Catatan Editorial
Laporan ini dibuat berkaitan dengan keikutsertaan para hakim dalam sidang yang digelar di Nieuwe Kerk, Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015 lalu.
Sebelumnya, beberapa bulan menjelang sidang, mereka telah menerima dakwaan dan catatan penuntut, dan juga serangkaian bahan sebagai latar belakang tuntutan. Selama empat hari sidang, mereka mendengar tuntutan yang disampaikan para penuntut secara lisan, kesaksian, dan jawaban pertanyaan dari 20 saksi (diantaranya ada yang memberi kesaksian mereka dengan identitas tersembunyi dengan memakai nama samaran atau di belakang layar tertutup).
Para hakim juga menerima ratusan halaman dokumen sebagai bukti.
Penuntut menyampaikan kasus mereka dalam sembilan tuntutan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan:
- Pembunuhan
- Perbudakan
- Pemenjaraan
- Penyiksaan
- Kekerasan seksual
- Penganiayaan
- Penghilangan secara paksa
- Propaganda kebencian
- Keterlibatan negara-negara lain
Setelah sidang, semua bahan di atas dan bahan-bahan terkait telah ditelaah, dan menjadi dasar dari laporan ini, yang dipersiapkan dan diedit oleh Helen Jarvis dan John Gittings, dengan bantuan dari Shadi Sadr, Mireille Fanon-Mendes France dan Zak Yacoob, yang juga memberi pertimbangan hukum untuk laporan ini. Laporan ini dimaksudkan untuk memperkuat dan memberi pembenaran yang beralasan untuk kesimpulan para hakim, yang disampaikan di sesi terakhir persidangan pada 13 November 2015 (lihat A3).
Laporan ini dimulai dengan menilik pertanyaan menyeluruh tentang pertanggungjawaban untuk pembunuhan massal dan kejahatan lain, dan juga membahas butir-butir yang dikemukakan penuntut dan dokumen amicus curiae yang diserahkan pada Tribunal, diakhiri dengan serangkaian temuan dan rekomendasi.
Namun patut disayangkan pemerintah Republik Indonesia tidak menyambut undangan untuk mengikuti sidang, atau menyerahkan pernyataan kepada Tribunal, sama seperti absennya wakil dari pemerintah-pemerintah Amerika Serikat, Ingrris, dan Australia, yang juga diundang.
Meski demikian, para hakim tetap menyambut baik kesediaan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Nasional Perempuan untuk berbicara di persidangan. Selain itu, perlu dicatat juga bahwa Indonesia telah mengambil beberapa langkah penting, walau tidak menyeluruh, untuk menanggapi permasalahan ini sejak Tribunal diadakan, seperti tercantum di Appendix D2.
Daftar istilah dan singkatan
Baperki: Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia
BTI: Barisan Tani Indonesia
Buterpra: Bintara Urusan Teritorial Pertahanan Rakyat
DPR: Dewan Perwakilan Rakyat
ET: Eks tahanan politik
G 30 S: Gerakan 30 September 1965
Gestapu: Gerakan 30 September 1965
Gerwani: Gerakan Wanita Indonesia
Inrehab: Instalasi Rehabilitasi
Lubang Buaya: Sumur di lapangan udara Halim Perdana Kusuma Angakatan Udara Tentara Nasional Indonesia di Jakarta, tempat ditemukannya mayat para perwira yang diduga dibunuh dan dibuang pada 30 September hingga 1 Oktober 1965.
- SIDANG IPT
A1. Pengantar tentang IPT oleh Komite Penyelenggara
IPT 1965 didirikan untuk mengakhiri impunitas terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan (CAH atau crimes against humanity) yang berlangsung di Indonesia selama dan pasca 1965. Kejahatan kemanusiaan ini hampir luput dari sorotan dunia internasional, dan berupaya dibungkam di Indonesia.
Namun film karya Joshua Oppenheimer berjudul ‘The Act of Killing’ atau Jagal pada 2012 telah mengusik kebungkaman internasional ini.
Tepatnya pada Maret 2013, film dokumenter ini dirilis di Den Haag, Belanda, sebagai bagian dari Festival Movies That Matter. Usai pemutaran film tersebut, panitia mengadakan diskusi yang dihadiri 35 orang eksil (Termasuk diantaranya Joshua Oppenheimer, seorang mantan anggota Komnas HAM, beberapa peneliti dan aktivis.)
Salah satu topik bahasan antara lain, bagaimana caranya mengakhiri impunitas seputar CAH yang dilakukan pasca 1 Oktober 1965? Sementara itu, laporan mengesankan dari Komnas HAM tahun 2012 tentang apa yang terjadi selama dan sesudah tahun 1965 tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia.
Kegagalan pemerintah untuk berusaha mencari solusi nasional untuk kejahatan-kejahatan ini membuat para peserta sidang IPT mengambil keputusan bahwa tekanan internasional diperlukan untuk melawan impunitas yang selama ini dinikmati oleh pelaku kejahatan-kejahatan tersebut, sekaligus memecah kebungkaman dan stigma yang selama ini memperdayai periode sejarah ini.
Wujud terbaik untuk kampanye ini—dalam pemikiran penyelenggara—adalah untuk menggelar Tribunal Rakyat Internasional atau IPT.
Selanjutnya pengacara Hak Asasi Manusia Nursyahbani Katjasungkana ditunjuk menjadi koordinator umum IPT.
Setelah itu, tim kerja skala kecil terbentuk, konsep mulai disusun, Profesor Saskia Wieringa ditunjuk sebagai koordinator riset, dan juga beberapa sekretariat dan tim media di bawah Lea Pamungkas didirikan di Indonesia dan di Belanda.
IPT 1965 kemudian menjadi badan hukum (dalam bentuk yayasan) pada 18 Maret 2014. Tahun berikutnya, para penuntut dan beberapa orang yang berpotensi duduk di panel hakim mulai dihubungi, tuntutan dipersiapkan, dan sidang digelar. Secara umum, Yayasan IPT 1965 bertujuan untuk memperbaiki sejarah yang cenderung menyepelekan, mentolerir, menyisihkan, dan mengaburkan kejahatan-kejahatan ini.
Terutama terkait pemerkosaan, kejahatan seksual, dan penyiksaan terhadap para tahanan perempuan.
Penderitaan akibat pencabutan sewenang-wenang paspor ribuan Warga Negara Indonesia yang menolak untuk mendukung Pemerintahan Orde Baru seharusnya diakui sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Tujuan Yayasan IPT 1965 adalah:
1.Memastikan pengakuan nasional dan internasional untuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia selama dan sesudah ‘peristiwa 1965’, dan juga keterlibatan beberapa pemerintah asing dalam kampanye teror Angkatan Bersenjata Republik Indonesia melawan tersangka pendukung Gerakan 30 September 1965
2.Mendorong perhatian nasional dan internasional yang konsisten untuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia selama dan sesudah pembantaian 1965, dan perhatian untuk pemerintah yang tetap tidak aktif untuk menuntut para pelaku, antara lain dengan mengundang Pelapor Khusus PBB untuk urusan HAM masa lalu (United Nation Special Rapporteur on Past Human Rights Violations).
3. Dalam jangka panjang:
a) Membantu dalam proses pemulihan untuk para korban – dan keluarga mereka – genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia selama dan sesudah 1965. b) membantu untuk menciptakan iklim politik di Indonesia yang mengakui dan menghormati HAM. c) mencegah terulangnya kekerasan terhadap korban genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia selagi dan sesudah 1965, dan memastikan diadakannya persidangan yang adil untuk para pelaku.
4. Menyediakan data untuk publik tentang genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia pasca 1 Oktober 1965.
5. Menebarkan harapan bahwa keadilan itu tetap bisa terwujud, dan kejahatan-kejahatan seperti ini tidak akan pernah terulang kembali, serta membantu dalam mewujudkan iklim politik di Indonesia yanng memberikan kekuatan hukum, pengakuan, dan penghormatan terhadap HAM.
Persiapan untuk Tribunal tanggal 10-13 November di Den Haag, telah dilaksanakan sejak 2013 di Belanda dan Indonesia.
Pada 2015, Indonesia memperingati 50 tahun kebungkaman terkait kejahatan-kejahatan ini.
Kurang lebih sebanyak 100 relawan membantu penyelenggaran tribunal ini, termasuk peneliti dari segala penjuru dunia, tim media di Jakarta dan Belanda, dan mahasiswa Indonesia dari berbagai negara di Eropa.
Badan-badan formal dari Yayasan IPT 1965 adalah Dewan Yayasan, Komite Penyelenggara, dan Komite Pengarah Internasional. Saran politik dan hukum yang amat berharga juga diberikan oleh Dewan Penasehat.
Berikut ini adalah daftar badan-badan di atas:
Dewan Yayasan IPT 1965 (Saskia Wieringa-ketua, Sungkono dan Sri Tunruang-bendahara).
- Komite Penyelenggara dikoordinir oleh Nursyahbani Katjasungkana (koordinator umum), dengan anggota-anggota Sri Tunruang (keuangan), Artien Utrecht, Ratna Saptari, Sri Lestari Wahyuningrum (sekretariat Jakarta), Helene van Klinken (sekretariat Belanda), Annet van Offenbeek (keamanan), dan Saskia Wieringa (penelitian).
- Komite Pengarah Internasional adalah Saskia Wieringa (ketua), Artien Utrecht (sekretaris), dengan anggota Ratna Saptari (Belanda), Sri Tunruang (Jerman), Jess Melvin (Australia), Sri Lestari Wahyuningrum (Indonesia), Annie Polman (Australia), Dolorosa Sinaga, Reza Muharam, dan Wijaya Herlambang (Indonesia), Mulyandari Alisah (Perancis), Soe Tjen Marching (Inggris).
- Komite Penyelenggara ditangani oleh dua sekretariat: 1) Di Indonesia/Jakarta dan 2) di Belanda/Den Haag. Sekretariat bertanggung jawab untuk koordinasi kelompok-kelompok kerja berikut:
- Media dan komunikasi ( Lea Pamungkas – koordinator), Aboeprijadi Santoso, Joss Wibisono, Arif Kurnia, Theo Pramono, Koes Komo, Linawati Sidarto, Yusuf Sudrajat, Henri Ismail, Victor, Lexy, Eka Hindra, Olien Monteiro.
[B] Kampanye dan media kreatif: Dolorosa Sinaga (koordinator), Indra Porhas Siagian, Agnes Indraswari. - Riset dan koleksi data (Nurshaybani Katjasungkana, Saskia Wieringa-koordinator), Sri Lestari Wahyuningrum, Jess Melvin, Annie Pohlman, Wijaya Herlambang dan Ratna Saptari.
- Media dan komunikasi ( Lea Pamungkas – koordinator), Aboeprijadi Santoso, Joss Wibisono, Arif Kurnia, Theo Pramono, Koes Komo, Linawati Sidarto, Yusuf Sudrajat, Henri Ismail, Victor, Lexy, Eka Hindra, Olien Monteiro.
– Komite Persiapan Tuntutan: Nursyahbani Katjasungkana (koordinator), Antarini Arna, Rinto, Todung Mulya Lubis, Agung Wijaya, Sri Suparyati, Bahrain dan Alvon Kurnia Palma.
Sekretariat memelihara kontak dengan koordinator negara, Komite Pengarah Internasional dan Dewan Penasehat.
Koordinator negara: Indonesia: YLBHI (sekretariat Indonesia)
Belanda: Stichting IPT 1965 (sekretariat Beland)
Australia: Jess Melvin dan Annie Pohlman
Inggris: Soe Tjen Marching
Jerman: Sri Tunruang (Aken), Arif Harsana (Munster)
Swedia: Tom Iljas
Perancis: Mulyandari Alisyah
Belgia: Elisabeth Ida Mulyani
Kanada/AS: Ayu Ratih
Skotlandia: Maria Pakpahan
Muangthai: Dewi Ratnawulan
Tim penuntut terdiri dari:
1. Dr. T Mulya Lubis sebagai jaksa ketua. Ia adalah anggota dewan Lembaga Bantuan Hukum dan pengacara HAM terkemuka di Indonesia
2. Antarini Arna, SH,LLM. Aktivis HAM.
3. Sri Suparyati, anggota KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
4. Bahrein van Halen, SH, MH, anggota LBH.
5. Uli Parulian Sihombing, LLM, direktur eksekutif Indonesian Legal Resource Center.
6. Agung Wijaya, SH
Silke Studzinsky (ahli kekerasan seksual, pengacara di Tribunal Kamboja 2008-2013).
Panitera: Szilvia Csevar (Netherlands Lawyers Association for Human Rights), dibantu oleh Sunil Pal dan dua pemagang.
STRUKTUR SIDANG
Sidang digelar di Nieuwe Kerk di Den Haag pada 10-13 November 2015. Sidang dibuka oleh koordinator umum IPT 1965, Nursyahbani Katjasungkana. Setelah itu, Jaksa Ketua Todung Mulya Lubis membaca pernyataan pembukaannya dan pengantar dari dakwaan. Panitera membuka setiap sesi, dan mengundang wakil dari pemerintah RI untuk duduk di kursi yang sudah disediakan. Sidang ditutup oleh ketua Yayasan IPT 1965 Saskia Wieringa.
PROGRAM TRIBUNAL
Hari 1: Pembukaan, 10 November 2015
DAKWAAN 1: Pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Penuntut: Uli Parulian Sihombing
- Saksi mata Martono
- Saksi ahli Ferry Putra (nama samaran, nama sebenarnya diketahui oleh panitera)
- Saksi ahli Ngati (nama samaran)
- Saksi ahli Dr. Leslie Dwyer
DAKWAAN 2: Perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
Penuntut: Sri Suparyati
- Saksi mata Basuki Bowo (nama samaran)
- Saksi ahli Dr. Asvi Warman Adam
Hari 2: 11 November 2015
DAKWAAN 3: Penahanan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
Penuntut Uli Parulian Sihombing
- Saksi mata Bedjo Untung
- Saksi mata Martono
- Saksi ahli Dr. Saskia Wieringa
DAKWAAN 4: Penyiksaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
Penuntut Bahrain Makmun
- Saksi mata Muhammad Pakasi (nama samaran)
- Saksi mata Martin Aleida
DAKWAAN 5: Kekerasan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
Penuntut Antarini Arna
- Saksi mata Kinkin Rahayu (nama samaran, berbicara di balik layar).
- Saksi ahli Dr. Saskia Wieringa
Hari 3: 12 November 2015
DAKWAAN 5: Kekerasan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (diteruskan dari hari sebelumnya).
DAKWAAN 6: Penindasan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
Penyitaan paspor
Penuntut Antarini Arna
- Saksi mata Soerono Widojo (nama samaran, bersaksi dibelakang layar).
- Saksi mata Aminah (bersaksi dibelakang layar).
DAKWAAN 7: Penculikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
Penuntut Sri Suparyati
- Saksi mata Astaman Hasibuan
- Saksi mata Intan Permatasari (nama samaran, bersaksi di belakang layar).
PENJELASAN TENTANG UPAYA KOMNAS HAM DAN KOMNAS PEREMPUAN
- Dr Dianto Bachriadi, komisioner Komnas HAM
- Mariana Amiruddin, komisioner Komnas Perempuan.
DAKWAAN 8: Penindasan lewat propaganda kebencian
Penuntut Antarini Arna
- Saksi ahli Dr Saskia Wieringa
- Saksi ahli Dr Wijaya Herlambang
Hari 4: 13 November 2015
DAKWAAN 9: Keterlibatan negara-negara lain dalam pelaksanaan kejahatan terhadap kemanusiaan
Penuntut Silke Studzinsky
- Saksi ahli Dr Bradley Simpson
- Saksi ahli Dr Wijaya Herlambang
Pernyataan penutup dewan hakim, dibaca oleh Hakim Ketua.
A2. Pernyataan pembukaan oleh para hakim IPT 1965 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia, dibacakan pada pembukaan sidang tanggal 10 November 2015.
Kami menerima penunjukan sebagai hakim di Tribunal ini berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut.
Bisa dipastikan bahwa peristiwa seputar tahun 1965 masih tetap sangat penting untuk Indonesia dan komunitas internasional.
Kami yakin bahwa penuturan yang paling mungkin dan dapat dipercaya tentang penyebab kejadian 1965 dan sesudahnya harus diidentifikasi. Penuturan ini dibutuhkan untuk mencapai perdamaian yang nyata, langgeng dan adil di Indonesia, termasuk rekonsiliasi dan kompensasi.
Setelah ini, ada kemungkinan untuk memastikan apakah kejahatan yang telah dilakukan, meski telah sekian tahun yang lalu, harus ditindak melalui proses hukum formal atau dengan cara-cara lain.
Temuan kami bisa memberi dorongan untuk pembentukan struktur atau proses yang konkrit, seperti komisi kebenaran, dan implementasi dari rekomendasi-rekomendasi Komnas HAM.
Kegagalan sampai sekarang untuk mewujudkan proses-proses seperti di atas telah menciptakan kesenjangan antara apa yang telah terjadi, dan kemungkinan makin kecil bahwa mereka yang bertanggung jawab bisa diadili, dan keadilan untuk para korban dan masyarakat Indonesia bisa terlaksana.
Misi Kami adalah sebisa mungkin menutup kesenjangan di atas.
A3. Pernyataan penutup dari para hakim IPT 1965 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia, dibacakan pada penutupan kesaksian pada tanggal 13 November 2015.
Para hakim tribunal ini ditunjuk oleh Yayasan IPT 1965 untuk Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia, mengevaluasi pergolakan dan kekerasan yang melanda Indonesia selama dan pasca September-Oktober 1965, menentukan apakah kejadian-kejadian tersebut termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, mengemukakan kesimpulan apakah pemerintah Indonesia dan atau pemerintahan lain harus mengemban tanggung jawab atas kejahatan-kejahatan tersebut, dan memberikan rekomendasi tentang apa yang bisa diupayakan demi terciptanya kedamaian yang adil dan langgeng, serta kemajuan sosial di Indonesia.
Para hakim menyesalkan bahwa pemerintah Indonesia dan pemerintah-pemerintah negara lain yang telah diundang tidak memberi masukan di Tribunal ini.
Pernyataan ini dibuat pada 13 November 2015 di akhir kesaksian oleh korban dan saksi ahli yang berlangsung selama empat hari, mempertimbangkan latar belakang sejarah, bahan riset, tulisan-tulisan, dan opini, seperti:
- Pernyataan Komnas HAM pada 23 Juli 2012 tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM berat peristiwa 1965-1966.
- Laporan Komnas Perempuan tahun 2007 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan berbasis gender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban 1965.
- Pernyataan penutup oleh Komite HAM PBB tahun 2013, yang menyatakan keprihatinan tentang pelanggaran HAM di Indonesia di tahun 1965 dan sesudahnya, pengulangan keprihatinan ini di tahun 2015, dan juga keprihatinan yang dinyatakan Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.
Latar belakang sejarah termasuk bahan mengenai pemerintah Indonesia sebelum kejadian 1965, narasi tentang kejadian-kejadian ini dan dampaknya, tahun-tahun diktatorial Suharto sampai penghujung abad ke 20, era konstitusional reformasi sesudah jatuhnya Suharto, dan juga tahun-tahun sesudah reformasi.
Para hakim terutama memperhatikan kenyataan bahwa tidak ada bahan terpercaya yang memperdebatkan terjadinya peristiwa pelanggaran berat terhadap kemanusiaan ini, adanya perundang-undangan tentang kebenaran dan rekonsiliasi sebagai upaya untuk mengakui bahwa peristiwa ini memang terjadi, tidak adanya penyangkalan dari pemerintah Indonesia yang manapun tentang kejadian-kejadian ini, dan janji dari Presiden Joko Widodo bahwa pelanggaran-pelanggaran ini akan ditinjau. Semua bahan memperlihatkan tanpa keraguan pada para hakim bahwa pelanggaran-pelanggaran berat ini memang terjadi.
Para hakim menganggap bahwa tuduhan para penuntut mengenai pembunuhan dan pembunuhan massal terhadap puluhan ribu orang yang kejam dan mengerikan, penahanan tak berdasar terhadap ratusan ribu orang tanpa proses peradilan untuk kurun waktu yang lama dalam kondisi penuh sesak, dan perlakuan tak berperikemanusiaan dan penyiksaan yang kejam terhadap para tahanan dan kerja paksa yang bisa dikategorikan dalam perbudakan, semuanya berdasar.
Juga telah ditunjukkan bahwa kejahatan seksual, terutama terhadap perempuan, terjadi secara sistematis dan berkala, terutama dalam periode 1965-1967. Banyak lawan politik dilecehkan dan diasingkan, dan ribuan orang – yang menurut propaganda kebencian – dianggap tidak cukup mendukung rezim Suharto, lalu mereka hilang.
Semua ini dibenarkan dan didukung oleh propaganda yang bertujuan untuk menciptakan doktrin palsu bahwa mereka yang menentang rezim militer adalah orang-orang yang tidak bermoral dan bejad.
Telah dipastikan juga bahwa pemerintah Indonesia, dalam hal ini militer dan polisi, selama periode tersebut di atas, melakukan dan mendorong terjadinya pelanggaran berat HAM secara sistematis dan meluas.
Para hakim juga yakin bahwa semua ini dilakukan untuk tujuan politik: Menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan semua yang diduga menjadi anggota atau simpatisannya, dan orang-orang lain termasuk loyalis Sukarno, aktivis buruh, dan guru.
Rancangan ini juga dimaksudkan untuk menopang rezim diktatorial yang kejam yang telah sepatutnya ditolak oleh rakyat Indonesia.
Tidak dapat diragukan bahwa kejadian-kejadian ini, baik satu persatu maupun kumulatif, termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, baik dalam hukum internasional maupun dilihat dari nilai-nilai dan kerangka hukum di era reformasi yang diakui oleh masyarakat Indonesia pada 17 tahun yang lalu.
Tribunal ini telah mendengarkan kesaksian yang rinci dan menyentuh dari korban dan keluarga mereka, dan juga kesaksian dari ahli.
Kesaksian ini dilihat oleh para hakim sebagai bagian yang amat kecil dari keseluruhan yang terjadi: beberapa contoh nyata, mencolok dan menyakitkan dari penghancuran kemanusiaan dari mereka yang berdiri di depan, dan juga pemusnahan kemanusiaan dari bagian yang cukup besar dari masyarakat Indonesia.
Para jaksa berargumen bahwa pemerintah-pemerintah lain telah membantu rezim kejam Suharto untuk mencapai semua di atas dengan tujuan untuk terlaksananya orde internasional tertentu dalam konteks Perang Dingin. Para hakim akan membawa ini dalam keputusan akhir mereka.
Bahan yang diajukan pada panel hakim mungkin dapat menjadi bukti bahwa kejahatan-kejahatan berat lain telah dilakukan.
Isu ini juga akan dibawa ke keputusan akhir. Para hakim cukup puas dengan kesimpulan yang telah mereka ambil untuk mengungkapkan ini kepada masyarakat umum dengan penuh kepercayaan. Tapi Kami masih perlu lebih banyak waktu untuk menyusun secara rinci dasar dari kesimpulan kami.
Dalam beberapa bulan mendatang, Kami akan menyerahkan keputusan akhir dengan mendasari setiap kesimpulan dan opini dengan nalar.
Menurut para hakim, pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan, karena rantai komando terorganisir dari atas sampai ke bawah dalam badan-badan institusi negara. Walau Indonesia telah melewati perubahan yang penting dan positif sejak 1998, termasuk pentingnya HAM dalam pemerintahan, ini belum menciptakan kondisi di mana pemerintahan pasca 1998 benar-benar menangani pelanggaran HAM di masa lalu yang berat dan sistematis.
Di samping kesimpulan di atas, Tribunal juga yakin – berdasarkan bukti yang disampaikan di persidangan – bahwa banyak kebohongan tersirat dalam bentuk propaganda 1965 yang memotivasi hilangnya kemanusiaan dan pembunuhan ribuan orang.
Yang sangat penting adalah pernyataan yang diulang-ulang bahwa para jenderal dikebiri, meski telah lama disangkal oleh laporan autopsi, dan yang telah diketahui pemerintah Indonesia selama bertahun-tahun.
Presiden dan pemerintah Indonesia bertugas untuk segera mengakui ini sebagai suatu kebohongan, meminta maaf tanpa syarat untuk kebohongan yang telah dipublikasikan, memulai penyelidikan, dan menuntut para pelaku yang masih hidup ke pengadilan. Tribunal ini berpikir bahwa Presiden ini tentu akan melakukan semua ini sesuai dengan janjinya saat pemilihan umum.
Arsip juga harus dibuka, dan kebenaran yang sesungguhnya tentang kejahatan terhadap kemanusiaan ini harus dipaparkan.
Dalam hal ini, anggota Tribunal mencatat bahwa Komnas HAM telah menggelar penyelidikan di tahun 2008, dan pemerintah Indonesia telah menerima laporan serta rekomendasi tersebut. Tapi pemerintah belum menerapkan rekomendasi-rekomendasi di atas, dan menurut kami pemerintah harus segera melaksanakan rekomendasi tersebut. Rekomendasi-rekomendasi ini juga termasuk ganti rugi setimpal untuk para korban.
Kami memuji Yayasan dan banyak orang lain yang telah memberi waktu dan tenaga, juga menyumbangkan dana dan sumber daya lain untuk Tribunal ini. Tanpa keterlibatan dan tekad banyak pihak, Tribunal seperti ini tidak akan mungkin terlaksana. Kami percaya bahwa upaya mereka akan diganjar dengan tanggapan nasional dan internasional yang setimpal.
Mireille Fanon-Mendes France, Cees Flinterman, John Gittings, Helen Jarvis, Geoffrey Nice , Shadi Sadr , Zak Yacoob
B LAPORAN PARA HAKIM
B1: Kerangka hukum
Peran IPT dan panel hakim telah dijelaskan dalam pernyataan publik yang dipublikasikan bulan Oktober 2015 – sebelum sidang – sebagai berikut:
Sebagai pengadilan rakyat, Tribunal memperoleh otoritas moralnya dari suara para korban, dan suara masyarakat sipil nasional dan internasional. Tribunal akan mengambil format pengadilan HAM resmi, tapi bukan merupakan pengadilan kriminal. Tribunal akan memiliki hak tuntutan, tapi tidak memiliki kapasitas untuk melaksanakan keputusannya. Karakter inti dari Tribunal adalah sebagai pengadilan atas penyelidikan.
Anggota Tribunal masing-masing memiliki pengetahuan luas tentang hukum internasional dan HAM, dan tentang sejarah Indonesia dalam periode yang bersangkutan. Para hakim Tribunal akan meneliti bukti yang dikemukakan para penuntut, menyusun catatan sejarah dan ilmiah yang akurat dan menerapkan prinsip-prinsip kebiasaan hukum internasional (international customary law), publik internasional, dan hukum Indonesia pada fakta-fakta yang ditemukan, dan akan menyerahkan keputusan yang mendasar.
Para hakim akan mengupayakan untuk memaparkan, tanpa ketakutan atau pemihakan, kebenaran tentang peristiwa sejarah ini, dengan harapan bahwa ini akan memberi sumbangan untuk keadilan, perdamaian, dan rekonsiliasi.
Dalam pernyataan pembukaan para hakim, yang dibacakan pada permulaan kesaksian, mereka berkata:
Kami yakin bahwa peristiwa-peristiwa seputar 1965 akan tetap menjadi bagian penting dari Indonesia dan dunia.
Kami percaya bahwa narasi yang seksama dan cermat tentang apa yang sebenarnya terjadi di tahun 1965 dan sesudahnya harus diidentifikasi, dan bahwa ini diperlukan untuk mencapai kedamaian yang adil dan langgeng di Indonesia, termasuk rekonsiliasi dan ganti rugi.
Panel hakim IPT diminta untuk mempertimbangkan kebenaran dari tuntutan dan pernyataan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukan di Indonesia di tahun 1965 dan sesudahnya, dan bahwa pemerintah Indonesia bertanggung jawab secara hukum untuk mengetahui, menyelidiki, dan menghukum kejahatan-kejahatan ini menurut hukum internasional, kebiasaan hukum internasional, dan atau hukum Indonesia.
Para hakim meneliti pernyataan-pernyataan ini dan menurut pernyataan pembukaan mereka yang – jika diintepretasi secara seksama – jelas menyiratkan bahwa pelanggaran HAM berat telah terjadi di Indonesia di periode yang disebut.
Jadi yang menjadi persoalan adalah apa yang menjadi penyebab kejahatan-kejahatan ini, dan apakah kejahatan-kejahatan ini bisa dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus ditindaki sepatutnya oleh pemerintah Indonesia.
KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah bagian hakiki dan mendasar dari hukum internasional. Pidana ini pertama kali disidangkan dalam Tribunal Militer di Nuremberg dan Tokyo. Keberadaan kejahatan-kejahatan ini lalu dimasukkan ke dalam Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia pada tanggal 10 Desember 1948 dan Prinsip Nuremberg oleh Majelis Umum PBB di tahun 1950. Kejahatan-kejahatan ini juga diakui dan diterima sebagai bagian dari hukum Indonesia, seperti disinggung di bawah ini. Kami mulai dengan kebiasaan hukum internasional.
Seperti disebut dengan akurat oleh para jaksa, kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kebiasaan hukum internasional adalah:
- tindakan-tindakan tidak berperikemanusiaan yang merupakan kejahatan di hampir semua sistem hukum pidana.
- Dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas dan sistematis terhadap warga sipil.
Pihak penuntut membahas bahwa tindakan-tindakan di luar perikemanusiaan ini termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan di dalam hukum internasional.
Penuntut juga mendesak tentang poin ini karena larangan terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan adalah bagian dari hukum adat internasional atau kebiasaan hukum internasional (jus cogens), dan pelanggaran dari norma-norma ini tidak diperbolehkan dalam situasi apapun.
Jadi, kebiasaan hukum internasional mewajibkan negara untuk menuntut mereka yang bertanggung jawab atas penugasan kejahatan-kejahatan ini, atau mengekstradisi mereka kepada negara yang berkomitmen untuk menuntut mereka.
Dua hal harus ditekankan. Jika kejahatan terhadap kemanusiaan hendak dibuktikan dalam kebiasaan hukum internasional, harus ada kekerasan yang meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil.
Kekerasan tidak perlu ditujukan terhadap seluruh masarakat sipil, tapi sebagian dari mereka. Dalam hal ini, seperti akan dijelaskan, kekerasan yang meluas dan sistematis terhadap bagian yang cukup besar dari masyarakat sipil yang bersangkutan dengan PKI, organisasi-organisasi yang terkait dengan PKI, pemimpin-pemimpinnya, anggota dan pendukungnya, serta keluarga mereka (juga mereka yang dituduh bersimpati terhadap tujuan PKI).
Termasuk dalam Artikel 9 dari definisi hukum kejahatan terhadap kemanusiaan adalah setiap tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari penyerangan langsung secara meluas dan sistematis terhadap pendukuk sipil, dalam bentuk:
- Pembunuhan (Artikel 9a).
- Pembasiman (Artikel 9b).
- Perbudakan (Artikel 9c).
- Pengusiran atau pemindahan secara paksa terhadap penduduk sipil (Artikel 9d).
- Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain yang bertentangan dengan hukum internasional (Artikel 9e).
- Penyiksaan (Artikel 9f).
- Pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi secara paksa, penghamilan secara paksa, sterilisasi secara paksa, bentuk serupa dari kekerasan seksual (Artikel 9g).
- Penganiayaan kelompok tertentu atau perkumpulan berdasarkan pandangan politik, ras, kewarganegaraan, etnisitas, kultur, agama, gender, atau basis lain apapun, dianggap sebagai pelanggaran universal hukum internasional (Artikel 9h).
- Penghilangan secara paksa (Artikel 9i).
- Kejahatan apartheid (Artikel 9(j).
Poin-poin di atas ini beriringan dengan Artikel 7 dari Rome Statute tahun 2000, yang menaungi Mahkamah Pidana Internasional.
Artikel 43 dari UU no. 26/2000 merinci bahwa pelanggaran berat HAM yang terjadi di masa lalu bisa didengar dan diputuskan oleh pengadilan HAM Ad hoc. Artikel ini menggunakan kata shall (akan/harus), yang berarti bahwa pembentukan pengadilan dan keputusannya patut ditaati.
Banyak kesamaan dalam definisi dari kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kebiasaan hukum internasional dan hukum Indonesia. Satu perbedaan adalah penyerangan harus meluas dan sistematis dalam kebiasaan hukum internasional, sedangkan dalam UU no. 26/2000 tercantum bahwa penyerangan harus meluas, sistematis, dan langsung.
Perbedaan lain, hukum Indonesia merinci tindakan apa saja yang termasuk dalam penyerangan, sedang kebiasaan hukum internasional menekankan bahwa tindakan di luar peri kemanusiaan adalah kejahatan di hampir semua negara. Perbedaan-perbedaan di atas tidak dianggap penting.
Keputusan ini berupaya menunjukkan bahwa:
- Ada penyerangan terhadap masarakat sipil: PKI, dan mereka yang dianggap sebagai pimpinan, anggota, pendukung dan simpatisan, juga keluarga, yang dianggap meluas, sistematis dan langsung, sesuai dengan kebiasaan hukum internasional dan hukum Indonesia;
- Penyerangan ini, menurut para penuntut, termasuk pembunuhan masal, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penculikan, kekerasan seksual, dan penganiayaan melalui eksil, yang semuanya adalah kejahatan dalam hampir semua yurisdiksi nasional, dan dirangkum dalam UU no. 26/2000, memang ternyata telah dilakukan.
Penyelidikan Komnas HAM, badan HAM pemerintah Indonesia, mengenai peristiwa 1965-1966, yang dilaksanakan sesuai dengan UU no. 26/2000, dan mengingat definisi kejahatan terhadap kemanusiaan seperti terpapar dalam Artikel 9, mengakhiri laporannya dengan pernyataan berikut:
Setelah mengkaji dan menganalisis dengan seksama semua temuan di lapangan, keterangan korban, saksi, laporan, dokumen yang relevan, serta berbagai informasi lainnya, maka Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat Peristiwa 1965-1966 menyimpulkan sebagai berikut :
- Terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat, sebagai berikut :
- Pembunuhan (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf a Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
- Pemusnahan (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf b Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
- Perbudakan (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf c Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
- Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf d Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
- Perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf e Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
- Penyiksaan (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf f Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
- Pemerkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf g Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
- Penganiayaan (persekusi) (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf h Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
- Penghilangan orang secara paksa (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf i Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Perbuatan tersebut merupakan bagian dari serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, yaitu suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa. Karena perbuatan tersebut juga dilakukan secara meluas dan sistematis, maka bentuk-bentuk perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam tuntutan mereka, para jaksa juga menggarisbawahi bahwa Articles on the Responsibility for States for Internationally Wrongful Acts (ARSIWA) of the International Law Commission (butir-butir tentang tanggung jawab negara untuk tindakan bersalah menurut Komisi Hukum Internasional) juga menerapkan kewajiban dan tanggung jawab terhadap pemerintah Indonesia tentang pelanggaran-pelanggaran kejahatan terhadap kemanusiaan, dan secara rinci menunjuk pada Artikel 40 (2) yang menganggap bahwa kegagalan pemerintah secara meluas dan sistematis untuk memenuhi kewajibannya, merupakan pelanggaran serius.
Dalam pernyataan penutup mereka, para hakim menekankan bahwa mereka memperhatikan hal-hal berikut:
- Pernyataan dari Komnas HAM tertanggal 23 Juli 2012 tentang hasil penyelidikan pelanggaran HAM berat peristiwa 1865-1966.
- Laporan dari tahun 2007 dari Komnas Perempuan berjudul Komnas Perempuan, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965 (Jakarta: Komnas Perempuan, 2007).
- Kesimpulan dari Pengamatan Komnas HAM PBB di tahun 2013, yang menyampaikan kekhawatiran tentang pelanggaran HAM di Indonesia pada 1965 dan sesudahnya; pengulangan kekhawatiran di atas di tahun 2015, dan kekhawatiran yang diungkapkan pada 2012 oleh Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (UN Committee on the Elimination of Discrimination Against Women).
