Inisiatif membangun website International People Tribunal 1965 (IPT-65) dimulai sejak tahun 2014. Kala itu muncul kesadaran mengenai pentingnya sebuah media alternatif yang khusus memuat berbagai macam informasi mengenai kegiatan komite persiapan yang akan menggelar pengadilan rakyat atas kasus 1965, yang sedianya akan digelar di Den Haag (Oktober 2015) dan Jenewa (2016). Didorong oleh adanya kebutuhan tersebut, maka pada tanggal 17 Desember 2014 diluncurkan website IPT-65 secara serentak di Belanda dan di Indonesia. Untuk peluncuran website di Indonesia bertempat di gedung YLBHI, Jl. Diponegoro 74, Jakarta Pusat.
Panitia pelaksana International People Tribunal (pengadilan rakyat) 1965 berpandangan bahwa website IPT-65 harus memberikan kontribusi dalam membangun masyarakat yang kritis terhadap berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan yang terjadi setelah 1 Oktober 1965.
Oleh sebab itu, setelah peluncuran website IPT-65, muncul keinginan untuk mengembangkan situs tersebut agar menjadi pusat informasi peristiwa 65 dan berbagai dampaknya dalam kehidupan kebangsaan, yang dibutuhkan oleh kalangan umum, intelektual, lsm, jurnalis, dan mahasiswa, baik yang berasal dari Indonesia maupun dunia internasional.
VISI DAN MISI
Visi Website IPT-65 secara singkat adalah membangun kesadaran masyarakat mengenai peristiwa 65 dan dampaknya secara kritis sehingga berkontribusi pada terbentuknya masyarakat yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan berperan aktif pada pelurusan sejarah Indonesia terkait peristiwa tersebut.
Misi website IPT-65 adalah:
1. Pusat informasi berbagai kegiatan menuju International People Tribunal 1965 di Den Haag dan Jenewa.
2. Membangun forum bersama yang menjadi tempat bertukar pikiran secara online bagi kalangan umum, intelektual, lsm, jurnalis, dan mahasiswa, baik di Indonesia maupun internasional.
ACARA
11.30 – 12.00 Briefing Panitia
12.00 – 13.00 Registrasi
13.00 – 13.10 Doa ala Cianjuran oleh Dialita
13.10 – 13.30 Paduan suara Dialita
13.30 – 13.45 Opening IPT 65 oleh Nursyahbani Katjasungkana
13.45 – 14.00 Opening IPT oleh Prof. Saskia Wieringa
14.00 – 15.00 Testimoni penyintas oleh Tedjo Bayu dan Katri
15.00 – 15.10 Peluncuran Website www. 1965tribunal.org
15.10 – 15.30 Paduan suara Dialita
15.30 – 16.30 Diskusi dipandu Dr. Wijaya Herlambang
Narasumber: Prof Saskia Wieringa (akademisi) dan Roichatul Aswidah (Komisioner Komnas HAM)
UNDANGAN
Panitia peluncuran website IPT65 di Jakarta mengundang rekan–rekan LSM dan lembaga lainnya yang terkait dengan isu HAM. Rekan-rekan LSM yang diundang antara lain YLBHI, LBH Jakarta, LBH Apik, Kontras, Elsam, ISSI, Imparsial, Setara, KPI, dan Ikohi.
Lembaga lainnya yang terkait dengan isu HAM adalah Komnas HAM, Komnas Perempuan, HIVOS, dan Ford Foundation. Penerbit yang hadir antara lain Kobam, Desantara dan Ultimus. Kobam dan Ultimus tidak hanya hadir, namun juga membuka stand buku-buku yang bertemakan peristiwa 65 dan dampaknya. Jumlah terbesar yang memenuhi acara launching adalah para penyitas 65 yaitu dari YPKP 65 dan kelompok paduan suara Dialita.
BERITA MEDIA
Media yang diundang untuk meliput peluncuran website IPT-65 sebanyak 20 media yang terdiri atas media cetak, online, dan elektronik. Yang memenuhi undangan sekitar 10 media yaitu Metro TV, Kompas TV, Berita Satu, Rakyat Merdeka Online, Liputan 6.com, Historia, Detik.com, MNC, Viva News, Sindo, Kompas Online, namun media yang menaikan liputan hanyalah Historia.
Liputan Historia dapat dibaca di sini.
Peluncuran website IPT-65 dapat dikatakan sebagai ujicoba respon media terhadap upaya membawa kasus 1965 ke International People Tribunal. Kedatangan wartawan yang tidak disertai dengan berita peliputan menjadi catatan khusus bahwa media di indonesia belum memahami tujuan IPT 65, bahkan cenderung resisten yang ditandai dengan pertanyaan “apakah PKI akan bangkit?” atau sempat terlontar ucapan panitia launching website IPT 65 di Jakarta tidak nasionalis karena membawa kasus yang dapat mempermalukan Indonesia di dunia internasional.
