Pengungkapan Kebenaran dan Jalan Berkeadilan bagi Korban/Penyintas

Kejahatan Serius 1965-1966 dan sesudahnya

 

  1. Sidang Mahkamah Rakyat Internasional bagi kejahatan serius 1965-1966 (IPT 1965) dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang menyusul sesudahnya telah dilangsungkan di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015. Keputusan Panel Hakim juga sudah dibacakan oleh Hakim Zac Yaacob di Cape Town, Afrika Selatan, dan diumumukan melalui rekaman video pada 20 Juli 2016 di Jakarta dan Amsterdam. Ada sembilan butir keputusan Panel Hakim dan rekomendasinya. [1]Intinya bahwa aparat negara pada masa itu bertanggungjawab atas berbagai elemen kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk kemungkinan atas terjadinya kejahatan genosida.

 

  1. Mahkamah Internasional versi masyarakat sipil tersebut merupakan bagian penting dari pengungkapan kebenaran, baik di tingkat internasional maupun nasional dan berdampak signifikan bagi penyelesaian Holocaust 1965-1966 di Indonesia. Walaupun demikian beberapa tujuan yang telah dicanangkan IPT 1965, sebagaimana tampak dalam boks di atas, sebagian belum sepenuhnya tercapai. Jika mengacu pada tujuan IPT 1965 tersebut, bisa disimpulkan bahwa hanya tujuan pertama yakni pengakuan masyarakat sipil internasional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida yang berhasil dicapai melalui penyelenggaraan Mahkamah Internasional tersebut.

 

  1. Sementara itu berbagai kampanye dan advokasi lanjutan telah dilakukan oleh para korban/penyintas dan konstituen serta Sahabat IPT 1965 di Indonesia sejak Sidang Den Haag tersebut untuk memerangi impunitas dan menuntut perwujudan empat pilar hak-hak korban: hak untuk tahu/hak atas kebenaran; hak atas keadilan, hak atas reparasi, serta jaminan tak berulangnya kejahatan tersebut; telah menghadapi jalan buntu.

 

  • Komnas HAM tidak sudi menerima hasil-hasil Sidang serta Putusan Hakim IPT 1965 untuk ditindaklanjuti sebagai bahan penyelidikan lanjutan/baru. Berbagai temuan kuburan massal pun yang diserukan oleh 109 penandatangan Petisi 2 Mei 2016 dengan pokok tuntutan agar Komnas HAM, sesuai dengan mandatnya, untuk mengambil langkah-langkah hukum untuk memperoteksi lebih dari 120 titik temuan kuburan massal juga tidak diwujudkan. Bahkan pada instansi terakhir, bisa disimpulkan bahwa Komnas HAM telah tunduk pada kehendak pemerintah (Kejaksaan Agung dan Kementerian Politik Hukum dan HAM) untuk menempuh jalur penyelesaian non-yudisial (yang bukan merupakan mandat utamanya) dengan melompat pada ke ujung penyelesaian yakni dengan melakukan rekonsiliasi tanpa mempersyaratkan suatu proses pengungkapan kebenaran. Belakangan kebijakan Komnas HAM tersebut ditegaskan oleh penelitiannya sendiri dengan menyodorkan konsep ‘penyelesaian ekstra judisial’ (penyelesaian di luar proses hukum, baik penyelesaian judicial maupun yang non-judicial). Alih-alih menjadi motor bagi berakhirnya impunitas, Komnas HAM malah menjadi bagian di dalamnya. [Petisi 2 Mei 2016, lihat Disini]

 

  • Sikap pemerintah pun setali tiga uang. Meskipun salah satu penyelesaian atas kejahatan serius di masa lalu sudah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019 dalam wujud pembentukan semacam Komite Kepresidenan untuk Pengungkapan Kebenaran, namun rencana itu pun kandas dengan dibentuknya Dewan Kerukunan Nasional (DKN) di bawah Kementerian Politik Hukum dan HAM. DKN menjadi sebuah lembaga yang memanipulasi langkah-langkah rekonsoliasi menjadi “kerukunan”, dan menyingkirkan tahap penting bahkan prasyarat pengungkapan kebenaran di dalam proses penyelesaian menyeluruh.

 

  1. Berangkat dari langkah-langkah impunitas yang ditempuh KOMNAS HAM dan pemerintah tersebut, Panitia Kongres IPT 1965 bersama dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia telah menyelenggarakan serangkaian acara berupa pameran karya-karya seni rupa, peluncuran buku Laporan Akhir IPT65 dan Dari Beranda Tribunal, serta diskusi publik, pemutaran film dan dialog dengan beberapa bakal calon Komisioner. Dialog dan dengar pendapat umum tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi dan komitmen sebagai berikut:Mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk melakukan penyelidikan lanjutan/ baru berdasarkan hasil-hasil putusan dan rekomendasi Panel Hakim Pengadilan Rakyat Internasional yang diselenggarakan di Den Haag November 2015. Termasuk di dalamnya melakukan langkah-langkah hukum untuk mendata dan memproteksi temuan kuburan massal.
  2. Menuntut pemerintah untuk mewujudkan pembentukan suatau Komite Kepresidenan untuk Pengungkapan Kebenaran dan Reparasi Korban sebagaimana diamanahkan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019. Rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran adalah pengkhianatan terhadap hak-hak korban atas kebenaran dan keadilan.
  3. Mendesak para bakal calon anggota KOMNAS HAM berikutnya untuk menyuarakan aspirasi korban dan menunjukkan komitmennya untuk upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu khususnya Kejaahatan terhadap Kemanusiaan dan Genosida 1965-66 bahkan sejak awal masa pencalonan mereka hingga sepanjang masa tugas mereka apabila terpilih nanti.

 

Jakarta 19 Maret 2017

 

Panitia Kongres IPT65 (Dolorosa Sinaga 08118599136)

Komisi Nasional Anti Kekerasa tehadap Perempuan (Mariana Amiruddin 081210331189)

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (Asfinawati 08128218930)

____

[1] Lihat Final Report International Peop;e’s Tribunal 1965 (Ultimus, Bandung, 2017)

This post is also available in: Indonesian