B2. Tanggung Jawab dan Rantai Komando
Pihak Penuntut membuat kasus yang kuat bahwa semua kejahatan-kejahatan ini dilakukan di bawah tanggung jawab penuh negara.
Pada 2 Oktober 1965, Jenderal Suharto langsung mengambil kontrol de facto atas Ibu Kota dan angkatan bersenjata. Sebuah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dibentuk pada 10 Oktober untuk menumpas PKI dan orang-orang yang diduga sebagai simpatisannya.
Pada 1 November, Jenderal Suharto ditunjuk sebagai Kepala Komandan dari Kopkamtib. Dengan demikian, Komando ini beroperasi di bawah perintah langsung darinya. Jenderal Suharto dan kroni-kroninya segera menuding PKI sebagai dalang dari G30S (Gerakan 30 September). Sebuah kampanya propaganda militer yang menyebarluaskan foto-foto para jenderal yang mati dan mengklaim bahwa Komunis lah, terutama perempuan-perempuan Komunis, yang menyiksa dan memotong badan mereka sebelum meninggal.
Akibatnya, kekerasan dan demonstrasi terhadap orang-orang yang diduga Komunis dilakukan oleh tentara dan kelompok-kelompok pemuda, yang dipersenjatai dan atau didukung militer dan pemerintah, dengan singkat pecah di Aceh, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, sebelum menyebar ke seluruh Tanah Air. Orang-orang sipil dibunuh, diperkosa, disiksa, diperbudak atau menjadi sasaran kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya di dalam rumah mereka sendiri atau di tempat-tempat umum.
Pada 21 Desember 1965, Jenderal Suharto mengeluarkan sebuah perintah (Kep-1/KOPKAM/12/1965) untuk para pimpinan militer di seluruh Indonesia untuk mengumpulkan daftar-daftar anggota PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan partai tersebut di daerahnya masing-masing. Orang-orang sipil yang namanya termasuk daftar ini menjadi sasaran pelanggaran HAM berat, termasuk pembunuhan, penyiksaan, dan kejahatan-kejahatan lainnya, sebagaimana telah dilaporkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM).
Berdasar keterangan di atas, hal berikut perlu ditanyakan berkaitan dengan isu tanggung jawab:
- Apakah Indonesia pada waktu itu mengakui tanggung jawabnya atas pembunuhan-pembunuhan massal dan kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya yang terjadi di tahun 1965 dan setelahnya?
- Bagaimana bentuk rantai komando antara negara pusat dan tingkatan otoritas yang lebih rendah yang dianggap menjadi pelaksana pembunuhan-pembunuhan ini, dan bagaimana bentuk hubungan antara aparat-aparat negara dan milisi setempat atau kelompok-kelompok lain yang diduga menjadi pelaksanana pembunuhan-pembunuhan ini?
Pengakuan
Sejak pemulihan demokrasi di Indonesia pada tahun 1998, dua orang Presiden telah membuat beberapa pernyataan yang menyebut perlunya permerintah menangani pembunuhan massal tahun 1965.
Pada 2000, Abdurrahman Wahid (Gus Dur, Presiden terpilih pertama setelah Suharto mundur tahun 1998) mendiskusikan panjang lebar dalam sebuah wawancara di Televisi tentang kekhawatirannya untuk “para korban G30S/PKI” dan mengusulkan pemerintahannya dapat menyambut pembukaan kembali kasus ini untuk mencari tahu kebenaran atas apa yang terjadi. Beliau juga mengakui peran anggota-anggota organisasi massa Islami Nahdlaul Ulama (NU) – dimana Beliau dulu menjadi ketua umum – dalam pembunuhan-pembunuhan ini dan mengatakan bahwa beliau telah meminta maaf atas perbuatan-perbuatan mereka.
Wawancara tersebut seperti yang dilaporkan dalam harian Kompas mencakup komentar-komentar berikut:
“Jauh sebelumnya, sewaktu saya masih menjabat sebagai Ketua Umum Dewan NU, Saya sudah meminta maaf kepada para korban G30S/PKI.
Pemerintah menyambut baik jika masyarakat ingin membuka kembali kasus G30S/PKI dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya.
Jauh sebelumnya, saya sudah meminta maaf. Bukan hanya sekarang — tanya saja kawan-kawan di LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) — Saya sudah meminta maaf atas seluruh pembunuhan yang terjadi pada orang-orang yang dikatakan komunis.
Tidak sepenuhnya pasti bahwa orang-orang yang dituduh komunis semuanya salah sehingga harus dihukum mati. Harus dibuktikan di pengadilan, bukan seperti apa yang sudah terjadi.”
Gus Dur kemudian berkata bahwa seandainya isu G30S/PKI kembali dibuka, ada baiknya membuat debat antara masyarakat Indonesia. “Karena banyak orang berpikir bahwa anggota-anggota PKI salah. Ada juga orang-orang yang berpikir bahwa mereka tidak melakukan kesalahan. Karena itu kita lebih baik memutuskan lewat tata cara hukum mana yang benar.”
Presiden terkini, Joko Widodo, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada Mei 2014, tidak lama sebelum beliau terpilih, berjanji:
Kami berkomitmen untuk membawa solusi adil atas pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu yang masih menimpakan beban sosio-politik pada negara Indonesia, seperti peristiwa kerusuhan Mei, peristiwa Trisakti-Semanggi I dan II, penghilangan-penghilangan paksa, kejadian Talang Sari-Lampung dan Tanjung Priok dan tragedi 1965.
Badan investigasi resmi yang didirikan oleh Komnas HAM menyimpulkan dalampPernyataan tanggal 23 Juli 2012 bahwa berdasar penyelidikannya:
1. Terdapat bukti awal yang memadai untuk percaya bahwa kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai berikut, yang mana adalah kejahatan serius terhadap hak asasi manusia mendasar telah terjadi: a. Pembunuhan-pembunuhan. b. Pemusnahan. c. Perbudakan . d. Penggusuran paksa atau pengusiran penduduk. e. Perampasan kebebasan dengan sewenang-wenang atau kebebasan fisik lainnya. f. Penyiksaan. g. Perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya. h. Persekusi. i. Penghilangan-penghilangan paksa.
2. Berdasar luasnya cakupan kejahatan-kejahatan yang terjadi dan foto dari korban-korban yang telah diidentifikasi, serta bukti menggunung yang tersedia, maka nama-nama dari pelaksana kejahatan-kejahatan ini dan yang bertanggungjawab untuk peristiwa-peristiwa 1965/1966 adalah sebagai berikut dengan pertimbangan masih ada banyak lagi:
- Perorangan/komandan-komandan militer yang dapat diminta pertanggungjawaban:
a.1 Komandan yang memutuskan soal kebijakan ini:
- PANGKOPKAMTIB – Komandan KOPKAMTIB yang menjabat periode 1965 sampai 1969
- PANGKOPKAMTIB – Komandan KOPKAMTIB yang menjabat periode 19 September 1969 sampai setidaknya akhir 1978.
a.2 Komandan-komandan yang memiliki kendali operasi (tugas kontrol) atas pasukannya.
PANGANDA dan atau PANGDAM (Komandan-komandan wilayah dan setempat) selama periode 1965 sampai 1969 dan dari periode 1969 sampai akhir 1978.
2. Perorangan/komandan-komandan/anggota-anggota satuan yang dapat dibuat bertanggung jawab atas tindakan-tindakan pasukan mereka di lapangan.
Bukti dokumentasi terkini mengenai pembantaian benar-benar kurang, dan tampaknya akibat ditekan oleh aparat-aparat militer.
Telah dicatat bahwa “Di bawah Orde Baru, tidak banyak yang didengar tentang pembantaian-pembataian ini” dan bahwa laporan kejadian resmi atau semi-resmi seperti di dalam Sejarah Nasional Indonesia dan apa yang disebut “Buku Putih” tentang kudeta 1965 secara terang-terangan menghiraukan pembantaian-pembantaian ini dan terdapat persepsi luas bahwa mereka tidak dapat dibicarakan secara terbuka.”
Dalam satu pengecualian yang langka, sebuah dokumen memang tersedia, tertanggal 8 November 1973, Jaksa Agung mengeluarkan instruksi kepada kantor-kantor penuntut setempat di Indonesia untuk menyisihkan (tidak menuntut) kasus-kasus pembunuhan terhadap anggota-anggota PKI dan atau organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PKI, karena kejadian-kejadian tersebut “muncul dari kemarahan rakyat biasa dan spontanitas massa” dan menjadi suatu ketakutan jika kasus-kasus ini ditangani akan menimbulkan dampak-dampak psikologis di antara sisa-sisa anggota G 30 S/PKI dan mendorong mereka untuk melanjutkan perjuangan, juga bisa digunakan oleh organisasi-organisasi internasional yang terkait atau di bawah pengaruh gerakan komunis internasional serta akan menyebabkan apati di antara masyarakat untuk kembali membantu Pemerintah dan aparat-aparat negara di kemudian hari.
Dokumen tersebut juga mengatur bahwa mereka harus konsultasi dengan Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah) untuk memberi bukti bahwa orang-orang yang terbunuh memang betul anggota PKI dan atau organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PKI.
Kemudian, mereka diminta oleh Jaksa Agung untuk tidak mengekspos proses penyisihan ini ke pihak ketiga (terutama ke media).
Pengakuan tanggung jawab negara juga mungkin bisa disimpulkan dari pernyataan-pernyataan oleh para menteri dan politisi senior yang bertujuan membenarkan apa yang terjadi.
Dalam contoh baru-baru ini, mantan menteri koordinator bidang politik, hukum dan keamanan, Djoko Suyanto, mengeluarkan pernyataan umum pada 1 Oktober 2012 yang isinya menolak Laporan Komnas HAM, mengatakan bahwa pembunuhan-pembunuhan tersebut dibenarkan untuk menyelamatkan bangsa dari komunisme dan bahwa tidak perlu ada permintaan maaf.
Suyanto mengatakan, “Bangsa ini tidak akan menjadi seperti yang saat ini seandainya kejadian-kejadian tersebut tidak terjadi. Tentu saja ada korban-korban (selama operasi pembersihan), dan kita sedang menyelidiki mereka”.
Paling mutakhir, pandangan serupa diberikan oleh Menteri Koordinator untuk Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, dalam komentar pembukanya di Simposium Nasional Tragedi 1965, yang dilaksanakan di Jakarta pada 18-19 April 2016.“Kita tidak akan meminta maaf. Kita tidak bodoh. Kita tahu apa yang kita lakukan, dan itu adalah hal benar yang harus dilakukan untuk negara”.
Sebagai catatan, Simposium Nasional ini adalah pertama kalinya Pemerintah Indonesia memfasilitasi diskusi umum mengenai berbagai pandangan tentang kejadian-kejadian 1965, dan hasil-hasilnya masih tidak jelas, sebagaimana dibahas di Lampiran D2. Upaya-upaya mencari ganti rugi dan rekonsiliasi.
- Rantai Komando
Terdapat bukti berlimpah, berangkat dari sejumlah penelitian ilmiah mengenai periode ini, bahwa sebuah sistim kontrol dan represi militer yang bersifat vertikal dibentuk langsung di bawah wewenang Jenderal Suharto dan pelaksanaannya melalui serangkaian perintah dari Jakarta ke tingkatan yang lebih rendah. Walaupun perintah-perintah dan operasi-operasi dimulai di beberapa daerah sejak tanggal 1 Oktober 1965, sarana utama operasi ini adalah Kopkamtib, yang didirikan pada 10 Oktober 1965 dengan Jenderal Suharto sebagai Komandannya, (Pangkopkamtib).
Instruksi-instruksi kepada tingkatan lebih rendah di tentara dikeluarkan sebagai perintah bernomor dari Kopkamtib atau dari institusi-institusi militer lainnya, seperti Kementerian Pertahanan atau Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) yang sudah berada di bawah komando Suharto.
Ini direplikasi dan diperkuat oleh komandan-komandan TNI di tingkat bawah (lihat di bawah dalam bagian ini untuk material dari Aceh).
Bermula dari perintah yang dikeluarkan Suharto pada 1 Oktober, tema seterusnya berpusat pada perlunya “menumpas” Gerakan G 30 S (yang sering digambarkan sebagai “kontra-revolusioner”).
Tetapi Gerakan G 30 S sebenarnya hanya merupakan eufimisme untuk PKI dan setiap orang yang secara langsung atau tidak langsung dikaitkan dengannya.
Perintah ini dengan cepat direplikasi oleh Letnan Jenderal AJ Mokoginta, Komandan Koti (Komando Operasi Tertinggi) untuk Sumatra, yang memanggil seluruh anggota angkatan bersenjata untuk ‘dengan tegas dan habis-habisan menumpas kontra-revolusi ini dan seluruh tindakan-tindakan pengkhianatan sampai ke akar-akarnya’
Pada awalnya, instruksi ini terkesan hanya untuk sejumlah kecil orang yang diduga memimpin Gerakan 30 September, dan kemudian menjadi semakin jelas nantinya bahwa target mereka jauh lebih luas, mencakup siapapun yang bisa diidentifikasi termasuk atau mendukung atau bersimpati pada PKI secara langsung maupun tidak langsung.
Kemudian, beberapa dari perintah-perintah ini secara gamblang memberi wewenang pada komandan militer untuk mengambil tindakan di luar hukum. Perintah-perintah yang diberikan pada tiga bulan pertama operasi telah dirangkum, berdasarkan riset terhadap teks original oleh Mathias Hammer, sebagai berikut:
Suharto memberi tugas pada para komandan di tingkat distrik untuk membentuk tim-tim investigasi (TERPERDA, Tim Pemeriksa Daerah), yang bertugas menginterogasi para tahanan dan mengumpulkan informasi tentang mereka (Komando Strategi Angkatan Darat atau KOSTRAD, Dekrit Kep-069/10/1965, dalam: Kopkamtip 1970).
Tim-tim ini, atas kehendak Suharto, membantu para komandan dalam “mengambil tindakan penyelesaian pada tawanan/tahanan”, suatu eufimisme birokratis untuk pembunuhan massal. Ini mengingatkan pada cara Nazi yang mencoba menutupi Holocaust.
Penyelesaian-penyelesaian ini diambil “baik sesuai hukum atau berdasarkan kebijaksanaan khusus” dari para komandan (KOSTRAD, Dekrit Kep-069/10/1965, dalam: Kopkamtib 1970). Sehingga yang mengatakan ihwal persoalan ‘hidup atau mati’ adalah para komandan tingkat distrik atau KODIM (Komando Distrik Militer).
Sekitar akhir Oktober dan akhir Desember 1965, struktur organisasi yang sudah mencakup beragam tim “investigasi” dan “prosekusi”, dengan badan-badan utamanya di Jakarta dengan berbagai sub-komponennya tersendiri, menjadi semakin terelaborasi – Kammen dan Zakaria (2012: 447) menjelaskan poin ini dengan lebih jelas. “Tim penyaringan (screening)”, sebagaimana badan-badan ini sering dipanggil, pada akhirnya hadir di seluruh Indonesia, menyebar seiring dengan penganiayaan terhadap PKI.
Tim-tim tersebut diberi mandat melalui perintah-perintah Suharto untuk mengumpulkan keterangan para saksi dalam melakukan penilaian kasus-kasus perorangan (KOSTRAD, dekrit Kep-70/11/1965, dalam Kopkamtib 1970).
Tidak hanya keterlibatan dalam Gerakan 30 September, tetapi juga sikap terhadap Gerakan tersebut menjadi kriteria untuk persekusi.
Akhirnya, semakin jelas bahwa sikap-sikap dan aktivitas sebelum Oktober 1965 – yang disebut “prolog” dari Gerakan 30 September – juga menjadi kriteria untuk persekusi (Kementerian Pertahanan dekrit Kep-1/Kopkam/12/1965, 21 Desember 1965, dalam: Kopkamtib 1970).
Dengan demikian, Suharto memperluas cakupan hukum dan praktis dari persekusi yang bermula dengan sejumlah kecil anggota militer yang merencanakan penculikan tujuh anggota militer yang dibunuh di Jakarta sehingga menjadi suatu perilaku sosiopolitik terhadap jutaan penduduk sipil di seluruh nusantara.
Pencarian informasi melalui informan sipil terkat perilaku tersebut menjadi bagian signifikan dari prosedur yang kemudian harus diikuti komandan-komandan setempat beserta tim-timnya dalam upaya mengenali target-target eksekusi.
Pada November 1965 dan seterusnya, perintah-perintah juga dikeluarkan untuk membuat suatu sistim klasifikasi untuk para tersangka PKI, dan dengan beriringnya waktu sistim ini semakin disempurnakan.
Pada 18 Oktober 1968, Komandan Kopkamtib mengeluarkan sebuah Dekrit yang menyatakan:
Mereka yang terlibat dalam pengkhiatanan G-30-S/PKI diklasifikasi sebagai berikut:
- Mereka yang secara jelas terlibat langsung.
- Orang-orang yang secara jelas terlibat tidak langsung.
- Orang-orang yang menunjukkan indikasi atau yang bisa cukup diasumsi memiliki keterlibatan langsung atau tidak langsung.
Tidak ada laporan resmi perihal bagaimana operasi-operasi ini dilakukan di seluruh Indonesia. Pers Indonesia, yang waktu itu langsung dikendalikan militer, hampir kompak menghindari pelaporan informasi apapun terkait pembantaian ini.
Seorang peneliti, John Roosa, mencatat bahwa “berdasarkan peliputan pres, ‘penghancuran PKI sampai ke akar-akarnya’ merupakan suatu kejadian tanpa pertumpahan darah”. Dalam suatu pengecualian, tiga koran Jakarta menerbitkan berita-berita di bulan Februari-Maret 1969 tentang pembunuhan-pembunuhan yang diorganisir militer di Purwodadi, Jawa Tengah.
Kita bisa berspekulasi bahwa catatan-catatan ini ada dan disimpan oleh militer Indonesia, tapi jika memang ada mereka belum dipindahkan ke domain publik.
Namun kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta pada waktu itu berhasil mendapatkan informasi dari sumber-sumber TNI, dan informasi mengenai peran TNI dalam pelaksanaan atau pengorganisasian pembunuhan-pembunuhan ini terdapat di dalam banyak laporan-laporan dari kedutaan dan dari CIA ke Washington.
Telegram-telegram di bulan November 1965 dengan detail melaporkan cara yang digunakan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di Jawa Tengah dalam menggerakkan milisi sipil untuk membantu penangkapan orang-orang yang diduga anggota PKI dan dalam pembuangan mereka.
Dua peneliti yang sudah menggunakan bahan ini merangkum prosedurnya sebagai berikut:
Prosedur yang paling umum adalah untuk paramiliter sipil yang beroperasi di bawah arahan pos kecil RPKAD untuk menangkap orang-orang yang diduga komunis dan kemudian membawa mereka ke tempat-tempat penahanan yang sudah ditunjuk.
Tawanan kemudian diinterogasi, sesingkat apapun prosesnya, untuk memisahkan kader PKI dari anggota partai biasa, simpatisan, dan keluarga.
Kader-kader dibawa ke tempat yang terpencil dan kemudian dibunuh. Tapi ini berujung dengan banyak sekali tawanan yang tersisa, yang mana bukan termasuk perhatian TNI dan juga tidak bisa mereka beri makan atau tampung.
Maka solusi yang diambil personel militer adalah ‘memindahkan’ para tawanan di malam hari dan dalam perjalanan menyerahkan mereka ke pasukan jagal sipil.
Pencerahan yang langka ke dalam pembantaian di satu daerah – Aceh di Sumatra utara – terdapat dalam dokumen-dokumen internal dari Komando Militer Aceh, yang didapatkan oleh seorang peneliti lainnya, Jess Melvin, yang telah menyediakan penelitiannya pada Tribunal.
Berdasarkan dokumen-dokumen ini, Melvin menjelaskan proses pembunuhan “terjadi melalui empat tahap yang berbeda di propinsi ini: tahapan ini termasuk tahap inisiasi; sebuah fase pembantaian depan publik – spektral; suatu tahap pembunuhan massal sistematis; dan akhirnya, tahap konsolidasi.”
Dokumen-dokumen lain yang didapatkan oleh Melvin di Aceh menunjukkan secara detail tentang bagaimana “militer dan pemerintah sipil mendukung pembentukan pasukan-pasukan jagal, yang mana mendapatkan janji ‘pendampingan’ dari militer dan pemerintah sipil.
Dalam sejumlah kecil kesempatan ketika pembantaian massal ini disebutkan secara terbuka dalam sumber-sumber resmi, ini dilimpahkan pada kemarahan rakyat dan tidak disebut sama sekali soal keterlibatan militer.
Satu contohnya adalah pidato oleh Presiden Suharto pada tanggal 11 Maret 1971 (pada perayaan lima tahun perintah “Supersemar” yang menurut dugaan ditandatangani oleh Presiden Sukarno, yang mengawali pengambilan kekuatan secara penuh oleh Suharto).
Dalam pidatonya, Suharto mengklaim bahwa pembantaian terjadi di pedesaan di tahun 1965–1966 sebagai akibat dari ketegangan-ketegangan politik yang sudah ada sebelumnya.
Sebuah penuturan resmi yang didukung TNI dan diterbitkan dalam bahasa Inggris untuk konsumsi asing tahun 1968 mengakui bahwa memang pembunuhan-pembunuhan massal terjadi, tapi menggambarkan mereka sebagai kejadian-kejadian spontan yang dilakukan oleh orang biasa yang ingin menghukum PKI atas usaha kudetanya.
Cerita tersebut mengklaim bahwa “rakyat melihat keadilan diabaikan dan memutuskan untuk main hakim sendiri, yang berakibat pada pembunuhan-pembunuhan massal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan bagian-bagian Indonesia lainnya”.
Namun, penelitian terakhir di berbagai daerah membawa perspektif yang baru, membuka cukup banyak informasi mengenai sejauh mana pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan aktor-aktor non-militer sebenarnya direncanakan, disenjatai dan difasilitasi (singkat kata direkayasa) oleh TNI.
Secara khusus penelitian yang dilakukan oleh peneliti asal Indonesia, Yosef Djakababa, yang terbit tahun 2013, dan lebih baru lagi oleh John Roosa, yang mana pada tahun 2016 mengambil kesimpulan bahwa kebenaran anggapan umum berikut ini dapat disangkal: Tesis dualistik, bahwa kekerasan dilakukan oleh suatu kombinasi antara personel militer dan milisi sipil, dengan peran masing-masing di setiap daerah berbeda.
Tesis dualistik ini tidak menangkap keseragaman yang mencolok dalam gambaran-gambaran yang tersebar luas di daerah-daerah.
Untuk seluruh keberagaman dalam kekerasan anti-komunis, kita bisa menemukan suatu konsistensi yang luar biasa di seluruh provinsi dalam praktik penghilangan orang-orang yang sebelumnya sudah ditahan.
Kita menemukan personel tentara mengorganisir masyarakat sipil, menjalankan kamp-kamp penahanan, dan mengatur truk-truk untuk membawa tawanan ke tempat-tempat eksekusi.
Pertimbangan-pertimbangan hukum
Negara bertanggungjawab di bawah hukum internasional untuk tindakan-tindakan pidana yang secara jelas dilakukannya atau atas nama negara tanpa adanya penolakan dan hukuman dari negara.
Pengadilan-pengadilan di Nuremburg dan Tokyo telah menjadi dasar yang kuat untuk negara-negara dan pimpinan tertingginya atau tingkat komando militer dan aparat-aparat sipil, bertanggungjawab atas tindakan-tindakan para pelaku atau individu yang berada di bawah komando operasi dan kontrol mereka, atau wewenang dan kontrol mereka, walaupun ini sebelumnya tidak diotorisasi secara eksplisit.
Negara juga memiliki tanggung jawab umum di bawah hukum internasional untuk mengambil segala langkah yang mungkin untuk memastikan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan tidak dilakukan oleh individu manapun yang masuk dalam yuridikasi mereka, baik bertindak untuk negara atau tidak, dan untuk menghentikan tindakan-tindakan tersebut dan mengambil aksi terhadap mereka yang bertanggung jawab.
Kemudian, di bawah doktrin tanggung jawab superior, aparat-aparat tinggi (baik militer dan sipil) memiliki tanggung jawab untuk mencegah atau menghukum tindakan-tindakan pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang berada di bawah komando efektif dan kendali atau wewenang mereka.
Sebagai contoh, pasal 29 dari Undang-undang tahun 2004 untuk pembentukan Pengadilan Luar Biasa Kamboja (Cambodian Extraordinary Chambers) untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang dilakukan pada periode waktu Demokratik Kamboja menyatakan bahwa:
[kenyataan bahwa tindakan-tindakan pidana] dilakukan oleh seorang bawahan tidak meringankan atasannya dari tanggung jawab pidana pribadi jika atasan tersebut memiliki komando operasi dan kontrol atas bawahan tersebut, dan atasan mengetahui atau memiliki alasan untuk mengetahui bahwa bawahannya akan melakukan tindakan-tindakan tersebut atau telah melakukannya dan atasan tersebut gagal mengambil langkah-langkah wajar yang dapat mencegah tindakan-tindakan tersebut atau untuk menghukum para pelakunya.
Tindakan-tindakan pembunuhan massal dan kejahatan-kejahatan terkait lainnya di tahun 1965 dan lanjutannya, dan gagalnya pencegahan dari kemunculan mereka atau untuk menindak lanjuti para pelakunya, terjadi di bawah tanggung jawab penuh Negara Republik Indonesia.
Pejabat-pejabat senior pemerintah Indonesia telah mengakui peristiwa kejahatan-kejahatan ini, tapi sedikit di antara mereka yang menyampaikan keinginan untuk melakukan investigasi atau untuk meminta maaf.
Walaupun pelaporan paling mutakhir terkait ditekan oleh rezim militer Suharto, sesekali ada pernyataan-pernyataan yang memastikan terjadinya kejadian-kejadian tersebut. Investigasi-investigasi lanjutan yang dilakukan peneliti Indonesia dan asing telah mengungkap perintah dan arahan yang mengaitkan rezim tersebut dengan kejahatan-kejahatan yang telah terjadi di berbagai wilayah Indonesia, menunjukkan secara jelas adanya rantai komando dari Jakarta ke tingkat-tingkat lebih rendah.
Sampai batas bahwa beberapa kejahatan dilakukan secara independen terlepas dari pihak berwenang, melalui apa yang disebut sebagai kejadian yang “spontan”, ini tidak membebaskan pemerintah pada waktu itu dari kewajiban untuk mencegah kemunculan kejadian-kejadian tersebut dan menindak mereka yang bertanggung jawab.
Putusan ini tidak akan berulang kali menyebut, tetapi ini harus seterusnya diingat, bahwa seluruh kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi dalam periode ini dan yang dijelaskan secara merinci di bawah dilakukan terhadap sekelompok besar dan diskret masyarakat Indonesia: orang-orang komunis di Indonesia dan setiap orang yang memiliki hubungan dengan mereka, sejauh apapun.
B3. Pembunuhan massal, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan dan penghilangan paksa
Tidak ada yang menyangkal bahwa sejumlah besar orang Indonesia kehilangan nyawa mereka dalam pembunuhan massal 1965 dan sesudahnya: hampir seluruh temuan memperkirakan jumlah sekurangnya-kurangnya 6 digit angka. Tercatat juga bahwa puluhan ribu orang dipenjara dan dipindahkan ke kamp-kamp selama bertahun-tahun tanpa ada proses hukum yang resmi.
Sebagian besar korban mengalami kerja paksa dan penyiksaan, dieksekusi atau meninggal dalam tahanan. Ada juga sejumlah laporan, walaupun sulit untuk dihitung jumlahnya, yang menuliskan tentang orang-orang yang dijemput paksa atau ditangkap (jarang melalui proses formal) dan kemudian dihilangkan.
Secara internasional dan hukum hak asasi manusia, upaya untuk menghitung jumlah korban total yang tepat dan kesimpulan akhir kasus ini tidak diperlukan. Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah kasus pembunuhan dan pemenjaraan.
Namun karena adanya ketertarikan yang cukup tinggi/ kepentingan tertentu untuk mengetahui jumlah korban, kita perlu mengamati lagi beberapa sumber-sumber utama agar dapat memberikan rangkuman tentang perkiraan yang muncul selama 50 tahun terakhir.
- Pembunuhan massal
Sumber-sumber statistik untuk pembunuhan massal dibagi menjadi tiga kelompok:
- Sejumlah laporan yang ditulis oleh para diplomat asing dan wartawan (tidak ada informasi statistik yang diterbitkan di media Indonesia), menyebutkan jumlah kasus pembunuhan hanya sampai pada periode tertentu. Contohnya duta besar Inggris di Jakarta, Andrew Gilchrist, memberikan informasi ke foreign office pada 23 februari 1966 bahwa duta besar Swedia telah melakukan penelitian lapangan dan menginformasikan perkiraan korban sebanyak 400.000 korban. Perkiraan ini ternyata lebih rendah dari sesudahnya. Beberapa hari kemudian, wartawan Amerika Serikat Joseph Craft melaporkan di Boston Globe bahwa “Indonesia, sebagai negara berpenduduk terpadat kelima di dunia, sudah menjadi tempat pembunuhan massal yang berkelanjutan dalam skala sangat besar, sekitar 300.000 orang terbunuh sejak November. Namun ini belum termasuk kasus pembantaian yang terjadi pada saat yang sama”
- Sumber-sumber dari pemerintah Indonesia menyebutkan jumlah korban yang sangat sedikit, namun informasi ini diperoleh tidak langsung. Dua sumber yang sering dikutip:
- Pada bulan November 1965, komisi pencari fakta, yang ditugaskan oleh Presiden Sukarno, menyebutkan angka perkiraan awal korban mencapai 78.000 jiwa sampai saat itu. (Jumlah ini dianggap terlalu rendah bahkan oleh anggota-anggota komisi itu sendiri); dan
- pada pertengahan 1966, Kopkamtib menyebutkan angka hampir 1 juta korban. Perkiraan ini berdasarkan survei lapangan dan pernyataan dari wartawan-wartawan asing. Yakni 800.000 diantaranya terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, 100.000 di Bali, dan 100.000 di Sumatra. Robert Cribb, seorang ahli dari Australia, menuliskan survei ini sebagai “usaha yang bagus untuk mendapatkan angka yang bisa dipercaya, namun kesimpulan-kesimpulannya tidak dapat diterima tanpa kepastian”. Pernyataan lain yang sering dikutip adalah pernyataan dari komandan Kostrad Sarwo Edhie. Dalam keadaan sekarat, beliau diduga kuat mengatakan pada Permadi, seorang penganut aliran kepercayaan terkenal, bahwa pada periode ini sekitar tiga juta orang dibunuh, dan sebagian besar dari mereka dibunuh atas perintahnya. Tetapi pernyataan ini tidak didukung oleh bukti yang kuat.
- Laporan dari peserta, saksi mata, dan pengamat biasanya terbatas di suatu daerah atau satu kejadian. Laporan Komnas HAM tahun 2012 terbatas hanya di enam area penyelidikan yang berbeda. Laporan ini memberikan banyak contoh, misalnya:
Pembunuhan di Kampung Flores Timur (daerah Maumere)
Saksi-saksinya adalah orang-orang yang melihat pembunuhan di beberapa tempat di Kecamatan Maumere. Orang-orang dibawa dengan truk-truk, tangan mereka diikat. Mereka diturunkan dari truk-truk dan diperintahkan untuk berjalan menuju ujung parit. Ada 84 orang, 36 diantaranya dari penajara dan sisanya ditangkap di gunung-gunung.
Laporan-laporan ini datang dari berbagai wilayah di Indonesia. Ini menunjukan operasi pemusnahan yang menyebar (Penyelidikan Komnas HAM, memiliki sumber-sumber yang terbatas, salah satunya adalah lokasi geografis kejadian 1965-1966 yang sangat besar).
Laporan-laporan tersebut juga mengilustrasikan secara detil tentang pembunuhan-pembunuhan lewat gambar. Namun, sebaran data ini terlalu besar untuk dijadikan suatu kesatuan statistik yang berarti.
Usaha sistematis pertama untuk menyatukan dan menganalisa sekian banyak data statistik, yang sering kali tidak memuaskan, dilakukan oleh Robert Cribb dalam bab pengantar artikelnya yang diterbitkan tahun 1990. Publikasi ini memberikan dampak yang dramatis ketika diterbitkan.
Hingga saat ini, publikasi Cribb masih dijadikan acuan terutama pembahasan mengenai rentang perkiraan jumlah korban dan analisis awal tentang kenapa ada kesulitan untuk mencapai kesimpulan kuat dan alasan mengapa ada laporan dengan estimasi jumlah korban yang terlalu rendah atau terlalu tinggi.
Cribb mengumpulkan perkiraan jumlah korban dari berbagai laporan dan merangkumnya dalam sebuah tabel. Tabel ini menunjukan rentang estimasi jumlah dari 78.000 sampai satu juta.
Beliau menyatakan bahwa permulaannya:
Mengejutkan bahwa kami mengetahui sangat sedikit tentang pembunuhan besar-besaran yang terjadi setelah usaha kudeta 1965. Garis besar kejadian-kejadian ini cukup jelas. Pembunuhan-pembunuhan itu terjadi beberapa minggu setelah kudeta, meliputi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, kemudian Bali dan beberapa daerah di pulau-pulau lain dalam skala yang lebih kecil.
Di sebagian besar daerah, pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan oleh unit-unit militer dan kelompok-kelompok penduduk yang main hakim sendiri.
Di beberapa kasus, militer melakukan sendiri secara langsung pembunuhan-pembunuhan tersebut; seringkali mereka hanya mensuplai senjata, memberikan pelatihan dasar sekedarnya dan mendesak dengan kuat kuat kelompok-kelompok masyarakat untuk melaksanakan sebagian besar pembunuhan.
Pembunuhan besar-besaran ini berakhir pada bulan Maret 1966, namun kadang-kadang terjadi lagi di berbagai daerah di Indonesia sampai akhir 1969.
Informasi detil tentang siapa yang dibunuh, di mana, kapan, mengapa dan oleh siapa belum tersedia secara lengkap. Kesimpulan-kesimpulan yang ada hanya bisa dikatakan sebagai kesimpulan sementara.
Pembunuhan 1965-66 biasanya dilakukan secara menyebar, pada malam hari dan dilakukan oleh kelompok kecil, sehingga pelaku-pelakunya hanya mengetahui dan terlibat dalam suatu kejadian kecil pembunuhan.
Oleh karena itu, untuk mengetahui perkiraan jumlah total yang tewas harus menggabungkan data dari banyak laporan, bahkan gabungan-gabungan dari laporan-laporan.
Sebuah ulasan tahun 2013 oleh Annie Pohlman memberikan beberapa perkiraan baru. Pohlman juga memberikan apresiasi untuk ringkasan Cribb tahun 1990 ini. Pohlman mengatakan bahwa pembunuhan-pembunuhan ini tetap menjadi “sejarah Indonesia yang suram”.
Sejumlah kajian kritis setelah publikasi Cribb ini telah “menambah pengetahuan kita tentang siapa, di mana dan kenapa” walaupun masih ada “banyak faktor, kecenderungan, aktor, dan motivasi yang tetap tidak jelas….”
Di tahun 2001, Cribb menuliskan lagi sebuah kajian dan mengatakan: “Sebuah konsensus ahli menyebutkan angka 400-500 ribu jiwa, tapi jumlah tepatnya bisa setengahnya atau bahkan dua kali lipatnya” dan “Kami mungkin tidak dapat menemukan bukti empiris untuk menjawab pertanyaan ini.”
Pertimbangan hukum
Pembunuhan dikategorikan sebagai sebuah tindakan kriminal di hampir seluruh kode hukum dan moral, sampai dengan tingkat kriminalitas pembunuhan dan pemusnahan taraf tertentu, dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Status Roma tahun 200, artikel 138-140 KUHP dan hukum no. 26/ 2000 artikel 9(a) dan (b).
