Sedangkan, penuntasan kasus HAM masa lalu merupakan salah satu dari 42 agenda prioritas reformasi hukum dan perlindungan HAM.
“Namun setelah dua tahun memimpin, tidak ada langkah serius Jokowi untuk menuntaskan semua kasus-kasus tersebut,” ujar Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani di Kantornya, Jalan Hang Lekiu II, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (23/10/2016).
Dia memberikan contoh kasus HAM misalnya, terkait kasus 1965-1966, inisiatif penyelesaian dengan jalur nonyudisial juga tidak jelas konsep dan arahnya.
“Yang terjadi upaya-upaya kelompok-kelompok masyarakat untuk mengadvokasi penuntasan kasus 1965 justru dikriminalisasi,” tuturnya.
Dirinya membeberkan, setidaknya terdapat delapan pembubaran kegiatan kebebasan berekspresi karena dianggap menyebarkan paham komunisme.
“Jokowi, melalui Sekretariat Negara bahkan tidak mampu menjaga dokumen yang sangat berharga terkait pembunuhan Almarhum Munir,” imbuhnya.
Melalui putusan Komisi Informasi Publik (KIP) diketahui, dokumen tim pencari fakta (TPF) kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib yang sudah diserahkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dinyatakan hilang.
“Jangankan menuntaskan, menjaga dokumen saja, negara tidak mampu,” tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, Jokowi menyadari penuh bahwa proses peradilan militer adalah bentuk ketidakadilan dan perlakuan yang tidak setara di muka umum.
Karena itu, Jokowi berjanji akan merevisi Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran HAM.
“Akan tetapi, dua tahun memimpin indikasi reformasi peradilan militer tersebut tidak pernah terjadi,” katanya.
Dia mengatakan, Jokowi justru melalui para menterinya memberi previlege militer dalam berbagai kegiatan operasi militer, selain perang, melalui payung hukum, tercatat 35 kesepakatan bersama alias Memorandum of Understanding (MoU) dengan berbagai kementerian.
“Pelibatan semacam ini secara sistemik dapat merusak sistem keamanan dan penegakan hukum,” ujarnya.
(maf)
Sumber: SindoNews
This post is also available in: Indonesian