Oleh Muhamad Aras*
Sumber : Solidaritas.net, 31 Juli 2016
Pada 20 Juni 2016 majelis hakim Internationa People’s Tribunal 1965 (IPT 65) telah memutuskan pembunuhan massal 1965 sebagai genosida dan membacakan 10 tindak kejahatan hak asasi manusia (HAM) yang terjadi saat itu. Salah satu tindak kejahatan tersebut adalah menebar propaganda palsu sebagai awal memobilisasi pembantaian pimpinan, anggota, simpatisan dan yang diduga bersimpati dengan gagasan komunisme.
Dalam versi Orde Baru, penangkapan dan pembunuhan enam jenderal dan satu letnan dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) secara sadis. Jenderal Suharto dimunculkan sebagai pahlawan yang berjasa menghancurkan kudeta tersebut.
Hakim Ketua Zak Yacoob menyebutkan kejahatan kemanusiaan dilakukan secara sistematis, diam-diam tapi meluas. Sebuah kampanye propaganda dengan menyebarluaskan berita bahwa para jenderal yang disiksa, matanya dicungkil dan dipotong oleh anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan PKI. Propaganda ini menjadi alasan mobilisasi kebencian untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh komunis. Suharto mengeluarkan Surat Perintah Kep-1-KOPKAM/12/1965. Tentara menggorganisir kelompok-kelompok pemuda dan paramiliter untuk melakukan pembunuhan sesuai dengan daftar anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diberikan. Tidak salah jika pembantaian 65 dinyatakan sebagai Genosida.
Dampak propaganda palsu ini terus berlanjut bahkan setelah tuntasnya penghancuran secara fisik (genosida) politik kiri. Genosida politik itu juga menghancurkan kekuatan politik buruh, termasuk Sentra Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang beranggotakan 3,3 juta buruh. Selama 32 tahun berkuasa, rezim Orba menyebarkan ketakutan dan stigma negatif terhadap gerakan kiri yang secara efektif dilakukan melalui film di media televisi. Setiap tahun sejak 1984 film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI ditayangkan dan wajib tonton.
Pemerintah juga melarang pendirian organisasi-organisasi independen termasuk serikat buruh. Organisasi yang diizinkan berdiri hanya organisasi yang berada di bawah kendali pemerintah, seperti Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Pembangkangan terhadap kebijakan ini akan dengan mudah dituduh sebagai komunis yang dikonotasikan tidak beragama dan makar.
Di sisi lain, penanaman modal asing (PMA) dilaksanakan yang dibuka dengan investasi Freeport pada tahun 1967 di Papua. Meski awalnya sempat ditolak dengan meletusnya Malari 1974, modal Jepang masuk juga dan berjaya di sektor otomotif. Tentu saja investasi itu menumbuhkan pula kebutuhan buruh berserikat untuk memperjuangkan kesejahteraannya.
Kesejahteraan itulah yang diinginkan oleh Marsinah, seorang buruh perempuan yang bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS), di Porong, Sidoarjo yang kini sudah terbenam lumpur. Pada 3-4 Mei, Marsinah dan rekan-rekannya mengorganisir pemogokan menuntut kenaikan upah dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 dengan mengacu pada surat edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992. Satpam pabrik meneriaki mereka “PKI, PKI, PKI!” 13 rekan Marsinah dibawa ke Kodim Sidoarjo, dianggap menghasut. Tanggal 5 Mei setelah memberanikan diri ke Kodim menanyakan nasib rekan-rekannya, Marsinah hilang dan ditemukan telah menjadi mayat pada 8 Mei 1993. Contoh lain, Muchtar Pakpahan, aktivis buruh, yang dipenjara karena mendirikan serikat buruh independen, memimpin aksi unjuk rasa buruh pada 1994 dan dituduh subversif pada 1996.
Setelah Suharto jatuh, barulah ada kebebasan mendirikan serikat buruh independen. Berbagai macam serikat buruh didirikan. Namun, masih selalu ada tuduhan komunis terhadap serikat buruh yang melakukan perlawanan terhadap penindasan, apalagi jika perlawanan tersebut mengambil jalan politik. Sekalipun sudah mulai muncul gerakan buruh berpolitik, namun masih sebatas di bawah syarat-syarat yang diizinkan oleh elit politik yang ada. Salah-salah malah bergandengan tangan dengan unsur-unsur politik Orbais yang memiliki andil dalam menghancurkan gerakan buruh di masa lalu.
Propaganda palsu versi Orde Baru masih banyak dipercaya, karena negara tak pernah meminta maaf, apalagi menegakan hukum serta merehabilitas korban.
* Penulis: Mahasiswa jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Tadulako
This post is also available in: Indonesian