Para ahli hukum mengatakan:
Dalam tatanan internasional perlindungan terhadap hak asasi manusia, hak untuk hidup adalah hak yang sangat penting dan mendasar. Dalam konteks hukum internasional kontemporer, jika hak hidup ini tidak dihormati, hak-hak yang lain juga terabaikan dan menjadi tidak berarti. Hak-hak lain ini contohnya hak kesetaraan, larangan perbudakan dan diskriminasi ras yang sistematik, seperti apartheid.
Tindakan membunuh/ pembunuhan selalu berada pada nomor urut pertama dalam daftar-daftar kejahatan terhadap kemanusiaan. Daftar ini dimulai dari IMT Charter sampai dengan ICTY dan undang-undang ICTR, konsep ILC 1966 dan undang-undang ICC.
Ditinjau dari undang-undang yang didokumentasikan di atas, peristiwa setelah G30S jelas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam hukum internasional kontemporer tentang pembunuhan, tepatnya kasus pertama yang akan diadili di pengadilan oleh penuntut.
Menimbang besarnya skala dan cakupan pembunuhan, kejadian ini dapat disebut sebagai kejahatan pemusnahan, yang dideskripsikan sebagai berikut:
Pemusnahan termasuk kejahatan utama dalam (gabungan) undang-undang yang mencakup tindakan pembunuhan dengan jumlah korban yang banyak. Tanggung jawab terhadap tindakan kriminal pemusnahan ditujukan kepada individu yang melakukan tindakan pembunuhan, termasuk mereka yang terlibat secara tidak langsung. Sebaliknya, dalam prinsip undang-udang pemusnahan tanggung jawab saja tidaklah cukup. Undang-undang mengatakan pemusnahan sebaiknya ditujukan secara kolektif bukan ditujukan kepada individu. Setiap tindakan bisa menjadi kejahatan pemusnahan, baik yang dilakukan segera atau tidak, langsung atau tidak langsung sampai dengan pemusnahan fisik orang banyak.
1. Pemenjaraan
Pada bulan-bulan pertama kampanye militer, ribuan orang dituduh sebagai anggota PKI atau terlibat dalam organisasi-organisasi yang berasosiasi dengan partai tersebut. Mereka ditangkap dan dipenjarakan atau dipindahkan ke rumah tahanan sementara.
Pada 25 oktober 1965, Jenderal Abdul Haris Nasution (Kepala staf militer dan satu-satunya jenderal yang berhasil lolos dari pembunuhan tanggal 30 Semptember) menggambarkan proses yang terjadi. Beliau berulangkali menyebutkan nama PKI: “Sudah jelas siapa musuh di balik selimut. Sudah jelas karena di setiap institusi, termasuk SAB (Staf Angkatan Bersenjata), sedang terjadi pembersihan dan proses pengaturan. Para pelaku politik dan pendukungnya sedang disapu bersih, dan dicari dimana-mana.”
Pada 12 November, Jendral AH Nasution mengeluarkan perintah INS 1015/1965 yang menjelaskan tiga kategori anggota bersenjata yang perlu “diamankan” (mereka yang terlibat langsung, mereka yang terlibat tidak langsung dan mereka yang diduga terlibat karena keikutsertaannya di PKI). Ini adalah bentuk awal klasifikasi A-B-C dan usaha pertama pemusnahan PKI. (Lihat Appendix D1.c untuk detil informasi tentang klasifikasi A-B-C).
Tiga hari kemudian, Jenderal Suharto, dalam kapasitasnya sebagai Komandan Kopkamtib, mengeluarkan perintah no 22/KOTI/1965 yang memperluas penerapan ketiga kategori ini untuk diterapkan pada birokrasi sipil.
Pada 12 maret 1966, instruksi resmi pertama terbit setelah pengambilalihan kekuasaan dari Presiden Sukarno, Jenderal Suharto menandatangani Dekrit Presiden 1/3/1966 yang menyatakan bahwa PKI adalah organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia, juga menyatakan perintah untuk membubarkan seluruh strukturnya dari pusat sampai ke daerah, termasuk organisasi-organisasi yang berasosiasi dan berkaitan dengan PKI.
Dekrit lain diterbitkan bulan Mei 1966. Dekrit ini melarang organisasi-organisasi massa dan struktur PKI sampai tingkat komite desa. Daftar tersebut terdiri dari 22 organisasi massa, 25 institusi pendidikan, federasi serikat buruh, SOBSI (dengan keanggotaan sebanyak 3 juta orang) dan 62 serikat buruh lainnya.
Baperki, sebuah organisasi untuk penduduk indonesia keturunan Cina, juga dilarang (ditambah 3 institusi yang berkaitan dengan Baperki).
Para tahanan harus mengikuti proses penyaringan untuk menentukan kategorinya dan atau mengetahui mereka terlibat di organisasi terlarang yang mana.
Seperti pemerintah menentukan klasifikasi para tahanan, dalam Pengadilan rakyat ini, Dr Saskia Wieringa memberikan laporan tertulis dan kesaksian verbal terkait tes psikologi para tahanan untuk menentukan klasifikasinya. Klasifikasi ini kemudian menjadi pengganti hukum. Saskia kemudian juga mendokumentasikan kolaborasi antara psikologi Indonesia dan Belanda dalam proses ini.
Jumlah tapol (tahanan politik) diperkirakan satu juta orang. Pada tahun 1975-1966, statistik resmi menyatakan 500.000, 600.000, atau 750.000 ditahan dan dipenjarakan pada tahun-tahun setelah 1965.
Jumlah ini termasuk orang-orang yang ditahan dan mereka yang kemudian dibebaskan (mereka kemudian ditandai sebagai ET atau eks tapol). Para eks tapol dan keluarganya terus menderita kehilangan hak-hak sipilnya, tidak bisa bebas bepergian atau bekerja di sektor tertentu. Menteri Luar Negeri Adam Malik mengatakan:
Setelah kegagalan kudeta 1965, pada tahun 1966 Kami memulai interogasi pada orang-orang yang terlibat dalam kudeta itu. Saat itu, jumlah yang diinterogasi ada 600.000 orang. Berdasarkan hukum yang berlaku, hati nurani dan kemanusiaan, kami mulai memilah orang-orang yang bersalah atau tidak bersalah. Dalam proses ini, jumlah orang-orang yang ditahan berkurang menjadi 20.000 orang. Mereka dinyatakan bersalah dan masuk dalam kategori yang berbeda-beda. Orang-orang ini akan diadili di pengadilan. Mereka yang dinyatakan tidak bersalah, segera dibebaskan. Jika ada yang dinyatakan tidak bersalah di pengadilan, mereka juga akan segera dibebaskan.
Jumlah ini diragukan oleh Amnesty Internasional dan mendapatkan kritikan. Bahkan Pemerintah Indonesia sendiri mengakui bahwa jumlah sebenarnya lebih besar dari 20.000 orang. Pada September 1971, Jaksa Penuntut Indonesia, Jenderal Sugih Arto, mengatakan kepada wartawan asing bahwa “tidak mungkin mendapatkan kepastian jumlah tapol. Seperti konversi mata uang Yen jepang ke Dolar, kursnya terus bergerak”. Dia menjelaskan bahwa para komandan di lapangan diberi wewenang untuk menangkap dan menginterogasi para tersangka. Para komandan juga tidak diwajibkan melaporkan penangkapan-penangkapan itu ke pusat di Jakarta. Para tahanan ini bisa ditahan untuk waktu yang tak terbatas, bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Sangat sedikit dari mereka yang diadili di pengadilan. Menurut Amnesti internasional, “Dari ratusan ribu orang yang ditahan pada awal tahun 1977, pemerintah menyatakan telah mengadili 800 tahanan. Jadi setahun kira-kira kurang dari 100 kasus. ” Akses ke pengadilan ini tertutup untuk ahli hukum asing.
Publikasi resmi dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tahun 1995 mengatakan ada 1.887 tahanan kategori A, 1.009 orang diantaranya diadili di beberapa tipe pengadilan, dan 878 orang dipindahkan ke kategori B (tidak ada diantara mereka yang diadili di pengadilan). Sebagian besar dari kelompok ini dikirim ke Pulau Buru untuk kerja paksa.
Pertimbangan Hukum
Mengingat tindakan sewenang-wenang dan pemenjaraan yang melanggar hukum dalam hukum internasional kebiasaan (international customary law), pengadilan rakyat ini mendukung pihak penuntut atas pelanggaran hukum no 26/2000 artikel 9 (e), yang bunyinya:
- Pemenjaraan atau perampasan kebebasan fisik sebagai bentuk pelanggaran fundamental dalam hukum internasional dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan. Negara Indonesia, sebagai individu atau bergabung dengan organisasi lain, dengan sewenang-wenang menahan dan memenjarakan sejumlah besar anggota, pengikut, dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi lainnya yang berkaitan dengan PKI tanpa adanya pengadilan, tanpa surat penahanan dan merupakan pelanggaran hukum internasional. Ketidakadaan surat penahanan membuat kasus ini menjadi awal penahanan yang melanggar hukum. Para tahanan juga tidak diinformasikan tentang alasan penahanan dan tentang prosedur hukum.
- Sebaliknya, para psikolog memutuskan di kategori mana para tahanan harus masuk. Keputusan ini diambil berdasarkan tingkat loyalitas mereka ke PKI. Kategorisasi para tahanan ini menjadi indikator apakah mereka akan bertahan. Para psikolog ini memainkan peran sebagai hakim de facto.
- C) Perbudakan
Jaksa penuntut mengajukan sejumlah bukti yang menyatakan bahwa para tahanan dipaksa bekerja sampai ke tahap perbudakan. Perbudakan adalah sebuah kejahatan dalam hukum internasional, juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dakwaan dari penuntut memberikan beberapa lokasi kerja paksa, contohnya di Monconglowe (disebut Moncong Loe oleh Komnas HAM), Sulawesi Selatan, Pulau Buru, Maluku, Balikpapan, Kalimantan Timur, Nusa Kambangan, dan Plantungan, Jawa Tengah, dan di beberapa penjara di Jawa Barat.
Terkait para tahanan di Pulau Buru, Komnas HAM melaporkan:
Pulau Buru terletak di Maluku. Sekitar 11.500 tahanan diasingkan di pulau ini. Perbudakan juga terjadi di sini. Para saksi menceritakan kepada tim Komnas bahwa mereka harus bekerja tanpa bayaran di gudang, bendungan, kantor komandan, pabrik semen, dan kompleks perumahan. Mereka harus bekerja di sawah penduduk dan para pejabat tanpa bayaran. Mereka juga mengatakan bahwa 90% dari istri para tahanan diwajibkan untuk melayani keinginan seksual para tentara dan pekerja sipil. Komnas HAM menyimpulkan bahwa perbudakan dan perbudakan seksual terjadi di Pulau Buru.
Pada tahun 1973 Amnesty Internasional melaporkan bahwa para tahanan perempuan bekerja di sawah dari pagi sampai malam untuk memproduksi makanannya sendiri. Mereka hanya diberi nasi dan sayuran, sedangkan kebutuhan lainnya didapat dari kerabat mereka seperti gula, teh, kopi, sabun, dan pakaian bersih. Keluarga tidak diperkenankan menengok para tahanan di Plantungan. Walaupun mereka bisa mengirimkan paket makanan, komunikasi antar keluarga dan para tahanan sangat sulit dan mahal.
Dalam pengadilan rakyat yang lalu, sebuah laporan tertulis menggambarkan sistem kerja paksa ini:
Di berbagai tempat penahanan, para tahanan politik bekerja tidak hanya di sekitar tempat tahanan mereka. Para tapol bekerja dengan bayaran yang sedikit atau tanpa bayaran sama sekali di seluruh proyek pembangunan infrastruktur dan perkebunan. Pergerakan tapol dari penjara ke tempat kerja ini diawasi, ada yang diawasi per hari dan ada juga yang dalam jangka waktu yang agak lama, tergantung dari lokasi kerjanya. Di setiap kasus penahanan pasti terjadi kerja paksa yang berkembang menjadi perbudakan. Laporan seperti ini diperoleh dari Sulawesi Tengah (Palu, Donggala, Poso), Sumatra Utara (Asahan, Langkat, Deli Serdang), Jawa Tengah, Jawa Timur, juga di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.
Ada dua orang yang memberikan kesaksian dalam pengadilan rakyat yaitu saksi korban Bapak Basuki Bowo (nama samaran) dan saksi ahli Dr Asvi Warman Adam. Bapak Basuki Bowo menceritakan pengalamannya selama 9 tahun menjadi tahanan di Pulau Buru. Dalam masa ini, beliau diwajibkan untuk bekerja sangat keras dan ekstrim (tanpa upah) untuk proyek pembangunan infrastruktur di sebuah hutan yang belum terjamah, kemudian menggarap tanah untuk mendapatkan sumber makanan. Hasil kebun ini kemudian dijual, dan untungnya diambil oleh para penjaga dan komandannya.
Dr Asvi Varman Adam, seorang sejarahwan dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) mengkonfirmasi adanya kerja paksa. Dalam penelitiannya tahun 2013, Dr Asvi mengatakan sedikitnya 11.600 tahanan dibawa ke Pulau Buru dan melakukan kerja paksa di 23 kamp kerja paksa. Setiap kamp terdapat 500 orang. Selanjutnya, beliau mengatakan:
Para tahanan dibebaskan tahun 1978-1979 karena adanya tekanan kelompok internasional (para donor). Tekanan ini mengharuskan kerja paksa di Pulau Buru ini ditutup. Ketika para tahanan datang, Pulau Buru masih merupakan hutan rimba. Di tahun 1974, para tahanan bekerja sangat keras dan berhasil menggarap 3 hektar sawah padi. Kemudian Pulau Buru menjadi sumber pangan di Indonesia berkat kerja keras para tahanan.
Pertimbangan Hukum
Dalam hukum internasional, ada perbedaan antara ”kerja paksa” dan “perbudakan”. Perbedaannya terletak pada situasi dan kondisinya seperti kerja paksa dan kontrol dari pelaku terhadap hidup para tahanan. Karena pemaksaan kerja yang ekstrim dalam kondisi yang tidak manusiawi dan kontrol menyeluruh dari militer dan petugas sipil negara, para tahanan ini mengalami perbudakan. Perbudakan adalah kejahatan kemanusiaan dan kejahatan dalam hukum domestik Indonesia No. 26/2000, artikel 9 (c).
Perbudakan juga merupakan pelanggaran terhadap Konvensi tahun 1930, terutama kerja paksa/ wajib. Konvensi ini diratifikasi oleh Indonesia tanggal 12 juni 1950. Dalam konvensi ini dijelaskan tentang batasan beratnya pekerjaan dan kondisi kerja yang layak.
1. d) Penyiksaan
Jaksa penuntut menjelaskan bukti-bukti adanya penyiksaan yang dialami oleh para tahanan (secara tertulis dan verbal). Dakwaannya sebagai berikut:
Kelompok militer Indonesia melakukan penyiksaan. Dalam banyak kasus, penyiksaan ini menyebabkan kematian. Selain itu, kematian juga disebabkan karena luka-luka akibat siksaan yang tidak diobati.
Penyiksaan terjadi di berbagai lokasi dan dilakukan secara sistematis. Para peneliti IPT 1965 mendokumentasikan 235 korban penyiksaan. Sekitar 173 korban penyiksaan diwajibkan lapor ke otoritas setempat setiap harinya, bahkan sampai mereka dibebaskan pun, mereka tetap harus wajib lapor.
Penyiksaan yang terjadi mencakup:
-
- bagian tubuh terbakar,
- setruman listrik,
- berbagai bentuk siksaan air,
- pelecehan seksual,
- pencabutan kuku jari,
- paksaan minum urin para prajurit,
- gesekan cabai di mata korban,
- memasukan korban di karung bersama ular,
- pemotongan telinga korban dan memaksa mereka untuk memakannya.
Dua orang saksi, Bapak Muhammad Pakasi (nama samaran) dan Bapak Martin Aleida, memberikan kesaksian selama pengadilan rakyat berlangsung. Berdasarkan pengalaman pribadi, mereka menuturkan tentang penyiksaan, ancaman penyiksaan, menyaksian penyiksaan, dan kesaksian karena mendengarkan jeritan akibat siksaan, serta melihat luka-luka akibat penyiksaan.
Dalam laporannya, Komnas HAM menuliskan detail penyiksaan yang terjadi di beberapa lokasi penelitian, termasuk rumah tahanan di Jalan Gandhi – Sumatra Utara, POMDAM (sebuah institusi militer), kantor-kantor polisi, kantor imigrasi, rumah-rumah keturunan Cina, penjara Pekabingan, Kalong (Jalan Gunung Sahari), Gang Buntu (Kebayoran), sebuah gedung di Jalan Latuharhari, rumah orang Cina di Jalan Melati Denpasar, sekolah di Jalan Sawahan Malang, Sekolah Manchung di Jalan Nusakambangan Malang, penjara militer, Budi Utomo, dan Budi Kemulyaan.
IPT juga menerima laporan bersama dari Asia Justice and Rights (AJAR), KontraS, SKP-HAM Palu, ELSAM, KIPPER, LAPPAN dan JPIT. Laporan ini berjudul “Widespread and Sytematic Commission of Arbitrary Detention, Torture & llI-Treatment During the Violence around the 1965 atrocities in Indonesia” (Komisi penyebaran dan sistematik terhadap penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan perlakuan terhadap korban yang sakit selama kekerasan dan kejahatan sekitar tahun 1965 di Indonesia). Dalam laporan ini dinyatakan ada 296 korban penyiksaan, 240 laki-laki dan 56 perempuan. Pelaku kejahatan adalah orang militer (240), polisi (51), jaksa penuntut (3), dan penduduk sipil (32).
Pertimbangan hukum
Sebelum Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment diresmikan tahun 1984, dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada 28 september 1998, penyiksaan dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan dalam hukum internasional kebiasaan.
Selain dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional, larangan terhadap penyiksaan sudah ada dalam hukum Indonesia yaitu Konstitusi Indonesia artikel 28G (2) “Setiap orang berhak untuk memiliki kebebasan dari penyiksaan atau tidakan tidak berperikemanusiaan dan tindakan yang merendahkan, dan berhak untuk mencari suaka di negara lain”; Hukum no. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia artikel 33 (1) “Setiap orang berhak memiliki kebebasan dari penyiksaan, kekejaman atau tindakan tidak berperikemanusiaan dan hukuman/perlakuan yang merendahkan”. Hukum No. 26/2000 artikel 9 (f) Pengadilan Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa penyiksaan adalah tindakan kejahatan yang harus diadili (lihat artikel 43).
1. e) Penghilangan paksa
Selain pembunuhan massal dan pemenjaraan, banyak juga orang yang ditangkap dan kemudian “dihilangkan”. Tindakan ini dilakukan tanpa basis hukum dan tidak ada dokumentasi detail yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi korban. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ke pemerintah tentang kasus penghilangan paksa ini tidak mendapatkan jawaban. Dalam beberapa kasus, korban penghilangan paksa sebelumnya mengalami penahanan. Beberapa dari mereka ada yang dipanggil keluar tahanan dan langsung dibunuh, dan ada juga yang dibunuh setelah masa tahanan selesai.
Dua orang memberikan kesaksian selama pengadilan rakyat berkaitan dengan penghilangan paksa kerabatnya yaitu Bapak Astaman Hasibuan dan Ibu Intan Permatasari (nama samaran dan bersaksi di balik layar).
Bapak Hasibuan menceritakan bahwa ayahnya Sumarno Hasibuan menghilang setelah dipanggil untuk menjadi saksi salah satu Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa). Sebelumnya beliau ditahan di Kodam (Komando Daerah Militer) 1 di Jalan Masdulhak. Bapak Sumarno Hasibuan adalah anggota DPR-GR Sumatra Utara dan anggota Dewan Harian Komite Darah Besar PKI Sumatra Utara. Saksi mengatakan bahwa saksi mencari informasi berulang kali untuk mengetahui kondisi ayahnya tapi tidak pernah mendapatkan informasi apapun dari pemerintah. Bapak Astaman sudah 2 kali bersaksi, sebelumnya di Komnas HAM.
Ibu Intan bersaksi bahwa ada 7 orang keluarganya menghilang, termasuk ayahnya seorang pensiunan anggota DPR. Sejak bulan Juli 1965, ayahnya berada di Surabaya untuk berobat. Ibu Intan juga berkata bahwa ayah, ibu, kakak laki-laki, paman, dan beberapa sepupunya pernah terlihat ada di tahanan.
Pada tahun 2012, Komnas HAM memberikan laporan dengan bukti yang jelas tentang penghilangan paksa. Dalam beberapa kasus, korban diambil paksa dari rumahnya dan langsung dihilangkan. Sementara di kasus lain, orang-orang ini dihilangkan dari penjara dan rumah tahanan dan tidak pernah terlihat lagi. Ada satu contoh dari Medan Sumatra, seorang saksi mengatakan:
Pada suatu malam di pertengahan tahun 1967, saksi menyaksikan bahwa ada sekitar 60 orang dari TPU A dipindahkan ke Penjara Suka Mulya, beberapa dipindahkan ke Satgas Intel di Gandhi. Keenampuluh orang itu menghilang dan sampai saat ini tidak diketahui ada di mana. Mereka adalah para pelajar dari AISA (Ali Arkham Social Sciences Academy), sebuah sekolah milik PKI di Medan, dan juga para pekerja dan pemimpin yang sudah ditangkap di sejumlah daerah di Medan.
Berdasarkan investigasi di beberapa lokasi, komnas HAM menyimpulkan dalam laporannya sebagai berikut:
Warga sipil yang tercatat menjadi korban penghilangan paksa ada sekitar 32.774 korban. Penghilangan paksa ini dilakukan oleh negara di berbagai lokasi .
Angka dari Komnas HAM ini akan menjadi lebih besar jika kita menghitung jumlah korban penghilangan paksa di seluruh Indonesia.
Laporan penelitian IPT juga disampaikan ke para juri di pengadilan rakyat ini, termasuk sejumlah studi kasus dengan informasi detail lokasi dan nama-nama korban. Lokasi penelitian difokuskan di Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa.
Kasus penghilangan paksa dan kerja paksa yang paling ekstrim terjadi di sejumlah perkebunan di Sumatra Utara pada akhir 1965 sampai awal 1966. Korban penghilangan paksa ini adalah orang-orang yang dianggap terlibat PKI.
Seluruh pemimpin dan sekretaris dari seluruh cabang dan ranting berbagai organisasi (PKI, BTI, Organisasi Pemuda dan Serikat Buruh Sarbupri (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) yang berlokasi di kelurahan dan desa di sekitar daerah perkebunan, ditangkap oleh Buterpra (Bintara Urusan Teritorial Pertahanan Rakyat) dan anggota Komando Aksi.
Berbagai laporan dari berbagai sumber menuliskan kasus penghilangan paksa ini terjadi pada saat yang bersamaan.
Pertimbangan hukum
Laporan penelitian IPT menyimpulkan:
Kasus-kasus di atas tidak bisa mewakili keseluruhan kejahatan yang terjadi tapi membuktikan adanya kejahatan serius terhadap hak asasi manusisa seperti yang ditulis di Universal Declaration of Human Rights, yang juga tertuang di International Convenants on Human Rights dan instrumen hukum international hak asasi manusia yang lain.
Pada 18 desember 1992, Majelis Umum PBB menyatakan resolusi 47/133 dalam Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance yang menjadi dasar larangan terhadap penghilangan paksa dalam Hukum Kebiasaan Internasional. Hal ini juga ditekankan dalam Piagam PBB dan Universal Declaration of Human Rights. Majelis Umum PBB meratifikasi International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance pada Desember 2006.
Bukti-bukti dalam pengadilan rakyat ini mengkonfirmasi terjadinya penghilangan Paksa, seperti yang didefinisikan di pembukaan Deklarasi tahun 1992:
B4
B4. Kekerasan Seksual
Jaksa menyajikan laporan yang sangat detail untuk mendukung klaim bahwa “Kekerasan seksual terjadi secara adanya nyata pada kedua peristiwa, yaitu pembunuhan massal 1965-1966 dan pasca penahanan politik massal pada 1 Oktober 1965 di Indonesia.” Jaksa juga menegaskan kekerasan seksual dilakukan dengan beragam cara. “Termasuk pemerkosaan, penyiksaan secara seksual, perbudakan seksual, dan bentuk kekerasan seksual lainnya.”
Jaksa dengan detail melampirkan tindak kekerasan seksual ini dalam laporan setebal 200 halaman yang di dalamnya terdapat 20 kasus individual yang menegaskan:
Tindak kejahatan yang ditampilkan dalam laporan ini terjadi di beragam tempat, mulai dari di dalam rumah korban, di tempat terbuka, di dalam penjara, di barak polisi atau tentara, dan di tempat-tempat lainnya yang menjadi fasilitas khusus untuk menahan orang-orang yang berkaitan dengan kudeta 1965. Laporan ini juga menampilkan detail waktu kejadian yang beragam: mulai dari kekerasan seksual yang dilakukan secara individual, kekerasan seksual yang dilakukan berulang kali dari hari ke hari dan minggu ke minggu, sampai perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, dan pemaksaan pernikahan yang semuanya berlangsung selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Dengan beragamnya tindakan kekerasan yang dilakukan dalam berbagai kondisi adalah bukti (dari) kekerasan seksual dilakukan secara tersebar dan sistematis selama bertahun-tahun berkaitan dengan kekerasan anti komunis di Indonesia. Ini adalah kejahatan kemanusiaan.
Pengadilan Rakyat Internasional juga mendengar langsung bukti faktual dari saksi, ibu Kinkin Rahayu (nama samaran) dan seorang saksi ahli, Dr. Saskia Wieringa. Kutipan testimoni ibu Kinkin, korban kekerasan seksual yang menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya dengan detail secara grafis. Ia meminta kesaksiannya disampaikan tidak secara terbuka, juga dilampirkan dalam laporan ini pada bagian lampiran D1.d. Sedangkan saksi ahli yang juga bersaksi adalah juga ketua pada IPT Executive Board Dr. Saskia Wieringa, memaparkan hasil penelitiannya yang mendalam dan telah ditampilkan dalam berbagai publikasi.
Bukti penting terkait isu sensitif ini juga sudah dilaporkan dan dipublikasikan Komnas Perempuan pada 2007. “Komnas Perempuan adalah lembaga yang dibentuk dari Keputusan Presiden 2005 yang tugas utamanya adalah menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan menciptakan kesadaran melawan kekerasan terhadap perempuan.”
Laporannya yang dibuat berdasarkan standar penelitian akademis dengan analisa mendalam dari 122 testimoni penyintas perempuan 1965. (Kutipannya dapat dilihat dalam laporan ini pada Lampiran D1.e). Beragam studi akademis juga telah dipublikasikan terkait kekerasan seksual, dan telah juga disampaikan kepada para hakim.
Sewaktu membuat laporan ini, Komnas Perempuan menyampaikan pernyataan para korban perempuan sebagai berikut:
Kami adalah aktivis perempuan yang ditahan bertahun-tahun tanpa diadili, istri dari para tahanan politik, janda, dan kami mempresentasikan ribuan korban perempuan dari peristiwa 1965. Kami telah bagikan kisah kami tentang kekerasan yang dilakukan negara, bagaimana kami kemudian bertahan, dan apa yang menjadi harapan kami. Pada 1965, kami adalah mantan pejuang kemerdekaan, mendukung kebijakan pemerintah dan berkampanye untuk mereka. Kami adalah anggota dari organisasi resmi seperti Lekra, Gerwani, CGMI, HIS, BTI, SOKGI. Kami membuat pelatihan penghapusan buta huruf, melakukan kampanye anti feodalisme untuk kesetaraan. Kami adalah ibu muda dengan anak-anak yang masih kecil, kami adalah pelajar. Tapi kemudian pembunuhan para Jenderal telah mengubah kehidupan kami. Kami tidak tahu apa yang terjadi. Tapi kemudian kami menjadi perempuan-perempuan tidak bermoral. Tidak ada surat penahanan. Kelompok paramiliter itu tidak pernah menjelaskan kepada kami mengapa suami-suami kami diambil.
Sebagai istri dari tahanan politik, kami kemudian menjadi korban dari kekerasan seksual saat mengunjungi suami kami di penjara. Beberapa diantara kami bahkan dipaksa untuk “menikahi” anggota tentara untuk menyelamatkan keluarga kami. Anak-anak kami juga dicekal, tanah, rumah dan perhiasan kami dirampas. Kami dipecat dari pekerjaan, tidak memiliki pendapatan. Lalu banyak diantara kami yang kemudian dikirim menjadi buruh. Kami diinterogasi dan disiksa berkali-kali, dan kami juga dipaksa untuk menyaksikan penyiksaan yang mereka lakukan terhadap yang lainnya. Kami mengalami pemerkosaan dan kehamilan karena pemerkosaan. Penjara yang menahan kami kondisinya sangat tidak manusiawi. Beberapa tahanan bahkan dieksekusi.
Dampak dari penahanan ini tak hanya kami rasakan saat masa penahanan. Upaya kami untu memperbaiki kondisi perempuan dihentikan. Setelah kami dibebaskan, kami harus selalu melapor kepada pihak berwajib yang kemudian menjadi kesempatan untuk memeras. Kartu identitas kami diberi tanda, dan beberapa diantara kami masih tidak bisa mendapatkan kartu identitas seumur hidup. Kami terus mengalami diskriminasi dari keluarga dan masyarakat sekitar. Keluarga kami menjadi berantakan, bahkan dipaksa untuk berpisah – dengan membiarkan anak-anak dibesarkan oleh orang lain. Kami kemudian disalahkan keluarga karena telah membuat mereka kesulitan mendapat pasangan. Kami tidak pernah bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan diskriminasi terjadi secara terus menerus.
Di dalam laporan ini, Komnas Perempuan menyimpulkan sepanjang pembunuhan massal 1965-1966, anggota perempuan dari organisasi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan yang lainnya kemudian dikaitkan dengan PKI, “menjadi target dari pembunuhan secara sistematis, penghilangan paksa, penahanan ilegal, penyiksaan, dan kekerasan seksual.” Komnas Perempuan menyakini “Gerwani adalah target dari kampanye kotor untuk menghancurkan kelompok politik ini.” (Pada laporan IPT, topik ini akan dijabarkan secara detail pada bagian B6: Propaganda).
Kasus-kasus yang diteliti Komnas Perempuan menunjukkan sebuah pola di mana “pasukan keamanan bisa melakukan kekerasan dan penyiksaan seksual serta pemerkosaan, sejak dari mereka ditangkap. Tak ada larangan dari atasan mereka untuk mencegah atau menghukum mereka yang melakukan kejahatan itu.” Ditemukan juga tindak perbudakan seksual yang berlangsung terus menerus dengan cara “para tahanan perempuan diperlakukan sebagai pemuas birahi aparat yang berulang-ulang kali diperkosa dalam waktu yang lama. Bahkan dibeberapa kasus perbudakan seksual ini menghasilkan kehamilan.”
Pengadilan Rakyat Internasional juga mendengar pemaparan bukti dari Mariana Amirrudin, komisioner Komnas Perempuan yang mendapatkan izin resmi dari presiden untuk menghadiri sidang ini. Dalam kesaksiannya, Mariana menyebutkan organisasinya menyimpulkan sebagai berikut:
Ada indikasi kuat bahwa tindak kekerasan yang dilakukan berbasis gender, dan itu dikoordinasikan oleh aparat bersama kelompok-kelompok yang berkuasa. Pemerkosaan dan penyiksaan serta perbudakan seksual.
Maka dalam hal ini harus adalah pertanggungjawaban dari negara.
Rekomendasi kami yang terpenting saat ini adalah bagaimana para korban dapat pulih dari traumanya, dan memberikan kesejahteraan ekonomi yang sama dan mengembalikan hak politik mereka.
Tidak adanya perhatian akan hal ini, bisa dilihat dari tidak adanya pihak pemerintah yang hadir – menunjukkan para korban masih diposisikan tidak manusiawi. Negara harus mengambil keputusan yang cepat untuk menyelesaikan masalah ini sehingga para korban dapat merasakan hidup lebih manusiawi sampai akhir hidup mereka.
Saya juga ingin menambahkan, para korban yang sudah menua ini hanya menerima sedikit pendapatan dari usaha kecil yang mereka buat. Tapi banyak dari antara mereka sudah tidak produktif hingga kesulitan untuk mencukupi kebutuhan harian mereka, tidak dapat berobat ke dokter, kesepian, dan terpisah dari rumah serta keluarga mereka yang tercerai-berai.
Saat menemui para korban di lapangan, sangatlah penting untuk memperhatikan hak kesejahteraan ekonomi dan sosial mereka.
Lalu isu terpenting berikutnya adalah pemulihan serta tanggung jawab negara untuk menjamin keamanan para korban. Negara harus mencabut stigma atas mereka.
Pertimbangan Hukum
Sebelumnya perhatian terhadap kejahatan yang terjadi di Indonesia pada 1965 dan setelahnya itu sangatlah minim. Baru beberapa waktu belakangan ini saja ketika laporan-laporan sudah dipublikasi ke seluruh dunia, dan sejalan dengan tuntutan kekerasan berbasis gender baik di wilayah domestik, internasional dan pengadilan internasional. Bukti, baik secara lisan maupun tulisan yang dipresentasikan dalam Pengadilan Rakyat Internasional berkaitan dengan pembahasan kekerasan seksual pada 1965-66 ini menjadi sangat kuat dan menyakinkan. Berbagai pernyataan dari para korban yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia menjadi informasi yang spesifik dan grafis pada berbagai macam kejahatan pada pembahasan ini.
Cerita detail yang disampaikan secara individual dan saling berhubungan secara nyata semakin membentuk gambaran bagaimana kekerasan seksual dilakukan dalam skala luas dan pada waktu yang lama kepada perempuan-perempuan dalam jumlah besar yang dianggap berhubungan atau bersimpati dengan PKI.
Kejahatannya meliputi pemerkosaan, kekerasan seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual lainnya yang bertentangan dengan kemanusiaan dan hukum internasional serta hukum Indonesia.
Perhatian lebih lanjut masih harus difokuskan pada aspek yang sangat memalukan dari peristiwa 1965-1966 dan selanjutnya. Seruan Komnas Perempuan untuk melakukan investigasi penuh oleh pemerintah Indonesia, dan kompensasi penuh kepada para penyintas korban seksual dan keluarganya, masih belum terealiasi meski sudah sepuluh tahun lalu direkomendasikan.
B5
B5. Pengasingan
Jaksa Penuntut mendakwa Negara Indonesia atas kejahatan terhadap ratusan ribu warga Indonesia yang berada di luar negeri dengan merampas hak mereka untuk kembali ke negara asalnya secara aman.
Berikut ini adalah situasi yang dihadapi oleh mereka yang diasingkan, sebagaimana dirangkum oleh akademisi Australia David Hill:
Kebangkitan Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Suharto di Jakarta pasca 1 Oktober 1965, mempengaruhi kehidupan ribuan warga Indonesia yang bermukim di negara-negara sosialis dan komunis, terutama pelajar. Pada periode 1965-1966, Kedutaan-kedutaan Indonesia memanggil dan menyelidiki para warga Indonesia di luar negeri. Dalam sesi ini, mereka ditanyai secara terperinci tentang kehidupan mereka dan keluarga mereka di Indonesia; wawancara ini bertujuan membersihkan komunitas migran dari fraksi yang ideologinya bertentangan dengan pemerintah. Warga yang menolak menghadiri rapat dan yang dianggap anggota ataupun simpatisan PKI menerima surat dari Kedutaan masing-masing, berisikan desakan agar mereka segera kembali ke Indonesia. Jika mereka menolak pulang, karena takut akan ditangkap dan dieksekusi di Indonesia, visa mereka dibatalkan, dicabut atau disita. Kedutaan Indonesia juga meminta komunitas migran agar tidak menerima bantuan moral dan material.
Jaksa Penuntut mendokumentasikan 56 kasus pembatalan paspor oleh Kedutaan Indonesia di enam negara, yakni di Uni Soviet, Albania, Romania, Czechoslovakia, Bulgaria dan Kuba. Namun, jumlah keseluruhan korban kebijakan pembatalan paspor oleh pemerintah tentunya melebihi angka ini. Walaupun jumlah tepatnya tidak diketahui, kedutaan-kedutaan besar Indonesia terbukti menerima instruksi untuk memanggil warga Indonesia di negara-negara tersebut, untuk menentukan apakah mereka komunis maupun simpatisan Sukarno. Sangatlah jelas bahwa hanya mereka yang mengaku sebagai simpatisan Suharto yang dapat kembali ke Indonesia dengan mudah, sementara yang lainnya menghadapi konsekuensi yang mengerikan bila kembali.
