semilir angin menemani perjalanan saya di atas kendaraan bermotor roda dua. Bintang berhamburan di langit malam, dan purnama yang bersinar terang menyertai saya hingga tiba di depan rumah si Kakek.
Hingga pertemuan kelima, Kakek masih trauma untuk membuka memori masa lalunya. Dibakar semangat belajar sejarah, saya tidak jua menyerah. Di pertemuan yang ke sekian kali, akhirnya ia mulai membuka diri dan pintu hatinya. Mungkin ia simpati dan kagum dengan semangat muda saya. Ditemani kopi hitam dan rokok kretek, kami mulai berdiskusi. Pendengarannya yang mulai terganggu akibat usia senja, tidak menyurutkan semangatnya.
Kami percaya bahwa kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat adalah hak semua orang di muka bumi. Berlandaskan hal tersebut, reportase ini saya tulis secara terbuka.
Berkat buku dan literatur, saya sedikit mengikuti perkembangan politik tahun 1950–1960-an. Dengan agak serius sekaligus tersipu, saya memberanikan diri bertanya kepada Kakek mengenai pendapatnya tentang haluan politik pasca peristiwa Madiun 1948.
Tidak langsung menjawab, ia menyeruput kopinya yang masih agak panas. Barulah ia membuka suara, “Saya pribadi melihat haluan politik partai paska Madiun tahun 1950-an di bawah kepemimpinan Aidit mengarah ke parlementarisme, dan mengadopsi program penyatuan Front Nasional yang bercorak borjuis.”
Dengan jalan damai, pimpinan partai pelan-pelan mengarah ke avonturisme dan oportunisme. Hanya dengan sekali pukul, kaum kontrev (kontra revolusi) di bawah komando militer reaksioner berhasil menghancurkan partai, dan menghabisi anggota serta seluruh simpatisan. “Beruntunglah yang masih selamat seperti saya. Ini mungkin berkat perlindungan Tuhan Yang Maha Kuasa juga ya,” ujar Kakek.
Seketika, PKI ambruk. Kakek berkata bahwa ia pernah membaca dokumen politbiro yang ditulis di Jawa Tengah tahun 1966 dan 1967. Dokumen ini beredar di bawah tanah dan sampai ke tangannya tahun 1980-an berkat sisa koneksi politiknya. Saya bertanya agak dekat ke telinganya: “Apa isi dokumen itu ‘Kek?”
Ia terdiam sejenak, mengumpulkan memori masa lalunya sambil membuang abu rokoknya. Jawabnya: “Itu kritik-otokritik politbiro di bawah tanah tahun 1966–1967 terhadap pimpinan eksekutif partai sebelum tragedi G30S yang oportunis, dan makin menjauh dari pedoman Marxis-Leninis. Kolaborasi kelasnya sangat erat dengan kepemimpinan Soekarno, dan pimpinan tertinggi partai bisa dikatakan mendekati avonturisme karena strategi politiknya yang menjauh dari Marxis-Leninis.”
Dalam hati saya berkata, sungguh tajam pengetahuan politik Kakek. Imajinasi politik saya ikut terseret dan terhanyut merasakan era generasinya dulu. Meski jauh dari euforia politik di pulau Jawa karena berdomisili di Ujung Pandang, kesadaran politiknya begitu bergelora pada masa itu. Sebelum teror putih, usia Kakek masih muda. Berlangganan Koran Harian Rakjat dan mengoleksi buku terbitan partai Jajasan Pembaruan, ia selalu mengikuti perkembangan politik pusat dan kesadaran ideologisnya terdorong. Koleksinya itu kini tak tahu di mana rimbanya.
Pertemuan hari itu saya akhiri. Kakek belum sepenuhnya membuka hingar bingar dan pandangan politiknya di era Orde Lama. Pertemuan singkat yang ke sekian kalinya itu menimbulkan rasa penasaran; pertanyaan-pertanyaan belum terjawab tuntas. Saya melangkah pulang dari rumah Kakek dengan setumpuk keraguan dan rasa belum puas dengan cerita-cerita singkatnya.
