Penulis: Egi Fadliansyah | 06 December 2016

Peristiwa yang terjadi pada 1965-1966 dan tahun-tahun sesudahnya merupakan suatu peristiwa tragedi kemanusiaan yang menjadi lembaran kelam sejarah kontemporer bangsa Indonesia.

Peristiwa tersebut merupakan efek dari peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat yang terjadi pada dini hari 1 Oktober 1965. Pasca peritiwa 1 Oktober 1965, terdapat penggalangan opini melalui media cetak untuk menyudutkan dan membuat stigma terhadap pimpinan, simpatisan, dan anggota PKI. Dalam tragedi 1965 pasca peristiwa 1 Oktober 1965 ini, tidak semua korban yang dibunuh, disiksa, ditahan, atau dipenjarakan itu adalah anggota PKI. Banyak dari mereka yang tidak ada kaitannya dengan PKI. Misalnya orang-orang Tionghoa dan para pendukung Presiden Sukarno (Wardaya, 2014).

Tak ada satu pun kebenaran yang diungkap oleh pemerintah hingga saat ini, mengenai besar korban yang terbunuh ataupun korban penghilangan secara paksa. Ada beberapa sumber yang menyebut korban terbunuh dan hilang berkisar antara 300 ribu hingga 2,5 juta jiwa. Melihat fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa para korban Tragedi 1965 merupakan korban dari ambisi politik kelompok tertentu di Indonesia pada waktu itu.

Robert Cribb (1990) mengatakan bahwa pembunuhan 1965 dilakukan dengan memakai alat sederhana, pisau, golok dan senajata api. Tidak ada kamar gas seperti apa yang dilakukan oleh tentara Nazi Jerman. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa jauh sebelum dibantai, biasanya mereka terbunuh didekat rumahnya. Cirri lain, kejadian itu biasanya malam hari. Proses pembunuhan berlangsung cepat, hanya beberapa bulan saja. Sedangkan Nazi membutuhkan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya butuh waktu selama 4 tahun (Asvi Warman Adam, 2014)

Pada masa pemerintahan Orde Baru, tahun 1965-1966 merupakan tahun yang sengaja dilupakan dalam sejarah Indonesia. Rezim Orde Baru hanya menggunakan dan membenarkan satu versi tunggal mengenai peristiwa 1 Oktober 1965. Sementara itu, beberapa versi lain yang ditulis oleh beberapa para pengamat Barat hampir tidak dikenal masyarakat.

G30S, pembunuhan massal 1965-1966, dan penahanan politik yang dialami oleh anak bangsa, baik yang di Pulau Buru maupun di Kamp Pelantungan, dan penjara lainnya merupakan peristiwa yang sengaja dimanipulasi dan dihilangkan dari masyarakat luas. Faktanya, semasa pemerintahan Soeharto hanya peristiwa G30S versi pemerintah-yang diajarkan di sekolah-sekolah. Sedangkan pembunuhan massal dan kasus tahanan politik lainnya, terutama Pulau Buru disisihkan dari memori kolektif bangsa. Buku pelajaran di sekolah tidak pernah menyinggung kedua hal itu, dan menyinggung tentang peristiwa pasca 1 Oktober 1965 merupakan hal yang tabu pada masa pemerintahan Soeharto (John Roosa, 2008).

Pelanggaran HAM masa lalu–khususnya berkaitan dengan kekerasan dan pembantaian massal tahun 1965-1966 (Tragedi 65)-Belum diselesaikan secara tuntas. Hal demikian ini, lebih disebabkan oleh adanya kekhawatiran dari pihak-pihak tertentu apabila masalah Tragedi 65 dibuka dan dibahas secara publik dengan objektif. Padahal kekhawatiran seperti itu tidak selalu beralasan dan cenderung tidak memliki sikap kenegarawanan, karena mewarisi permasalahan terhadap generasi berikutnya. (Egi Fadliansyah)

Sumber: SejarahKita.Org

This post is also available in: Indonesian