Pengadilan juga mendengar dua saksi faktual untuk dakwaan ini, yakni Soerono Widojo (nama samaran) dan Aminah (keduanya bersaksi dari balik layar). Menurut saksi, penyelidikan dan pembatalan paspor mereka berdampak besar terhadap kehidupan mereka, yang tidak hanya terbatas pada dampak praktis. Tindakan pemerintah ini juga menghancurkan kejiwaan para korban.
Para saksi yang hadir sebelum pengadilan tidak dapat mengungkapkan identitas mereka karena mereka masih terus khawatir akan keselamatan mereka ataupun keluarga mereka, bahkan setelah 50 tahun pengasingan. Walaupun saksi berhasil hidup dan bekerja di negara lain, mereka merasa tidak dapat pulang karena membayangkan kemungkinan hukuman yang menanti di Indonesia.
Pertimbangan hukum
Walaupun para saksi dan Jaksa menggambarkan mereka yang diasingkan sebagai ‘tak bernegara’, secara teknis, hal ini bukanlah pernyataan final akan status kewarganegaraan mereka. Istilah ini adalah gambaran nyata atas realita yang dihadapi mereka. Pada akhirnya, mereka bukanlah warga di negara tempat mereka tinggal, pun mereka tidak mampu berfungsi sebagai warga negara Indonesia. Karena pembatalan dan penyitaan paspor, juga fakta bahwa para saksi belum merasa aman untuk pulang ke negara mereka, sangatlah jelas bahwa mereka, dan semua orang yang mengalami situasi serupa, telah dihilangkan haknya sebagai warga negara.
Terkait pertanyaan tentang pencabutan kewarganegaraan, UU RI tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menyebutkan ketentuan untuk melindungi warga negara dari pencabutan kewarganegaraan yang dikarenakan alasan politik. Untuk mempertimbangkan pertanyaan ini, perlulah untuk membedakan dua konsep berbeda yang saling terkait, yaitu pencabutan hak untuk kembali secara aman ke negara asal dan pencabutan atas hak kewarganegaraan. Jaksa tidak membuat klaim bahwa tindakan pembatalan paspor warga Indonesia di luar negeri antara tahun 1965 sampai 1967, secara de jure, sebagai bentuk pencabutan kewarganegaraan.
Dapat dikatakan bahwa, walaupun pengasingan paksa tidak sama dengan kejahatan atas kemanusiaan, terutama dalam hal jumlah korban, keparahan, dan dampaknya terhadap korban, tindakan ini jelas merupakan serangan negara yang meluas dan sistematis terhadap bagian dari populasi warga sipil Indonesia. Namun, dapat juga dikatakan bahwa pengasingan paksa adalah bentuk kejahatan atas kemanusiaan, terutama karena dalam hal jumlah korban, keparahan, dan dampaknya terhadap korban, tindakan penyitaan paspor berlangsung sistematis dan meluas dan berdampak parah terhadap korban. Tindakan ini adalah serangan negara secara meluas dan sistematis terhadap bagian dari populasi warga sipil Indonesia.
Berdasarkan pertimbangan dari bukti yang ditunjukkan sebelum pengadilan, fakta yang dibangun adalah bahwa banyak orang Indonesia yang menjadi korban pengasingan paksa, yang merupakan perampasan atas hak untuk bebas berpergian, hak untuk kembali dan menikmati kewarganegaraan penuh (hak-hak dasar yang diatur dalam kebiasaan internasional atau hukum perjanjian), dan tindakan ini sama beratnya dengan bentuk lain kejahatan atas kemanusiaan.
B6. Kampanye Propaganda
Jaksa Penuntut Umum mengajukan bukti ke pengadilan apa saja yang mereka sebut sebagai kampanye “propaganda dan ucapan kebencian sebagai bagian dari serangan meluas dan atau sistematis terhadap anggota dan simpatisan PKI dan organisasi PKI yang berafiliasi, dan atau penduduk sipil di Indonesia sejak tahun 1965 dengan menyebarkan propaganda kebencian melalui berbagai cara”.
Disebutkan bahwa ini adalah kampanye yang berkelanjutan, yang berlangsung selama bertahun-tahun dan bahkan sampai hari ini, berdasarkan tuduhan yang diketahui tidak benar, dan dimaksudkan untuk “membedakan, serta merendahkan martabat kelompok yang dituju dan membangun landasan bagi kekejaman massal yang dilakukan terhadap mereka.”
Kelompok yang dituju dinyatakan tidak hanya anggota dan simpatisan PKI, tetapi semua orang yang diduga anggota organisasi yang berafiliasi dengan PKI, yang total keseluruhannya adalah “sebagian besar dari penduduk sipil [Indonesia].”
Kampanye propaganda ini, disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk memberi fokus pada dua tuduhan utama: a) bahwa PKI adalah “dalang” di balik kudeta yang gagal dari 30 September-1 Oktober 1965; dan b) bahwa selama kudeta perempuan muda yang hadir di Lubang Buaya (di mana pembunuhan tentara yang ditangkap – enam jenderal dan satu letnan – dikatakan telah terjadi), didorong oleh PKI untuk berperilaku tidak bermoral, berusaha untuk merayu para jenderal dengan “tarian telanjang yang seronok”, dan kemudian “mengebiri para jenderal” dan “membunuh mereka setelah mencungkil mata mereka.”
Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa versi resmi kejadian ini sepenuhnya palsu, dan telah diproduksi di bawah naungan militer. Ini membantu untuk melegitimasi pembunuhan massal yang berlangsung pada 1965-1966 dan dikutip sebagai pembenaran oleh banyak dari mereka yang terlibat pembunuhan tersebut.
Versi itu kemudian dijabarkan dalam berbagai bentuk budaya termasuk film dan sastra, dan menjadi sumber utama untuk narasi sejarah peristiwa yang disajikan selama Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto, mempertahankan penganiayaan terus-menerus, dan diskriminasi terhadap mereka yang dinilai sebagai komunis atau simpatisannya.
Untuk mempertimbangkan hal ini, pertanyaan-pertanyaan berikut harus diajukan:
- Apakah versi kejadian substansial benar atau secara substansial palsu? Jika demikian, apakah mereka yang menyusunnya tahu bahwa itu palsu?
- Apakah penyebaran versi kejadian menghasut atau mendorong orang yang mendengarnya untuk melakukan pembunuhan massal atau tindak kejahatan lainnya, dan bisakah mereka yang tidak setuju dengan versi tersebut membantah hal itu:
- versi kejadian dan pengetahuan tentang kisah nyata.
- a) Peran PKI dalam peristiwa 30 September.
Sudah cukup tertanam di antara ulama aliran utama periode ini bahwa beberapa pemimpin senior PKI terlibat dalam peristiwa 30 September. Seperti yang diungkap oleh Robert Cribb dari Australian National University, penelitian terbaru “telah menunjukkan secara meyakinkan bahwa Gerakan 30 September adalah konspirasi bersama antara kelompok Untung [perwira militer] dan kelompok kecil di seputar [D. N.] Aidit sebagai pemimpin PKI.”
Sejauh mana pimpinan PKI mengetahui rencana Aidit untuk berpartisipasi dalam aksi militer terhadap Dewan Jenderal (yang diduga, kemungkinan akan segera meluncurkan kudeta sendiri terhadap Presiden Soekarno) masih belum jelas. Telah diklaim bahwa Partai Politbiro tidak mendapat informasi apapun, sementara Aidit beraksi melalui apa yang disebut “Biro rahasia” dalam kepemimpinan. Namun menurut salah satu akun tangan pertama, Politbiro pernah setuju pada pertemuan bulan Agustus untuk memberikan “dukungan politis” untuk tindakan tersebut, yang dianggap sebagai upaya pencegahan. Tapi berbagai hal ini masih sama sekali tidak bisa dipakai sebagai alasan untuk membenarkan tuduhan bahwa PKI, sebagai institusi, bertanggung jawab untuk seluruh pemberontakan tersebut.
Seberapa jauh kepemimpinan PKI tahu akan hal ini, tidak dibantah bahwa “ratusan ribu komunis Indonesia yang kemudian dibantai, tidak tahu apa-apa tentang rencana ini.” Hal yang sama berlaku secara meyakinkan untuk semua anggota organisasi yang berafiliasi kepada PKI dan individu lain yang juga tewas atau dianiaya. Telah lama dicatat juga bahwa tidak ada upaya yang dilakukan oleh para pemimpin untuk memobilisasi para anggota PKI yang pada saat itu dikatakan mencapai tiga juta, untuk melakukan kudeta.
- b) Tuduhan pengebirian para jenderal ditangkap, dan tindakan “asusila” para perempuan Gerwani terhadap mereka.
Pada 4 Oktober, jenazah ketujuh korban tersebut diangkat dari dalam sumur yang dikenal dengan nama Lubang Buaya – di mana mereka telah dilemparkan tiga hari sebelumnya. Pemeriksaan post-mortem dilakukan pada hari yang sama, atas perintah Jenderal Soeharto, sebelum prosesi upacara melalui jalan-jalan Jakarta dan pemakaman di Taman Makam Pahlawan, yang secara simbolis dilaksanakan pada Hari Angkatan Bersenjata, 5 Oktober.
Sepekan berikutnya, kisah-kisah tentang dugaan penyiksaan dan mutilasi semakin eksplisit disebarkan oleh media massa – terutama di dua surat kabar militer dan sipil yang diizinkan untuk melanjutkan penerbitannya. Hingga tanggal 11 Oktober, dilaporkan bahwa satu atau lebih dari para perwira itu telah dicungkil matanya dan alat kelamin mereka dimutilasi. Dengan tidak adanya bukti-bukti lain, mungkin disimpulkan bahwa surat kabar telah diberitahu tentang isi dari evaluasi setelah pemeriksaan post-mortem.
Namun, dua dekade kemudian peneliti Amerika Benedict Anderson mendapatkan salinan laporan post-mortem yang ditemukannya di antara kertas-kertas proses persidangan terhadap seorang perwira Angkatan Udara yang dituduh berpartisipasi dalam kudeta awal. Laporan otopsi (yang kemudian oleh diterbitkan Anderson pada tahun 1987, dan ekstrak dari yang termasuk sebagai Lampiran D1.a) memaparkan sebuah versi yang sangat berbeda dan jelas menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada bukti untuk klaim penyiksaan, mutilasi, dan pengebirian.
Singkatnya, otopsi menunjukkan bahwa enam dari tujuh perwira tewas akibat luka tembak, dan ketujuh korban tewas karena luka di perut yang kemungkinan disebabkan oleh bayonet. Luka-luka selain tembakan yang direkam pada tubuh mereka menunjukkan pukulan oleh popor senapan atau sebagai akibat dilemparkan ke dalam sumur 36 kaki. Tak satu pun dari tubuh tersebut memiliki tanda-tanda penyiksaan atau mutilasi. Paling penting, dokter yang melaksanakan otopsi tidak mencatat kerusakan alat kelamin para perwira yang tampaknya utuh (mereka juga mampu mengamati pada ketujuh tubuh, apakah korban disunat atau tidak).
Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa, seperti dicatat oleh Anderson, “dalam pidatonya tanggal 12 Desember 1965, Badan Berita Indonesia, Antara, Presiden Sukarno menghukum wartawan yang membesar-besarkan berita ini, dan bersikeras bahwa dokter yang telah memeriksa mayat korban menyatakan tidak ada mutilasi mengerikan dari mata dan alat kelamin seperti yang telah dilaporkan dalam media massa.”
- c) Pengetahuan tentang kejadian sesungguhnya.
Kehadiran pemimpin PKI DN Aidit di Pangkalan Udara Halim, yang berdekatan dengan Lubang Buaya, segera setelah peristiwa 30 September dan pembunuhan para jenderal, dan peran aktif dari rekan-rekan “Biro Khusus” dalam peristiwa tersebut, mungkin memberi alasan untuk kecurigaan awal bahwa hal ini adalah percobaan untuk “kudeta komunis”.
Ini memang penafsiran yang segera diumumkan dan disebarluaskan oleh militer (dan berlanjut hingga hari ini) – bahwa PKI berusaha untuk melaksanakan kudeta.
Namun, bukti tambahan bahwa peristiwa itu lebih kompleks segera terpaparkan. Kolonel Untung dan para pemimpin militer lainnya yang terlibat dalam peristiwa tersebut, dan yang identitasnya sudah diketahui pada saat itu, bukan anggota PKI, dan kesaksian dari beberapa peserta PKI yang masih hidup mengungkapkan bahwa peristiwa itu tidak didukung oleh mayoritas kepemimpinan PKI.
Banyak versi telah diajukan mengenai pelaku sebenarnya serta motif dan niat mereka (paparan yang disampaikan kepada majelis hakim dalam Laporan Penelitian).
Tapi, bagaimanapun fakta-fakta bisa ditafsirkan, semua ini tidak cukup mengarah pada kesimpulan bahwa mayoritas pejabat partai dan jajaran anggota PKI terlibat dalam upaya kudeta, atau mereka ini merupakan ancaman terhadap negara atau masyarakat, dan jauh lebih kecil lagi kemungkinannya bahwa anggota organisasi-organisasi afiliasinya atau organisasi berhaluan kiri ada hubungannya dengan peristiwa tersebut atau menjadi suatu ancaman. Karena itu, masuk akal untuk menyimpulkan bahwa Jenderal Suharto dan rekan-rekannya dalam kepemimpinan militer mempunyai informasi yang cukup tentang rincian kejadian dan pasti mampu mencapai kesimpulan yang lebih seimbang daripada yang telah disajikan melalui alat-alat propaganda mereka.
Sehubungan dengan klaim bahwa para tahanan di Lubang Buaya disiksa dan dimutilasi dengan partisipasi aktif dari anggota Gerwani, bukti dari otopsi resmi menguak dengan jelas bahwa klaim ini sepenuhnya palsu. Karena otopsi diperintahkan oleh Jenderal Soeharto, sangatlah masuk akal untuk menyimpulkan bahwa ia dan rekan dekatnya yang telah sadar akan temuan ini.
Presiden Sukarno menyadari hal tersebut dalam waktu seminggu, ketika ia mengkritik pers yang sudah menerbitkan kisah seram yang tidak berdasarkan fakta. Penting juga dicatat bahwa sejauh yang kita tahu, pemerintah Indonesia tidak pernah menyebutkan tentang otopsi atau menerbitkan rincian dari pemeriksaan dokter, lebih-lebih lagi teks lengkapnya.
- Apakah versi resmi peristiwa tersebut mendorong pembunuhan massal, penganiayaan, dan kejahatan lainnya, dan mungkinkah bagi mereka yang tidak menerima versi ini mengajukan versi kejadian skenario alternatif?
Dua saksi ahli bersaksi dalam sidang IPT dengan topik kampanye propaganda: Dr Saskia Wieringa dan Dr Herlambang Wijaya, yang disertasinya tepat pada topik ini, dan diartikan olehnya sebagai kasus “kekerasan budaya”.
Narasi resmi pertama kali ditetapkan secara sistematis dalam apa yang menjadi narasi utama, Empat Puluh Hari Kegagalan G30S, yang ditulis oleh sejarawan, Nugroho Notosusanto, yang pertama kali diterbitkan pada bulan Desember 1965 dan direvisi pada beberapa kesempatan. Selama periode pembunuhan massal, bukti-bukti menunjukkan bahwa tersangka PKI sering dituduh sebagai “pembunuh” dan mengatakan bahwa mereka pantas binasa, sementara perempuan yang ditangkap (kadang-kadang sembarangan atau atas dasar kesalahan identitas) dituduh sebagai “pelacur” Gerwani dan mengalami kekerasan seksual.
Misalnya, Pak Martono, bersaksi di depan Pengadilan dengan tema kejadian dalam penjara, melaporkan bahwa setelah ia ditangkap oleh tentara di Solo, “mereka memegang kedua tangan saya, juga kaki saya dan melemparkan saya sampai badan saya memukul langit-langit. Diulang beberapa kali, menghadap ke atas dan ke bawah. Mereka melakukannya tiga kali, dan setelah itu menginterogasi saya. Apakah Anda dari PKI? Tidak, dan saya tidak tahu apa itu. Berapa banyak orang yang Anda bunuh?”
Bukti juga disajikan bahwa tuduhan terhadap Gerwani bertindak “asusila” dan memutilasi perwira yang telah disekap di Lubang Buaya, dan dicari oleh pejabat dan milisi tingkat lokal ketika menangkap wanita yang diduga terlibat PKI, dan digunakan untuk membenarkan penggunaan kekerasan seksual terhadap mereka.
Misalnya, tahun 2007 laporan dari Komnas Perempuan tentang kekerasan seksual terhadap perempuan mengutip sebuah kasus dari Oktober 1965 di mana saksi, yang berusia 14 pada saat itu, ditangkap bersama perempuan lain oleh tentara yang berteriak pada mereka: “Kamu pelacur, kan? Kamu dilatih oleh PKI bagaimana memutilasi tubuh, ya?” Mereka diharuskan telanjang selama dua malam dan pada suatu kesempatan seorang prajurit menyodok ujung senapan ke dalam vaginanya.
Versi resmi peristiwa tersebut terus digambarkan secara aktif selama periode Orde Baru, dan masih bertahan hingga saat ini. Pada tahun 1973 kompleks monumen di Lubang Buaya, yang menampilkan mural yang menggambarkan kekejaman dengan detail yang jelas, dibuka untuk umum.
Pada tahun 1983, kekejian inilah yang menjadi tema utama dalam sebuah film yang menjadi wajib tonton terutama di sekolah-sekolah, pada setiap peringatan peristiwa tersebut: Pengkhianatan G30S/PKI. Film ini memberi gambaran yang jelas tentang penyiksaan para perwira, dengan tarian liar oleh perempuan di Lubang Buaya dan gambar wajah para jenderal yang berlumuran darah dan badan diseret-seret.
Hal ini diikuti oleh adegan penyiksaan berdarah, termasuk pencungkilan mata dan mutilasi alat kelamin, sebelum para jenderal ditembak dengan nyanyian “bunuh, bunuh”, dan tubuh mereka kemudian dibuang ke dalam sumur.
Pada tahun 1991 Angkatan Bersenjata Pusat Sejarah menambahkan diorama representasi yang lebih jelas tentang penyiksaan para perwira di kompleks monumen di Lubang Buaya.
Jutaan orang Indonesia disuguhi versi propaganda sejarah selama lebih dari tiga dekade.
Saksi ahli Dr Herlambang Wijaya bersaksi bahwa pemerintah memerintahkan atau mendanai produksi berkelanjutan dan publikasi buku pelajaran sekolah dan universitas serta banyak film lainnya, novel dan lain-lain, sementara pada saat yang sama melarang atau menekan versi alternatif, termasuk yang pembatasan yang ketat terhadap media massa dan penerbitan lain.
Saksi lain mengajukan fakta bahwa penulis dan wartawan yang sebelumnya menerbitkan karya di media-media yang dianggap pro-PKI dimasukkan ke daftar hitam. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pandangan berbeda tidak diperbolehkan selama Orde Baru, dan bahwa siapapun yang menyuarakannya akan mendapat risiko hukuman yang amat berat. (Kami mencatat bahwa bahkan hingga sekarang, mereka yang merencanakan pertemuan atau diskusi tentang peristiwa ini dapat ditolak izin untuk melaksanakannya oleh pejabat setempat, atau terus diganggu oleh milisi lokal).
Pertimbangan hukum
Dakwaan Jaksa disodorkan di hadapan majelis hakim dengan tema “Penganiayaan melalui propaganda sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan”, dan menuding bahwa “Negara Indonesia bertanggung jawab dengan menggunakan propaganda dan ucapan kebencian sebagai bagian dari serangan yang meluas dan/atau sistematis terhadap anggota PKI dan organisasi yang berafiliasi dengan PKI, dan atau penduduk sipil di Indonesia sejak tahun 1965 dengan menyebarkan propaganda kebencian melalui berbagai cara.”
Kampanye propaganda palsu mengambil peran penting dalam serangan sistematis meluas terhadap PKI dan semua orang dianggap berhubungan dengan itu. Propaganda palsu adalah langkah penting pertama dalam serangan itu, dan oleh karena itu merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Versi propaganda dari peristiwa 30 September – 1 Oktober 1965 memiliki dampak besar dalam merendahkan kemanusiaan, memberi pembenaran atas penganiayaan di luar hukum, penahanan, dan pembunuhan tersangka, dan khususnya untuk melegitimasi penggunaan kekerasan seksual terhadap perempuan. Tak terbantahkan selama lebih dari tiga dekade, propaganda ini juga memberikan kontribusi terhadap penolakan hak-hak sipil bagi penyintas, dan tidak adanya upaya apapun untuk memperbaiki ketidakadilan terhadap mereka.
B7
B7. Keterlibatan Negara – Negara Lain
Tim Jaksa mengajukan bukti untuk apa yang digambarkan sebagai keterlibatan negara-negara lain, khususnya Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, dalam memfasilitasi tindakan pembunuhan massal dan kejahatan lain yang bertentangan dengan kemanusiaan, oleh pemerintah Indonesia selama 1965-1966. Ini meliputi sebagian dari serangan sistematis yang meluas terhadap PKI dan smua orang yang dianggap berhubungan dengan organisasi tersebut.
Dua saksi ahli bersaksi di Sidang Dengar Pendapat IPT: Dr Bradley Simpson dan Dr Herlambang Wijaya. Kesaksian mereka, beserta dokumen pendukung yang diserahkan ke majelis hakim oleh Tim Jaksa, menampilkan kasus sebagai berikut:
Pertama, bahwa tentara Indonesia membangun narasi palsu dan berkelanjutan terhadap tindakan brutal yang ekstrim, dan konspirasi melawan Negara dalam rangka menciptakan dalih untuk pembersihan dan pembantaian anti-komunis, yang diluncurkan dengan cepat.
Kedua, bahwa aparat diplomatik dan propaganda AS, Inggris dan Australia menyebarkan versi kejadian ini dengan tujuan memanipulasi opini internasional untuk mendukung tentara Indonesia (dan melawan presiden Sukarno), dengan penuh pengetahuan bahwa tentara sedang mempersiakan, dan kemudian telah, mulai melaksanakan pembunuhan dalam skala massif.
Ketiga, bahwa AS memberikan bantuan materi kepada tentara Indonesia sedikitnya dalam dua kasus spesifik, dengan pengetahuan penuh bahwa hal tersebut akan membantu tindakan berikut: (a) provisi senjata kecil dan perangat komunikasi; dan (b) provisi daftar komunis yang sudah diketahui; dan bahwa Inggris mengurangi tekanan pada tentara Indonesia dalam perang rahasia (Konfrontasi) yang terjadi di perbatasan antara Indonesia dan Borneo (Kalimantan) teritori Federasi Malaysia, lagi-lagi untuk memudahkan tentara mengejar pembersihan anti-komunis dengan lebih mudah.
Sebelum memeriksa tuduhan ini secara rinci, penting untuk mempertimbangkan permasalahan “keterlibatan” dalam skala yang lebih luas. Mungkin saja dikatakan, mengingat komunitas internasional secara keseluruhan bersikap acuh terhadap pembunuhan massal di Indonesia pada saat itu (misalnya, tidak ada permberitahuan resmi mengenai kejadian ini oleh Dewan Keamanan atau Majelis Umum PBB), banyak negara lain yang dapat dituduh terlibat.
Namun demikian, hal ini tidak dihitung sebagai keterlibatan dari segi hukum internasional. Mungkin bila protes atau kecaman internasional telah menghalangi pembunuhan sampai batas tertentu, maka kegagalan dalam upaya tersebut bisa dianggap tercela. Tapi kami menganggap bahwa tindakan kelalaian seperti itu tidak sama memiliki beban yang sama dengan tindakan pelaksanaan, dan bahwa ambang batas “keterlibatan” adalah yang tertinggi.
Beberapa pertanyaan berikut perlu diutarakan:
- Apakah tindakan dari ketiga Negara asing tersebut dituduh membantu tentara Indonesia secara materi untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan?
- Apakah mereka yang bertanggungjawab untuk melakukan tindakan tersebut tahu bahwa hal ini menjadi masalah?
- Peran Negara-negara lain
- a) AS
- i) Penyediaan daftar nama anggota PKI, ketika pejabat AS yang bersangkutan pasti menyadari bahwa hal ini mungkin akan menyebabkan eksekusi mereka
Sumber awal untuk hal ini yakni artikel pada 1990 yang secara luas dipublikasi di media AS oleh wartawan Kathy Kadane83, berdasarkan wawancara dengan Robert J. Martens, yang sebelumnya merupakan pejabat politik di Kedutaan Besar AS di Jakarta, dan dengan pejabat Kedutaan Besar lainnya di masa itu. Martens dikatakan menyatakan bahwa beberapa daftar yang berisi ribuan nama diserahkan sedikit demi sedikit selama beberapa bulan.
Dalam kutipan langsung, Martens dilaporkan mengatakan, “Itu benar-benar bantuan besar terhadap tentara. Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan mungkin tangan saya berlumuran darah, tapi tidak semua hal itu buruk. Ada saat di mana Anda harus memukul dengan keras di waktu penentuan.” Dalam kesaksian untuk Tribunal, intelektual AS Dr. Bradley Simpson menyatakan bahwa Martens dan analis CIA di Kedutaan menciptakan “profil rinci PKI dan organisasi yang terafiliasi dengannya dari kepemimpinan nasional hingga ke regional, provinsi, dan kader lokal. “Ini disampaikan melalui pejabat Indonesia” ke Suharto, yang menggunakannya untuk melacak anggota PKI untuk penangkapan dan eksekusi.”
Sesudahnya, Martens dan pejabat Kedutaan lainnya berkeberatan terhadap interpretasi yang diberikan berdasarkan penyediaan daftar ini, meski tak seorang pun menyangkal bahwa hal ini telah disediakan. Martens menyatakan bahwa nama-nama dalam daftar tersedia secara luas, bahwa daftar tersebut hanya melibatkan pemimpin PKI dan bukan peringkat maupun berkas, dan bahwa ia memberikan daftar atas inisiatifnya sendiri (Washington Post, 2 Juni 1990). Namun, sebuah dokumen yang kemudian diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri AS dalam penyusunan resmi dari bahan yang berkaitan dengan kejadian tersebut, mengutip Duta Besar AS saat itu Marshall Green, sebagaimana penulisan telegram ke Departemen yang menyatakan bahwa:
Sebuah daftar dari versi yang dibersihkan [yakni atribusi Kedutaan dihilangkan] dalam A – 398 [telegram sebelumnya] telah dijadikan tersedia bagi Pemerintah Indonesia Desember lalu [1965] dan tampaknya sedang digunakan oleh otoritas keamanan Indonesia yang bahkan tampaknya kekurangan informasi yang begitu sederhana mengenai kepemimpinan PKI saat itu (daftar pejabat lain di afiliasi PKI, Partindo [kelompok sayap kiri] dan Baperki [asosiasi Indonesia-Tiongkok) juga disediakan ke pejabat GOI [Pemerintah Indonesia] berdasarkan permintaan mereka).84
Berdasarkan dokumen resmi lain, Duta Besar Green, dalam sebuah percakapan dengan Menteri Luar Negeri AS Dean Rusk padaFebruari 1966, juga menyatakan bahwa “Tentara, bersama dengan kelompok politik Muslim yang memiliki kepentingan mencegah kebangkitan Komunis yang telah dihancurkan dengan pembantaian masal, akan mencegah kebangkitan PKI.”85 (catatan miring dari editor IPT).
- ii) Provisi senjata kecil, perangkat komunikasi dan lain-lain oleh AS kepada pemerintah Indonesia
tujuan umum dari kebijakan AS diungkapkan dengan jelas oleh Sekretaris Rusk yang pada 13 Oktober 1965 mengatakan bahwa, “Bila kesediaan tentara untuk menindaklanjuti perlawanan terhadap PKI bergantung pada atau tunduk pada pengaruh oleh AS, kami tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mempertimbangkan tindakan AS.”86 Tim Jaksa memberikan bukti, berdasarkan sumber-sumber resmi AS, bahwa di akhir Oktober 1965, pejabat White House membentuk kelompok kerja interagensi pada Indonesia, dan bahwa selama beberapa minggu mendatang, pejabat AS menyediakan provisi senjata kecil, perangkat komunikasi, dan pasokan medis secara rahasia kepada tentara Indonesia atau relawan Muslim dan pemuda nasionalis untuk digunakan melawan PKI.
Awalnya ada keraguan yang jelas. Sebuah memorandum CIA pada 9 November mengamati bahwa memasok materi seperti itu kepada tentara Indonesia “menciptakan risiko yang pasti bagi kita mengenai bantuan yang disengaja untuk sebuah kelompok yang tidak dapat dianggap sebagai pemerintah yang sah maupun rezim yang belum terbukti handal atau berumur panjang.” Mereka yang berdebat untuk mendukung awalnya juga yakin bahwa hal ini memang diperlukan karena ada bahaya dari “kebangkitan Komunis.” 87
Namun, sebagaimana akan dipaparkan di bawah ini, bukti sampai ke Washington bahwa tentara tidak berhadapan dengan pemberontakan PKI (kecuali untuk beberapa perlawanan terbatas di Jawa Tengah) melainkan melakukan atau memprovokasi pembersihan dan pembunuhan massal anti-Komunis skala besar.
Pada saat khusus ini bantuan materi AS untuk tentara Indonesia berupa skala terbatas. Pada bagian ini tampaknya karena pejabat AS (a) tidak yakin mengenai keandalan dan kesiapan tentara secara keseluruhan untuk memperoleh kekuatan politik, dan (b) karena bila bantuan ini jadi diketahui secara publik, reaksi populer yang berkebalikan dapat memperkuat kekuasaan Presiden Sukarno.
Pada Februari 1966 Duta Besar Green secara pribadi meyakinkan Presiden Johnson bahwa “… semua bantuan Amerika Serikat untuk Indonesia, termasuk bantuan untuk militer, telah dihentikan.” Green merekomendasikan “bahwa Amerika Serikat tidak memperluas bantuan yang lebih lanjut untuk Indonesia hingga Indonesia benar-benar mulai mengatur kerangka rumah tangganya.” 88
Namun demikian, meski volume pasokan ini tidak besar dan waktunya terbatas, pasokan tersebut dianggap penting untuk memenuhi kekurangan yang dirasakan. Lebih penting lagi, mereka dapat dianggap sebagai “lampu hijau” bagi militer Indonesia bahwa AS menyetujui, setidaknya secara diam-diam, tindakan melawan PKI dan tidak keberatan terhadap tindakan yang lebih lanjut.
- b) Inggris
Selama periode 1963-1965 di mana Malaya/Malaysia dibantu oleh Inggris untuk melawan serangan bersenjata Indonesia ke Borneo/Kalimantan di bawah kebijakan Konfrontasi Sukarno, Inggris mengembangkan aparat propaganda canggih yang utamanya berbasis di Singapura, menggunakan baik propaganda hitam maupun hubungan tidak resmi dengan media Barat. (Indonesia menggunakan berbagai bentuk propaganda yang berusaha mendiskreditkan dan merusak Federasi Malaysia).
Berdasarkan bukti yang diberikan oleh Penuntut, “serangan 30 September yang gagal” dilihat oleh Inggris sebagai kesempatan untuk mengeksploitasi, menggunakan aparat propaganda ini, dengan harapan membersihkan Indonesia dari pengaruh komunis dan melemahkan kekuatan politik Presiden Sukarno.
Pada 8 Oktober, instruksi dari Kantor Asing dikirim ke Singapura yang menginformasikan operasi Inggris di sana bahwa:
Tujuan kita adalah mendorong orang Indonesia yang anti-Komunis untuk lebih kuat bertindak dengan harapan menghancurkan Komunisme di Indonesia hingga ke akarnya, bahkan meski hanya sementara, dan, untuk tujuan ini dan demi kepentingan itu sendiri, untuk menyebarkan alarm dan keputusasaan di Indonesia untuk mencegah, atau dalam tingkatan apapun memperlambat, kemunculan kembali pemerintahan Nasakom (pemerintah termasuk PKI – catatan dalam sumber) di bawah Sukarno. 89
Selama beberapa bulan berikutnya, informasi yang sebagian besar diambil dari pers militer Indonesia oleh kedutaan besar Inggris di Jakarta, dikirim ke Singapura di mana informasi tersebut disampaikan dalam pengarahan kepada media asing terpilih termasuk BBC.
(Operasi ini dilakukan bersama-sama dengan upaya serupa dari AS dan Australia). Banyak cerita fokus pada dugaan kekejaman komunis, dengan menceritakan kembali versi tentara Indonesia mengenai kejadian di Lubang Buaya, atau dugaan ancaman komunis, dan diambil lagi oleh media Indonesia dan diterbitkan ulang dengan beberapa otoritas yang dianggap benar karena datang dari sumber pers asing. Sebagai tambahan, tentara Indonesia diberikan petunjuk jelas melalui AS bahwa Inggris akan menahan diri dari operasi aktif di Borneo, sehingga memungkinkannya memindahkan pasukannya dari area tersebut. Ini disampaikan dalam sebuah pesan pada 14 Oktober, yang mencakup jaminan bahwa “kami memiliki alasan yang bagus untuk percaya bahwa tak satu pun dari sekutu kami berniat memulai suatu tindakan ofensif terhadap Indonesia.”90 Indonesia mengakhiri konfrontasi bersenjatanya pada Mei 1966 ketika Jenderal Suharto mendirikan kekuasaan politiknya.
- c) Australia
Telah ditetapkan bahwa Australia juga menjalankan operasi propaganda canggih, dengan informasi yang menguntungkan bagi tentara Indonesia yang disampaikan oleh Kedutaan Besarnya di Jakarta ke Canberra dan disebarluaskan oleh berbagai media termasuk Radio Australia. Penelitian terbaru mencatat bahwa Departemen Luar Negeri Australia selalu menaruh “minat” dengan cara Radio Australia melaporkan kejadian di Indonesia, dan bahwa setelah 30 September, Departemen tersebut “menerima dan bertindak” berdasarkan petunjuk dari Dutaan Besar Australia di Jakarta, Keith Shann, yang pada gilirannya “menerima petunjuk dari tentara Indonesia mengenai bagaimana mereka menginginkan situasi di Indonesia dilaporkan”. Departemen Luar Negeri Australia berusaha mengarahkan Radio Australia dalam persoalan ini, dan juga sukses dalam “meyakinkan para redaktur koran [Australia] untuk melaporkan dan menyampaikan opini dengan cara yang peka terhadap kekhawatiran Departemen tersebut.”91
Penelitian lain memaparkan secara rinci bagaimana Shann didekati pada 9 November 1965 “oleh seorang kolonel yang tidak disebutkan namanya dari Bagian Informasi tentara, yang mengatakan padanya bahwa Radio Australia seharusnya ‘menyebut kelompok pemuda dan organisasi-organisasi lainnya, baik Muslim maupun Kristen, sesering mungkin’ yang terlibat dalam tindakan anti-komunis (dengan demikian jelas berharap untuk mengaburkan kesalahan tentara).” Dia juga mendiskusikan sebuah daftar masalah internal dan eksternal untuk dilaporkan, yang akan menyokong tentara.
Shann menyimpulkan laporannya ke Canberra “dengan komentar bahwa ia dapat ‘hidup dengan sebagian besar dari hal ini, bahkan meski kita harus bersikap sedikit tidak jujur sementara waktu’.
Radio Australia juga diminta untuk menghindari ‘memberikan informasi kepada rakyat Indonesia yang akan dipotong oleh media internal yang dikontrol tentara’, untuk mencegah posisi tentara menjadi goyah.”92 Harus dicatat bahwa pasukan Australia juga telah mengambil bagian dalam operasi di Borneo melawan serangan militer Indonesia.