PEMBUKAAN DAN PELUNCURAN WEBSITE 1965
Peluncuran website IPT-65 dibuka dengan kata sambutan Ibu Nursyahbani Katjasungkana (koordinator IPT-65) dan Prof. Saskia Wieringa (koordinator peneliti IPT-65).
Dalam pembukaan peluncuran website IPT-65, Ibu Nursyahbani Katjasungkana mengutarakan International People Tribunal yang akan diselenggarakan pada Oktober 2015 di Den Haag dan Jenewa memanfaatkan momentum terbukanya mata dunia kepada kejahatan no.3 terbesar di dunia pasca film Jagal. Tekanan internasional ini disebabkan pemerintah Indonesia tidak serius menyelesaikan masalah HAM di masa lalu. Pemerintahan yang baru terbentuk, Jokowi – Jusuf Kalla, juga tidak menunjukan langkah yang serius dalam penyelesaian kejahatan masa lalu yang ditandai dengan statement Andi Wijayanto yang mengatakan “HAM bukan prioritas”, serta statement Jusuf Kalla yang berkata “tidak akan minta maaf atas kejahatan masa lalu”.
Dalam kesempatan tersebut, Ibu Nursyahbani Katjasungkana juga mengumumkan hakim dan pengacara yang akan membantu jalannya International People Tribunal 1965, antara lain: Todung Mulya Lubis (pengacara dari Indonesia), Elizabeth Odio Benito (mantan majelis hakim International People Tribunal di Yugoslavia), Hellen Jarvis (mantan majelis hakim International People Tribunal di Kamboja) dan Frederick Flamming yang akan membantu merumuskan surat dakwaan. Prof. Saskia Wieringa pada pembukaan peluncuran website IPT-65 tersebut, juga memperkenalkan tim peneliti, baik yang ada di Indonesia, Belanda, Australia dan negara lainnya.
KESAKSIAN PENYINTAS 1965
Dua orang penyintas yang memberikan kesaksian adalah bapak Tedjo Bayu sebagai eks tapol di pulau Buru dan ibu Katri, eks tapol asal Klaten yang dipenjara di beberapa tempat dan berakhir di penjara Bulu Semarang.
Bapak Tedjo Bayu menjadi penyintas pertama yang memberikan kesaksiannya di acara peluncuran website IPT-65. Di awal kesaksiannya, ia menekankan “penyintas bukan orang yang patut dikasihani, tapi kami perlu kebenaran atas persoalan yang ada”. Selanjutnya diceritakan pengalaman waktu pertamakali ditangkap pada tanggal 19 Oktober 1965. Bapak Bayu Tedjo dan teman-temannya sedang melakukan rapat CGMI ketika ditangkap aparat keamanan, sembari mendengarkan musik rock n roll. Saat itu semua senang karena bisa bebas menyanyikan musik yang sebelumnya dilarang tersebut, sekaligus bingung apa yang harus dilakukan pada saat itu. Saat ditangkap, sempat mengira tentara yang menangkapnya adalah RPKAD, ternyata oleh batalyon F yang baru mendapat latihan Trikora. Diceritakan olehnya ia sempat menyaksikan kawannya yang keturunan Tionghoa yang mengaku berasal Menado dimasukan ke drum karena bagi tentara wilayah tersebut juga identik dengan pemberontak Permesta. Dengan berkaca-kaca, bapak Tedjo Bayu yang dibuang di pulau Buru selama 14 tahun, bercerita soal pengalamannya di pulau tersebut. Disana, ia menyaksikan seorang Jendral yang ditahan dan bertemu dengan bawahannya yang memeriksanya , namun diperlakukan penuh rasa hormat.
Kesaksian berikutnya adalah Ibu Katri yang mengisahkan penangkapannya di saat dirinya sedang hamil. Di awal kesaksiannya ia menyatakan tidak tahu menahu kegiatan politik. Suaminya anggota PKI, namun ia tidak terlibat organisasi tersebut. Ketika terjadi peristiwa 1 Oktober 1965, yang berujung pada penangkapan semua orang yang dicurigai sebagai anggota PKI, keluarganya tak luput didatangi tentara. Ibu Katri yang sedang hamil besar ketakutan karena tentara menginterogasi dirinya. Tidak hanya mengalami interogasi, Ia pun harus merasakan timah panas yang ditembakan kemukanya dari jarak dekat sehingga menyebabkan luka yang cukup parah. Pada saat itu, rumah sakit tidak berani melakukan tindakan medis walau mengalami luka parah karena dokter dan perawat takut menanggung akibat mengobati orang yang dituduh anggota PKI. Ibu Katripun harus berpindah rumah sakit ke Yogya bahkan sempat akan ke Solo, wilayah yang saat itu menjadi salah satu wilayah terpanas ketika meletus peristiwa 1965.
