Oleh: Rasyid Ridha Saragih

Runtuhnya pemerintah otoriter Orde Baru menjadi berkah bagi kondisi kebebasan sipil. Namun dalam perjalanannya, kondisi tersebut kini sedang dipertaruhkan. Bila dulu banyak dari tindakan opresi dilakukan secara vertikal oleh Negara terhadap masyarakat, opresi atas kebebasan sipil kini banyak dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok masyarakat lainnya.

Opresi tersebut salah satunya termanifestasi dalam bentuk tindakan persekusi. Secara etimologi, belum ada definisi bersama atas istilah ini. Namun dalam diskursus hak asasi manusia, persekusi dimaknai sebagai tindakan penganiayaan, teror, dan serangan yang bersifat sistematis terhadap seseorang atau kelompok tertentu, karena alasan suku, agama, ras, atau pandangan politik (Rempell: 2013).

Koalisi Anti Persekusi dan SAFEnet Indonesia mencatat setidaknya ada sekitar 105 kasus persekusi yang terjadi selama tahun 2017. Mayoritas dari kasus persekusi tersebut, didasarkan pada alasan identitas agama dan pandangan politik. Banyak dari para korban, mengalami teror langsung secara fisik dan psikis, kehilangan pekerjaan, bahkan terusir dari tempat tinggalnya.

Meski kejadian persekusi ini sebenarnya kerap terjadi tiap tahun, seperti yang menimpa kelompok Ahmadiyah di Banten, Syiah di Madura, atau kelompok LGBT di Yogyakarta, namun intensitas kasus tersebut dalam dua tahun terakhir semakin meninggi. Sebagian kalangan mensinyalir, naiknya intensitas kasus persekusi merupakan dampak pasca terciptanya polarisasi politik dan agama di tahun 2017.

Baru-baru ini misalnya, pada akhir November 2017 kasus persekusi dengan tuduhan penodaan agama, menimpa Pasutri (pasangan suami istri) bernama Alnoldy Bahari dan Millah di Pandeglang. Persekusi tersebut berawal dari masalah Pilkades yang penuh dengan kampanye hitam dan pendelegitimasian, hingga kemudian berujung pada kriminalisasi terhadap Pasutri tersebut.

Tidak hanya dikriminalisasi lewat pasal penodaan agama dan ujaran kebencian berbau SARA (Pasal 156a KUHP & Pasal 28 ayat (2) UU ITE), Pasutri yang sehari-hari adalah wiraswasta dan penulis buku tersebut diusir dari kampungnya, rumah dan barangnya dijarah. Hingga hari ini, Alnoldy Bahari masih menjalani sidang di Pengadilan Negeri Pandeglang.

Persekusi dan opresi ini terus berkembang dan menyebar pola-polanya, yang salah satunya melalui tindakan deligitimasi. Tindakan deligitimasi dilakukan dengan cara melucuti kredibilitas, struktur rasio dan simbolnya, hingga subyek yang terdeligitimasi tidak mendapatkan pengakuan utuh dari masyarakat.

Berbeda dari deligitimasi politis pada beberapa momen revolusi atau reformasi yang didasarkan pada pertimbangan rasionalitas, deligitimasi dalam konteks persekusi dan opresi demokrasi didasarkan pada sentimen suku, agama, ras, dan opini politik. Demi memperlancar upaya ini, maka kekuatan persebaran wacana menjadi pertimbangan utama untuk mendeligitimasi. Dalam dunia yang kini sudah serba digital, maka peran cyber army menjadi sangat siginifikan.

Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis agama terhadap Tempo misalnya, adalah bagian daripada upaya awal persekusi terhadap media pers yang didasarkan pada sentimen pandangan politik. Tujuannya adalah untuk mendeligitimasi simbol pers pada diri Tempo, dan mengeksklusinya dari medan demokrasi di Indonesia.

Simulakra Persekusi

Maraknya tindakan persekusi yang terjadi selama dua tahun terakhir, sebagian besar diantaranya disebabkan oleh persebaran diskursif yang tidak sehat di dunia digital. Meskipun situasi diskursif mengandaikan kondisi nalar rasional-kritis itu aktif dan eksis, dogma yang terlanjur mengakar di pikiran subyek, menafikan hal tersebut.

Pada dasarnya, informasi yang bersebaran di media sosial semestinya ditangguhkan terlebih dahulu kebenarannya, karena ia mesti diverifikasi ulang. Namun banjir informasi yang meluap-luap ini, mengakibatkan masyarakat kerap lupa untuk memverifikasi dan mengaktivasi nalar kritis.

Kondisi kecenderungan penerimaan penuh informasi yang tertampil di sosial media -atau dunia maya-, yang kemudian hal tersebut disebut sebagai situasi simulakra.

Situasi simulakra adalah situasi dimana realitas bayangan yang sebenarnya bersifat simulatif -yang dalam hal ini diekstrasi, disimulasikan dalam bentuk informasi digital-, saling melipat antar satu dan lainnya, dan menciptakan suatu dunia tersendiri dan diterima begitu saja. Ia tidak lagi menjadi situasi maya, namun menjadi situasi nyata itu sendiri dan seolah menjadi co-exis.(Baudrillard: 1981).

Dalam semesta simulakra persekusi, fabrikasi informasi yang sedemikian rupa tersebut menjadi semacam paradoks. Ia yang awal mulanya eksis dalam situasi maya, kemudian diduplikasi dan mewujud dalam bentuk teror dan kekerasan di situasi nyata, dan ia kemudian difabrikasi ulang di medan maya, dan diwujudkan kembali dalam situasi nyata. Semuanya terus berulang hingga menumpuk, yang mengakibatkan wajah kebenarannya terkubur.

Simulakra persekusi itu sendiri eksis dan mewujud dalam situasi yang berbayang: antara nyata dan tidak nyata. Sebagai sebuah suatu “pengetahuan”, simulakra persekusi mengandaikan subyek-subyek yang berhasrat atas heroisme narasi, yang tak perlu lagi dipertanyakan kembali kebenarannya.

Dalam konteks alam demokrasi, fabrikasi informasi yang penuh dengan kekerasan dan juga kepalsuan, beriringan seiring dengan naiknya minat dan ekspresi kebebasan berpendapat serta berpolitik masyarakat. Namun hari ini, fabrikasi informasi tersebut bagaikan barang imitasi atas pengetahuan -yang dianggap kebenaran absolut-. Sialnya, lewat argumentasi kebebasan, fabrikasi informasi palsu dan keras tersebut pada tingkat kongkritnya digunakan untuk menghancurkan fundamen kebebasan orang lain yang dianggap tak sepaham dan menyimpang.

Pada posisi ini, bila masyarakat terus menerus mengabsenkan nalar diskursif kritisnya -yang berimplikasi pada nihilnya kebenaran yang objektif-, dan di satu sisi tindak-tunduk persekusi semakin menjadi-jadi, maka demokrasi itu sendiri sebenarnya sedang ditikam dan diopresi oleh anak kandungnya sendiri.

Walhasil, dalam situasi penuh pertikaian yang tak serba menentu dan hingar bingar ini, dapat membuat situasi yang serba frustasi. Pada situasi tersebut lah, hero-hero akan bermunculan untuk kemudian membangkitkan zombie lama yang bernama fasisme dan otoritarianisme, demi mendisiplinkan situasi serta subyek-subyek di dalamnya. []

Sumber: Medium.Com

This post is also available in: Indonesian