- Pengetahuan Negara-negara lain ini
Terdapat banyak bukti, yang diberikan ke Tribunal, bahwa dalam beberapa minggu setelah 30 September, pemerintah dari Negara-negara yang diperiksa di sini, menyadari melalui laporan dari diplomat mereka sendiri di Jakarta serta dari media asing dan pengamat non-pemerintahan, bahwa komunis dan asosiasi lain yang dituduh bersama mereka, dibantai dalam skala besar.
Pada awal 1966, angka yang yang dapat dipercaya dilaporkan ke Washington, London, dan Canberra, dengan kisaran dari minimal 100.000 hingga empat kali lipatnya. Sebagai contoh, memorandum Kantor Luar Negeri Inggris pada Januari 1966 mengikhtisarkan informasi yang diterima hingga saat itu, mencatat bahwa:
Pembantaian Komunis di Indonesia telah menyebar luas. Tidak terdapat angka yang jelas, tapi serangan oleh fanatik Muslim, operasi keamanan tentara dan pembalasan dalam penyelesaian dendam lama telah menyebabkan kematian rakyat Indonesia dalam jumlah besar (beberapa perkiraan menyatakan sebanyak 100.000) selama tiga bulan terakhir. Perkiraan Presiden Sukarno sendiri yakni 87.000. Meski pun pembantaian ini telah menangani pukulan melumpuhkan terhadap Partai Komunis Indonesia, hal ini pasti telah membangkitkan kepahitan dan kebencian yang luas.93
Gambaran pembunuhan dalam skala luas dengan cepat dibangun melalui pertukaran informasi antara kedutaan besar negara Barat di Jakarta, sebagian besar berdasarkan pengamatan tangan pertama di lapanga
- Satu laporan, sering dikutip dalam sumber-sumber sekunder, berasal dari duta besar Swedia yang, setelah berkunjung ke Jawa Tengah dan Timur pada awal 1966, menyimpulkan bahwa anggapan jumlah kematian sebanyak 400.000 adalah “perkiraan pemeriksaan meremehkan yang sangat serius.” (Perkiraan 400.000 korban jiwa telah dibuat oleh duta besar Inggris dan dibagi ke mitranya, AS).
Pengamatan yang jelas dan rinci oleh duta besar Swedia, berdasarkan kontak dengan saksi mata terpercaya di lapangan, disampaikan ke London oleh duta besar Inggris, yang diterbitkan secara penuh di sini (lihat Appendiks D1.b (ii)). Sang duta besar menambahkan catatan singkat ini ke laporannya: “P.S. Duta besar Iran baru-baru ini telah menemui tiga dokter Iran yang bekerja di Bali dan pulau-pulau lain, yang melaporkan pembunuhan ‘ratusan dan ribuan’ dan pekerjaan itu, menurut mereka, dibayar.”
Informasi yang demikian banyak juga mencapai kedutaan besar AS dari sumber intelijen: dalam satu contoh, CIA melaporkan pada 1965 bahwa “seorang petugas intelijen Indonesia di Jawa Timur menggambarkan beberapa pembunuhan massal terhadap aktivits PKI dan pendukungnya di Kediri (di mana 300 petani dibunuh, dilaporkan secara tidak sengaja), Wates (1.200 dibunuh), dan Ponggok (sekitar 300 dibunuh), dengan ‘banyak mereka yang dibunuh adalah pengikut yang tidak tahu banyak” (lihat Appendiks D1.b (i)).
Informasi serupa juga diteruskan secara berkala ke Canberra dari kedutaan besar Australia yang digambarkan sebagai “pembantaian metodis terhadap tahanan PKI” (lihat Appendiks D1.b (iii)). Mungkin ini adalah dasar dari ucapan pada 1966 oleh Perdana Menteri Australia, Harold Holt, yang ketika ditanya mengenai kejadian di Indonesia berkomentar bahwa “dengan 500.000 sampai sejuta simpatisan komunis dibunuh… Saya pikir, aman untuk mengasumsikan reorientasi [di Indonesia] telah terjadi.”94
Bagaimanapun perbedaan jumlahnya, jelas bahwa, seperti dikatakan oleh saksi mata Dr. Bradley Simpson, bahwa “para pejabat AS dan Inggris dengan jelas menyadari di awal 1966 bahwa ratusan ribu orang telah dibunuh.”95
Pembunuhan massal ini juga diutarakan dalam sejumlah laporan media, meski hal tersebut tidak selalu mendapatkan perhatian saat diterbitkan. Contoh meliputi laporan yang jelas di The Age (Melbourne) pada Januari 1966 oleh wartawan Robert Macklin yang menggambarkan apa yang ia dan istrinya saksikan di Bali, di mana “Kami melihat empat desa di mana semua lelaki dewasa telah dibunuh. Kami melihat kuburan masal di mana dalam tiap kuburan itu dipenuhi sampai 10 Komunis laki-laki dan perempuan setelah mereka ditusuk hingga meninggal.”96
Pada 4 MAret 1966, The Boston Globe menerbitkan sebuah komentar oleh wartawan terkenal Joseph Kraft di mana ia melontarkan pertanyaan: “Indonesia, Negara terpadat kelima di dunia, telah menjadi ajang pembunuhan skala besar yang terus belanjut – sekitar 300.000 orang dibunuh sejak November tapi di sini, pembantaian itu tidak membangkitkan perhatian. Kenapa?”97
Pada April 1966 kepala koresponden asing The New York Times, C. L. Sulzberger, menggambarkan pembunuhan di Indonesia sebagai “salah satu pembantaian paling kejam dalam sejarah,” menyaingi pembantaian “Armenia oleh Turki, kelaparan di Kulaks oleh Stalin, genosida kaum Yahudi oleh Hitler, pembunuhan Muslim-Hindu yang mengikuti pembagian India, pembersihan besar-besar-besaran setelah Komunisasi di Tiongkok” dalam hal skala dan kebiadaban.”98
Dalam salah satu laporan paling utuh, wartawan senior AS Seymour Topping melaporkan temuannya dengan panjang lebar di koran yang sama pada Agustus 1966. Ia mengamati bahwa “eksekusi biasanya dilakukan oleh militer di Jawa Tengah dan Bali dan bahwa masyarakat di di Jawa Tengah dan Bali dihasut oleh tentara dan polisi untuk membunuh.
Militer mengesekusi Komunis dengan menembak, tapi masyarakat dibiarkan untuk memenggal atau mengeluarkan isi perut mereka dengan pisau, pedang, dan bambu runcing, seringkali dalam bentuk ritual kekejaman yang ekstrim.”99
Dari bukti di atas, jelas bahwa pengetahuan mengenai pembunuhan massal di Indonesia tersebar luas di antara pejabat asing, serta dilaporkan di media mereka.
Hal ini tampaknya telah diterima dengan beberapa keraguan, tapi suara penolakan yang langka dari Senator Robert Kennedy di Januari 1966 patut diperhatikan. Ia menyatakan bahwa “kita telah berbicara menentang pembantaian tidak manusiawi yang dilakukan oleh Nazi dan Komunis. Namun akankah kita juga berbicara menentang pembantaian biadab di Indonesia, di mana lebih dari 100.000 orang yang dituduh Komunis bukanlah pelaku melainkan korban?”100
Kami mencatat bahwa, dalam pencarian untuk menjelaskan ketidakpedulian yang menyebar luas terhadap penderitaan manusia di Indonesia, penelitian akademis pada periode ini menempatkan kejadian ini dalam konteks internasional yang lebih luas tentang perang dingin, puncaknya di Asia saat itu oleh perang di Vietnam. Gabriel Kolko telah meneliti bahwa “Indonesia di akhir 1965 menunjukkan strategi AS di Asia Tenggara dengan bahaya yang setidaknya setara dengan Vietnam…,” akibat pemikiran logis dari “teori domino” yang melihat komunisme sebagai ancaman yang perlu dilawan, bahkan meski di Indonesia, hal tersebut (komunisme) mengambil bentuk yang damai.
Karenanya “kejadian 30 September menciptakan tantangan kecil tapi juga merupakan kesempatan hebat untuk menyelesaikan dilema Amerika dengan mengarahkan amarah militer terhadap Komunis.”
Kolko melanjutkan, oleh karena itu logis bagi kebijakan AS untuk menyokong tentara Indonesia dan menyampaikan pesan dini melalui duta besar AS Marshall Green bahwa “Kedutaan besar [AS] dan USG [Pemerintah AS] secara umum bersimpati kepada dan memuji apa yang [sedang] dilakukan tentara.”
Sebagai balasannya, tentara Indonesia, seperti juga dilaporkan oleh Green, melihat peluang untuk tawar-menawar, bertanya “seberapa berharga bagi AS agar PKI “diberantas”.101
Demikian pula, spesialis Asia Tenggara George dan Audrey Kahin telah mencatat bahwa AS secara penuh menyetujui kebijakan untuk “melenyapkan PKI” dan bahwa sebagai hasilnya “bagi AS, lanskap politik Indonesia telah menjadi jauh lebih sederhana.”102
Pertimbangan Hukum
Ikhtisar Penuntut membuat referensi untuk Pasal Komisi Hukum Internasional pada ARSIWA (Tanggungjawab Negara terhadap Tindakan Pelanggaran Internasional), yang merefleksikan aturan adat, yang dibaca sebagai berikut:
Pasal 16
Sebuah Negara yang menyokong atau membantu Negara lain dalam pelaksanaan tindakan pelanggaran internasional, yang terakhir ini secara internasional bertanggungjawab melakukannya bila:
- Negara tersebut melakukannya dengan pengetahuan tentang persoalan mengenai tindakan yang salah secara internasional; dan
- Tindakan tersebut secara internasional dianggap salah bila dilakukan oleh Negara itu.”
Pasal 41 (2)
Tidak satu pun Negara akan mengakui sebagai situasi hukum yang diciptakan oleh pelanggaran serius (…), ataupun memberikan sokongan atau dukungan dalam menjaga situasi itu.”
Peran Negara-negara lain
- a) AS Bukti di atas menunjukkan bahwa AS memberikan dukungan yang cukup untuk militer Indonesia, mengetahui dengan baik bahwa dukungan tersebut dimulai pada program pembunuhan massal, untuk membenarkan biaya keterlibatan. Bukti paling jelas untuk ini yakni pasokan nama di mana terdapat praduga bahwa hal ini akan digunakan untuk eksekusi. Pasokan senjata kecil, perangkat komunikasi dan lain-lain berlangsung dalam skala kecil dan waktu yang terbatas, dan tampaknya memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan terhadap hasilnya. Yang tidak terlalu nyata tapi lebih signifikan yakni jaminan yang diberikan kepada militer Indonesia yang membuat mereka berpendapat bahwa AS akan menyetujui langkah apapun yang diambil untuk menghancurkan komunis dan pengaruh komunis/sayap kiri di Indonesia.
- b) & c) Inggris dan Australia Posisinya tidak terlalu jelas berkenaan dengan Inggris dan Australia. Kedua Negara tersebut terlibat dalam konflik di Indonesia, dan dalam perang rahasia yang dimulai oleh Indonesia di teritori yang bukan miliknya. Operasi Propaganda Inggris dan Australia telah ada merupakan bagian dari perang rahasia. Kedua pemerintahan berbagi tujuan dengan AS dalam usaha untuk menggulingkan Presiden Sukarno, tapi tanggungjawabnya di sini bukanlah salah satu keterlibatan dalam “perubahan rezim” (yang sebagaimanapun tidak disukai, bukan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan).
Namun, dalam memperluas operasi propaganda mereka untuk melegitimasi propaganda palsu dari tentara Indonesia setelah 30 September (dan dalam kesediaan Inggris untuk tidak mengambil keuntungan militer dari situasi ini), kedua pemerintahan jelas berharap bahwa hal ini akan membantu tentara melenyapkan PKI dan mencopot Sukarno.
Mereka meneruskan kebijakan ini bahkan setelah menjadi jelas bahwa terjadi pembunuhan secara massal dan sembarangan. Sebagai penyeimbang, hal ini muncul untuk membenarkan tuduhan akan keterlibatan.
(Menjadi perhatian juri bahwa tuntutan yang sama dapat diajukan terhadap Negara-negara lain, termasuk Uni Soviet yang terus memasok senjata ke Indonesia selama periode ini. Namun demikian, panel juri tidak memiliki bukti cukup untuk ditampilkan, ataupun waktu untuk menelaah tuntutan tambahan seperti ini).
- Pengetahuan Negara-negara lain
Pernyataan bahwa kejadian di Indonesia terlalu kabur dan membingungkan untuk dimengerti saat itu, tidak beralasan. Negara-negara yang disebutkan di atas memiliki kesadaran penuh mengenai apa yang terjadi melalui laporan diplomatik, dari kontak di lapangan dan cerita di media-media Barat. Pembunuhan massal itu bukan pula merupakan rahasia bagi komunitas internasional secara umum, bahkan bila pun mereka hanya dilaporkan secara berselang. Sekalipun demikian, tidak ada catatan bahwa pemerintahan yang disebutkan di atas melakukan usaha sekecil mungkin untuk mendesak pemerintah atau tentara Indonesia menahan diri.
B8. GENOSIDA
Kualifikasi sebagai Genosida
Laporan penelitian yang diserahkan pada Tribunal mengusulkan “penerapan daripada konsep ‘genosida’ untuk pembantaian sesudah peristiwa 1965’”, dan juga mencatat kemungkinan bahwa pembunuhan warga etnis Tionghoa Indonesia “kemungkinan bisa digolongkan dalam genosida dibawah Konvensi Genosida.”
Selanjutnya, sebuah dokumen amicus curiae telah disampaikan pada Tribunal pada tanggal 11 November 2015 oleh Dr. Daniel Feierstein dan Ms. Irene Victoria Massimino dari Universidad Nacional de Tres de Febrero, Buenos Aires, Argentina, yang mengajukan petisi berikut:
“Mengingat kasus yang sedang dipertimbangkan dan bukti yang telah diajukan, dengan hormat kami meminta para hakim IPT untuk menganalisa bukti-bukti untuk menentukan apakah kejadian-kejadian dalam kasus ini termasuk genosida sebagai pemusnahan sebagian dari golongan nasional Indonesia.”
Tetapi, karena pihak penuntut tidak memasukkan tuntutan ini dalam tuduhan yang diserahkan pada Tribunal, dan agenda Tribunal juga tidak memungkinkan untuk mendengar kesaksian untuk poin ini dalam empat hari sidangnya. Jadi, para hakim memutuskan bahwa mereka tidak bisa mempertimbangkan pokok persoalan ini dalam pembicaraan mereka selama Tribunal berlangsung, tapi mereka akan memasukkan topik ini dalam laporan akhir mereka.
Mungkin ada anggapan bahwa agak berlebihan untuk mempertimbangkan genosida jika kejahatan terhadap kemanusiaan sudah termasuk.
Anggapan seperti ini tidak memperhitungkan pentingnya menyebut sesuatu dengan nama yang tepat, dan juga tidak menyediakan konstruksi untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia di tahun-tahun 1965-1966 dan sesudahnya.
Daniel Feierstein mencatat:
Perbedaan besar antara genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah bahwa korban tidak dilihat sebagai bagian dari “grup nasional”, tapi sebagai orang-orang yang hak asasinya telah dilanggar. Ini adalah perbedaan terpenting dari konsep kejahatan terhadap kemanusiaan (yang menunjuk kepada tindakan tanpa pandang bulu terhadap orang-orang yang menjadi bagian dari masarakat sipil) dan konsep genosida (yang menunjuk kepada tindakan sengaja untuk menghancurkan sebagian atau seluruh golongan penduduk tertentu).
Untuk mempertimbangkan persoalan di atas, pertanyaan-pertanyaan berikut harus dibahas:
– Apakah fakta-fakta yang diajukan dalam Tribunal oleh pihak penuntut termasuk tindakan yang bisa dimasukkan dalam kriteria Konvensi Genosida?
Dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida, yang disetujui oleh Majelis UmumPBB pada tanggal 9 Desember 1948, tercantum sebagai berikut:
Pasal 2
Dalam Konvensi ini, genosida berarti setiap dari perbuatan-perbuatan berikut, yang dilakukan dengan tujuan merusak begitu saja, dalam keseluruhan ataupun sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, rasial atau agama seperti:
(a) Membunuh para anggota kelompok;
(b) Menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental para anggota kelompok;
(c) Dengan sengaja menimbulkan pada kelompok itu kondisi hidup yang menyebabkan kerusakan fisiknya dalam keseluruhan ataupun sebagian;
(d) Mengenakan upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok itu;
(e) Dengan paksa mengalihkan anak-anak dari kelompok itu ke kelompok yang lain.
Pasal 3
Perbuatan-perbuatan berikut ini dapat dihukum: (a) Genosida; (b) Persekongkolan untuk melakukan genosida; (c) Hasutan langsung dan di depan umum, untuk melakukan genosida; (d) Mencoba melakukan genosida; (e) Keterlibatan dalam genosida.
Pasal 4
Orang-orang yang melakukan genosida atau setiap dari perbuatan-perbuatan lain yang disebutkan dalam pasal 3 harus dihukum, apakah mereka adalah para penguasa yang bertanggungjawab secara Konstitusional, para pejabat negara, atau individu-individu biasa.
Dalam pertimbangan tindakan-tindakan yang dikemukakan oleh pihak penuntut, telah ditunjukkan bahwa beberapa dari tindakan-tindakan tersebut ditujukan kepada mereka yang dianggap pimpinan PKI, anggota atau simpatisannya, dan juga banyak orang lain seperti mereka yang setia pada Sukarno, aktivis buruh dan guru, dan juga terhadap etnis Tionghoa atau etnis campuran.
Termasuk juga disini beberapa tindakan seperti yang dicantumkan dalam Konvensi Genosida. Jadi perlu dipertimbangkan:
– apakah tindakan-tindakan ini dilakukan terhadap golongan tertentu seperti yang ditentukan dalam Konvensi Genosida; dan
– apakah tindakan-tindakan ini dilaksanakan dengan tujuan khusus untuk menghancurkan sebagian atau seluruh golongan tersebut.
- Apakah tindakan-tindakan dilakukan terhadap golongan tertentu seperti yang ditentukan dalam Konvensi Genosida? 1. i) “Grup nasional Indonesia”
Laporan amicus curiae dan Laporan Penyelidikan berpendapat bahwa “Grup nasional Indonesia” menjadi sasaran dari tindakan-tindakan diatas.
Walaupun dalam Konvensi Genosida definisi genosida disebut sebagai “setiap dari perbuatan-perbuatan berikut, yang dilakukan dengan tujuan merusak begitu saja, dalam keseluruhan ataupun sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, rasial atau agama” dan tidak disebut bahwa pelaku tindakan adalah orang dari luar golongan korban, secara umum ditafsirkan bahwa tindakan ini dilakukan oleh satu golongan terhadap golongan lain. Juga tidak disebut bahwa golongan tertentu itu termasuk golongan politik.
Oleh karena itu ada yang menyimpulkan bahwa Konvensi Genosida tidak berlaku terhadap kebanyakan kejahatan yang terjadi di Indonesia atau Kamboja, yang juga sering disebut “politicide” atau “auto-genocide.”
Tapi pendekatan konservatif ini bertolak belakang dengan konsep asli genosida yang disusun oleh Raphael Lemkin yang merinci bahwa genosida pada dasarnya adalah “pemusnahan dari identitas nasional dari golongan yang tertindas (dan) pemaksaan identitas nasional dari penindas.”
Interpretasi Konvensi Genosida diatas diusulkan untuk Kamboja di pertengahan tahun 1980an oleh Hurst Hannum dan David Hawk, walau tidak pernah dipakai didalam sidang pengadilan.
Tapi di tahun-tahun terakhir pendekatan serupa telah dipakai, terutama dalam tuntutan dan hukuman di Spanyol dan Argentina, saat kejahatan yang dilakukan oleh diktatur militer Argentina di tahun 1970-an dan 1980-an dibuktikan mencakup genosida di 25 kasus yang digelar di 11 tribunal terpisah sampai dengan dilaksanakannya Tribunal IPT 1965 di bulan November 2015.
Terutama relevan adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Federal Tribunal 1 dari kota La Plata (kasus 2251/06) di tahun 2006, Federal Tribunal 1 dari kota Rosario (kasus 95/2010, keputusan tanggal 20/12/2013) di tahun 2013, dan yang terakhir di tahun 2015 juga oleh Federal Tribunal 1 dari kota La Plata (kasus no 17/2012, keputusan tanggal 19/10/2015), termasuk yang berikut:
… jelas bahwa grup nasional Argentina telah dimusnahkan ‘sebagian’, dan cukup substansial untuk merubah hubungan sosial dalam negara itu sendiri … Pemusnahan di Argentina tidak terjadi secara spontan, kebetulan atau irasional: pemusnahan terjadi secara sistematis terhadap ‘bagian yang cukup besar’ dari grup nasional Argentina, dengan tujuan untuk merubah, mendefinisi ulang kehidupan hakiki mereka, hubungan sosialnya, takdir, dan masa depannya.
Pernyataan Penutup oleh para hakim diakhir sidang tanggal 13 November 2015 mengatakan:
Telah digariskan bahwa Pemerintah Indonesia dalam jangka waktu yang relevan telah, melalui angkatan bersenjata dan polisi, melakukan dan mendorong terjadinya pelanggaran berat HAM secara sistematis dan meluas. Para hakim juga yakin bahwa semua ini dilakukan untuk tujuan politik: untuk menumpas PKI dan semua yang dituduh sebagai anggota atau simpatisannya, dan juga banyak orang lain termasuk loyalis Sukarno, aktivis buruh, dan guru.
Pertimbangan untuk tindakan-tindakan di atas yang diajukan oleh pihak penuntut (seperti dibicarakan di atas di bagian B3-B7) menunjukkan sejauh mana masarakat Indonesia secara keseluruhan dan dengan sengaja ditata ulang melalui teror dan dimusnahkannnya bagian yang cukup besar dari “grup nasional Indonesia”.
- ii) Grup etnis Tionghoa
Laporan penelitian menemukan:
Di Indonesia, kebanyakan dari kaum etnis Tionghoa dibunuh karena mereka adalah anggota Baperki, sebuah perkumpulan Indonesia Tionghoa yang terkait dengan PKI. Tapi motif etnis juga memegang peranan dalam pembunuhan masal warga Tionghia Indonesia, terutama di Medan, Makassar dan Lombok. Sejauh mereka dibunuh karena identitas Tionghoa mereka, pembunuhan ini bisa dimasukkan dalam genosida di bawah Konvensi Genosida (bagian 1, hal. 53).
Kajian yang lebih rinci diajukan pada Tribunal sebagai Bagian. 3.1.2. dari Laporan Penelitian “Mass Killings of Chinese People” (Pembunuhan Masal Warga Tionghoa) oleh Jemma Purdey.
Di samping itu, penelitian Jess Melvin di Aceh telah menemukan pembunuhan massal warga Tionghoa di provinsi tersebut, yang menunjukkan bahwa anggota komunitas Tionghoa telah ditargetkan dalam tiga gelombang kekerasan. Melvin menandaskan bahwa kekerasan yang terjadi terhadap komunitas Tionghoa di Aceh pada saat itu bisa dan seharusnya diklasifikasi sebagai genosida.
Penyelidikan lebih lanjut diperlukan untuk memastikan apakah pernyataan ini benar-benar bisa diajukan
- c) Apakah tindakan-tindakan terhadap golongan tertentu dengan tujuan terarah untuk memusnahkan golongan itu secara keseluruhan atau sebagian?
Robert Cribb menyinggung bahwa penyangkalan maksud/tujuan, terutama tidak adanya rencana yang dirancang secara rinci, telah dipakai untuk apa yang dia sebut “hyper-scepticism” (kecurigaan yang berlebihan) sebagai satu cara untuk menghindari pencantuman label genosida untuk situasi seperti di Armenia dan Indonesia. Cribb berargumen bahwa kualifikasi suatu tindakan harus dianalisa di dalam konteksnya. Dalam kasus Armenia, konteks dari apa yang dianggap perang saudara telah dipergunakan untuk menghindari kualifikasi genosida terhadap tindakan-tindakan yang telah dilakukan.
Demikian pula dengan Indonesia: sebuah konteks dikemukakan tentang “malicious fantasy” (khayalan bejat) bahwa PKI telah merencanakan pembantaian dan perebutan kekuasaan pemerintah. Skenario ini dipertajam dengan diungkit kembalinya sejarah tentang tuduhan peran PKI di Madiun di tahun 1948.
Seperti telah ditunjukkan dengan jelas di atas, pernyataan bahwa tindakan-tindakan itu dilakukan dalam konteks kepentingan “membunuh atau dibunuh” tidak berdasar.
Sebaliknya, pemberontakan dalam skala kecil telah runtuh dalam jangka waktu beberapa hari, dan hanya ada perlawanan sporadis di beberapa tempat melawan penganiayaan oleh angkatan bersenjata dan kaum milisia.
- d) Apakah pemerintah Indonesia terikat oleh ketentuan dalam Konvensi Genosida 1948?
Sejak diterima oleh Majelis Umum PBB, Konvensi Genosida terbuka untuk ratifikasi. Berlaku sejak 12 Januari 1951, Konvensi Genosida telah diratifikasi oleh 147 negara dan ditandatangani oleh 47 negara sampai dengan waktu sidang IPT berlangsung.
Sangat penting untuk diperhatikan bahwa Indonesia sampai saat ini (jadi juga pada saat terjadinya kejahatan-kejahatan yang sedang dipertimbangkan Tribunal ini) tidak meratifikasi atau menandatangani Konvensi Genosida.
Jadi perlu untuk mempertimbangkan apakah Indonesia terikat oleh ketentuan Konvensi tersebut. Konvensi Genosida menekankan apa yang sudah menjadi bagian jus cogens, yaitu bahwa semua negara diikat ketentuan untuk menghormati dan melaksanakannya sebagai hukum adat internasional, lepas dari apakah negara itu telah menandatangani atau meratifikasi Konvensi Genosida.
- HASIL TEMUAN DAN REKOMENDASI
1.1 Hasil temuan
Indonesia bertanggung jawab dan bersalah atas kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan atas tindakan dan perbuatan tidak manusiawi, khususnya yang dilakukan oleh pihak militer melalui sistem komando. Tindakan-tindakan tersebut akan dijabarkan lebih lanjut di bawah. Semua tindakan tidak manusiawi tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari serangan sistemik yang menyeluruh terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi-organisasi terkait, termasuk pemimpin, anggota, pendukung dan keluarga mereka (termasuk mereka yang diduga simpatisan) bahkan mereka yang tidak memilliki hubungan dengan PKI. Serangan ini berkembang luas menjadi sebuah tindakan pembersihan menyeluruh atas pendukung Presiden Sukarno dan anggota radikal Partai Nasional Indonesia. Setiap tindakan tidak manusiawi adalah sebuah kejahatan di Indonesia dan di banyak negara-negara beradab di dunia. Serangan yang dilakukan dipicu oleh propaganda yang menyesatkan yang akan dibahas lebih lanjut di bawah. Keterangan di bawah juga akan memberi penjelasan atas tindakan-tindakan tidak manusiawi yang menjadi bagian dari serangan yang dilakukan.
Indonesia juga telah gagal mencegah tindakan tidak manusiawi yang terjadi dan juga menghukum pihak-pihak yang bertanggung jawab atas tindakan tidak manusiawi tersebut. Fakta bahwa sebagian kejahatan yang terjadi dilakukan oleh baik pihak-pihak tertentu yang terkait dengan negara, maupun mereka yang disebut sebagai pelaku lokal yang spontan tidak membebaskan negara dari kewajiban negara untuk mencegah kejahatan kemanusiaan yang terjadi dan menghukum yang bersalah.
Tindakan kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan meliputi
- Pembunuhan. Jumlah orang yang terbunuh kemungkinan besar diperkirakan sekitar 400.000 sampai 500.000 orang. Namun, mengingat bahwa kasus ini masih dirahasiakan, jumlah korban sebenarnya bisa lebih tinggi atau mungkin saja lebih rendah. Pembunuhan brutal yang terjadi menyeluruh merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga pelanggaran atau hukum Indonesia, termasuk UU KUHP pasal 138 dan 140, khususnya UU No20/2000. Pembunuhan yang terjadi merupakan bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut.
- Hukuman Penjara. Data statistik yang ada tidak cukup untuk menunjukkan berapa jumlah sebenarnya orang ditahan, termasuk tahanan buruh paksa dan budak virtual, namun diperkirakan jumlahnya sekitar 600.000 orang dan mungkin saja lebih besar dari itu. Tindakan pemenjaraan yang tidak melalui proses hukum adalah sebuah bentuk kejahatan di Indonesia dan di sebagian besar banyak negara pada waktu itu. Tindakan pemenjaraan tanpa pengadilan juga merupakan sebuah tindakan kejahatan serius terhadap kemanusiaan dan pelanggaran UU No. 26/2000. Tindakan tersebut juga merupakan bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut.
- Perbudakan. Ada bukti cukup yang menunjukkan bahwa orang-orang yang ditahan dipaksa untuk melakukan pekerjaan paksa di bawah kondisi yang bisa dikategorikan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga pelanggaran atas Konvensi mengenai Kerja Paksa tahun 1930 juga juga pelanggaran atas hukum Indonesia, terutama UU No26/2000. Tindakan tersebut juga merupakan bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut.
- Penyiksaan. Adanya bukti yang cukup untuk menunjukkan adanya penyiksaan dalam skala besar yang dilakukan terhadap tahanan pada masa terjadinya pembunuhan massal dan pemenjaraan. Banyak kejadian penyiksaaan direkam dalam laporan Komnas HAM dan Komnas Perempuan dan pada kasus-kasus individual yang digambarkan dalam pernyataan saksi dan bukti tertulis. Ada peraturan ekplisit di sistim perundang-undangan Indonesia yang menentang penyiksaan, kemudian ada larangan total terhadap tindakan penyiksaan dalam hukum internasional. Tindakan penyiksaan ini merupakan bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut.
- Tindakan penghilangan secara paksa. Adanya bukti yang cukup untuk menunjukkan adanya tindakan penghilangan secara paksa dalam skala besar, yang terkadang dilakukan sebelum memenjarakan atau menyiksa korban, sementara pada kasus-kasus lainnya, nasib para korban tidak pernah diketahui. Bukti-bukti ini terdapat dalam laporan Komnas Ham dan diberikan oleh saksi dan studi kasus yang di hadapan sidang Tribunal. Penghilangan secara paksa dilarang dalam hukum internasional. Tindakan penghilangan secara paksa ini merupakan bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut.
- Kekerasan seksual. Bukti adanya kekerasan seksual yang tercatat pada laporan Komnas perempuan dan diserahkan baik secara lisan maupun tulisan terbukti menyakinkan. Bukti-bukti detil yang diberikan pada sidang Tribunal semua saling mendukung fakta dan memberikan gambaran akan adanya tindakan kekerasan seksual yang sistemik terhadap perempuan yang diduga terlibat dengan PKI. Tindakan kekerasan ini meliputi pemerkosaan, penyiksaan seksual, perbudakan seksual dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya. Bentuk-bentuk kekerasan ini telah dan masih dinyatakan sebagai tindakan kejahatan, khususnya Undang-undang No. 26/2000, dan juga termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut.
- Pengasingan. Para warga negara Indonesia yang paspornya disita ketika berada di luar negeri telah kehilangan hak kewarganegaraannya. Aturan atas tindakan pengasingan yang dipaksa atau terjadi secara sukarela, selain merupakan tindakan tidak manusiawi, adalah merupakan bentuk serangan menyeluruh sebuah negara terhadap warga negaranya sendiri dan mungkin merupakan sebuah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
- Propaganda. Versi resmi atas apa yang terjadi pada orang-orang yang ditangkap di Lubang Buaya sepenuhnya tidak benar. Fakta yang sebenarnya terjadi diketahui oleh para pimpinan militer di bawah Jendral Suharto dari sejak awal namun kemudian sengaja dipelintir untuk kepentingan propaganda. Kampanye propaganda yang disebar terkait orang-orang yang terlibat dengan PKI membenarkan tindakan penuntutan hukum, penahahan dan pembunuhan para tersangka dan melegitimasi kekerasan seksual dan segala tindakan tidak manusiawi yang dilakukan. Propaganda yang bertahan selama 3 dekade ini memberikan kontribusi tidak hanya pada penolakan terpenuhinya hak sipil para penyintas dan juga pemberhentian tuntutan atas mereka. Menyebarkan propaganda sesat untuk tujuan melakukan tindakan kekerasan adalah sebuah tindakan kekerasan itu sendiri. Tindakan mempersiapkan sebuah kejahatan tidak bisa dipisahkan dari kejahatan itu sendiri. Bentuk persiapan semacam ini memberikan jalan dan merupakan bagian awal dari serangan sesungguhnya.
- Keterlibatan negara lain. Amerika, Inggris dan Australia semua terlibat atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan meskipun dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda
Amerika memberi dukungan cukup kepada militer Indonesia, dengan mengetahui bahwa mereka akan melakukan sebuah pembunuhan massal, tindakan kejahatan atas dugaan keterlibatan negara-negara lain dalam kejahatan terhadap kejahatan dengan demikian dijustifikasi. Bukti paling jelas adalah adanya daftar nama pejabat PKI dimana ada dugaan bahwa akan adanya penangkapan atau pembantaian atas nama-nama tersebut
Inggris dan Australia melakukan kampanye propaganda yang menyesatkan berulang-ulang dari pihak militer dan mereka melanjutkannya dengan peraturan, bahkan setelah terbukti bahwa tindakan pembunuhan dan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan benar-benar terjadi secara massal dan tidak pandang bulu. Hal ini membenarkan dugaan akan adanya keterlibatan negara-negara lain dalam tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pemerintah di negara-negara yang disebutkan di atas menyadari dan mengetahui penuh apa yang sedang terjadi di Indonesia melalui laporan diplomatik dari kontak yang berada di lapangan atau dari media barat.
Genosida
Fakta-fakta yang dihadirkan di Sidang Tribunal oleh penuntut termasuk tindakan-tindakan yang disebutkan dalam Konvensi Genosida. Tindakan-tindakan tersebut dilakuan untuk melawan bagian substansif negara Indonesia atau kelompok nasional, sebuah kelompok yang dilindungi dalam konvensi genosida. Tindakan tersebut dilakukan dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut secara bagian atau keseluruhan. Hal ini juga berlaku pada kejahatan yang dilakukan pada kelompok minoritas Cina. Indonesia terikat pada ketentuan Konvensi Genosida tahun 1948 di bawah hukum internasional.
1.2 Rekomendasi
Laporan ini menghimbau pemerintah Indonesia untuk segera dan tanpa pengecualian:
- Minta maaf pada semua korban, penyintas dan keluarga mereka atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh negara dan tindakan kejahatan lainnya yang dilakukan negara dalam kaitanya dengan peristiwa 1965.
- Menyelidiki dan menuntut semua pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.
- Memastikan akan adanya kompensasi yang setimpal dan upaya ganti rugi bagi semua korban dan penyintas.
Laporan ini mendukung dan menghimbau semua otoritas yang terkait untuk memperhatikan dan mematuhi
- Himbauan Komnas Perempuan untuk dilaksanakannya penyelidikan penuh oleh pemerintah Indonesia dan juga pemberian kompensasi utuh bagi korban penyintas dari kekerasan seksual dan keluarga mereka.
- Himbauan Komnas HAM bahwa Kejaksaan Agung harus bertindak atas laporan tahun 2012 untuk melakukan penyelidikan atas apa yang dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di tahun 1965 dan sesudahnya.
- Himbauan yang diberikan para korban dan individu termasuk kempok HAM Indonesia agar pemerintah dan seluruh sektor untuk:
- Melawan impunitas dan sepakat bahwa impunitas untuk kejahatan serius di masa lalu yang berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan meracuni masyarakat dan memunculkan bentuk kekerasan baru.
- Merehabilitasi para korban dan menghapus segala jenis tuntutan dan larangan yang dilakukan pihak otoritas yang menghalangi mereka untuk menikmati secara penuh hak-hak asasi mereka yang dijamin di bawah undang-undang Indonesia dan internasional.
