Luviana

Jakarta, Konde.co- Sri Sulistyawati selalu merindukan rumah. Bukan gedung, atau rumah dalam bentuk secara fisik. Namun rumah bagi Sri adalah sebuah ruang dimana semua manusia diterima, bisa hidup di dalamnya.

Kapan rumah ini bisa terbangun dengan baik?

Hingga Sri meninggal dan menutup peti kematiannya, rumah bagi Sri masih merupakan cita-cita yang telah lama ia rindukan.

Dan kini, peti merupakan rumah terakhirnya.

Penyakit akibat radang usus telah menggerogoti hingga masa tuanya, sampai akhir hidupnya. Eyang Sri menghembuskan nafas terakhir pada Kamis dinihari, 26 April 2018 di Rumah Sakit Carolus, Jakarta.

Ketika detak jantungnya berhenti, semua sahabat, kawan yang menunggunya, lari tergopoh di lorong rumah sakit. Badannya sudah dipasang banyak selang. Ia nyaris tak pernah lagi bisa bicara setelah beberapakali keluar masuk rumah sakit dalam 3 bulan terakhir.

“Saat saya melihat jantungnya berhenti berdetak, saya merasa eyang Sri sudah pergi. Saya pegang tangannya, saya pegang nadinya. Saya percaya kesadaran masih ada. Disitu saya merasa bahwa kami harus mengatakan sesuatu untuk mengucapkan selamat jalan kepada eyang. Eyang, sudah ya yang, beristirahatlah dalam damai, serahkan urusan duniawi ini pada kami. Kita semua yang akan memanggul salib kehidupan yang selama ini sudah kaupandu jalannya.” 

Reza Muharam, dari International People Tribunal (IPT) 65 mengatakan ini dengan diiringi tangis sahabat yang melepas Eyang Sri pergi.

Di tengah peti yang mau ditutup, ada yang terjatuh. Ada yang menangis tergugu di kursi.

Jurnalis yang Dipenjara tanpa Mendapat Keadilan

Bagi banyak orang, Sri adalah seorang perempuan yang cerdas, lucu, sesekali keras kepala. Bicaranya selalu lantang.

“Tidak bisa membayangkan jika ada rapat atau pertemuan, tetapi tidak ada eyang Sri. Jika ada eyang, rapat akan selalu meriah, dengan cerita dan gurauan eyang,” kata beberapa anak muda yang datang pada ibadah terakhir Eyang Sri, sebelum jenasahnya dibawa ke makam Menteng Pulo, Jakarta.

“Selama ini Eyang Sri adalah jiwa yang mendampingi kami semua. Saya percaya bahwa jiwa eyang tak pernah mati, ia selalu berada disini. Di hati kami.” 

Terlahir di Cirebon, 19 September 78 tahun yang lalu. Dulu, Sri adalah seorang jurnalis. Bersama Sulami, Sujinah dan Harti teman-temannya sesama jurnalis perempuan di tahun 1950an mereka banyak menuliskan kondisi ekonomi dan sosial politik di Indonesia.

Bicaranya selalu menggebu, semua seperti tersihir ketika mendengar cerita-ceritanya.

Sri dulu pernah kuliah di jurusan jurnalistik di Akademi Jurnalistik Doktor Rifai. Skripsinya tentang Miscicih tentang kesenian rakyat, kisah di luar panggung yang penuh dengan kemiskinan, padahal di atas panggung terlihat glamour. Tulisan tentang Miss Cicih sesuai dengan nafas tempat Sri Sulistyawati bekerja sebagai jurnalis, yaitu di Koran Ekonomi Nasional. Pada saat itu Sri bekerja sebagai jurnalis sambil kuliah dan menjadi aktivis. Karir pertamanya dimulainya ketika ia bekerja di Harian Ekonomi Nasional dan Suluh Indonesia milik Partai Nasional Indonesia (PNI). Disanalah ia kemudian menjadi dekat dan banyak berbincang, melakukan wawancara dengan Presiden Sukarno.

Saat-saat berikutnya adalah merupakan saat yang buruk bagi Sri, karena ia kemudian dicari dan dipenjara tanpa alasan.

Sri dipenjara di Bukit Duri selama 11,5 tahun hingga 25 April 1979 baru dilepaskan. Hari-hari setelah dalam penjara itulah hari-hari penuh dengan kekerasan, intimidasi dan diskriminasi yang tak pernah lepas dari hidupnya. Ia pernah mengalami pendarahan hebat karena disiksa.

Foto 2: Prosesi terakhir kematian Sri Sulistyawati 27 April 2018 di Jakarta [Foto: Luviana]

Sejak keluar dari penjara, sesekali ia masih sering menulis, melanjutkan sisa-sisa kisah kepedihan di dalam penjara.

Bagi banyak orang, Sri adalah guru, jurnalis yang kemudian memperjuangkan nasib ketidakadilan di Indonesia.

Dalam sebuah kelas menulis yang diadakan Kontras dan Peace Women Across The Globe (PWAG) di tahun 2010-2011 dimana saya menjadi fasilitator menulis disana setiap minggunya, saya kembali intens bertemu dengan Eyang Sri.

Jadi, mulai saat itu, di setiap perjumpaan kami, dia selalu memanggil saya sebagai ” Ibu guru.”

Sebutan yang lucu karena sayalah waktu itu yang mengajar Ibu Sri untuk kembali menulis. Padahal bagi kami anak-anak muda ini, Ibu Sri adalah guru kami dalam menulis. Namun dari perjumpaan intensif selama 1 tahun di kelas menulis itulah, ia kemudian banyak bercerita bahwa menulis adalah bagian dari refleksi perjalanan hidupnya.

Dan ketika kami kembali bertemu di LBH Jakarta setahun lalu, ia kembali memanggil saya,” Ibu guru.”

Ah, Eyang Sri. Ia seperti selalu lepas, kalimat yang diucapkannya selalu menggambarkan keberaniannya.

Dalam Rumah Terakhir

Sri Sulistyawati sudah dalam rumah terakhirnya. Dolorosa Sinaga mewakili IPT 65 mengatakan agar keadilan yang didambakan Sri agar segera terwujud.

Yunianti Chuzaifah, Wakil Ketua Komnas Perempuan mengatakan bahwa dengan kepergian Eyang Sri, Indonesia mempunyai pekerjaan rumah yang besar, yaitu membangun rumah yang bermartabat seperti cita-cita Sri.

“Eyang Sri sudah tidak bersama kita, tapi perginya eyang menandakan bahwa kita harus punya rumah besar yang menjadikan manusia bermartabat. Eyang Sri adalah orang yang tidak pernah tidak hadir dalam pertemuan di Komnas Perempuan, selalu membuat catatan penting dalam hidupnya. Selamat jalan eyang Sri, kita semua adalah anak cucu yang siap melanjutkan perjuangan eyang,” ujar Yunianti Chuzaifah.

Eva, adalah anak muda yang selama ini banyak bekerja bersama Sri. Ia bertekad akan selalu melanjutkan perjuangan Sri.

Bagi Eva, Sri adalah pengingat bahwa rumah yang menjadi cita-cita Sri harus bisa dibangun, suatu saat nanti.

Sumber: Konde.Co

This post is also available in: Indonesian