Selasa, 31/01/2017 13:49 WIB | Oleh: Rio Tuasikal, Ninik Yuniati
Jakarta – Aktivis pegiat hak asasi manusia Nursyahbani Katjasungkana menyatakan mempersilakan jika pemerintah hendak melakukan langkah non-yudisial (di luar pengadilan) untuk menyelesaikan tujuh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Namun, Nursyahbani mengatakan, selain langkah nonyudisial, proses yudisial (proses hukum) juga harus tetap dijalankan.
Nursyahbani yang juga Koordinator Penyelenggara Sidang Rakyat Internasional Kasus 65 ini mengatakan proses yudisial harus berjalan untuk memenuhi rasa keadilan korban.
Selama ini, kata Nursyahbani, Jaksa Agung Pasetyo selalu mengembalikan berkas tujuh kasus pelanggaran HAM karena dianggap belum lengkap. Padahal, seharusnya Jaksa Agung membentuk tim lebih dulu guna mencari bukti-bukti pelengkap itu. Sehingga, kalau pun buktinya sulit ditemukan, telah dilakukan lewat upaya resmi pemerintah.
“Silakan (nonyudisial), tapi proses yudisial juga (tetap) harus dijalankan. Sampai mentok bahwa tidak bisa ditemukan bukti. Tapi itu kan harus dinyatakan. Ini kan nggak ada (pernyataan),” kata Nursyahbani kepada KBR, Selasa (31/1/2017).
“Nggak bisa proses ini berhenti hanya dengan statemen-statemen nggak ada bukti, ini kan proses hukum,” kata Nursyahbani.
Bekas Wakil Direktur LBH Jakarta itu mengatakan Jaksa Agung Prasetyo wajib melanjutkan berkas kasus HAM ke DPR, untuk kemudian dibuatkan rekomendasi pembentukan pengadilan HAM Adhoc penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Nursyahbani juga mengkritik pernyataan Prasetyo yang justru bertolak belakang, karena Prasetyo meminta pengadilan dibentuk lebih dulu sebelum penyelidikan dilakukan.
Bekas anggota DPR 2004-2009 ini menambahkan, proses non yudisial tujuh kasus HAM juga tetap harus didahului dengan pengungkapan kebenaran. Sebab hal itu akan menjadi dasar bagi penyelesaian kasus. Dia menilai selama ini pemerintah masih menyangkal terhadap kasus-kasus itu.
“Pemerintah masih denial terus bahwa faktanya telah terjadi kejahatan kemanusiaan,” paparnya.
Sebelumnya Menteri Koordinator Hukum Wiranto menyatakan 7 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan diselesaikan melalui jalur non-yudisial. Hal tersebut disampaikan Wiranto saat konferensi pers bersama Komnas HAM di kantor Kemenkopolhukam, Senin (30/1/2017).
Wiranto beralasan kasus tersebut telah terjadi puluhan tahun yang lalu sehingga sulit mencari buktinya.
Tujuh kasus HAM yang akan diselesaikan lewat nonyudisial adalah tragedi pembantaian massal 1965/1966, peristiwa Trisakti, Semanggi I 1998 serta Semanggi II pada 1999, kerusuhan Mei 1998, kasus penghilangan paksa 1997/1998, peristiwa Talangsari Lampung, dan penembakan misterius 1982-1985.
Komnas HAM sebut Kejakgung tak kooperatif
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun Rahmat membenarkan sikap politik pemerintah yang memilih jalur nonyudisial untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Hanya tiga kasus pelanggaran HAM berat di Papua, yaitu kasus Wasior, Wamena dan Paniai yang akan dilanjutkan ke pengadilan.
“Keputusan politik pemerintah begitu, ke arah sana (nonyudisial). Kan gamblang tho. Untuk yang Papua, itu keputusan politik pemerintah lanjutkan, akhirnya toh jalan. Wasior, Wamena itu. Nah untuk yang pelanggaran HAM berat masa lalu itu, yang menjadi pilihan pemerintah saat ini, ya menempuh jalan nonyudisial. (Bahasa lainnya, yang yudisial ditutup?) Ya, Komnas HAM tidak menutup proses itu. Pemerintah kan maunya rekonsiliasi,” kata Imdadun Rahmat, Senin (30/1/2017).
Ia menuturkan kasus HAM berat masa lalu seperti Trisakti dan Semanggi tidak dilanjutkan lantaran mandeg di Kejaksaan Agung. Kendati demikian, menurut Imdadun, Komnas HAM tidak menutup peluang jalur yudisial.
“Ya didorong ke arah yudisial (oleh Komnas HAM). Tapi kalau kemudian Kejaksaan Agungnya tidak kooperatif, terus apa yang bisa dilakukan Komnas HAM? Karena penyelidik itu harus bekerja sama dengan penyidik (kejaksaan). Kalau penyidiknya tidak mau jalan gimana?” kata Imdadun.
Terkait formula nonyudisial/rekonsiliasi, Komnas HAM mengusulkan agar kasus HAM berat masa lalu juga bisa diselesaikan melalui Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Imdadun menilai konsep Menkopolhukam tentang DKN masih terlalu umum dan belum jelas.
“Kita menghendaki kalau memang DKN ini dimaksudkan sebagai alternatif dari KKR yang sudah tidak ada UU dan kelembagaannya itu, maka harus eksplisit juga disebutkan di situ terkait dengan pelanggaran berat masa lalu,” imbuhnya.
“Supaya masyarakat dan juga Komnas HAM itu mendapatkan guarantee bahwa memang DKN ini adalah implementasi dari RPJMN-nya Pak Jokowi, jadi penyelesaian melalui lembaga di bawah Presiden.”
Editor: Agus Luqman
Sumber: KBR.ID
This post is also available in: Indonesian