- Menentukan kebenaran tentang apa yang terjadi di tahun 1965 sehingga generasi masa depan dalam belajar dari masa lalu.
- BEBERAPA APPENDIKS
D1. Dokumen-dokumen kunci
D1 a. Otopsi para Jenderal
Ben Anderson, “How Did the Generals Die?”, Indonesia, jilid 43 (April 1987), halaman 109 sampai 134.
Laporan asli otopsi dalam bahasa Indonesia (tapi bukan kata pengantar yang ditulis oleh Ben Anderson) bisa dibaca di http://www.slideshare.net/indoleaks/visum-02
Kata pengantar:
Kejutan sering muncul tatkala seseorang membongkar gudang yang penuh sesak dan berdebu. Ketika membolak-balik ribuan halaman hasil fotokopi laporan stenografi pengadilan Letnan Kolonel Penerbangan Heru Atmodjo di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, saya mendapati dokumen-dokumen yang berikut ini saya terjemahkan, yang merupakan lampiran pada dokumen-dokumen pengadilan. Ini merupakan laporan yang disusun oleh sekelompok lima ahli forensik medis yang memeriksa jenazah enam orang jenderal (Yani, Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono dan Pandjaitan) dan seorang letnan muda (Tendean) yang dibunuh pada dinihari 1 Oktober 1965. Laporan seadanya ini secara tepat dan obyektif menggambarkan bagaimana tujuh orang ini tewas, tidak ada laporan lain yang bisa menandinginya.
Berkaitan dengan kontroversi lama tentang masalah ini, dan pelbagai laporan kepada khalayak ramai yang berbeda-beda seperti dilakukan oleh pelbagai koran dan majalah, menurut saya akan bermanfaat untuk menerjemahkan semuanya demi kepentingan ilmiah.
Pada setiap kepala laporan yang tertera visum et repertum (otopsi) menunjukkan bahwa kelompok ini dibentuk pada hari Senin 4 Oktober, sebagai pelaksanaan perintah tertulis Mayjen Suharto, komandan KOSTRAD, kepada kepala Rumah Sakit Angkatan Darat. Tim itu terdiri dari dua dokter Angkatan Darat (termasuk yang terkenal Brigjen Dr. Roebiono Kertopati) dan tiga orang sipil spesialis forensik medis pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tokoh yang paling senior di kalangan sipil ini, Dr. Sutomo Tjokronegoro, adalah ahli forensik medis terkemuka Indonesia. Kelompok ini bekerja selama delapan jam, pada 4 Oktober dari jam 16:30 sampai jam 00:30 pada 5 Oktober, di kamar bedah RSPAD.
Jelas mereka harus bekerja cepat, karena kita tahu dari pelbagai berita koran bahwa jenazah–jenazah itu diangkat dari sumur di Lubang Buaya (tempat mereka dibuang oleh para pembunuh) pada 4 Oktober siang hari, lebih dari 75 jam setelah mereka dibunuh. Pada saat itu, seperti bisa diperhitungkan dalam iklim tropis, jenazah-jenazah itu sudah dalam tahap pembusukan tinggi. Pada siang hari Selasa 5 Oktober jenazah-jenazah ini dimakamkan dengan upacara kebesaran militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Berdasarkan kenyataan bahwa otopsi itu dilakukan atas perintah langsung Mayjen Suharto, tidaklah mungkin laporan para dokter ini tidak langsung disampaikan kepadanya begitu selesai ditulis.
Masing-masing laporan yang mencapai tujuh ini mengikuti pola yang sama:
1) Pernyataan Mayjen Suharto yang berisi instruksi kepada lima pakar;
2) Identifikasi jenazah;
3) Uraian tentang keadaan jenazah, termasuk pakaian atau hal-hal lain yang dijumpai pada jenazah;
4) Perincian luka-luka yang bisa diamati;
5) Kesimpulan mengenai waktu dan penyebab kematian; serta
6) Dengan bersumpah kelima pakar menyatakan bahwa pemeriksaan jenazah telah mereka lakukan secara menyeluruh dan sesuai dengan ketentuan yang ada.
***
Sumber terbuka tentang tujuh orang yang tewas ini, kita sekarang, seperti para pembaca Indonesia pada tahun 1965, hanya bisa bergantung pada laporan dua harian militer: Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, serta pusat penerangan ABRI sebagai pemasok berita.
Walaupun beberapa koran sipil terus mewartakannya, pers kiri sudah dibungkam sejak 1 Oktober malam, dan siaran radio serta televisi pemerintah sudah sepenuhnya berada di tangan militer bahkan sebelum 1 Oktober. Oleh karena itu kita akan bisa belajar banyak jika membandingkan pemberitaan koran militer dengan isi laporan ahli forensik yang ditugasi oleh militer, dari lampiran yang ada bisa disimpulkan bahwa laporan ini selesai ditulis pada hari Selasa tanggal 5 Oktober 1965.
Berdasarkan kenyataan bahwa kedua koran adalah harian pagi, dan kemungkinan besar edisi tanggal 5 Oktober “sudah ditidurkan” tatkala para dokter melakukan pemeriksaan, tidaklah mengejutkan kalau pemberitaan mereka pada hari itu mungkin tergesa-gesa, tidak menggunakan informasi yang teliti.
Harian Angkatan Bersenjata yang mengumumkan foto-foto kabur konon merupakan foto jenazah yang membusuk, memberitakan kematian itu sebagai “Perbuatan biadab berupa penganiajaan jang dilakukan diluar batas perikemanusiaan.”
Harian Berita Yudha, yang selalu lebih hidup, mencatat bahwa: “Bekas2 luka disekudjur tubuh akibat siksaan sebelum ditembak masih membalut tubuh2 pahlawan kita”.
Mayjen Suharto sendiri dikutip menyatakan bahwa, “Djelaslah bagi kita jang menjaksikan dengan mata kepala betapa kedjamnja aniaja jang telah dilakukan oleh petualang2 biadab dari apa jang dinamakan ‘Gerakan 30 September’”.
Berlanjut dengan pemberitaan tentang saat-saat terakhir Jenderal A. Yani, harian Berita Yudha mewartakan bahwa setelah ditembak di rumah sendiri, dia dibuang ke dalam truk hidup-hidup, dan mulai saat itu disiksa sampai “penjiksaan terachirnja di Lubang Buaja”. Bukti siksaan ini adalah luka di leher dan wajah dan “anggota2 tubuhnja jang tidak sempurna lagi”.
Frasa yang agak kabur ini menjadi lebih jelas pada berita keesokan harinya. Pada Kamis tanggal 7 Oktober, Angkatan Bersendjata mengamati bahwa Jenderal Yani “matanja ditjongkel”, sebuah penemuan yang, dua hari kemudian, dibenarkan oleh harian Berita Yudha yang menambahkan bahwa wajah jenazah yang ditemukan itu dibungkus dengan kain hitam.
Pada hari yang sama tanggal 7 Oktober itu Angkatan Bersendjata lebih lanjut memberitakan bagaimana Jenderal-Jenderal Harjono dan Pandjaitan tewas akibat hujan tembakan di rumah-rumah mereka sendiri, dengan jenazah yang ditumpuk di dalam truk yang kemudian menghilang di malam buta dan “deru mesinnja jang seperti harimau haus darah”. Namun Berita Yudha juga mencatat bekas-bekas siksaan di tangan Harjono.
Pada edisi 9 Oktober, Berita Yudha melaporkan bahwa walaupun wajah dan kepala Jenderal Suprapto telah dipukul oleh “pen-teror2 biadab”, sosoknya masih bisa dikenali. Tubuh Letnan Tendean mengalami luka irisan pisau pada dada kiri dan perutnya, lehernya telah dimutilasi dan kedua matanya dicungkili.
Pada edisi hari berikutnya Berita Yudha mengutip beberapa orang saksi mata penggalian kubur yang mengatakan bahwa beberapa korban telah dicungkili mata mereka, sementara beberapa korban lain “Ada jang dipotong tanda kelaminnja dan banjak hal2 jang sama sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan”.
Pada edisi 11 Oktober Angkatan Bersendjata lebih memerinci kematian Tendean dengan menyatakan bahwa dia telah mengalami beberapa kali penyiksaan di Lubang Buaya, tempat dia diserahkan kepada Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia onderbouw PKI). Dia dijadikan “permainan djahat” oleh wanita-wanita ini.
Pemberitaan koran-koran tentara ini segera diikuti oleh media massa lain.
Pada tanggal 20 Oktober, misalnya, Api Pantjasila, organ partai IPKI yang dekat dengan tentara mengumumkan bahwa alat pencungkil yang digunakan untuk mencongkeli mata para jenderal telah ditemukan oleh organisasi pemuda anti komunis yang menggrebek gedung milik PKI di desa Harupanggang, pinggiran Garut, tanpa menjelaskan mengapa PKI merasa perlu menyimpan alat itu di sana.
Pada tanggal 25 Oktober, koran yang sama mengumumkan pengakuan seorang yang bernama Djamin, anggota Pemuda Rakjat, organisasi pemuda PKI, yang menyatakan telah menyaksikan bagaimana Jenderal Suprapto disiksa “di luar batas kesusilaan” oleh para anggota Gerwani.
Lalu menyusul pengakuan-pengakuan serupa dan memuncak pada kisah luar biasa yang dituturkan oleh Djamilah dan diumumkan pada edisi 6 November oleh semua pers berdasarkan laporan Pusat Penerangan ABRI.
Djamilah jang berusia 15 tahun itu adalah seorang pemimpin Gerwani Pacitan yang sedang hamil tiga bulan, mengungkap bahwa dia bersama teman-temannya di Lubang Buaja telah memperoleh pisau silet dari kalangan militer peserta Gerakan 30 September.
Mereka yang berjumlah 100 orang itu mengikuti perintah orang-orang yang sama berlanjut dengan “me-nusuk2 pisau pada kemaluan orang2 itu” (Api Pantjasila, 6 November 1965). Dan jelas bukan hanya ini.
Karena Antana yang dikontrol tentara pada edisi 30 November mewartakan bagaimana para anggota Gerwani tanpa pandang bulu telah menyerahkan diri kepada para personil Angkatan Udara yang terlibat Gerakan 30 September.
Sedangkan harian Angkatan Bersendjata edisi 13 Desember memberitakan bahwa para anggota Gerwani ini telah menari tarian harum bunga secara telanjang bulat di bawah arahan Pimpinan PKI DN Aidit sebelum menceburkan diri pada tindakan cabul massal bersama anggota Pemuda Rakjat.
Di antara semua pengakuan yang memenuhi pemberitaan surat kabar sepanjang bulan-bulan Oktober, November dan Desember, sementara tengah berlangsung pembunuhan massal terhadap mereka yang dituduh berafiliasi dengan PKI, terdapat dua hal yang sangat menarik.
Pertama adalah desakan bahwa tujuh pria yang dibunuh itu telah mengalami penyiksaan yang mengerikan, yaitu pencungkilan mata dan pemotongan “tanda kelamin”, sedangkan hal kedua adalah penekanan bahwa kalangan sipil anggota organisasi komunis merupakan pelaku tindakan kejam ini.
Apa makna laporan para ahli forensik yang disusun pada tanggal 5 Oktober ini?
Pertama, dan paling penting, adalah tidak ada seorang pun korban yang dicungkil matanya, dan bahwa semua alat kelamin mereka masih utuh: Kita bahkan diberitahu bahwa empat orang telah menjalanin khitan dan tiga orang tidak dikhitan.
Lebih dari itu, mungkin bermanfaat untuk membagi para korban ini dalam dua kelompok: mereka yang menurut bukti-bukti non-forensik ditembak mati di rumah sendiri oleh para penculik, yaitu para jenderal Yani, Pandjaitan dan Harjono; serta mereka yang baru dibunuh setelah dibawa ke Lubang Buaya, masing-masing Jenderal Parman, Soeprapto dan Sutojo, demikian pula Letnan Tendean.
Kelompok 1.
Laporan terlengkap mengenai kematian mereka muncul lama setelah peristiwa pembunuhan; kematian Yani baru dilaporkan oleh Berita Yudha Minggu pada edisi 5 Desember; Pandjaitan oleh harian-harian Kompas edisi 25 Oktober, Berita Yudha Minggu tanggal 21 November dan Berita Yudha edisi 13 Desember; sedangkan berita kematian Harjono dimuat oleh Berita Yudha edisi 28 November. Pada semua laporan itu tertera bahwa para jenderal ini ditembak secara langsung dan mendadak oleh pasukan pengawal presiden Tjakrabirawa di bawah komando operasional Letnan satu Doel Arief.
Laporan forensik hanya membenarkan sebagian penggambaran ini. Para ahli mengamati bahwa luka-luka pada tubuh Yani hanya 10 tembakan baru dan tiga tembakan lama. Pandjaitan terkena tiga tembakan di kepala dan luka irisan pisau kecil di tangan.
Di pihak lain, cedera yang dialami Harjono malah menimbulkan pertanyaan, karena tidak disebut adanya luka tembakan. Penyebab kematiannya ternyata luka tusukan panjang dan dalam di bagian perut, yang bisa terjadi karena tusukan bayonet, pisau lipat, atau pisau cukur.
Luka serupa yang tidak mematikan terlihat pada punggung korban. Satu-satunya cedera lain disebutkan sebagai “di tangan kiri dan pergelangan tangan, luka karena trauma tumpul.”
Tidak ada kemungkinan lain untuk menafsirkan semua ini kecuali menyatakan bahwa tidak mungkin luka-luka itu muncul akibat siksaan —tukang siksa jarang memilih tangan sebagai sasaran ulah mereka— dan bisa juga merupakan akibat jenazah yang dibuang ke dalam sumur sedalam 12 meter di Lubang Buaya.
Kelompok 2
Laporan terlengkap mengenai kematian korban-korban dalam kelompok ini diumumkan oleh koran-koran berikut: Parman oleh Berita Yudha edisi 17 Oktober, selanjutnya pada tanggal 12 Desember kedua harian yaitu Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata secara serempak kembali memuat laporan tentangnya.
Berita kematian Soeprapto terbit di harian Berita Yudha Minggu edisi 5 Desember serta Berita Yudha Minggu edisi 21 November; sedangan kematian Tendean diberitakan oleh Berita Yudha Minggu edisi 24 Oktober.
Empat orang inilah yang memperoleh pemberitaan mengenai penyiksaan seks keji.
Sedangkan laporan forensik mengungkapkan hal-hal berikut:
1) S. Parman terkena lima luka tembakan, termasuk dua yang mematikan pada kepala; dan, tambahan lagi, “luka iris dan tulang patah di bagian kepala, rahang, dan kaki kiri bawah, masing2 merupakan akibat trauma tumpul”. Tidak mungkin mengetahui apa penyebab memar (trauma) tumpul ini —popor senapan, atau kena tembok dan lantai sumur— tapi jelas bukan luka “siksaan”, tidak juga muncul akibat irisan pisau lipat atau pisau cukur.
2) Soeprapto tewas akibat sebelas tembakan yang mengenai pelbagai bagian tubuhnya. Luka lain terdiri dari enam irisan dan patah tulang karena trauma tumpul di sekitar kepala dan wajah; satu karena trauma tumpul di betis kanannya; kemudian luka dan patah tulang akibat “sebagai akibat trauma tumpul jang sangat keras disekitar pinggang dan paha kanan atas”; dan tiga irisan yang, berdasarkan ukuran dan dalamnya, kemungkinan disebabkan oleh bayonet. Lagi-lagi “trauma tumpul” menandakan telah terjadi benturan dengan obyek keras yang besar dan tanpa bentuk jelas (popor bedil atau batu sumur), jadi bukan akibat pisau cukur atau pisau biasa.
3) Sutojo terkena tiga tembakan peluru (termasuk yang mematikan di kepala), sementara “tangan kanan dan batok kepala hantjur karena trauma tumpul”. Lagi-lagi di sini terbaca kombinasi aneh tangan kanan, tempurung kepala dan trauma tumpul yang menandakan popor senapan atau tembok sumur.
4) Tendean tewas karena luka tembakan. Selain itu, para pakar forensik menemukan luka goresan di dahi dan tangan kiri, demikian pula “tiga luka mengaga akibat trauma tumpul terhadap kepala”.
Di seluruh laporan ini tidak pernah sekalipun disebut telah terjadi penyiksaan, demikian pula tidak ada jejak pisau cukur atau pisau lipat. Tidak hanya hampir semua luka bukan akibat tembakan diuraikan secara terperinci sebagai akibat trauma berat dan tumpul, tetapi sasaran pada tubuh —pergelangan kaki, tulang kering, pergelangan tangan, paha, pelipis dan seterusnya— yang pada umumnya tampak acak.
Hal yang sangat mencolok adalah bahwa bagian tubuh yang biasanya merupakan sasaran para penyiksa seperti biji pelir, dubur, mata, kuku jari, telinga dan lidah, tidak pernah disinggung.
Dengan begitu bisalah dikatakan dengan kepastian yang masuk akal bahwa enam korban menemui ajal karena tembakan (hanya kematian Harjono di rumahnya sendiri yang merupakan tanda tanya), dan kalaupun tubuh mereka menjadi sasaran kekerasan lain, maka itu akibat hempasan popor senjata yang sebelumnya telah melepaskan tembakan yang mematikan terhadap mereka, atau kerusakan tubuh itu tampaknya merupakan akibat jatuh ke dalam sumur berdinding batu sedalam 12 meter yang kira-kira setara dengan gedung tingkat tiga.
Sekarang hanya tinggal mengatakan bahwa dalam pidatonya pada tanggal 12 Desember 1965, kepada kantor berita Antara, Presiden Sukarno memberi peringatan keras para wartawan karena telah membesar-besarkan berita.
Presiden juga mendesak bahwa para dokter yang telah memeriksa tubuh para korban sudah menegaskan tidak terjadi mutilasi keji pada mata dan alat kelamin seperti dilaporkan pers.
D1.b Pelbagai laporan diplomatik
(i) Laporan Kedutaan Besar Amerika Serikat, November 1965
[Catatan: berikut cuplikan makalah Dr. Bradley Simpson yang secara terperinci menguraikan keterangan mengenai pembunuhan massal seperti dilaporkan oleh Kedutaan Besar Amerika di Jakarta kepada Kementerian Luar Negeri (State Department) di Washington DC selama satu bulan yaitu November 1965]
Pada hari sebelum Komite 303 menyetujui pengiriman obat-obatan kepada tentara, kedutaan besar mengirim kawat kepada Kementerian Luar Negeri bahwa di Jawa Tengah satuan RPKAD di bawah komando Edhie telah “memberi senjata dan melatih kalangan muda Islam dan akan menempatkan mereka pada garis depan melawan PKI”.
Sementara para pemimpin tentara menangkapi jajaran pemimpin PKI untuk diinterogasi, “ikan teri” secara “sistematis ditangkap dan dipenjara atau dieksekusi”.
Di Sumatra Utara dan Aceh, beberapa hari kemudian, “Organisasi pemuda IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, partai yang berafiliasi dengan tentara), dan semua unsur anti komunis” terlibat dalam “upaya sistematis untuk mengganyang PKI dan dilaporkan telah terjadi pembunuhan besar-besaran”; “pesan khusus” tentara “adalah bahwa tengah berusaha mengganyang PKI”.
Pada tanggal 13 November, kepala penerangan polisi Kolonel Budi Juwono melaporkan bahwa “antara 50 sampai 100 anggota PKI dibunuh setiap malam di Jawa Timur dan Jawa Tengah oleh kelompok-kelompok sipil anti komunis atas restu tentara.”
Tiga hari kemudian anggota Pemuda Pantjasila yang “haus darah” memberi tahu konsulat di Medan bahwa organisasi ini “berniat membunuh setiap anggota PKI yang bisa mereka tangkap”.
Sumber lain memberi tahu Konsulat bahwa “banyak berlangsung pembunuhan secara sembarangan”. Para pejabat konsuler menyimpulkan bahwa, bahkan telah memperhitungkan sesuatu yang berlebihan, telah terjadi “kekuasaan teror nyata”.
CIA melaporkan bahwa pada akhir bulan bekas anggota PKI di Jawa Tengah “ditembak di tempat oleh tentara”.
Para misionaris di Jawa Timur memberi tahu Konsulat di Surabaya bahwa 15.000 orang komunis dilaporkan telah dibunuh di Tulungagung saja. Kembali, bahkan dengan memperhitungkan telah terjadi pembesar-besaran, konsulat melaporkan telah terjadi “pembantaian luas”.
Seorang petugas intelijen Indonesia di Jawa Timur menggambarkan bahwa telah terjadi pembunuhan massal para aktivis PKI dan para pendukungnya di Kediri (300 orang petani diburuh, ternyata karena kesalahan), Wates (1200 orang dibunuh) dan Ponggok (sekitar 300 orang dibunuh), dan bahwa “banyak mereka yang dibunuh adalah pengikut yang tidak tahu banyak”.
(ii) Laporan kedutaan besar Inggris, Februari 1966
Telgram duta besar Inggris di Jakarta, Andrew Gilchrist, kepada A.J. de la Mare, kepala departemen Timur Jauh pada Foreign Office, Kementerian Luar Negeri, London, 23 Februari 1966
Arthur yang baik,
Pada telegramku nomer 281, aku merujuk perkiraan Duta Besar Swedia tentang pembunuhan massal yang baru terjadi.
- Sekarang melakukan perjalanan di Jawa tidaklah mudah, dalam arti bahwa gerak gerik diplomat dibatasi oleh Departemen Luar Negeri karena alasan keamanan. Secara khusus ini berlaku untuk perlawatan melalui udara: untuk perjalanan darat, orang Indonesia cenderung angkat bahu dan berkata, “Wah itu tanggung jawabmu sendiri”.
- Duta besar Swedia itu muda dan penuh semangat, ia memperoleh kesempatan untuk bertandang ke Jawa Tengah dan Jawa Timur bersama seorang pakar telepon Swedia yang tengah melakukan inspeksi terhadap pertukaran instalasi Ericsson.
- Dia mendapati bahwa jalan utama dalam keadaan baik untuk kendaraan normal berpenumpang. Ada beberapa titik kontrol, kecuali dekat Surabaya, di sana kontrol lebih sering dan para penjaga juga lebih curiga.
- Sebelum berangkat, duta besar dan saya membicarakan pembunuhan dan menurutnya usul saya bahwa korban tewas mencapai 400.000 orang sangat luar biasa. Upayanya untuk mencari tahu telah menyebabkannya untuk mempertimbangkan dengan serius bahwa jumlah itu terlalu direndah-rendahkan.
- Ia menunjuk bahwa kontaknya —berkat rekannya yang beristrikan seorang Indonesia— tidak mengenal pejabat pemerintah senior yang biasanya jauh dari peristiwa aktual, dia didampingi oleh rakyat kecil yang bertugas melayani pembicaraan telpon lokal. Dari penuturan merekalah dia membuat perkiraan — yang tentu saja dirumuskan dari proyeksi penduduk dalam jumlah besar yang dihitung dalam ukuran kota kecil, dan wilayah; tetapi anggapan bahwa kejadian serupa berlangsung di wilayah yang luas bukanlah tidak masuk akal, walaupun memang harus tetap diuji.
- Mengesampingkan sejenak kontak telefonnya, ia bertemu dengan seorang mahasiswi gadis Swedia yang hidup di kampung perkotaan. Katanya, 25 sampai 30 orang dari sekitar 100 telah diciduk pada suatu malam dan dibunuh (kata kuncinya adalah “pengamanan”).
- Seorang manajer bank di Surabaya dengan 20 orang karyawan berkata bahwa empat orang karyawannya telah diciduk pada suatu malam dan (berdasarkan pengetahuannya) telah dipenggal.
- Pakar Inggris yang bertugas mendirikan perusahaan tenun di dekat Surabaya menegaskan bahwa sekitar sepertiga teknisi perusahaan itu, anggota serikat buruh Komunis, telah dibunuh.
- Empat orang karyawan yang untuk sementara bekerja di taman Konsul Inggris di Surabaya meminta supaya hari liburnya ditangguhkan dulu, karena mereka harus ikut serta dalam pembunuhan kalangan komunis dan mereka tidak senang dengan gagasan itu.
- Pembunuhan di Bali, menurut apa yang dapat didengar oleh Duta besar, sangatlah mengerikan.
- Di wilayah tertentu, dirasakan jumlah orang yang dibunuh masih kurang. Di dekat Surabaya, sebatalion pasukan baru kembali dari Kalimantan dan menduduki kamp sementara; ini menyebabkan komentar dalam sebuah percakapan telefon: “Mereka ini adalah orang-orang yang bisa diandalkan — mereka datang untuk membantu kita membunuh lebih banyak Komunis”.
- Saya juga meminta Duta besar untuk mengamati apakah ada tanda-tanda bencana kelaparan. Gadis Swedia memberitahunya bahwa di kampungnya tak seorangpun makan daging selama lebih dari setahun, dan orang sudah beralih dari nasi ke jagung, pisang serta makanan hutan. Tapi tidak terjadi kelaparan —itulah kesan umum—tingkat kehidupan sudah turun tapi tidak sampai kelaparan.
- Surabaya, demikian Duta besar, memberi gambaran patut disesali karena disesaki oleh pengemis sehingga memalukan untuk melangkah di jalan-jalan.
- Dia juga mengabarkan telah melihat banyak kamp-kamp sementara yang menyekap mereka yang dicurigai Komunis. Kamp-kamp ini kebanyakan didirikan di pabrik-pabrik yang tidak digunakan lagi, dengan sedikit jumlah penjaga, dan banyak perempuan di luar memasak untuk mereka yang disekap. Kesannya para tahanan itu adalah orang-orang yang penuh tekad dan kuat, tidak sedikitpun gentar oleh ancaman yang mereka hadapi, bertekad membalik peran kalau kesempatan datang.
- Di Jakarta tentu saja tidak terjadi pembunuhan massal. Sejumlah besar orang —mungkin ribuan— sudah ditangkap pada awal-awalnya dan dijebloskan ke dalam penjara atau, kalau penjara penuh sesak, dibawa ke salah satu pulau di lepas pantai. Tampaknya beberapa tahanan sudah dibunuh hanya karena (seperti di Medan) beban harus memberi makan mereka makin berat; tetapi kami tidak punya bukti kongkrit bahwa pembunuhan itu telah benar-benar terjadi. Walau begitu, hal terpenting, dan ini merupakan kesimpulan yang adil, adalah bahwa di Jawa Barat dan Jakarta, di mana pembunuhan dan penangkapan relatif lebih ringan, mungkin lebih banyak Komunis yang bersembunyi dan siap berkumpul kembali jika dibandingkan dengan di bagian lain negeri ini. Kebijakan Presiden Sukarno sekarang jelas bertujuan untuk menjaga supaya mereka bertahan hidup.
- Bulan-bulan belakangan muncul butir menarik tentang meningkatnya jumlah buruh teknis akibat ulah PKI. Pembangunan pada tiga kedutaan besar yang besar melambat karena menghilangnya banyak buruh trampil. Serikat buruh bandar udara SERBAUD, yang merupakan sarang kaum Komunis, tidak cukup dibersihkan Oktober lalu karena otoritas bandar udara memperingatkan kalangan tentara bahwa kalau sampai anggota PKI diusir, khususnya yang menangani radio, maka maskapai asing akan berhenti untuk menghubungi Jakata.
- Saya menyalin surat ini dan mengirimkan salinan itu ke Singapura dan Kuala Lumpur.
[tertanda] Andrew Gilchrist (A.G. Gilchrist)
P.S. Duta besar Iran baru bertemu beberapa dokter Iran yang bekerja di Bali dan pulau-pulau lain, mereka melaporkan telah terjadi pembunuhan “sampai ratusan dan ribuan” yang sampai sekarang masih terus berlanjut.
(iii) Laporan Kedutaan besar Australia, Februari 1966
Kedutaan besar Australia, Jakarta, 25 Februari 1966, “Pesan Politik Mingguan” kepada Department of External Affairs (Departemen Luar Negeri) singkatan.
Langkah-langkah fisik terhadap PKI
- Sementara di Jakarta manuver politik berlangsung dalam tempo begitu cepat, dengan aman bisa diasumsikan bahwa di wilayah Indonesia lain, khususnya di luar Jawa, pada saat ini aparat keamanan (misalnya tentara dan polisi) sangat tidak mampu mengikuti seluk beluk keadaan yang membingungkan bagi warga Jakarta sendiri. Berita yang masuk dari Sumatra, Kalimantan, dst menunjuk pada berlanjutnya kampanye untuk mematahkan pengaruh setempat PKI, melalui dekrit atau kekuatan fisik.
- Mungkin kita bisa menggeneralisir laporan hasil pengamatan dan pengalaman staf Kedutaan besar pekan lalu ketika mengunjungi Nusatenggara Timur untuk menginspeksi proyek jalan Colombo Plan. Di Bali, Lombok, Flores dan Timor, ia mendapati bahwa bukan hanya berlangsung tindakan-tindakan brutal anti PKI selama beberapa bulan, tetapi langkah itu terus saja berlangsung, tanpa tanda-tanda akan mereda. Di semua tempat ini tentara memimpin di garis depan dalam pembantaian sistematis para anggota PKI yang ditahan, nyatanya dengan dukungan rakyat. Polanya adalah pembunuhan massal pada malam hari (pemenggalan) para anggota PKI, mulai dari kelompok dua-tiga orang sampai sekitar 40 atau 50 orang. Misalnya, ketika tiba Ende, Flores, staf Kedutaan besar menyaksikan kepala yang dipamerkan di taman. Ke manapun dia pergi ceritanya sama — orang-orang berpendapat penting untuk mengganyang PKI sampai keakar-akarnya (ini berarti istri dan anak-anak mereka juga), sebagai semacam jaminan supaya di masa depan tidak terjadi balas dendam. Sampai pekan silam penjara-penjara di wilayah ini masih diisi oleh tahanan PKI (termasuk perempuan) bagi proses keji yang akan berlanjut dalam minggu-minggu kalau tidak bulan-bulan mendatang.
- Sementara tidak perlu diragukan lagi di Jawa, banyak organisasi bawah tanah PKI masih utuh, bukanlah tidak masuk akal untuk memastikan bahwa partai ini sudah kena pukulan telak di sebagian besar wilayah, khususnya di pulau-pulau dan masyarakat kecil. Orang-orang PKI di wilayah-wilayah seperti ini mungkin lebih dikenal oleh penguasa militer, sehingga tidak bisa begitu saja masuk dan menghilang di dalam massa (sesuatu yang lebih mungkin di pulau Jawa yang begitu sesak). Benar, bisa kita bayangkan bahwa apapun hasil upaya Sukarno membersihkan PKI, dalam waktu-waktu mendatang akan ada alasan bagi masyarakat dan otoritas Indonesia di luar Jawa untuk berjaga-jaga menghadapi kembali bangkitnya PKI atau pengaruh neo-PKI di wilayah-wilayah mereka.
D1. c Klasifikasi golongan ABC
[Sumber: Laporan Amnesty International1977, Appendix 1]
KEPUTUSAN KOPKAMTIB NO. KEP-028/KOPKAM/10/68 (DIKELUARKAN DAN MULAI BERLAKU PADA TANGGAL 18 OKTOBER 1968) SEBELUM DIPERBAHARUI OLEH KEPUTUSAN KOPKAMTIB NO.KEP-010/KOP/3/1969
(DIKELUARKAN PADA TANGGAL 3 MARET 1969 BERLAKU MUNDUR SEJAK 18 OKTOBER 1968)
Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dengan ini memutuskan:
Dalam rangka memperbaiki screening pegawai militer sipil dalam tubuh pemerintahan maka akan dilakukan langkah-langkah berikut:
PASAL 1
Ayat 1
Keputusan ini merupakan perbaikan petunjuk dan pelaksanaan pelbagai kegiatan dalam rangka membersihkan Departemen, Tubuh dan Lembaga Pemerintahan dari elemen-elemen yang berkaitan dengan pengkhianatan G30S/PKI, termasuk pelbagai aktivitas terdahulu baik terbuka maupun tertutup, sehingga dicapai hasil optimal dengan menyeimbangkan upaya dan hasil.
Ayat 2
Prinsip-prinsip kebijakan yang terkandung dalam keputusan ini akan menyediakan petunjuk dalam bertindak berdasarkan kaidah yang sama dalam menghadapi semua masalah yang sama sejauh ini dimungkinan.
[Tidak tercantum ayat 3 dalam laporan Amnesty]
PASAL 2
Ayat 4
Mereka yang terlibat dalam gerakan pengkhianatan G30S/PKI dikasifikasikan sebagai berikut:
- Mereka yang jelas-jelas terlibat langsung, artinya:
- Mereka yang merencanakan, ambil bagian dalam perencanaan atau membantu gerakan pengkhianatan ini, atau memiliki pengetahuan awal tentang perencanaan dan tidak melaporkan kepada pihak berwajib.
- Mereka yang sadar akan tujuan gerakan ini, terlibat dalam pelaksanaan aktivitas gerakan, misalnya sebagai: (a) pelaku utama, yaitu orang-orang yang mengkoordinasikan operasi dan kegiatan lain. (b) pelaku yaitu orang yang melaksanakan operasi aktual atau aktivitas yang disebut pada 2(a); (c) partisipan, yaitu orang yang ambil bagian dalam melaksanakan operasi dan aktivitas yang disebut dalam butir 2(a).
- Mereka yang jelas-jelas terlibat tidak langsung, adalah:
- Mereka yang, tahu akan gerakan pengkhianatan ini, dan atau kegiatan selanjutnya, telah mengambil sikap, melalui kata-kata atau perbuatan, mendukung gerakan ini atau menentang atau menghalangi upaya mengganyangnya;
- Anggota CC, pemimpin dan anggota PKI yang sudah dilarang dan atau mereka yang telah ambil bagian dan disumpah atau berjanji di hadapan PKI atau anggota CC atau pemimpin organisasi massa berdasarkan prinsip yang sama dengan partai ini atau beroperasi di bawah perlindungannya, bersamaan dengan semua kegiatannya.
- Orang-orang yang terkena indikasi atau yang masuk akal kalau dianggap secara langsung atau tidak terlibat adalah:
- Mereka yang berdasarkan situasi masa lampau terlibat Affair Madiun [Bentrokan antara PKI dan Tentara pada bulan September 1948, catatan editor Amnesty] dan setelah upaya kudeta September 1965 tidak dengan jelas menentangnya secara terbuka, dan dengan mempertimbangkan situasi dan kemampuan mereka masing-masing, atau kegiatan mereka yang selalu cenderung mendukung PKI.
- Mereka yang merupakan anggota organisasi massa berdasarkan prinsip yang sama dengan PKI yang sudah dilarang atau beroperasi di bawah perlindungannya.
- Mereka yang menunjukkan simpati pada PKI dalam sikap dan tindakan.
Ayat 5
- Langkah-langkah terhadap orang-orang yang terlibat bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
— Langkah represif, terdiri dari (a) pengadilan berdasarkan hukum pidana. (b) tindakan administrtif terdiri dari
(1) pemecatan tidak dengan hormat
(2) pembatasan kesempatan untuk masuk beberapa kantor dan posisi, dengan memperhatikan semua peratuaran yang ada mengenai hal ini.
— Langkah preventif terdiri dari
(1) indoktrinasi
(2) pengawasan mental.
Ayat 6
Penerapan pelbagai tindakan akan berlangsung sebagai berikut:
- Mereka yang termasuk dalam Ayat 4 hurf A, akan didakwa berdasarkan hukum pidana dan akan kena tindakan administratif dalam bentuk pemecatan tidak hormat. Sedangkan tindakan terhadap mereka masih akan diputuskan, mereka akan ditahan. Sebagai gantinya Komandan Kopkamtib atau wakil Komandan Kopkamtib bisa menugaskan mereka dengan memperhatikan ketertiban umum untuk menetap di wilayah tertentu.
- Mereka yang termasuk Ayat 4 huruf B akan dikenai langkah-langkah administratif dalam bentuk pemecatan tidak hormat. Komandan Kopkamtib atau wakil komandan Kopkamtib bisa menempatkan mereka, dengan memperhatikan ketertiban umum di wilayah tertentu.
