Martin Aleida

Cinta itu dari mata turun ke hati. Permintaan maaf itu datang dari hati yang bersih dan kembali kehati. Kecuali ada sikap kepala batu yang menyelinap di sana, atau pandangan politik yang dengan sengaja ingin menafikan adanya korban ratusan ribu yang telah jatuh. Dan Jaksa Agung Republik Indonesia HM Prasetyo sedang menggunakan akal-akalan politiknya ketika dia mengatakan bahwa kejahatan kemanusiaan pasca Gerakan Tiga-puluh September (G30S) 1965 tidak bisa diselesaikan secara yudisial, karena sudah tak ada bukti.

Apa yang bergaung di dalam hati penyidik kejahatan ini ketika membaca berita tentang ditemukannya kuburan massal di berbagai daerah belakangan ini ? Apakah akal sehat, rasa ingin tahu, karena ini menyangkut jiwa manusia, sudah dikuburnya jauh-jauh di dalam pikirannya, sehingga, sebagai punggawa hukum, tidak terusik hatinya untuk bertanya siapa gerangan yang terkubur tanpa nisan tanpa doa di gundukan tanah negerinya ini?

Mereka yang berhati polos akan tertanya-tanya, mengapa kunci untuk membuka bukti kejahatan di masa lalu, yang telah diserahkan kepadanya oleh lembaga negara yang bernama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang kejahatan kemanusiaan tahun 1965, diabaikan, tidak dianggap. Padahal, laporan itu telah dipersiapkan bertahun-tahun dan menelan biaya milyaran rupiah.

Lewat berbagai buku yang ditulis oleh para peneliti, dunia sudah hafal bahwa dalam beberapa bulan, G30S – dilumatkan dalam beberapa jam saja. Telunjuk Angkatan Darat diarahkan kepada Partai Komunis Indonesia sebagai dalang gerakan itu. Dan paling sedikit 500.000 orang yang dituduh komunis serta para simpatisannya dibunuh dengan berbagai cara, sementara caranya cuma satu: tanpa pengadilan. Di antara mereka ada yang diarak dalam truk-truk tentara dibawa ke lubang-lubang yang mereka gali sendiri, ditembak, dijorokkan, dan ditimbuni.

Setelah menutup surat-surat kabar yang dituduh terlibat, Angkatan Darat hanya menyisakan media yang berada di bawah kontrolnya. Melalui media ini kebencian yang tak berdasar dihembus-hembuskan. Bahwa para jenderal dibunuh dan dilemparkan ke dalam lobang buaya diiringi tarian dan nyanyian suka-cita oleh perempuan-perempuan yang tergabung dalam Gerwani, sayap perempuan dari PKI. Mata para jenderal, setelah dibunuh, dicongkel, kemaluan mereka disayat-sayat dengan silet, dan rupa-rupa berita yang menyulut kemaraham publik.

Di berbagai daerah, kelompok-kelompok pemuda yang kena hasut bergabung dalam perburuan terhadap orang-orang merah. Korban digiring ke atas jembatan, ditembak atau dibacok, lantas dibuang ke bengawan. Di berbagai daerah, di sungai-sungai yang tak berjembatan, korban dibunuh dan dihanyutkan begitu saja di arus sungai.

Hati siapa yang tidak luka menyaksikan bencana kemanusiaan ini, kecuali mereka yang telah mengorbankan hati nurani untuk mencari pembenaran pada satu tujuan politik. Kekuasaan yang mewarisi sikap kepala batu di antara para pemimpinnya bersikeras untuk meniru unta di padang pasir, yang ngotot menyembunyikan kepalanya yang nista. Dan sebuah upaya untuk membentuk komisi pencari kebenaran telah ditolak.

Namun, kebenaran tidak musti bersinar di pusat kekuasaan. Di negeri yang dirundung tuduhan internasional tentang rentetan kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukannya, yang selalu dibantah pimpinannya, cahaya bisa muncul di sudut yang tak disangka-sangka.

Adalah seorang aktivis perempuan yang bergerak dalam perlindungan hak-hak asasi manusia di kota Palu, sebuah ibukota provinsi di Sulawesi. Nurlela A.K. Lamasitudju namanya. Dia menyelenggarakan pertemuan untuk menghormati para korban G30S di kota itu, tiga tahun lalu.

