Jumat, 23/12/2016 13:00 WIB | Oleh: Yudha Satriawan
Solo – Sebuah makam cukup besar berukuran 2×10 meter berada di tengah komplek pemakaman TPU Purwoloyo, Solo. Ilalang, tanaman liar, dan rumput menutupi seluruh makam tersebut –menunjukkan kalau kuburan ini tak pernah dikunjungi pun dirawat.
Tak ada pula nisan yang menuliskan nama, tanggal kelahiran dan kematian si empunya. Hanya ada kayu bertuliskan Mister X.
Maka, disuruhlah penjaga makam mencabuti rumput, ilalang, dan tanaman liar. Salah seorang penjaga makam, Tri Wahyuni, bercerita asal mula kuburan tersebut.
“Saya menyaksikan pemakaman korban ini. Sekitar pukul 4 sore, mayat ditaruh di karung, ada juga yang dibawa pakai plastik kresek. Terus dimasukkan ke lubang galian ini. Setelah semua mayat dimasukkan ke lubang lalu ditutupi pakai anyaman bambu. Tidak dipeti, hanya dimasukkan karung atau kantong plastik kemudian dikubur. Kondisi mayatnya gosong. Banyak aparat TNI dan polisi yang ikut memakamkan para korban ini,” kenang Tri Wahyuni.
Diperkirakan ada 33 jenazah yang terkubur di makam massal TPU Purwoloyo. Dan mereka adalah korban tragedi Mei 98.
Peristiwa itu tepatnya terjadi pada 14-15 Mei 1998. Dimulai dari aksi demontrasi ribuan mahasiswa berbagai kampus –yang kala itu menuntut mundurnya Presiden Soeharto.
Mahasiswa yang berbaur dengan masyarakat, kemudian mengarah ke Jalan Slamet Riyadi atau pusat kota. Di sana, tampak kepulan asap membumbung tinggi yang berasal dari ban bekas.
Massa lantas melempari gedung perkantoran dan ruko dengan batu hingga akhirnya membakar. Di antara amukan massa itulah, mereka menjarah barang-barang yang ada di mal.
Sementara itu, polisi bergeming. Sempat ada upaya anggota kepolisian menghentikan aksi itu, tapi gagal. Malah, beberapa orang berpakaian TNI turut berjalan di kerumunan. Mereka tak melarang, justru membiarkan massa merusak bangunan dan pertokoan.
Selang sehari, kondisi di Solo masih tegang. Jalanan tampak lengang. Tapi jejak kerusuhan masih bergelimpangan di jalan. Dan bau asap, masih tercium.
Sekira 33 mayat ditemukan dalam kondisi hangus terpanggang –tersebar di sejumlah mal. Sunaryo Haryo Bayu, fotografer media cetak yang berada di lokasi, menyaksikan sendiri proses evakuasi mayat-mayat itu.
“Saya berada di pusat pertokoan Coyudan Solo saat tragedi Mei 1998. Di situ saya melihat ada sembilan orang terjebak di dalam toko sepatu. Kesembilan jenazahnya ditemukan di dalam satu kamar mandi, sebagian ada yang di dalam bak mandi, lainnya di luar bak mandi. Kondisinya hangus. Saya tidak tahu itu laki-laki atau perempuan, karena kondisinya sudah tidak berwujud. Kemudian dievakuasi polisi dan petugas PMI,” ungkap Sunaryo Haryo Bayu.
Itu hari, saya bersama Komnas Perempuan, mendatangi kuburan massal korban tragedi Mei 98 di TPU Purwoloyo. Hanya saja, dari catatan Komnas, ada sekitar 20-an jenazah yang terkubur di situ.
Komisionernya, Mariana Amiruddin, mengatakan kondisi makam sangat memprihatinkan. Dan hal ini menunjukkan ketidakpedulian pemerintah pada korban pelanggaran HAM.
“Sebetulnya kalau mau dilakukan penyelidikan maupun penyidikan berlanjut, bisa dibongkar makam massal ini dan diidentifikasi. Kondisi makam ini bentuk ketidakpedulian, ya karena sejarahnya tidak diungkap secara utuh. Kalau ini diungkap kan bisa dibikin bagus makamnya dan semua orang akan tahu bahwa ada peristiwa tragedi kemanusiaan,” ujar Mariana.
“Kita perlu meyakinkan pemkot Solo bahwa mayat itu betul-betul ada, masa mau dibilang nggak ada. Sederhana sebenarnya, yang penting diakui dulu bahwa tragedi itu memang ada dan di sini lokasi makam massalnya. Hal-hal kecil seperti ini, membuat makam yang layak, mendoakan, dan memberi penghormatan untuk para korban tragedi Mei 98 di Solo.”
Tujuan Komnas Perempuan ke TPU Purwoloyo ini adalah bagian dari rangkaian memorialisasi atas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Dengan begitu, pemerintah dan publik takkan lupa serta memberi penghormatan pada para korban.
Sebuah keniscayaan pula, memorialisasi ini bisa mendorong pemenuhan hak korban dan keluarganya, memutus impunitas, dan memastikan peristiwa serupa tak terulang di masa mendatang.
Karena itulah, Komnas Perempuan menemui Dyah Sujirah –istri Widji Thukul, penyair era Orde Baru yang hilang diduga korban penghilangan paksa pada akhir 1998.
Ditemui di rumahnya di salah satu sudut kota Solo, ia berharap dibangun prasasti sebagai penanda dan pengingat.
“Saya inginnya di TPU Purwoloyo yang menjadi makam korban tragedi Mei 98 dibangun prasasti. Itu tanda yang harus diingat bahwa terjadi penghilangan orang-orang secara paksa. Prasasti sederhana saja. Tidak usah yang mewah,” kata Dyah Sujirah.
Sepulang dari rumah Dyah Sujirah, Komnas Perempuan berusaha menemui Wali Kota Solo, tapi tak berhasil.
Pernah, Wali Kota Hadi Rudyatmo mengatakan setuju membangun prarasti atau monumen peringatan Mei 98, tapi tak mudah. Harus ada kajian yang akurat terutama tentang identitas para korban.
“Kalau mau membangun prasasti atau monumen tragedi Mei 1998 di Solo, ya nggak masalah buat saya. Ini kan tujuannya untuk mengingatkan masyarakat agar tidak terulang kembali,” imbuh Hadi Rudyatmo.
Perjalanan memorialisasi peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, terus berlanjut ke Yogyakarta. Di sana, saya dan Komnas Perempuan mendatangi Gedung Jefferson dan Benteng Van Der Berg.
Editor: Quinawaty Pasaribu
Sumber: KBR.ID
This post is also available in: Indonesian