- Mereka yang termasuk Ayat 4 huruf C akan dikenai tindakan-tindakan berikut: (a) mereka yang digolongkan Ayat 4, huruf C1 akan dipecat dan ditempatkan di bawah pengawasan lembaga pemerintah yang tepat. (b) mereka yang digolongkan Ayat 4 huruf C2 akan dikenai pembatasan dalam kaitannya dengan kantor dan jabatan tertentu dan akan mengikuti indoktrinasi; (c) mereka yang digolongkan dalam Ayat 4, huruf C3 akan diawas dan mengikuti indoktrinasi.
D1.d
Prosekutor Antarini Arna:
Ibu Kinkin Rahayu terimakasih sudah menghadiri siding ini dan bersedia menjadi saksi. Apakah ibu dalam keadaan sehat?
Iya saya dalam keadaan sehat
Baik, terimakasih. Dapatkah ibu menceritakan pada kami semua di sini apa yang terjadi pada ibu di tahun 1965?
Pada tahun 1965, saya mengalami peristiwa yang luar biasa, mencekam, dan menakutkan, terutama pada keluarga saya yang langsung merasakan peristiwa itu. Pada tahun 1965, saya mengalami penangkapan yang pertama kali. Mengapa saya menyebut itu suatu penangkapan? Karena saya dalam hidup yang wajar-wajar saja dan masih beraktivitas sebagai mahasiswi tetapi langsung ditangkap. Bahkan penangkapan ini tidak hanya pada diri saya tetapi dua bulan sebelumnya didahului dengan penangkapan ayah saya, yang mana penangkapan itu diistilahkan dengan pengamanan.
Sehingga saya bertanya diamankan ke mana? Diamankan yang bagaimana? Sehingga selama dua bulan ayah saya tidak ada beritanya sama sekali. Maka saya bertanya kepada petugas yang menangkap saya, apa maksudnya aman? Dan saya mau dibawa ke mana? Mereka menjawab “ini adalah perintah atasan dan tidak boleh dilawan”. Sehingga saya sebagai rakyat kecil, seorang perempuan desa, saya tidak berdaya apa apa. Saya tinggal menyiapkan pakaian saya, selembar sarung, dan surjan, bapak saya siapa tahu.
Saya dibawa ke sebuah tempat yaitu di Kodim Sleman. Ternyata, Kodim itu sudah penuh dan saya dinaikkan ke truk lagi menuju suatu kamp yang bernama kamp Cebongan. Di situ adalah bekas markas tentara yang karena peristiwa 65, markas itu berubah menjadi penjara.
Waktu saya diturunkan dari truk dan digeledah maka petugas menemukan sarung dan surjan ayah saya “mengapa ini membawa sarung dan surjan?”, saya jawab “karena saya tidak mungkin membawa ayah ke sini, ayah dan ibu saya di rumah sehingga saya cukup membawa pakaiannya.
Siapa tahu ini menjadi obat kerinduan saya di mana nanti saya akan diletakkan” dan mereka percaya.
Akhirnya di tempat itu pun, kami ditempatkan dengan laki-laki serta anak-anak dan bayi.
Karena ibu-ibu yang dituduh Gerwani itu masuk ke situ dengan segenap anak dan bayinya, karena bapaknya diambil, ibunya diambil, anak tidak dapat ikut orang lain, harus dibawa. Setelah di situ kami berusaha mencari informasi kalau ayah saya di situ dan kebetulan saya sering minta air minum ke dapur sambil bertanya kepada teman teman di situ, saya dijawab “ayahmu ada di sini”. Tapi saya tidak pernah melihat ayah saya, cukup saya menitipkan pakaian ayah saya.
Di situ setiap hari ada pemeriksaan, yang laki-laki tidak lepas dari siksaan pukulan dan lain-lain, diinjak, yang terdengar hanyalah jerit, mengaduh, daripada yang diperiksa.
Sedangkan kami para tahanan perempuan diperiksa dalam pemeriksaan itu kami ditanyakan “Mana cap u Gerwani”, saya jawab “Saya bukan Gerwani, tetapi saya IPPI”.
Walaupun saya menjawab… bawah sampai ke pinggang, jadi pinggang ke bawah harus keliatan, diputar-putar, ada capnya Gerwani atau tidak.
Setelah mereka yakin bahwa tidak ada cap Gerwani maka kami baru ditanyai bermacam macam persoalan di antaranya, “Apakah kamu pernah pergi ke Lubang Buaya?” Ya saya tanya “Lubang Buaya itu apa? Lubang Buaya itu mana?” Karena saya orang Yogyakarta.
Akhirnya dengan pertanyaan-pertanyaan padaku, diantaranya adalah “Siapa dalam keluarga kamu yang terlibat G30S/PKI?”
Saya menjawab “Ayah-ibu saya petani, jadi tidak tahu-menahu tentang partai PKI.
“Ayah ibuku hanya tahu tentang kesenian desa karena di rumahku sering ada kegiatan menari wayang orang”.
Dalang itu sering diundang mendalang di Keraton Yogyakarta sebulan sekali sehingga desaku sangat maju keseniannya dan di rumahku sering digunakan untuk latihan wayang orang sehingga ada gamelan.
Tetapi sayang, gamelan itu disita oleh mereka, tentara, karena dianggap gamelan milik partai dan hampir saja rumahku disita karena rumah yang memberi partai.
Saya tidak mengerti cara berpikir mereka pada waktu itu. Setelah pemeriksaan selesai akhirnya saya suruh tanda tangan bahwa saya hanya anggota IPPI dan saya hanya diperiksa sekali.
Kebetulan sekali hadir seorang Romo yang satu minggu sekali memberikan komuni kudus kepada umat Katolik.
Pada suatu saat saya minta bicara dengan Romo tersebut [karena saya] di dalam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKI).
Dalam kampus, saya tidak mendapat skorsing apapun karena saya menjadi anggota PMKI, mohon tolong romo direkomendasikan untuk dibebaskan supaya saya bisa kuliah kembali dan puji Tuhan dengan doa dan usaha yang selalu saya tempuh mendekati romo tersebut, saya dibebaskan pada bulan April 1966. Jadi saya berada di kamp Cebongan selama empat bulan.
Ibu tadi mengatakan, ibu ditangkap pertama kalinya dan ditahan selama empat bulan. Apakah ibu pernah ditangkap lagi sesudah itu?
Pernah, setelah saya bebas saya mengurus surat-surat semuanya sehingga saya berhasil masuk kuliah lagi dan saya berhasil menjadi seorang guru karena usaha saya dan tuntutan ekonomi saya.
Karena bapak saya dipenjara, [bersama] adik saya tiga orang, maka saya melamar pekerjaan dan diterima. Tetapi tanpa diduga pada suatu malam…… sebenarnya saya baru tidur belum lama, karena sebagai mahasiswa saya harus menyalin kuliah dan mempersiapkan materi pelajaran buat murid saya.
Maka jam (pukul) 02:00 bagi saya belum lama tidurnya, setelah itu saya sadar betul memang rumah saya yang bunyi drakdrak pintunya kosnya, saya membuka pintu dan alangkah terkejutnya saya melihat enam orang menodongkan senjata dan dua orang tanpa senjata. Terkejut dan sangat takut. Ada apa ini?
Mereka menanyakan nama seseorang, kamu bernama ini? Bukan, nama saya ini. Tapi mereka tetap bertanya dan menggeledah rumah saya. Setelah ditemukan surat pembebasan saya dari kamp Cebongan, mereka marah sekali “Nyatanya kamu PKI? Ini ada surat pembebasan”, “Loh itu kan surat pembebasan, Pak. Berarti saya bukan PKI”.
Saya ditempeleng….. “Apakah gerilya politik wanita itu?” , “Saya tidak punya waktu pak. Karena pagi dan siang saya kuliah dan mengajar, malam saya menyalin kuliah dan mempersiapkan materi anak didik saya.”
Kembali saya dipukul. Meja yang saya tempati itu digulingkan otomatis saya terjatuh, terjatuh dengan mejanya. Setelah itu mereka kembali bertanya “Bagaimana pilih ngaku atau tidak?”, “Saya tidak bisa berbuat apa-apa, Pak”.
Akhirnya saya diseret ke tembok dan dipukul dengan sepeda. Sampai saya merasa gelap, semuanya gelap, saya tidak ingat apapun.
Tahunya saya sudah di kantor CPM, di situ saya diketemukan dengan seorang laki laki, kenal dengan ini tidak, saya tidak kenal.
Karena hari itu kebetulan sudah pagi maka kami diborgol bersama, dimasukkan ke dalam sebuah sel. Pukulan atau dibakar dengan rokok dan api, akhirnya kami diletakkan di sel itu dalam keadaan sama-sama parah.
Karena saya merenungi diri saya, kenapa saya diperlakukan seperti ini? Saya tidak sempat berbincang dengan adik-adik.
Setelah tiga hari saya dikeluarkan dari sel bersama laki laki itu, dibawa ke kantor pemeriksaan CPM. Kembali ke pertanyaan yang sama, “kamu kenal dengan laki laki ini tidak?” Saya tidak dapat menjawab dengan yang lain kecuali “saya tidak kenal”.
Lalu laki laki itu pun juga ditanya tetap dalam seperti kami bertemu di ruang pemeriksaan yang pertama. Akhirnya kami disuruh memilih “Kamu pilih mengaku, kenal, melakukan gerakan gerilya politik atau kamu saya telanjangi?”. Tetapi akhirnya kami ditelanjangi, dalam keadaan saling telanjang, disaksikan oleh mereka yang ada di situ.
Kami ditanya kembali, “Memilih untuk duduk saling berpangkuan atau mengaku melakukan gerilya politik?” saya hanya bisa menangis karena jawaban saya tidak pernah mereka dengarkan.
Kembali kami dipukuli sampai mereka mengatakan “Kami tunggu pengakuanmu”. Saya hanya berdoa kepada Tuhan. Akhirnya tanpa saya duga sama sekali, badan saya diangkat, diposisikan ke dalam pangkuan.
(Stop dulu sebentar)
Entah berapa lama, tahu-tahu saya sudah disel kembali dan tangan kami diborgol. Setelah itu saya sakit, tidak ada nafsu makan sama sekali dan sakit untuk sementara waktu.
Karena sakit saya tidak sembuh akhirnya saya dipindahkan ke penjara Wirogunan. Di penjara Wirogunan, dengan badan penuh luka saya dirawat oleh ibu-ibu di situ
. Tapi kalau ditanya saya tidak bisa omong karena saya malu dan saya tidak mampu berbicara. Akhirnya ibu ibu menasehati saya, kalau kamu tidak makan kamu bisa mati. Jangan menambah penderitaan sendiri, tidak makan, tidak minum.
Akhirnya saya tergugah mengapa ibu tersebut perhatian kepada saya? Membuat baju untuk saya dari kantung terigu, memberi makan saya, bahkan mereka menawarkan untuk menyuapi saya.
Lama lama saya tergugah karena kasih beliau yang tulus ingin men-support saya supaya bertahan hidup. Setelah saya agak sehat, saya dipanggil kembali, ditemukan dengan orang lain, hanya untuk ditanya “Kamu kenal dengan ini tidak?”.
Saya semakin heran, mengapa mereka selalu mencari orang untuk ditanyai, kenal atau tidak. Sampai kapan penderitaan saya ini akan berakhir dengan tuduhan semacam itu.
Saya sering diperiksa dan setiap sebelum pemeriksaan itu selalu terdengar deru mobil karena pada waktu itu belum banyak…….. saya dipanggil periksa berkali kali, dan pada suatu saat saya dipanggil periksa lagi.
Tetapi saya heran kok malah tidak ada yang diperiksa lainnya, kok saya sendiri, ada apa ya. Akhirnya saya menemukan jawabannya, memang saya sendiri karena yang ditanyakan “Berapa lama kamu melakukan gerilya politik?”, “Berapa orang anggota gerilya politik?”.
Saya malah menjadi bingung kok tidak seperti dulu pertanyaannya, saya menjawab “Pak saya ini tidak melakukan gerilya politik, saya sudah menemukan posisi yang mapan sebagai mahasiswa dan guru, kenapa gerilya? Buat apa gerilya? Adik saya membutuhkan saya”.
Tetapi dengan jawaban itu tanpa dinyana, kepala saya ditendang, saya ditelanjangi lagi. Dalam keadaan telanjang, saya dipegang dua orang, mengarah kepada setiap……..dan mencium kemaluan mereka.
Tunggu sebentar.
Setelah selesai mereka semua yang ada di situ, saya ditanya lagi tentang hal yang sama, saya tidak bisa menjawab, saya dimaki mengapa kamu diam saja.
Lalu saya ditengkurapkan dan saya diinjak, rambut saya digunduli, dan entah bagaimana saya tidak ingat lagi karena saya merasa gelap. Katanya ibu-ibu saya digotong karena badan saya penuh luka dan tidak bisa jalan.
Sesudah itu saya tidak mau ngomong, tidak mau makan lagi. Saya merasa hidup saya sudah berakhir. Sampai delapan bulan saya mengalami hidup stress dan akibat dari stress ini, selama delapan bulan saya tidak menstruasi.
Menurut dokter, saya harus tenang pikirannya agar saya bisa menstruasi. Mau tenang bagaimana, hidup sudah tidak ada apa-apa lagi bagi saya. Tapi dokter bilang mbak harus berdoa, harus kuat, berserah.
Ibu, apakah ibu tahu siapa yang menangkap ibu?
Yang menangkap saya adalah CPM dan tentara, yang menyiksa saya paling kejam adalah (boleh saya menyebut nama?) (boleh) namanya Lukman Sutrisna.
Apakah selama ibu ditahan, ibu pernah melihat atau mendengar tahanan perempuan diperlakukan serupa dengan ibu?
Setelah saya di Plantungan, hal tersebut itu banyak dirasakan banyak dirasakan oleh teman teman saya di Klaten, seusia SMP dan SMA diperlakukan sama seperti itu.
Mereka mengejar target karena korban yang dipenjara belum ada jumlahnya dengan anggota PKI. “Apa hubungannya dengan kita?”
“Ya sama sama tidak tahu kan PKI harus dihancurkan, dimusnahkan seakarnya”.
Saya semakin tidak mengerti.
Kalau saya tanya, apakah ibu bisa mengestimasi berapa jumlah mereka yang mengalami penyiksaan seperti ibu?
Kalau yang diperlakukan seperti saya itu kurang lebih 10 atau 11 orang anak muda.
Jadi ibu ditahan di mana saja?
Saya ditahan di Wirogunan, Yogyakarta, dipindahkan ke tahanan perempuan lalu dipindahkan ke Plantungan. Yang dipersiapkan katanya untuk kembali pada masyarakat tetapi di Plantungan ini bentuk penderitaannya adalah lain.
Seperti apa?
Kami didatangkan ke Plantungan sebuah lembah bekas pembuangan lepra pada zaman Belanda. Tetapi karena pasien lepra sudah bersosialisai pada masyarakat, sudah sembuh, sehingga daerah itu berubah menjadi kosong, hutan, dan semak belukar. Pada saat kami dibawa ke situ, gedungnya terbuat dari papan tetapi belum ada penerangan jadi masih gelap.
Tidak jarang dari kami digigit kalajengking atau binatang lain, ular misalnya. Pertama kali yang kami hadapi kami harus kerja paksa mengubah semak belukar menjadi…………… dan membuat lahan pertanian, membuat kolam perikanan dengan tangan kosong, tangan telanjang.
Ibu totalnya ditahan selama berapa lama?
Saya ditahan selama satu tahun dan sepuluh tahun.
Sebelas tahun ya totalnya?
Iya.
Apakah ibu sering merasakan akibat dari penahanan itu? Sering sakit misalnya.
Iya, sering sakit. Tubuh tertentu yang dipukul pake kayu, sepeda, dampaknya adalah pendengaran saya sangat berkurang, yang berfungsi hanya satu telinga. Karena penderitaan itu juga saya menderita penyakit darah tinggi.
Baik terima kasih ibu, kami terima kasih atas kesaksian ibu.
(Source: https://www.youtube.com/watch?v=IdEPYRfN9uo)
D1e
LAPORAN PEMANTAUAN HAM PEREMPUAN; KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN BERBASIS JENDER;
MENDENGARKAN SUARA PEREMPUAN KORBAN PERISTIWA 1965
Bab IV Kesimpulan dan rekomendasi, pp 175-179
Jakarta: Komnas PEREMPUAN 2007
Kesimpulan
Komnas Perempuan memandang bahwa peristiwa 1965 adalah masalah yang paling kontroversial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, yang telah memunculkan trauma bangsa dan krisis kepercayaan di antara sesama warga negara. Akibatnya, ruang untuk menyikapi Peristiwa 1965 menjadi sempit dan tidak kondusif terhadap pemenuhan hak-hak asasi manusia.
Karena itu, Komnas Perempuan menegaskan penting adanya ruang penyikapan yang aman, konstruktif dan efektif oleh seluruh elemen bangsa dalam kerangka: (1) Pemenuhan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan; (2) Tanggung jawab negara dalam penegakan Hak Asasia Manusia; dan (3) Pemulihan kehidupan berbangsa.
Rekomendasi
Rekomendasi Komnas Perempuan dibuat dalam kerangka Hak Asasi Manusia, termasuk tanggung jawab negara untuk memberi reparasi para korban pelanggaran berat sesuai dengan kaidah hukum internasional. Ini sesuai dengan resolusi PBB yang menyatakan:”Negara akan memberi reparasi para korban untuk tindakan atau kelalaian yang dapat dikaitkan pada negara dan merupakan pelanggaran berat hukum internasional hak asasi manusia atau pelanggaran berat hukum humaniter internasional.”
Reparasi yang diberikan harus “tepat dan proporsional dengan beratnya pelanggaran dan situasi tiap kasus, dan diberiken secara penuh dan efektif …(termasuk) restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan dan jaminan ketidakberulangan.”
- Mengenai Pemulihan Hak-hak Korban
Pemerintah mengadopsi Keputusan Majelis Umum PBB bulan Desember 2005 tentang “Prinsip-prinsip Dasar dan Panduan untuk Hak atas Penyelesaian (right to remedy) dan Reparasi untuk Korban Pelanggaran berat Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Pelanggaran Berat Hukum Humaniter” sebagai landasan untuk program reparasi nasional bagi korban peristiwa 1965.
Dalam program ini, konsep reparasi termasuk hak atas restitusi , yaitu pengembalian kondisi korban pada situasi sebelum pelanggaran, termasuk hak atas bebebasan, hak-hak dasar, identitas, kehidupan berkeluarga, kewargenagaraan, tempat tinggal, pekerjaan dan harta benda; kompensasi untuk kerugian ekonomi yang proporsional dengan pelanggaran yang dialami; berulangnya pelanggaran lewat reformasi institusi; dan hak atas kepuasan (right to satisfaction) yang termasuk dihentikannya pelanggaran, pengakuan kebenaran, pencarian orang hilang – termasuk penggalian kuburan massal, deklarasi resmi, atau putusan judisial yang memulihkan martabat korban, permintaan maaf resmi, sanksi terhadap pelaku, penghargaan korban melalui peringatan dan monumen.
- Mengenai Tanggung Jawab Negara
- Presiden RI menindaklanjuti pernyataan maaf dan komitmen untuk melakukan rehabilitasi dan memberi kompensasi kepada korban Peristiwa 1965 melalui sebuah kebijakan komprehensif yang mencakup:1.Pengakuan bahwa pelanggaran-pelanggaran ini terjadi dan membuat deklarasi berdasarkan hukum yang memulihkan martabat korban.1. Mendukung dan memberi jaminan keamanan bagi seluruh inisiatif masyarakat untuk mengungkap kebenaran tentang Peristiwa 1965 dan membuka dialog untuk rekonsiliasi antarmasyarakat.
- Mencabut semua produk hukum yang mendiskriminasi korban, seperti Instruksi Mendagri No. 32 tahun 1981 tentang Pembinaan dan Pengawasan Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G.30S/PKI, Surat Mendagri 17 November 1981, No. 200/4652 (penjelasan lebih lanjut mengenai Pedoman Pelaksanaan Instruksi Mendagri No. 32 tahun 1981) dan Surat Mendagri 26 April 1982, No. 200/1550 (Petunjuk mengenai formulir yang dipergunakan dalam pengadministrasian Bekas Tahanan dan Bekas Naradipana G. 30.S/PKI).
- Menghapuskan segala praktik diskriminasi yang dikhususkan kepada eks-tahanan Peristiwa 1965.Memulihkan seluruh hak-hak sipil politik dan ekonomi, sosial budaya seluruh korban Peristiwa 1965, termasuk
– Melakukan sebuah proses untuk menjamin penyelesaian masalah tanah dan harta milik yang pernah dijarah/dirusak/disita
– Memberi jaminan sosial bagi korban, termasuk tapi tidak terbatas, pada pensiun.
– Mengembalikan hak korban, keluarga serta keturunannya untuk menggeluti bidang-bidang pekerjaan apa pun yang sesuai dengan minatnya.
– Mengerahkan lembaga kesehatan dan sosial, termasuk pelayanan bagi korban yang telah lanjut usia tanpa dipungut biaya.
– Memberi pelayanan psikologis, medis, hukum, dan sosial sesuai dengan kebutuhan para korban dan hal-hal lain yang perlu dijamin, bekerja sama dengan lembaga-lembaga masyarakat sipil yang yang didanainya.
– Menjamin pendidikan termasuk, beasiswa dan pelatihan-pelatihan keterampilan bagi anak keturunan para korban.
– Menjamin akses terhadap panti-panti jompo dan ketersediaan fasilitas-fasilitas hunian lainnya bagi para korban.
|- Membangun mekanisme di bawah departemen atau lembaga negara terkait, di mana masyarakat sipil dilibatkan demi transparansi terhadap semua proses rehabilitasi.
– Bekerja sama dengan masyarakat sipil dan berdasarkan konsultasi dengan korban, membangun mekanisme khusus untuk mengatasi persoalan berkaitan masalah ekonomi bagi perempuan eks-tahanan, isteri eks-tahanan, janda korban pembunuhan atau penghilangan yang paling rentan dan anak-anaknya.
- Presiden RI membuka inisiatif penulisan sejarah resmi perempuan Indonesia sebagai rujukan formal maupun informal bagi pendidikan sejarah yang melibatkan perempuan pembela HAM lintas generasi dan mengintegrasikan segenap pengalaman kekerasan dan diskriminasi perempuan termasuk temuan-temuan yang tercantum di dalam laporan ini.
- Presiden RI memastikan bahwa rancangan baru tentang Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sekarang sedang dirumuskan, sebagai mekanisme pengungkapan kebenaran tentang pelanggaran-pelanggaran pada masa lalu, mencakup pengungkapan tentang Peristiwa 1965, membuka akses terhadap informasi yang selama ini dirahasiakan dan mengintegrasikan temuan-temuan yang tercantum dalam laporan ini.
- Presiden RI memastikan bahwa proses reformasi institusi-institusi sector keamanan negara dapat menjamin tidak berulangnya pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat negara, termasuk pelanggaran HAM berbasis jender.
- Presiden RI mengambil langkah-langkah konkret untuk memperbaiki kondisi tempat-tempat penahanan dan menjamin fasilitas bagi para tahanan sesuai instrument HAM internasional tentang para naradipana, dan menjamin agar tahanan/narapidana, perempuan dan tahanan/narapidana di bawah umur dilindungi secara khusus.
- Komnas HAM menjalankan mandatnya dalam melakukan investigasi projustisia terkait pelanggaran HAM berat dalam Peristiwa 1965, dan mengintegrasikan temuan-temuan yang tercantum dalam laporan ini dalam investigasi tersebut.
- Segenap penyelenggara negara di bidang eksekutif, legislative dan yudikatif, mengembangkan mekanisme perlindungan dan dukungan bagi pembela HAM sebagaiman dijamin oleh UUD 1945, termasuk perempuan pembela HAM yang mempunyai kerentanan khusus karena jati dirinya sebagai perempuan.
III Mengenai Pemulihan Bangsa
- Segenap elemen bangsa mengambil langkah-langkah konkrit untuk membebaskan diri dari belenggu stigma tentang Gerwani dan seluruh stigma lain yang lahir terkait dengan Peristiwa 1965.
- Lembaga-lembaga masyarakat yang perpengaruh kepada pembuatan opini publik, termasuk lembaga agama melibatkan diri dalam:
- Upaya rekonsiliasi di tingkat basis antara korban dan komunitasnya.
- Upaya pengungkapan kebenaran di lingkungannya masing-masing terkait peran masyarakat dalam Peristiwa 1965.
- Memperkuat komitmen pada prinsip-prinsip antikekerasan dan memutus mata rantai kebencian di masyarakat.
- Segenap penyelenggara negara dan elemen bangsa memberi dukungan dan menciptakan rasa aman bagi upaya masyarakat dalam melakukan rekonsiliasi, termasuk tapi tidak terbatas, pada membangun memorial dan pusat dokumentasi yang memberi penghargaan pada korban, serta mengungkapkan sebuah janji simbolis bahwa kejahatan-kejahatan ini, termasuk kejahatan berbasis jender, tidak boleh terulang lagi.
- Masyarakat internasional mengambil segala langkah dan tindakan untuk memastikan dan mendukung pemerintah Indonesia dalam menjalankan kewajibannya untuk mengungkapkan kebenaran, menegakkan keadilan, mencegah keberulangan pelanggaran HAM dan menjamin hak-hak perempuan korban, termasuk pemberian reparasi.
D1.f
RINGKASAN EKSEKUTIF LAPORAN PENYELIDIKAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT
Jakarta: Komnas HAM RI
Penanggung Jawab: Roichatul Aswidah , Muhammad Nurkhoiron
(beberapa fragmen dari bab 1, halaman 3-40
- Pendahuluan
Peristiwa 1965-66 merupakan suatu peristiwa tragedi kemanusiaan yang menjadi lembaran sejarah hitam bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut terjadi sebagai akibat dari adanya kebijakan negara pada waktu itu untuk melakukan penumpasan terhadap para anggota dan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap telah melakukan tindakan perlawanan terhadap negara.
Kebijakan negara yang diikuti dengan tindakan kekerasan terhadap warga negara yang dituduh sebagai anggota maupun simpatisan PKI pada waktu itu, dilakukan secara berlebihan dengan menggunakan cara-cara yang tidak manusiawi yang berdampak pada jatuhnya korban jiwa manusia baik yang meninggal dunia maupun yang luka-luka.
Sesuai dengan laporan dari para korban maupun keluarga korban, pada peristiwa 1965-66, telah mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia antara lain pembunuhan, pemusnahan, pembudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan (persekusi) dan penghilangan orang secara paksa.
Selain itu, para korban maupun keluarga korban juga mengalami penderitaan mental (psikologis) secara turun temurun yakni berupa tindakan diskriminasi di bidang hak sipil dan politik, maupun di bidang hak ekonomi, social dan budaya.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka korban maupun keluarga korban peristiwa 1965-66 telah melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan hak asasinya guna mendapatkan keadilan serta terpulihhannya hak-hak mereka yang telah terlanggar (redress). Adapun salah satu perjuangannya adalah dengan mengadukan peristiwa tersebut kepada Komnas HAM.
Menanggapi pengaduan korban, keluarga korban dan masyarakat, Komnas HAM sesuai dengan fungsi dan tugasnya sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasia Manusia telah membentuk Tim Pengkajian berkenaan dengan peristiwa tersebut. Dari hasil pengkajian kemudian Komnas HAM menindaklanjuti dengan membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat Peristiwa 1965-66.
- Fakta Peristiwa
Peristiwa 1965-66 terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Sehubungan dengan keterbatasan sumber daya manusia dan sumber perdanaan, selain mempertimbangkan berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai daerah, Komnas HAM memfokuskan pada beberapa wilayah.
Selanjutnya untuk mendalam dan memperjelas analisa bentuk-bentuk kejahatan tersebut, akan dilakukan pemilihan tempat tertentu guna memfokuskan pada peristiwa-peristiwa tertentu secara lebih rinci. Tempat-tempat yang akan dijadikan fokus analisis yaitu Maumere, LP Gerobokan Denpasar, Sumatera Selatan, Moncong Loe-Sulawesi Selatan, Pulau Buru, Maluku dan Tempat Penahanan Jalan Gandhi Medan Sumatera Utara.
Pemilihan empat wilayah/tempat ini dianggap dapat mewakili tempat/wilayah lain yang telah dilakukan penyelidikan, dimana peristiwa serupa juga terjadi.
IV Kesimpulan dan Rekomendasi
Setelah mengkaji dan menganalisi dengan seksama semua temuan di lapangan, keterangan korban, saksi, laporan, dokumen yang relevan, serta berbagai informasi lainnya, maka Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat Peristiwa 1965-66 menyimpulkan sebagai
- Terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat, sebagai berikut:
- Pembunuhan (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM);
- Pemusnahan (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM);
- Perbudakan (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM);
- Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf d Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM);
- Perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf e Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM);
- Penyiksaan (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf f Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM);
- Perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf g Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM);
- Penganiayaan (persekusi) (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf h Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM);
- Penghilangan orang secara paksa (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf i Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Perbuatan tersebut merupakan bagian dari serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, yaitu suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa. Karena perbuatan tersebut juga melakukan secara meluas dan sistematis, maka bentuk-bentuk perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
- Bentuk perbuatan (type of acts) dan pola (pattern) kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi dalam peristiwa 1965-1966 adalah sebagai berikut:1. Pembunuhan
Penduduk sipil yang menjadi korban pembunuhan sebagai akibat dari tindakan operasi yang dilakukan oleh aparat negara yang terjadi di berbagai tempat seperti di INREHAB: Pulau Buru, Sumber rejo, Argosari, Pulau Balang, Pulau Kemarau, Tanjung Kasu, Nanga-Nanga, Moncong Loe, Ameroro, Nusakambangan, Kantor Walikota Tomohon, Plantungan, Sasono Mulyo, Balaikota Solo, Nirbaya, Ranomut-Manado; Tempat-tempat Tahanan: Salemba, Pabrik Padi di Lamongan, Gedung Milik Yayasan Thionghoa di Jalan Liloyor Manado, Penjara Wirogunan – Yogyakarta, Penjara Solo, Kediri, Denpasar; Tempat yang diduga adanya penyiksaan: Markas Kalong (Jalan Gunung Sahari) Gang Buntu (Kebayoran) Gedung Jalan Latuharhari, Rumah China di Jalan Melati – Denpasar, Sekolah Jalan Sawahan – Malang, Sekolah Machung, Jalan Nusakambangan –Malang; RTM: TPU Gandhi, Guntur, Budi Utomo, Budi Kemulyaan2.
2. Pemusnahan
Penduduk sipil yang menjadi korban pemusnahan sebagai akibat dari tindakan operasi yang dilakukan oleh aparat negara dengan sebarannya antara lain: Sragen 300 orang, Sikka-Maumere 1000 0rang, LP Kali Sosok – Surabaya 600 orang
3. Perbudakan
Penduduk sipil yang menjadi korban perbudakan sebagai akibat dari tindakan operasi yang dilakukan oleh aparat negara tercatat sebagai berikut: Pulau Buru kurang lebih 11.500 orang terdiri dari 18 unit dan tambahan 3 unit RST masing-masing diisi oleh 500 tahanan), dan di Moncong Loe, Makassar.
4. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa:
Penduduk sipil yang menjadi korban pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa sebagai akibat dari tindakan operasi yang dilakukan oleh aparat negara tercatat sebanyak kurang lebih 41.000 orang
5. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebesan fisik lain secara sewenang-wenang
Penduduk sipil yang menjadi korban perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebesan fisik lain secara sewenang-wenang sebagai akibat dari tindakan operasi yang dilakukan olek aparat negara tercatat sebanyak kurang lebih 41.000 orang.
6. Penyiksaan
Penduduk sipil yang menjadi korban penyiksaan sebagai akibat dari tindakan operasi yang dilakukan oleh aparat negara tercatat seperti di INREHAB: Pulau Buru, Sumber rejo, Argosari, Pulau Balang, Pulau Kemarau, Tanjung Kasu, Nanga-Nanga, Moncong Loe, Ameroro, Nusakambangan, Kantor Walikota Tomohon, Plantungan, Sasono Mulyo, Balaikota Solo, Nirbaya, Ranomut-Manado; Tempat-tempat Tahanan: Salemba, Pabrik Padi di Lamongan, Gedung Milik Yayasan Thionghoa di Jalan Liloyor Manado, Penjara Wirogunan – Yogyakarta, Penjara Solo, Kediri, Denpasar; Tempat yang diduga adanya penyiksaan: Markas Kalong (Jalan Gunung Sahari) Gang Buntu (Kebayoran) Gedung Jalan Latuharhari, Rumah China di Jalan Melati – Denpasar, Sekolah Jalan Sawahan – Malang, Sekolah Machung, Jalan Nusakambangan –Malang; RTM: TPU Gandhi, Guntur, Budi Utomo, Budi Kemulyaan.
7. Perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara
Penduduk sipil yang menjadi korban perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara sebagai akibat dari tindakan operasi yang dilakukan oleh aparat negara tercatat sebanyak kurang lebih 35 orang.
8. Penganiayaan (persekusi)
Penduduk sipil yang menjadi korban penganiayaan (persekusi) sebagai akibat dari tindakan operasi yang dilakukan oleh aparat negara di beberapa tempat yaitu INREHAB: Pulau Buru, Sumber rejo, Argosari, Pulau Balang, Pulau Kemarau, Tanjung Kasu, Nanga-Nanga, Moncong Loe, Ameroro, Nusakambangan, Kantor Walikota Tomohon, Plantungan, Sasono Mulyo, Balaikota Solo, Nirbaya, Ranomut-Manado; Tempat-tempat Tahanan: Salemba, Pabrik Padi di Lamongan, Gedung Milik Yayasan Thionghoa di Jalan Liloyor Manado, Penjara Wirogunan – Yogyakarta, Penjara Solo, Kediri, Denpasar; Tempat yang diduga adanya penyiksaan: Markas Kalong (Jalan Gunung Sahari) Gang Buntu (Kebayoran) Gedung Jalan Latuharhari, Rumah China di Jalan Melati – Denpasar, Sekolah Jalan Sawahan – Malang, Sekolah Machung, Jalan Nusakambangan –Malang; RTM: TPU Gandhi, Guntur, Budi Utomo, Budi Kemulyaan.
9. Penghilangan orang secara paksa
Penduduk sipil yang menjadi korban penghilangan orang secara paksa sebagai akibat dari tindakan operasi yang dilakukan oleh aparat negara tercatat sebanyak kurang lebih 32.774 orang.
3 . Berdasarkan rangkaian kejahatan yang terjadi serta gambaran korban yang berhasil diidentifikasi dan rangkaian persilangan bukti-bukti yang ada, maka nama-nama yang diduga terlibat sebagai pelaku dan/atau penanggung jawab dalam peristiwa 1965-1966 terutama namun tidak terbatas pada nama-nama berikut
- Individu/Para Komandan Militer Yang Dapat Dimintai Pertanggungjawabannya
a.1. Komandan pembuat kebijakan
- PANGKOPKAMTIB para periode 1965 sampai dengan periode 1969
- PANGKOPKAMTIB para periode 19 September 1969 sampai dengan setidak-tidaknya pada akhir tahun 1978
a.2. Komandan yang memiliki kemampuan kontrol secara efektif (duty of control) terhadap anak buahnya.
Para PENGANDA dan/atau PANGDAM pada periode 1965 sampai dengan periode 1969 dan periode 1969 sampai dengan periode akhir tahun 1978.
- Individu/Komandan/Anggota Kesatuan Yang Dapat Dimintai Pertanggungjawaban Sebagai Pelaku Lapangan
Individu/Komandan/Anggota Kesatuan Yang Dapat Dimintai Pertanggungjawaban Sebagai Pelaku Lapangan, berdasarkan rangkaian kejahatan yang terjadi serta gambaran korban yang berhasil diidentifikasi dan rangkaian persilangan bukti-bukti yang ada, maka nama-nama yang diduga terlibat sebagai pelaku lapangan dalam Peristiwa 1965-1966, terutama namun tidak terbatas pada nama-nama sebagai beriku:
- Nama-nama yang disebutkan oleh saksi-saksi dengan mengacu kepada enam wilayah yang telah dianalisis oleh tim.
