Sabtu, 14 November 2015 | 08:19 | Reporter : Juven Martua Sitompul

Anggota Steering Committee Internasional People Tribunal (IPT) 1965, Dolorosa Sinaga, dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin (13/11) kembali meluruskan makna sidang rakyat di Den Haag, Belanda. Dia menyatakan sidang itu adalah upaya kolektif pegiat Hak Asasi Manusia di Tanah Air untuk membawa kasus pembantaian 1965 menjadi perhatian dunia.

Terkait ongkos menggelar sidang di Negeri Kincir Angin, dia mengatakan sumbernya pihak yang bersimpati pada IPT, termasuk WNI mukim di Belanda. “Kalau ditanya anggaran dari mana, itu anggaran dari publik dan sejumlah donasi dari sejumlah pihak,” ungkapnya.

Namun Dolorosa mengaku tidak tahu persis berapa total biaya dibutuhkan untuk menggelar sidang rakyat tersebut. Intinya, Dolorosa menegaskan, pengadilan rakyat internasional terkait kejahatan 65 yang digelar di Den Haag, Belanda, merupakan wujud kepedulian para pegiat terhadap korban pelanggaran HAM yang dibungkam selama 50 tahun.

“Pernyataan dari Luhut Panjaitan, JK dan ketua NasDem persepsi yang kami imbau mereka punya punya kebesaran jiwa, 50 tahun negara ini bungkam pelanggaran HAM 65. Kita perlu kembalikan kedaulatan para korban,” tegasnya.

IPT kemarin memasuki sidang terakhir, dengan agenda pembacaan putusan. Terdakwa adalah pemerintah Indonesia, karena memfasilitasi tentara dan ormas secara sistematis melakukan pelanggaran HAM terhadap warga terduga komunis.

Rinciannya, para pelaku terlibat pembunuhan, perbudakan, penahanan, penyiksaan, kekerasan seksual, penganiayaan, penghilangan paksa, penganiayaan dan propaganda, ditambah satu dugaan khusus berkolaborasi dengan negara lain dalam kejahatan kemanusiaan.

IPT bukan pengadilan resmi. Kendati format acaranya mirip sidang – ada hakim, jaksa, dan saksi – tapi forum ini tidak bisa menjatuhkan sanksi hukum apapun kepada tergugat. Tapi data-data yang muncul dalam sidang dijamin valid. Setidaknya pula, pemerintah RI diingatkan pada dosa-dosa di masa lalu yang menolak terus dikubur tanpa penyelesaian.

Satu-satunya wakil pemerintah yang datang dalam sidang adalah Komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi. Dia datang tanpa dijadwalkan. Menurutnya, bermacam kesaksian korban dan saksi ahli telah membuktikan ada pelanggaran hak asasi serius di Tanah Air setengah abad lalu. Ini sesuai dengan kesimpulan Komnas HAM.

“Dari sejumlah testimoni yang kita dengar sejak hari pertama, saya bisa katakan ada koherensi kuat dengan hasil penyelidikan Komnas HAM,” kata Dianto dalam sidang.

Pihaknya sudah melakukan penelusuran soal isu serupa sejak 2003 sampai 2012. Namun hasil penelitian serta rekomendasi Komnas HAM ditolak Kejaksaan Agung.

[ard]

Sumber: Merdeka.Com

This post is also available in: Indonesian