Puisi adalah penciptaan susunan kata subyektif bermakna. Dalam ruang cipta dan pertukaran makna itulah pengalaman indrawi, ungkapan rasa, ingatan, imajinasi, bunyi, bahkan rasio ataupun akal budi bergerak dan menggerakannya menjadi sebuah lirik, bersyair. Tanpa bermaksud berteori tentang hermeneutika ataupun sastra, seberapa pun subyektif makna yang dikandung dan nilai estetik yang diindahkan serta ditasirkan pembacanya, puisi niscaya mengandung kebenaran, meskipun berwatak intersubyektif.
Berbeda dengan catatan/kisah, memoar, autobiografi/ biografi para korban/ penyintas 1965-66 maupun cerpen dan novelnya, karya-karya puisi ataupun kumpulan puisi mereka jarang dipandang sebagai bagian dari pengalaman dan ingatan yang patut dikaji, bukan sekadar sebagai suatu karya sastra tetapi sebagai suatu cara untuk mengungkapkan kebenaran, bahkan mungkin bagian darinya.
Untuk hanya menyebut beberapa contoh, dalam era pasca-1998, Penerbit ULTIMUS sekurangnya telah menerbitkan 10 kumpulan puisi. Ini belum terhitung puluhan kumpulan puisi para korban/ penyintas 1965-66 yang diterbitkan sendiri atau oleh penerbit lain, maupun berbagai karya puisi tentang ‘perkara 1965-66’ yang diciptakan bukan oleh korban/ penyintas 1965-66.
Kontribusi pada Pengungkapan Kebenaran
Seperti kita ketahui, pengungkapan kebenaran merupakan bagian utama dan terpenting dari suatu penyelesaian non-peradilan bagi kejahatan serius di masa lalu. Bahkan ia merupakan pra-syarat mutlak agar korban meraih keadilan. Standar internasional hak asasi manusia dalam rangka memerangi impunitas merumuskannya sebagai “hak publik untuk tahu, dan hak korban atas kebenaran”. Memang pengungkapan kebenaran terhadap kejahatan serius di masa lalu –dalam arti resminya oleh negara– berarti keharusan bagi lembaga-lembaga penyelidikan yang berwenang atau suatu komisi kebenaran untuk mengidentifikasi tidak hanya korban dan penderitaan yang dialami dan segala akibatnya, namun juga mengidentifikasi siapa pelakunya: “siapa melakukan apa terhadap siapa, kapan, di mana, dengan cara bagaimana”.
Karena itulah tanpa pengungkapan kebenaran secara resmi oleh negara, dan bukan sekadar “pengakuan dan penyesalan atas peristiwa”, mustahil hak korban/ penyintas atas keadilan, hak atas reparasi ataupun pemulihan hak, serta jaminan tidak berulangnya kejahatan serius di masa lalu akan ditunaikan oleh negara.
Di lain sisi, berbagai prakarsa, upaya dari komunitas korban maupun gerakan sosial untuk mengungkapkan kebenaran atas kejahatan serius 1965-66 terus dilakukan dalam berbagai wujud dan bentuknya, seperti memorialisasi, diskusi publik, penerbitan catatan, memoar, autobiografi, serta berbagai karya dan pertunjukkan seni/ budaya lainnya.
Dengan maksud berkontribusi pada upaya mengungkapkan kebanaran atas kejahatan serius yang terjadi pasca 1 Oktober 1965, kami hendak mengambil prakarsa untuk membahas pertanyaan sentral ini: apakah karya sastra, khususnya puisi karya korban/ penyintas dapat berkontribusi pada pengungkapan kebenaran? Jika ya, seberapa besar dan dengan cara apa/ bagaimana ia berkontribusi?
Tujuan
- Memperkenalkan karya-karya puisi korban/ penyintas 1965-66 sebagai salah satu wujud ekspresi dari berbagai pengalaman dan daya juang korban/ penyintas.
- Menjelajahi kemungkinan puisi berkontribusi pada pengungkapan kebenaran.
Mari menjelajahi kemungkinan tersebut pada:
Hari: Sabtu, 25 Maret 2023 Pukul: 15:00-17:45 WIB
bersama: 1. Yoseph Yapi Taum 2. Soe Tjen Marching 3. Afnan Malay 4. Dewi Kharisma Michellia 5. Toto Muryanto 6. Paduan Suara Dialita 7. Putu Oka Sukanta 8. Toga Tambunan 9. Astaman Hasibuan
materi presentasi Yoseph Yapi Taum Puisi dan Kebenaran
Kumpulan Artikel Asep Sambodja Tentang Sejarah Sastra, Politik Sastra, Lekra dan ‘1965’
*sebagian artikel-artikel ini membahas tentang puisi-puisi tapol dan eksil 1965
Mendengarkan Suara Saksi dalam Sajak-sajak Joseph Sali (Mantan Tapol ’65) – Antonius Sumarwan, SJ
Dalam kasus tragedi ’65, kesaksian para korban sering kali tidak hanya dibuat bisu dalam arsip, bahkan masih banyak pihak yang menginginkan kesaksian mereka ini terhapus dari catatan perjalanan bangsa Indonesia dan peziarahan kemanusiaan. Supaya generasi muda memperoleh pandangan yang lengkap dan imbang tentang masa lalu, dan karenanya menjadi kritis serta bijaksana, kesaksian yang dibungkam ini perlu disuarakan dan upaya penghapusan perlu dilawan dengan menuliskannya. Joseph Sali, salah satu korban tragedi ’65 yang pernah dibuang ke Pulau Buru, menuliskan kesaksiannya dalam bentuk sajak. Sajak-sajak ini tidak hanya meminta orang agar mendengarkan, melainkan juga berseru agar orang bertindak untuk melantangkan kebenaran dan menegakkan keadilan, bagi para korban dan demi masa depan bangsa Indonesia.
beberapa buku puisi yang tersedia versi ebooknya – onlinenya
[1938-2022] Kisah Eksil ’65 Chalik Hamid, Puisi Doa (buat Soeharto) dan Kumpulan Puisi Mawar Merah (*unduh buku puisi)
[unduh] ebook S. Anantaguna – Puisi‐Puisi dari Penjara
[unduh] Samsir Mohamad (*Tokoh Pimpinan Barisan Tani Indonesia) – Angin Burangrang : Sajak‐sajak Petani Tua
[jenderal-jenderal itu, masih berkuasa] dan Dia ‘Tak Pernah Kehilangan Cintanya’ (Kumpulan Sajak Astaman Hasibuan – Penyintas ’65)
Hantu-hantu Komunis dan Desa Yang Hilang : Puisi-puisi Astaman Hasibuan Dari Padang Halaban
Warisan 3 Puisi Njono Yang Ditulisnya Menjelang Eksekusi Mati
simak pula
Sastra, Politik dan ‘1965’ – Artikel-artikel (Kajian) Yoseph Yapi Taum Terkait Tragedi 1965-1966/ Yoseph Yapi Taum Articles Related to Indonesian Tragedy 1965-1966
This post is also available in: Indonesian