Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dalam suratnya yang disampaikan kepada Presiden Joko Widodo menyatakan keprihatinan atas berkembangnya isu “anti komunis” yang sangat eksesif belakangan ini.
“Kami sangat prihatin mengamati beberapa fenomena pelarangan mempelajari ideologi tertentu seperti komunisme, marxisme dan lainnya, penyisiran buku yang berekses pada penyitaan beberapa buku di toko-toko buku serta pembubaran beberapa pertemuan dan atau diskusi terkait dengan isu-isu tersebut,” demikian surat PGI tertanggal 24 Mei 2016.
Menurut PGI, fenomena ini seperti hendak mengembalikan kita kepada suasana Orde Baru, yang berupaya meredam segala bentuk ideologi yang tidak sejalan dengan selera penguasa, dan meredam segala bentuk diskusi dan perbincangan yang berbeda dengan tafsir tunggal penguasa mengenai sejarah bangsa kita, khususnya yang terkait dengan Peristiwa 1965.
“Fenomena sebagaimana kami sebutkan di atas, merupakan ekses dari pernyataan dan sikap beberapa pejabat negara dan aparat kepolisian dan tentara yang, disadari atau tidak, telah menimbulkan keresahan tersendiri di tengah masyarakat. Kami menilai keadaan ini sebagai langkah mundur dari cita-cita Reformasi yang sama-sama kita perjuangkan. Bahkan kami menilai, ada upaya untuk mengkondisikan masyarakat untuk berhenti berpikir dan hanya akan mengaminkan apa yang penguasa atau “main stream” katakan baik. Dengan kondisi sedemikian, maka tujuan pembentukan Negara RI, sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan bangsa, sulit untuk dicapai. Yang terjadi adalah sebaliknya: proses pembodohan,” demikian surat yang ditandatangani oleh Ketua Umum PGI Pdt. Dr. Henriette Hutabarat-Lebang dan Sekum PGI Pdt Gomar Gultom, MTh ini.
Dalam rangka itulah, PGI memohon kepada Presiden Joko Widodo untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut; pertama, menghentikan segala upaya oknum-oknum tertentu yang berusaha menghidupkan isu “bahaya laten PKI”, dengan menggiring masyarakat kepada kekuatiran dan ketakutan yang tak berdasar. PGI malah mendorong Pemerintah dibawah pimpinan Presiden Joko Widodo, untuk terus memfasilitasi upaya pelurusan sejarah terkait dengan Peristiwa 1965, agar perjalanan bangsa kita ke depan tidak selalu dibayangi oleh ketidak-pastian seperti selama ini. Ketidakpastian sedemikian ini mudah dimanfaatkan untuk membangunkan isu-isu yang tak membangun seperti fenomena sekarang ini.
Kedua, menghentikan segala bentuk tindakan pelarangan, sweeping, penyitaan barang cetakan seperti buku tanpa melalui proses peradilan. Tindakan semena-mena demikian adalah sama dengan pengambilalihan hak milik pribadi secara sewenang-wenang yang tidak memiliki dasar hukum. Olehnya PGI sekaligus juga memohon perhatian Presiden Joko Widodo untuk menindak aparat atau kelompok masyarakat yang melakukan tindakan-tindakan sedemikian.
Ketiga, seandainya pun kita tidak setuju dengan sebuah gagasan dan ideologi tertentu, sebaiknya hal itu dihadapi dengan juga mengajukan argumentasi yang rasional. Buku-buku tidak harus diberangus, tetapi diimbangi dengan menulis dan menerbitkan buku yang membuka dialog atau menangkalnya dengan cara yang cerdas, rasional dan disertai argumentasi yang mudah dipahami masyarakat. Hal ini tentu sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PPU/-VIII/2010 tentang pembatalan PNPS No. 4 tahun 1963 tentang pelarangan Buku yang menyatakan, ketentuan Pasal 1 hingga Pasal 9 UU No. 4/PNPS/1963 adalah inkonstitusional, bertentangan dengan UUD 1945.
Keempat, menghentikan segala bentuk pembubaran paksa dan apalagi yang disertai kekerasan atas kehendak masyarakat untuk berkumpul dan berdiskusi, sebagai bagian dari tugas negara untuk menjamin hak-hak masyarakat untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat, sebagaimana diamanatkan dalam UUD I 945 pasal 28.
Kelima, ketimbang menyibukkan diri dengan isu yang sedemikian, PGI menghimbau pemerintahan dibawah pimpinan Presiden Joko Widodo untuk memberi perhatian vang lebih serius atas radikalisme agama dan geliat ekonomi yang didominasi oleh kerakusan. Hal-hal ini dapat menjauhkan kita dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
This post is also available in: Indonesian