Hasan Kurniawan | Kamis,  12 November 2015  −  14:37 WIB

JAKARTA – Pengadilan Rakyat Internasional atau International Peoples Tribunal (IPT) 1965 di Den Haag membuka banyak kesaksian para korban Gerakan 30 September (G30S). Di antaranya kesaksian seorang wanita berusia 70 tahun.

Dalam kesaksiannya, seorang ibu bernama Tintin Rahaju (bukan nama sebenarnya) mengaku, saat peristiwa itu terjadi dirinya merupakan seorang mahasiswi Katolik anggota PMKRI yang bekerja sambilan sebagai guru.

Aktivitasnya sebagai anggota PMKRI membuat pemerintah yang telah dikuasai militer saat itu curiga dengannya. Dia lalu ditangkap dan diinterogasi. Tentara yang menangkapnya menuding dia sebagai anggota Gerwani.

“Saya ditelanjangi dan disuruh naik ke atas meja. Mengaku tidak kalau kamu melakukan gerakan politik?” kata Titin, seraya menirukan tentara yang melakukan interogasinya, di hari kedua IPT 1965, Rabu 11 November 2015.

Merasa tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan, Titin dengan tegas membantahnya. “Tidak, saya tidak bisa mengaku. Mereka mencecar tubuh saya dengan puntung rokok. Bulu kemaluan dan rambut saya dibakar,” ungkapnya.

Mendapat siksaan yang begitu berat, Tintin hanya bisa pasrah seraya menyebut nama Tuhannya. “Saya hanya bisa berkata, ‘Yesus, Yesus…’ Mereka makin marah. ‘Kamu ateis, kenapa kamu sebut Yesus, Yesus!’” tambahnya lagi.

Kesaksian Tintin dilukiskan dengan sangat haru oleh mantan wartawan Harian Rakyat Martin Aleida. “Ruangan sidang hening selama hampir setengah jam. Daun-daun musim rontok terdiam di luar jendela kaca,” tulisnya.

Ditambahkan dia, “Seperti merunduk menahan airmata mendengarkan kesaksian seorang ibu dari Jawa Tengah yang bersaksi dari belakang tirai. Mula-mula kata-katanya muncul dari kemauan hati yang tegar. Perlahan, jelas,” terangnya.

Kesaksian Tintin makin menguatkan tingginya tingkat pelecehan seksual terhadap para tahanan G30S. “Saya disuruh menciumi kelamin mereka (tentara). Saya dipaksa telungkup, diinjak-injak, rambut saya digunduli,” bebernya.

Saat mendengar kesaksian Tintin yang jujur tersebut, para peserta sidang seakan memasuki dunia lain yang sangat gelap. Dunia tanpa kemanusiaan. Tidak sedikit mereka yang menyaksikan sidang menitikkan air matanya.

“Kawan, kau boleh mengatakan aku laki-laki cengeng. Titik airmataku. Di kursi aku bergelut memadamkan emosi, tapi tetap saja ada cairan hangat menyumbat hidungku,” ungkap Martin Aleida yang juga bersaksi dalam sidang itu.

Ditambahkan dia, “Para hakim, prosekutor (kulihat Todung Mulya Lubis nanap menatap langit-langit menahan tangis), registrar, hadirin, kursi dan daun-daun mengatupkan mulut menahan emosi,” tambahnya.

Pernyataan Tintin semakin menambah rasa prihatin peserta sidang saat dia menanyakan kepada sidang apakah boleh menyebut nama orang yang melakukan penyiksaan terhadapnya saat itu. Pertanyaan ini dia ulang-ulang hingga dua kali.

“Yang menangkap saya Corps Polisi Militer (CPM) dan tentara. Yang menyiksa saya yang paling kejam. Boleh saya menyebut namanya? Lukman Sutrisno,” kata Tintin kemudian disambut rasa terkejut semua peserta sidang IPT 1965.

Lukman Sutrisno merupakan seorang maha guru Universitas Gajah Mada (UGM). Tidak ada yang pernah menyangka bahwa pria yang dianggap paling serius mengembangkan sosiologi pedesaan ini terlibat aksi penindasan rakyat.  (san)

Sumber: Sindonews.Com

This post is also available in: Indonesian