Mungkin kakek membaca rasa pilu di benak saya. Ketika hendak berpamitan, ia berkata ringan: “Selepas sholat subuh, datanglah kemari lagi, Kakek tunggu di depan rumah.”
Selepas subuh, saya kembali berbegas ke rumah Kakek. Jalanan masih lengang, matahari tampak malu hadir lebih awal, dan bau air laut menyambar hidung. Kediaman Kakek hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari pinggiran laut. Saat saya jumpai, Kakek mengenakan peci dan menatap kosong ke langit. Barangkali mencoba menggali ingatan masa lalunya yang terkubur.
“Ada hal yang tak mudah untuk dilupakan ‘Nak. Kawan-kawanku yang mati di tangan kaum kontrev membuatku selalu berdoa selepas sholat. Semoga arwah kawan ideologisku tenang di alam sana, dan para korban yang dipaksa mati terampuni dosanya” ujarnya lirih.
Sebelum bertanya tentang genosida teror putih, cerita tentang bagaimana kawan-kawannya mati, dan bagaimana ia bisa melewati hari demi hari paska tragedi G30S, saya mengungkit euforia masa keemasannya ketika muda di era Orde Lama.
“Aku dulu antusias mengikuti perkembangan politik. Bukan hanya di pulau Jawa denyut politik itu bergelora, tapi massa rakyat di kota ini juga. Kesadaran politik menjalar hingga ke pelosok-pelosok,” kenangnya. Ia masih ingat, Pemuda Rakyat di tempatnya tinggal aktif mempropagandakan pembebasan Irian Barat dari penjajahan Belanda. Apalagi, kota ini dulu dijadikan pusat komando Mandala tahun 1962 untuk menggempur sisa-sisa kolonial belanda di Irian Barat.
Dalam narasi sejarah orde baru, hanya militer yang berperan heroik terkait pembebasan Irian Barat. Peran kaum kiri serta sipil dihapuskan. Kakek menceritakan ini sambil merenungkan masa itu. Kutatap matanya lebih dalam. Pada matanya terpantul sinar fajar di ufuk timur, dan saya sontak terseret ceritanya.
Saya menerka-nerka, mungkin Kakek hanya mengingat momentum penting saja. Maklum usia senja merenggut pelan ingatannya. Saya kembali bertanya, apa saja kerja-kerja politik organisasi Kakek di era 1960-an. Ia bercerita, ketika program partai di pusat dijadikan pedoman propaganda, “Kami di sini juga turut bekerja sesuai perintah partai. Bahkan simpatisan dan anggota antusias mengkampanyekan program partai.” Mereka datang ke Makassar untuk kegiatan-kegiatan politik dan tersebar dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan.
Ulang tahun partai yang dirayakan besar-besaran di Ibukota Jakarta (Mei 1965) menjadi momentum bahagia bagi kaum revolusioner. “Beberapa anggota dan simpatisan di sini dulu rela berangkat dengan kapal laut demi sampai ke Ibukota, meramaikan hajat besar yang jadi perhatian dunia di masa keemasannya,” ujar Kakek sembari menarik nafas dalam-dalam.
Di benak saya, Kakek sepertinya terhanyut mengingat memori muda abad 20 ketika Indonesia masih berumur jagung melawan kolonialisme. Matanya berkaca-kaca; kulit keriputnya menandakan kalau usianya tak muda lagi.
Matahari makin menjulang tinggi, membawa peradaban baru di pagi hari dan menerangi kehidupan di muka bumi. Kakek berkata, “Di lain waktu datanglah kembali dan aku akan bercerita lebih banyak lagi.”
Saya berpamitan, dan kaki melangkah pelan beranjak pulang. Dengan keyakinan bahwa pengetahuan adalah milik “anak semua bangsa” (meminjam bahasa Pramoedya), maka tulisan ini wajib dipublikasi untuk umum. Maaf, beliau belum bersedia namanya diketahui oleh umum. Entah alasan politis atau pribadi, saya tidak tahu.
Sumber: Medium.Com
This post is also available in: Indonesian