Dari Pemutaran Film dan Diskusi Senyap:

Pemerintah Belum Berniat Ungkap Kebenaran

Peringatan hari HAM sedunia kali ini (10/12/2014) dirayakan dengan sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu pemutaran film Senyap karya Joshua Oppenheimer di beberapa kota. Pemutaran film yang bercerita soal peristiwa 1965 ini diselenggarakan secara serentak di beberapa kota.

Acara tersebut mengingatkan kita bahwa pemerintah belum berupaya mengungkap kebenaran karena terus mempertahankan narasi sejarah versi Orde Baru. Negara juga belum meminta maaf secara resmi kepada korban yang dipenjara tanpa proses pengadilan dan keluarga jutaan korban yang terbantai. Alih-alih melakukan itu semua, negara malah membiarkan stigma “PKI” versi Orde Baru terus berkembang di masyarakat hingga hari ini, seperti yang terungkap pada adegan awal film Senyap. Digambarkan seorang guru sekolah dasar yang sedang menjelaskan peristiwa 1965, yang masih sama persis dengan yang diterima generasi yang tumbuh di masa Orde Baru.

Film kedua Joshua ini masih bertutur soal pembantaian di Sumatera Utara pada tahun 1965. Yang membedakan, Senyap menampilkan wawancara pelaku pembantaian dan keluarga korban yang dibantai dalam satu frame. Seperti filmnya yang terdahulu, Joshua mempertontonkan adegan-adegan yang memperlihatkan kebanggaan tanpa rasa sesal dari para pelaku yang merasa telah melakukan bela negara dari bahaya komunis.

Ketika Adi Rukun, tokoh utama yang gelisah mencari kebenaran seputar kematian kakaknya memberitahu bahwa ia adiknya Ramli yang dibantai warga kampung di tahun 1965, wajah para pelaku tetap tidak menunjukan rasa penyesalan. Wajah mereka datar. Seolah-olah mengisyaratkan informasi yang baru saja mereka terima tidak penting.

Setelah pemutaran film selesai, panitia meneruskan acara dengan diskusi mengenai film Senyap dan peristiwa 1965 itu sendiri. Narasumber pada diskusi tersebut adalah Prof. Dr. Saskia Wieringa dari Universitas Amsterdam, penulis buku Penghancuran Gerakan Perempuan dan Dr. Wijaya Herlambang yang bukunya berbicara tentang Kekerasan Budaya Pasca 1965.

Keduanya merupakan penggiat Pengadilan Masyarakat Internasional untuk kasus 1965. Dari mahasiswa tampil Bayu B. Febianto, mahasiwa sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI mengungkapkan bahwa pelanggaran HAM pada kasus 1965 sangat jelas terekam dalam film Joshua; Jagal dan Senyap. Ia juga menambahkan bahwa kebohongan dan propaganda masih terjadi di tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas.

Dipandu oleh Rancha Belnevan, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya UI, diskusi berlangsung cukup menarik. Prof. Dr. Saskia Wieringa mengungkapkan bahwa kaum intelektual khususnya Fakultas Psikologi UI dan UNPAD juga harus bertanggung jawab atas label-label yang disematkan kepada korban 65 yang dipenjara.

..pelanggaran HAM pada kasus 1965 sangat jelas terekam dalam film Joshua; Jagal dan Senyap.

¨Mahasiswa Indonesia harus paham sejarahnya dengan benar. Telah terjadi upaya yang sedemikian rupa dalam membalik fakta sejarah sehingga simpatisan PKI dan Gerwani menjadi korban pembantaian,¨ demikian tambah Wieringa.

Sementara Dr. Wijaya Herlambang menjelaskan bahwa kekerasan yang terjadi setelah peristiwa G30S dilegitimasi dengan kekerasan budaya yang berlangsung secara sistematis, massif dan massal. Disini juga terdapat peran CIA dan Ford Foundation melalui agen-agennya di Indonesia. Kekerasan budaya ini menyebabkan pembantaian massal yang menelan korban hingga 3 juta jiwa.

Pada kesempatan yang sama, Nursyahbani Katjasungkana juga memperkenalkan International People’s Tribunal 65 (IPT-65) ke para mahasiswa. Nursyahbani menjelaskan mengapa pengungkapan kasus 1965 harus dilakukan, siapa yang akan dituntut dalam Pengadilan Rakyat Internasional tersebut dan bagaimana proses pengadilan berlangsung.

This post is also available in: Indonesian