Di antara undangan duduk Walikota Rusdy Mastura. Nurlela bertanya sambil mengundang Walikota untuk mengatakan sesuatu kepada keluarga para korban. Rusdy Mastura tidak menyangka dia akan berhadapan dengan pertanyaan seperti itu. Dia berdiri, maju ke depan, dan serta-merta menyampaikan permintaan maaf terthadap pembunuhan yang terjadi di wilayah itu setengah abad yang lalu. Peristiwa yang telah menyebabkan kesengsaraan tak putus-putusnya di kalangan keluarga yang ditinggalkan.

“Sebagai seorang manusia, sebagai seorang walikota yang bertanggungjawab, saya meminta maaf,” katanya seperti yang dikutip New York Times baru-baru ini. “Mengapa begitu sulit untuk meminta maaf ? Mengapa begitu sulit untuk berkorban untuk mengakui bahwa ada yang mungkin salah dalam tindakan-tindakan yang telah kita lakukan? Kini saatnya kita bermaaf-maafan,” katanya.

Rusdy menjadi pejabat pemerintah yang pertama mengakui kejahatan yang telah dilakukan dan menjadi tanggungjawab Negaranya. Ketika masih duduk di sekolah menengah atas, sekitar 50 tahun lalu, kata Rusdy, dia ditugaskan untuk menjaga para tahanan politik supaya mereka tidak lari.

Mengapa pengakuan walikota ini tidak terus bergaung dan menyentuh hati mereka yang masih saja berlindung di belakang kepentingan politik ? Bersembunyi di balik kejahatan yang oleh dunia internasional sudah dicatat sebagai episode paling berdarah sepanjang Perang Dingin ? Tapi, bagaimanpun, sebuah palu kebenaran sudah berdentang di Palu.

Lalu ribuan kilometer dari sini, di Luneburg –sebuah kota kecil di Utara Jerman, seorang kakek berusia 94 tahun berjalan dengan tongkatnya menghadapi tegaknya kebenaran. Oskar Gröning, adalah seorang anggota SS Nazi yang tengah mempertanggungjawabkan kejahatannya dalam membantai enam juta orang Yahudi. Kejadian mengerikan itu terjadi 70 tahun lalu. Oskar dihukum empat tahun.

Waktu itu dia bertugas menyeleksi bawaan orang Yahudi yang dikirim ke kamp Auschwitz-Berkenau dan menyita uang yang mereka bawa. Dia mengaku tahu bahwa tempatnya bertugas adalah sebuah kamp yang mematikan. Di depan meja hijau, Oskar mengaku secara moral terlibat dalam pembinasaan jutaan orang Yahudi.

Menyesakkan memang menyaksikan kakek yang renta itu harus mempertanggungjawabkan peranannya dalam satu episode sejarah yang paling berdarah. Tapi, ini penting, semoga dia juga sadar, bahwa kejahatan tak boleh melenggang menjauh dari hukuman, dari peradaban. Kendati sudah tujuh puluh tahun lalu!

Sementara di Indonesia ini, kejahatan kemanusiaan serupa hendak dibenamkan kekuasaan dan para pemegang senjata yang telah ambil bagian, kalau tidak jadi otak kejahatan kemanusiaan terbesar sejak Nusantara terbentang. Kebenaran tentang apa yang terjadi, siapa pelaku dan korban dan bagaimana kejahatan tak terlupakan itu terjadi, harus diuraikan.

Lewat dinding bisu ini saya berseru kepada ahli hukum yang sudah bekerja maupun masih menganggur atau belum lulus kuliah bersatulah! Ajak rekan-rekan seangkatanmu dari disiplin ilmu lain, yang relevan, untuk membentuk Pengadilan Rakyat ala International People’s Tribunal 1965 di Belanda yang bakal berlangsung November tahun ini. Untuk menyelidiki, menyidik dengan merujuk temuan Komnas HAM.

Atau mulai penyidikan terhadap mereka yang telah bersaksi dengan pongah di film Senyap atau Jagal. Biangnya sudah mati, tetapi yang tangannya berdarah masih menari. Ini bukan dendam, tapi bangsa ini memang perlu disadarkan bahwa kejahatan kemanusiaan harus menemukan jalan buntunya. Dan mengaku salah secara moral adalah juga sumbangan si pesakitan untuk kebangkitan bangsanya.

This post is also available in: Indonesian