- Komandan-Komandan dan aparatur INREHAB: Pulau Buru, Sumber rejo, Argosari, Pulau Balang, Pulau Kemarau, Tanjung Kasu, Nanga-Nanga, Moncong Loe, Ameroro, Nusakambangan, Kantor Walikota Tomohon, Plantungan, Sasono Mulyo, Balaikota Solo, Nirbaya, Ranomut-Manado;
- Komandan-Komandan dan aparatur Tempat-tempat Tahanan: Salemba, Pabrik Padi di Lamongan, Gedung Milik Yayasan Thionghoa di Jalan Liloyor Manado, Penjara Wirogunan – Yogyakarta, Penjara Solo, Kediri, Denpasar;
- Aparatur Tempat Penyiksaan: Markas Kalong (Jalan Gunung Sahari) Gang Buntu (Kebayoran) Gedung Jalan Latuharhari, Rumah China di Jalan Melati – Denpasar, Sekolah Jalan Sawahan – Malang, Sekolah Machung, Jalan Nusakambangan –Malang;
- Komandan-Komandan dan Aparatur RTM: TPU Gandhi, Guntur, Budi Utomo, Budi Kemulyaan.
REKOMENDASI
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, Tim Ad Hoc Penyelidikan dan Peristiwa 1965-1966 menyampaikan rekomendasi sebagai berikut
1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung diminta menindaklanjuti hasil penyelidikan ini dengan penyidikan,
2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, maka hasil penyelidikan ini dapat juga diselesaikan melalui mekanisme non yudisial demi terpenuhinya rasa keadilan bagi korban dan keluarganya (KKR).
Demikian surat pernyataan ini dibuat sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan mandat yang telah diberikan Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan terhadap adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi dalam Peristiwa 1965-1966.
Jakarta, 23 Juli 2012
TIM AD HOC PENYELIDIKAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT PERISTIWA 1965 -1966
Ketua,
Nur Kholis, S.H., M.A.
D1. g. UN HRC (Komisi Hak Azasi Manusia PBB) – Dialog Indonesia.
- Juli 2013: UN HRC: “Pengamatan penutup atas laporan awal Indonesia”
………….
- Komisi ini menyesali kegagalan pihak Negara untuk mengimplementasikan Artikel 43 Undang-Undang 26 tahun 2000 untuk bisa mengadakan Pengadilan untuk menyelidiki kasus-kasus
penghilangan paksa yang dilakukan antara tahun 1997 dan 1998 sebagaimana direkomendasikan oleh Komnas HAM dan DPR. Komisi ini terutama menyesali kebuntuan yang terjadi antara Jaksa Agung dan Komnas HAM berhubungan dengan syarat minimal yang harus dipenuhi oleh Komnas HAM sebelum Jaksa Agung bisa mengambil tindakan. Komisi selanjutnya menyesali iklim impunitas yang berlaku dan kurangnya pemulihan bagi para korban pelanggaran hak azasi manusia masa lampau terutama yang melibatkan pihak militer (artikel 2).
Pihak negara seharusnya, sebagai hal urgen, menangani kebuntuan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Pemerintah harus mempercepat dilaksanakannya Pengadilan untuk menyelidiki kasus-kasus penghilangan paksa yang dilakukan antara tahun 1997-1998 sebagaimana direkomendasikan oleh Komnas HAM dan DPR.
Tambahan pula, pihak Negara seharusnya menangani secara efektif kasus-kasus pelanggaran hak azasi masa lampau seperti pembunuhan atas pembela hak azasi terkemuka, Munir Said Thalib pada tanggal 7 September 2004 dan memberi restitusi kepada para korban atau anggota keluarga mereka
32. Sesuai dengan aturan 71, alinea 5 dari aturan prosedural Komisi, pihak Negara seharusnya menyediakan, dalam waktu satu tahun, informasi yang relevan tentang implementasi dari rekomendasi Komisi yang tertera dalam alinea 8, 10, 12 dan 25 di atas.
- Januari 2015: “PBB mendorong Indonesia sehubungan dengan laporan perkembangan hak asasi manusia”.
Komisi Hak Azasi Manusia PBB (UNHR Committee) telah menuntut pemerintah Indonesia untuk memenuhi janjinya untuk menyerahkan laporannya yang sudah lama jatuh tempo tentang situasi hak azasi manusia di negara ini.
Indonesia seharusnya telah menyerahkan laporannya sebelum tenggat waktu Juli 2014.
Anggota Komisi HAM PBB (UNHRC) dan rapporteur khusus untuk Indonesia, Cornelis Flinterman, mengatakan pada hari Jumat bahwa Indonesia harus menyerahkan laporannya sebagai follow-up dari sesi tinjauan (review) PBB di Geneva pada bulan Juli 2013.
Dalam sesi tinjauan ini anggota UNHRC mempertanyakan komitmen Indonesia dalam menyelesaikan pelanggaran hak azasi manusia, melindungi kelompok minoritas agama dan dalam membatasi penggunaan kekerasan yang berlebihan. Setelah itu UNHRC mengeluarkan serangkaian rekomendasi kepada pemerintah Indonesia untuk ditindaklanjuti.
“Kami mengajukan 26 butir keprihatinan dan mengidentifikasi empat hal yang membutuhkan perhatian segera dari pemerintah. Lalu pemerintah diminta menyerahkan laporan follow-up (atas 4 rekomendasi tersebut) pada bulan Juli 2014. Disesalkan bahwa Komisi tidak menerima laporan apapun,” Hal ini dikatakan oleh Flinterman dalam suatu konferensi pers di Kuningan, Jakarta Selatan, pada hari Jumat.
Karena pemerintah Indonesia tidak membuat laporan follow-up atas rekomendasi-rekomendasi tersebut, dua anggota UNHRC terbang ke Jakarta awal minggu ini untuk berbicara dengan anggota kabinet Presiden Joko Widodo.
3. Maret 2015: Informasi yang diterima dari pemerintah Indonesia.
…..
Rekomendasi 8:
- Dalam pidatonya pada peringatan Hari Hak Azasi Internasional bulan Desember 2014, Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) menegaskan kembali komitmen Pemerintah untuk mempromosikan dan melindungi hak azasi lebih lanjut.
Ini termasuk merumuskan upaya dan cara yang sesuai dalam menangani masalah hak azasi manusia, melalui antara lain, proses rekonsiliasi komprehensif dan kemungkinan mendirikan pengadilan/tribunal hak azasi ad hoc. Pemerintah juga berkomitmen untuk mencegah pelanggaran hak azasi selanjutnya melalui, antara lain, reformasi hukum yang bertujuan menegakkan hukum yang kuat, dipercaya, konsisten dan tidak diskriminatif.
- Dalam hal upaya untuk menangani masalah hak azasi manusia di masa lampau, Komnas HAM dan Kantor Kejaksaan Agung telah menyepakati untuk menyelenggarakan serangkaian pertemuan untuk bertukar pendapat dalam rangka menyelesaikan persoalan data yang sebelumnya dianggap tidak mencukupi menurut Kantor Kejaksaan Agung.
- Pada saat yang sama, Pemerintah juga telah mengambil beberapa langkah parallel, termasuk finalisasi revisi UU no 27 Tahun 2004 mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Truth and Reconciliation Commission -TRC) yang sebelumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Saat ini, undang-undang yang direvisi adalah proses harmonisasi yang dikoordinasi oleh Kementrian Hukum dan Hak Azasi. Apabila proses ini sudah diselesaikan, UU yang direvisi akan diserahkan Pemerintah ke Parlemen untuk dibahas dan didukung. Agar UU ini bisa langsung diimplementasikan saat sudah disetujui, Pemerintah, melalui Direktorat Jendral Hak Azasi, Kementrian Hukum dan Hak Azasi Manusia, juga mempersiapkan mekanisme implementasi untuk UU TRC yang akan datang, termasuk antara lain, menyiapkan dibentuknya Sekretariat TRC dan secara informal memulai proses seleksi Komisioner TRC.
- Sehubungan dengan isu tentang mekanisme rehabilitasi dan kompensasi bagi para korban atau anggota keluarga mereka, Indonesia telah memberlakukan UU no 31 tahun 2014 tentang Amandemen UU no 13 tahun 2006 sehubungan dengan Perlindungan Saksi dan Korban. Artikel 6 secara khusus menekankan bahwa:
(1) Korban pelanggaran hak azasi yang berat, korban aksi teroris, perdagangan manusia, penyiksaan, kekerasan seksual, dan penganiayaan berat, selain berhak mendapatkan apa yang disebut dalam Artikel 5 UU no 13 tahun 2006, juga berhak menerima: bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial maupun psikologis (2) Bantuan sebagaimana diacu dalam alinea (1) berdasarkan keputusan Dewan Perlindungan Korban dan Saksi. Artikel 5 UU no 13 tahun 2006 menetapkan hak korban dan saksi.
- Suatu kemajuan yang nampak telah dicapai pada akhir 2013 ketika pemerintah menyerahkan suatu ketetapan untuk meratifikasi Konvensi untuk Perlindungan terhadap Semua Individu dari Penghilangan Paksa ke parlemen. Pada tahap ini, ketetapan ini diharapkan akan didiskusikan secepat mungkin, di parlemen.
D1.h)
KEPUTUSAN PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENJATA
REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
Menimbang:
- Bahwa pada waktu-waktu yang terakhir ini makin terasa kembali aksi-aksi gelap oleh sisa-sisa kekuatan kontra revolusi “Gerakan 30 September” Partai Komunis Indonesia.
- Bahwa aksi-aksi gelap itu berupa penyebaran fitnah, hasutan, desas-desus, adu domba dan usaha penyusunan kekuatan bersenjata yang mengakibatkan terganggunya kembali keamanan rakyat dan ketertiban.
- Bahwa aksi-aksi gelap tersebut nyata-nyata membahayakan jalannya revolusi pada umumnya dan mengganggu penyelesaian tingkat revolusi dewasa ini, khususnya penanggulangan kesulitan ekonomi dan pengganyangan proyek Nekolim “Malaysia”.
- Bahwa demi tetap terkonsolidasinya persatuan dan kesatuan segenap kekuatan progresif revolusioner rakyat Indonesia dan demi pengamanan jalannya revolusi Indonesia yang anti feodalisme, anti kapitalisme, anti Nekolim dan menuju terwujudnya masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila, Masyarakat Sosialis Indonesia, perlu mengambil tindakan cepat, tepat dan tegas terhadap Partai Komunis Indonesia.
Memperhatikan:
Hasil-hasil pemeriksaan serta putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh “Gerakan 30 September”/Partai Komunis Indonesia.
Mengingat:
Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi tanggal 11 Maret 1966.
Menetapkan:
Dengan berpegang teguh pada lima Azimat Revolusi Indonesia
Pertama:
Membubarkan Partai Komunis Indonesia termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat Pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seazas/berlindung/bernaung di bawahnya.
Kedua:
Menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi yang terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia.
Ketiga:
Keputusan ini berlaku mulai pada hari ditetapkan.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal: 12 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGAKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
Atas nama beliau
ttd
SOEHARTO
____________
LETNAN JENDERAL TNI
D2. Upaya untuk Ganti Rugi dan Rekonsiliasi (Redress and Reconciliation)
Oleh: Saskia E. Wieringa, Ketua Yayasan IPT 1965 dan Nursyahbani Katjasungkana, Koordinator Umum IPT 1965
Yayasan IPT 1965 didirikan pada tahun 2014 untuk mengakhiri impunitas berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes Against Humanity)yang dilakukan di Indonesia pada tahun 1965 dan sesudahnya, dan untuk mendukung upaya ke arah rekonsiliasi.
Impunitas menyangkut ‘kegagalan Negara-Negara untuk memenuhi kewajiban mereka melakukan penyelidikan atas kekerasan; untuk mengambil langkah-langkah yang perlu yang menyangkut para pelaku, terutama menyangkut aspek keadilan, dengan menjamin bahwa mereka yang bertanggung jawab atas tindakan kriminal tersebut bisa dituntut, diadili dan dihukum; untuk memberi korban penyelesaian yang efektif (effective remedies) dan menjamin bahwa mereka mendapat reparasi atas luka yang mereka derita; memperoleh hak yang tak bisa direnggut; untuk mengetahui kebenaran tentang kekerasan-kekerasan; dan untuk mengambil langkah-langkah lain yang perlu untuk mencegah pengulangan kekerasan-kekerasan tersebut.
Melawan impunitas atas kejahatan terhadap kemanusiaan di masa lalu adalah amat mendesak karena impunitas bisa meracuni masyarakat dan mendorong kekerasan baru.
Langkah pertama yang penting adalah untuk mencari kebenaran atas apa yang terjadi agar generasi mendatang bisa belajar dari kekerasan masa lampau ini.
Rekonsiliasi tidak mungkin dilakukan tanpa pencarian kebenaran (truth finding). Para korban perlu direhabilitasi, sedangkan stigma dan pengekangan-pengekangan yang mencekam yang menjadi bagian dari hidup mereka, harus dihilangkan; mereka perlu mendapat kompensasi dan menerima pelayanan kesehatan dan sosial.
Tujuan rekonsiliasi adalah untuk membangun masyarakat yang lebih damai, toleran dan demokratis di mana hak asasi manusia dan aturan hukum menjadi prinsip dasar.
Namun, 50 tahun setelah genosida dan kejahatan kemanusiaan lainnya yang terjadi di Indonesia, amat sedikit langkah yang dilakukan kearah rekonsiliasi. Juga di periode reformasi yang lebih liberal (setelah jatuhnya Suharto tahun 1998) negara Indonesia tidak melakukan langkah apapun untuk menyembuhkan masyarakat dari luka kejahatan di masa lampau.
Penyelesaian dan rekonsiliasi pasca-konflik memang membutuhkan waktu, mempunyai banyak dimensi dan terjadi di berbagai tingkatan dalam masyarakat. Dalam proses menciptakan masyarakat pasca-konflik yang lebih demokratis dan damai, konsep keadilan transisional memainkan peranan penting. Dua konsep amat relevan, yakni: retribusi dan reparasi atau restorasi.
IPT 1965 mengadvokasikan gabungan antara pendekatan retribusi dan restoratif untuk mengembalikan keadilan (redress) dan rekonsiliasi atas kejahatan terhadap kemanusiaan pasca 30 September 1965.
Penggabungan ini mengikutsertakan tetapi tidak terbatas pada unsur-unsur berikut: pencarian kebenaran, retribusi atau akses ke keadilan, restorasi dan reparasi, dan jaminan bahwa tak akan ada pengulangan.
Semua unsur ini saling berkaitan satu sama lain. Sebuah proses utuh yang menyangkut pengembalian keadilan (redress) dan rekonsiliasi ini harusnya menangani kesemua unsur ini secara tergabung.
Pencarian Kebenaran (Truth finding):
Pada tahun 2004 Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dikonsepsikan. Hal ini diharapkan bisa membuka kasus-kasus pelanggaran hak asasi. Namun, setelah di setujui di Parlemen, Hukum ini dicabut setelah adanya suatu judicial review oleh Mahkamah Konstitusi.
Komisi Nasional Hak Azasi Manusia membentuk sebuah tim penyelidik ad hoc untuk membuat laporan tentang tujuh kasus yang berbeda. Tim ini melakukan penyelidikan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 terhadap berbagai pelanggaran hak azasi manusia di masa lampau. Laporannya yang terdiri dari 400 halaman dan dikeluarkan pada tahun 2012, merupakan suatu upaya nasional pertama untuk pencarian kebenaran.
Bab pertama terdiri dari 40 halaman tentang peristiwa2 yang berkaitan dengan peristiwa2 tahun 1965 dan 1966. Rekomendasi utama adalah bahwa Kantor Kejaksaan Agung harus melakukan penelitian lanjut, dan melakukan penyelesaian non-judicial melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk ‘memberi perasaan keadilan bagi para korban dan keluarga mereka’. Komisi ini juga mendorong agar para pelaku dibawa ke pengadilan. Namun Kantor Kejaksaan Agung belum menjalankan rekomendasi ini dan tidak melakukan upaya apapun untuk mencari kebenaran tentang kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pasca 30 September 1965
Presiden Joko Widodo (yang telah menjabat sejak 20 Oktober 2014) saat kampanye pemilihannya, menjanjikan akan menangani pelanggaran hak asasi di masa lampau termasuk hal-hal yang terkait dengan tragedi 1965. Ini secara eksplisit disebut di dalam programnya, Nawacita (Sembilan Aspirasi).
Namun isu ini kemudian dilepas dari daftar prioritasnya. Jaksa Agung, H.M. Prasetyo menyatakan bahwa perlu dicari suatu ‘penyelesaian permanen’ untuk semua pelanggaran hak asasi manusia di masa lampau, termasuk ‘tragedi 1965’ 196 , namun ia menegaskan bahwa penyelesaian ini akan diupayakan melalui rekonsiliasi semata-mata. Sampai saat ini pemerintah Indonesia telah mengabaikan fase pencarian kebenaran dan tanpa melalui fase ini rekonsiliasi tidak akan banyak berarti. Martabat para korban dan keluarga mereka hanya bisa dikembalikan, dan upaya lain untuk memperbaiki ingatan sejarah hanya bisa dilakukan apabila proses pencarian kebenaran diupayakan secara serius. Hal ini akan memperkuat ‘the rule of law’ di Indonesia dan mendorong agar kekejaman-kekejaman tersebut tidak akan terulang kembali. Pemerintah RI tidak hanya menggagalkan atau melarang segala upaya untuk menyelidiki seberapa luas kejahatan massal terhadap kemanusiaan setelah 30 September 1965 ini terjadi, tetapi mereka juga melarang secara efektif segala diskusi menyangkut tema-tema sosialis. Studi tentang Marxisme, Leninisme, Komunisme dilarang dan buku teks sejarah untuk anak sekolah ditulis kembali oleh militer dan sampai sekarang buku-buku belum direvisi kembali. PKI dan semua organisasi yang berafiliasi dengan partai ini dilarang pada tahun 1966 dan pada saat rejim Orde Baru (1966-1998) larangan ini diperluas ke semua gerakan pro demokrasi dan organisasi massa. Larangan ini belum direvisi ataupun dihapus.
Di tingkat lokal berbagai upaya pencarian kebenaran telah dilakukan. Yang paling luas adalah penelitian yang dilakukan di Indonesia Timur. Di Kupang, sebuah grup studi bernama Jaringan Perempuan Indonesia Timur untuk Studi Perempuan, Agama dan Budaya (JPIT) mengumpulkan testimoni lisan penyintas perempuan dari berbagai latar belakang etnis dan agama dari tahun 2010. Tujuannya adalah rekonsiliasi para penyintas dengan anggota gereja yang termasuk mereka yang merupakan pelaku kejahatan kemanusiaan saat itu. Para peneliti (yang mengumpulkan testimoni-testimoni ini) mempunyai hubungan dengan dua gereja Protestan utama di daerah itu dan mereka adalah pendeta perempuan atau pendeta yang sedang dilatih. Penelitian ini menghasilkan sebuah buku yang dipublikasikan tahun 2012 dan telah menghasilkan sebuah permintaan maaf formal dari pimpinan gereja.
Beberapa organisasi korban juga telah menjalankan penelitian mereka sendiri. Data mereka belum dibuka kepada publik, tetapi koordinator YPLP 1965, Bedjo Untung, telah menyediakan daftar 122 kuburan massal kepada Komnas HAM, ditengah simposium nasional yang diadakan pada tanggal 18-19 April 2016, ketika terdapat keraguan akan adanya kuburan-kuburan massal tersebut. Presiden Joko Widodo kemudian memerintahkan investigasi atas kuburan-kuburan massal iniuran massal.
Namun, saat ini masih ada kekosongan yang cukup serius tentang pengetahuan dan dokumentasi tentang apa yang terjadi setelah 30 September 1965. Dalam uraian berikut ini akan ditunjukkan beberapa kemungkinan/usul tentang apa yang harus dilakukan segera untuk melanjutkan proses pencarian kebenaran.
- Jumlah korban pembunuhan massal perlu diperjelas – sebuah upaya nasional dibutuhkan untuk menyelidiki dan mendokumentasikan mereka yang terbunuh atau yang hilang.
- Suara para korban perlu didengarkan dan ingatan-ingatan mereka perlu disimpan. Beberapa peneliti telah melakukan proyek-proyek sejarah lisan. Organisasi-organisasi seperti ISSI (Institut Sejarah Sosial Indoensia) dan ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) memiliki koleksi-koleksi yang terbatas tapi amat penting. Upaya-upaya awal ini perlu di lanjutkan secara nasional.
- Arsip-arsip Kopkamtib atau lembaga lain, baik sipil maupun militer, yang terlibat dalam kejahatan massal terhadap kemanusiaan perlu dibuka dan bisa diakses oleh para peneliti.
- Bukan hanya arsip CIA tapi arsip dari negara lain, terutama negara yang mendukung rejim Suharto, perlu dibuka.
- Universitas-universitas di Indonesia perlu didorong untuk mengajar dan melakukan penelitian sejarah tentang pembunuhan massal pasca 30 September 1965 atau mendirikan pusat-pusat studi genosida.
Retribusi dan Hak Atas Keadilan
Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) yang diserahkan ke Kejaksaan Agung pada tahun 2012 dikembalikan ke Komnasham oleh Jaksa Agung, dengan argumen bahwa temuan-temuan yang dilaporkan tidak sah secara hukum dan tidak memenuhi syarat. Semenjak itu Laporan tersebut beberapa kaliD1.h) pindah tangan dan prosesnya nampaknya ditunda sampai saat penulisan laporan ini.
Pemerintah, yang waktu itu diwakili oleh Menteri Koordinator Urusan Politik, Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto, juga menolak bukti yang dipaparkan, dan menambahkan bahwa pembunuhan massal tahun 1965 bisa dibenarkan karena bertujuan untuk ‘menyelamatkan negara’. Demikian pula, 23 kelompok dari masyarakat sipil, termasuk Ansor, sayap pemuda dari organisasi massa Muslim yang terbesar, Nahdatul Ulama (NU) yang memainkan peranan kunci dalam pembunuhan tersebut, juga menolak laporan itu, dan mempertegas keyakinan mereka untuk terus melindungi masyarakat Indonesia dari ‘ancaman ateis komunis’.
Namun bisa dikatakan bahwa kemajuan secara terbatas telah terjadi sejak Reformasi tahun 1998. Dalam tahun berikutnya tahanan-tahanan politik yang terakhir, dibebaskan dan undang-undang anti-subversi di hapus. Undang-Undang Pemilu tahun 1999 mengembalikan hak eks tapol (tahanan politik) untuk memilih calon mereka, walaupun mereka sendiri belum bisa dipilih.
Sejak 2003 eks-tapol juga bisa menjadi calon untuk dipilih. Pada tahun 2011, Mahkamah Agung menghapuskan segala pembatasan atas hak kewarganegaran para eks tapol. Namun, Criminal Code dirubah pada tahun 1999, dan beberapa klausul ditambah, yang menyatakan bahwa pengajaran tentang komunisme merupakan suatu kejahatan. Klausul-klausul ini di jadikan rujukan kembali setelah simposium nasional tahun 2016. Presiden Abdurrahman Wahid saat itu menghapus Dekrit Presiden tentang screening dan pendaftaran ulang tapol. Namun ia tak dapat menghapus Tap MPRS/1966/XXV yang melarang komunisme. Pada tahun 2003, dibawah kepresidenan Megawati, parlemen memutuskan untuk mempertahankan dekrit tersebut.
Rehabilitasi and Reparasi
Sampai saat ini, di tingkat nasional, tidak ada presiden yang telah membuat permintaan maaf secara formal. Sebagaimana dibahas dalam Laporan ini (B2 Pertanggung Jawaban dan Rantai Komando), pada tahun 2000, Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia yang keempat (dari tahun 1999 – 2001) dan yang pertama kali dipilih, hampir menyampaikan permintaan maaf dalam suatu program televisi ketika menyatakan bahwa ia telah sebelumnya meminta maaf kepada para korban, dan ia mengadvokasikan suatu proses yudisial. Namun, setelah muncul gelombang protes, ia tidak menindak lanjuti pernyataan ini dengan suatu permintaan maaf formal maupun memulai suatu proses yudisial.
Namun kata-katanya dan posisinya yang progresif telah memberi dampak. Seorang pemimpin NU progresif lainnya, Imam Azis, mendirikan organisasi Syarikat pada thn 2000 dengan tujuan membantu anggota NU dan korban kekerasan bisa menjalankan proses rekonsiliasi. Imam Aziz mendorong proses rekonsiliasi di tingkat komunitas, atau disebut ‘restorative justice’. Syarikat telah mengusahakan penelitian tentang pembunuhan massal, dan membantu para korban dengan proyek-proyek skala kecil, antara lain di Blitar, Salatiga, Semarang and Yogyakarta. Namun, untuk mendapatkan pengakuan dari NU pun hal ini amat sulit, disebabkan karena adanya perlawanan kuat dari para kyai konservatif yang cukup berkuasa. Beberapa santri muda yang progresif, terutama dari Jawa Timur, mendirikan kelompok Gus Durian yang secara rutin mengadakan diskusi dengan para korban dan mereka juga mengorganisir seminar-seminar baik di dalam maupun di luar NU, untuk mempromosikan ide bahwa isu hak azasi dan Islam tidak berlawanan.
Ketika Komnasham menyerahkan laporannya pada tahun 2012, muncul harapan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, akan membuat permintaan maaf secara formal. Namun hal ini tidak terjadi, lagi-lagi karena ada perlawanan kuat baik dari pimpinan NU maupun jenderal-jenderal angkatan darat yang konservatif. Dalam kampanye pemilihan presiden, Jokowi berjanji akan mengatasi masalah kejahatan kemanusiaan di masa lampau. Namun sampai saat ini ia belum mengeluarkan permintaan maaf formal kepada para korban.
Pada tahun 2005, sebuah kasus pidana (civil case) terhadap lima bekas presiden, menyangkut peristiwa 1965, digelar oleh LBH Jakarta, melalui sebuah gugatan perwakilan kelas/kelompok (class action civil suit). Tujuan utama aksi ini adalah untuk menuntut kompensasi dan rehabilitasi bagi para korban pembunuhan massal tahun 1965 dan juga menuntut pemerintah untuk mengeluarkan sebuah permintaan maaf tertulis, membangun monumen-monumen bagi korban 1965, termasuk pula membuat kurikulum nasional yang mengikutsertakan sejarah peristiwa masa lampau yang akurat, dan juga mencabut kembali undang-undang yang diskriminatif.
Salah satu tujuan dari aksi ini adalah untuk melakukan reparasi atau ganti rugi (secara institusional) diskriminasi berkelanjutan yang dihadapi para korban sehubungan dengan hak sipil dan politik mereka, kepemilikan atas rumah dan tanah mereka, akses ke pekerjaan dan kebebasan politik. Pengadilan Tingkat Kecamatan Jakarta Tengah menolak klaim tersebut pada bulan September 2005 dengan alasan bahwa tuntutan tersebut tidak memiliki wewenang yuridis.
Sebagai follow up dari sidang IPT 1965 bulan November 2015, dilaksanakan simposium dua hari pada bulan April 2016 di Jakarta. Simposium ini di selenggarakan oleh Menteri Koordinator, Politik, Hukum dan Keamanan, Jendral (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan. Jendral Agus Widjojo berperan sebagai ketua panitia penyelenggara. Ia dinasehati antara lain oleh anggota dewan penasehat Presiden, Sidarto Danusubroto. Ini merupakan pertama kali pelanggaran2 ini dibicarakan di tingkat nasional. Baik pendukung maupun korban rejim Orde Baru, maupun para peneliti dan aktifis, ikut berbicara. Simposium ini memicu berbagai reaksi yang terangkat oleh media, baik dari media mainstream maupun dari media sosial.
Menteri Luhut Panjaitan dalam pidato pembukaannya dengan jelas mengatakan bahwa Presiden tidak akan memberi permintaan maaf secara formal tapi pemerintah tetap akan berkomitmen untuk menyelesaikan pelanggaran hak azasi manusia di masa lampau. Ia juga meniadakan kemungkinan akan dilakukannya penyelidikan kriminal. Sebagai reaksi terhadap simposium nasional ini, sebuah simposium tandingan diadakan pada tanggal 1-2 Juni 2016. Simposium ini diorganisir oleh para jendral purnawirawan (yang dikatakan ingin mempertahankan Panacasila). Kegiatan ini kemudian diikuti dengan gelombang aksi yang menentang apapun dan siapapun yang dianggap ‘komunis’. Para aktivis yang memakai kaos merah bertuliskan ‘PKI’ ditangkap dan beberapa serangan terhadap toko-toko buku dilakukan.
Di tingkat lokal berbagai upaya rekonsiliasi telah dan masih tengah dilakukan. Contoh yang paling dikenal adalah kasus Palu. Mayor Rusdi Mastura, yang dulunya adalah pramuka yang tugasnya menjaga tahanan-tahanan pada akhir tahun 1960-an, dan setelah itu merupakan anggota Pemuda Pancasila dan Partai Golkar, secara resmi telah menyatakan permintaan maafnya dan sejak itu memimpin berbagai upaya mempertemukan para korban dan pelaku kejahatan 1965. Hal ini terjadi di tengah tekanan dari para aktivis dan korban. Pada tanggal 24 Maret 2012 diadakan rekonsiliasi publik dimana situs-situs kejahatan kemanusiaan ditandai, dan diadakan program reparasi dan restitusi dimana pelayanan kesehatan gratis diberikan kepada para korban dan anggota keluarga mereka, beasiswa pendidikan dan hibah pemerintah untuk koperasi ekonomi maupun dana untuk start-up usaha diberikan kepada para keturunan korban.
Mungkin karena relatif sedikit orang yang terbunuh atau hilang di Palu, perlawanan terhadap upaya rekonsiliasi ini mendapat lebih sedikit tentangan daripada di daerah lain. Sampai saat ini, program ini telah mencatat 485 korban aksi-aksi anti komunis yang terjadi antara 1965-1966. Pada tahun 2013 Palu menyatakan dirinya sebagai ‘Kota Sadar Hak Asasi Manusia” dengan mandat yang luas untuk membantu para korban.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memberikan bantuan kesehatan secara terbatas, dan juga rehabilitasi dan perumahan bagi korban pembunuhan dan pelanggaran hak asasi manusia tahun 1965. Namun prosesnya amat birokratis. Sampai saat ini kurang dari 2000 korban pelanggaran berat hak asasi manusia tahun 1965 telah mengajukan permintaan ke LPSK. Organisasi-organisasi korban seperti YPKP 1965 telah mengorganisir beberapa pertemuan untuk menyadarkan para korban akan kesempatan ini, namun pertemuan-pertemuan informatif ini sering digagalkan oleh anggota preman yang menyatakan dirinya anti-komunis.
Di berbagai tempat, upaya proses memorialisasi telah dilakukan, terutama sekitar kuburan massal. Kuburan massal pertama yang dibuka adalah di Wonosobo, pada tahun 2000. Penguburan kembali para korban dicegah oleh para preman. Dekat Semarang, di komunitas Plumbon, sebuah kuburan massal ditandai, dengan partisipasi anggota masyarakat. Di Solo ritual peringatan dilaksanakan di jembatan Bacem, dimana pada tahun 1965 banyak korban dilempar ke sungai Brantas. Di Jembrana, Bali, sebuah kuburan massal dibuka dan mayat-mayat diberi ritual terakhir. Ratusan kuburan massa masih menunggu untuk digali, namun ini hanya bisa dilakukan apabila keamanan dari para partisipan bisa dijamin dan apabila cukup tersedia ahli forensik yang bisa membantu. Berkaitan dengan kompensasi para korban, ada beberapa kemajuan yang bisa dilakukan walaupun sifatnya amat terbatas.
Diberlakukannya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (UU No. 13/2006) merupakan tanda positif. Hal ini diikuti oleh penyediaan bantuan kesehatan bagi saksi dan korban, termasuk mereka yang menjadi korban ‘peristiwa 1965’. Beberapa instansi lokal (seperti di Palu dan Solo) dan juga gereja di Kupang, telah mengakui aturan ini. Organisasi korban seperti YPKP 1965 telah mengorganisir berbagai pertemuan untuk menginformasikan para anggotanya tentang prosedur yang harus diikuti, namun pertemuan-pertemuan acapkali diganggu oleh anggota-anggota kelompok anti-komunis.
Dalam skala terbatas, memorialisasi kegiatan-kegiatan telah diinisiasi oleh individu dan LSM. Kegiatan ini antara lain termasuk pemutaran film-film documenter seperti Jembatan Bacem (2014, ELSAM), Jagal (The Act of Killing, 2012), dan kelanjutannya Senyap (The Look of Silence, 2014), kedua yang terakhir oleh Joshua Oppenheimer, Wanita dan Para Jendral (The Women and the Generals, 2012 oleh Maj Wechselmann) dan lainnya. Beberapa kuburan massal menjadi situs memori atau ingatan sejarah, seperti di Semarang (Plumbon). Beberapa penulis telah menulis berbagai novel, seperti ‘Amba’ oleh Lakshmi Pamuntjak, ‘Pulang’ oleh Leila Chudori dan ‘Lubang Buaya’ (The Crocodile Hole ) oleh Saskia Wieringa. Selain itu muncul pula berbagai produksi artistik dalam berbagai bentuk yang terkait dengan tema ini, seperti prosa, sajak, teater dan lagu.
Pencegahan pengulangan (Non-recurrence)
Beberapa langkah terbatas telah dijalankan yang menuju ke arah pencegahan pengulangan. Langkah-langkah ini termasuk juga diikutsertakannya seksi Hak Azasi dalam Konstitusi 1945 (tahun 2000) dan ratifikasi berbagai perjanjian internasional menyangkut hak azasi manusia. Pada bulan Desember 2006 Mahkamah Agung Indonesia menyatakan bahwa undang-undang yang menyangkut pendirian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Truth and Reconciliation Commission– TRC) pada bulan Desember 2006, adalah tidak konstitusional. Undang-undang tersebut sebenarnya memberi wewenang pada TRC untuk memberikan amnesti ke pelaku-pelaku kejahatan masa lampau dan melarang korban mengambil langkah-langkah hukum di masa yang akan datang terhadap pelaku-pelaku tersebut. Reparasi ke para korban hanya bisa dilakukan apabila mereka menandatangani pernyataan resmi yang membebaskan para pelaku. Kejaksaan menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam undang-undang TRC melanggar kewajiban Indonesia terhadap dunia internasional dan juga undang-undang nasional. Keputusan ini keluar setelah dua tahun perlawanan legal oleh kelompok-kelompok HAM Indonesia. Lembaga-lembaga pengawasan telah dibentuk, seperti Ombudsman, Komisi Yudisial, Komisi pengawasan polisi, komisi pengawasan prosecutor. Upaya-upaya terbatas untuk melakukan perombakan yang diperlukan terhadap sektor keamanan, masih sedang diupayakan. Militer dilarang untuk melibatkan diri dalam politik dan lembaga kepolisian dipisahkan dari militer. Namun hal ini tetap tidak mencegah militer mengambil peranan besar dalam politik, terutama menyangkut isu-isu yang menyangkut hak korban ‘peristiwa 1965’. Mata kuliah Hak Asasi Manusia telah diikutsertakan dalam kurukulum kursus-kursus pelatihan dan pengaturan internal kepolisian dan militer. Namun Statuta Roma masih belum ditanda tangani dan di ratifikasi. Lagipula, secara keseluruhan, bisa dikatakan bahwa penerapan perubahan-perubahan institusional dan legal masih amat terbatas.
Sebagai kesimpulan, pemerintah (state) Indonesia masih enggan untuk menerma kewajiban mereka untuk mendengarkan suara para korban, untuk menjalankan secara efektif proses ganti rugi dan rekonsiliasi, dan memberikan keadilan yang selama ini di tunggu-tunggu oleh para korban. Masih banyak yang harus dilakukan untuk mengatasi 50 tahun impunitas.
This post is also available in: Indonesian