Tidak hanya pengobatan, ibu Katri pun mengalami penahanan yang berpindahpindah dari kota yang satu ke kota yang lain, hingga berakhir di penjara Bulu, Semarang.
DISKUSI
Sebagai acara terakhir, diadakan diskusi yang dipandu oleh Dr. Wijaya Herlambang dengan narsumber Prof. Saskia Wieringa (akademisi) dan Ibu Roichatul Aswidah (Komisioner Komnas HAM). Ibu Desti dari Komnas Perempuan batal hadir dikarenakan sakit. Diskusi berjalan cukup baik walau peserta hanya berjumlah 20 orang.
Ibu Roichatul Aswidah memaparkan bahwa Komnas HAM membuat laporan kejahatan Orde Baru, termasuk peristiwa 1965 pada tahun 2012. Hasil laporan ini sempat akan diserahkan ke Presiden Jokowi pada hari HAM, 10 Desember 2014 dan korban 1965 sempat bercerita kepada Jokowi setelah acara. Hingga sekarang tidak ada jaminan apa yang dilakukan oleh presiden yang baru terpilih walau mengatakan akan melakukan proses yudisial dan rekonsiliasi secara penuh. Ini harus ditagih walau sehari kemudian wakil presiden Jusuf Kalla mengatakan di Komnas HAM tidak akan meminta maaf atas kasus HAM di masa lalu.
Point utama yang disampaikan:
1. Adanya kemacetan dalam politik Indonesia. Saluran politik Indonesia berisi berbagai sampah sehingga International People Tribunal mendapatkan relevansinya.
2. Semua kejahatan yang terjadi di peristiwa 1965, meliputi semua kejahatan yang tercantum dalam pasal 9 dari UU no. 26 tahun 2000, meliputi semua kejahatan kemanusiaan seperti perkosaan, penyiksaan, perampasan kemerdekaan dll. Ini merupakan kesimpulan Komnas HAM.
3. Bagaimana mekanisme pengadilan jika para pejabat tinggi yang mengambil keputusan pada tahun 1965, telah meninggal semua. Ini penting untuk mengurai keterlibatan negara pada kasus 1965 dan mencegah kasus terulang. Narasumber kedua yaitu Prof. Saskia Wieringa mengungkapan bahwa Gerwani adalah organisasi yang sangat kuat dan berhasil dihancurkan oleh Suharto melalui propaganda orde baru. Kebohongan tersebut sangat berhasil karena walaupun sudah dibongkar namun tetap dipercaya masyarakat. Suharto membentuk opini masyarakat bahwa PKI merupakan dalang dan menyembunyikan perannya sendiri. Seorang peneliti yang meneliti testimoni untung dan Nyono menyatakan peran Suharto jauh lebih besar dari yang dipikirkan selama ini. Ada perintah anonim dari atasan Latief yaitu Umar Wirahadikusuma untuk tetap melakukan peristiwa pembunuhan para jendral , juga perintah anonim dr atasannya Untung. Pertanyaan terbesar dari siapakah muncul ide fitnah tersebut. Kemungkinan orang agama terlibat walau belum ada bukti karena dosa, fitnah dan seksualitas. Ada 2 tokoh agama yang sangat terlibat yaitu Romo Jesuit dari Katholik yaitu Peter Beik dan Tokoh dari NU yaitu Subhan. Mereka juga terlibat dalam membimbing mahaswa KAPI dan KAMI. Dari fitnah tersebut munculah pembunuhan massal.
Respon peserta diskusi mendukung diselenggarakan International People Tribunal 1965. Harapan mereka adalah rehabilitasi nama baik, menghilangkan stigma, kedudukan korban di mata hukum. Kendala yang dikuatirkan para peserta diskusi hambatan dari pemerintah dan lembaga-lembaga HAM tidak lagi menjad sesuatu yang menarik bagi media dan aktifis sendiri.
Pertanyaan yang berkaitan dengan website adalah bagaimana berkontribusi dan bagaimana metode penelitian yang digunakan panitia IPT-65.
PAMERAN POSTER
Sepanjang acara juga dilakukan pameran poster-poster yang mengambarkan bagaimana kejahatan kemanusiaan terjadi pasca 1 Oktober 1965. Sebanyak 15 poster yang diambil dari berbagai sumber termasuk fanpage Jagal, serta 3 buah poster karya ketua tim kreatif IPT 65 yaitu Dolorosa Sinaga dipasang dan menarik perhatian banyak peserta yang hadir.
This post is also available in: Indonesian