Saya berhadapan dengan Martin Aleida yang baru saja bersaksi di hadapan sidang IPT. Kesaksian yang sangat dramatis. Bagaimana perasaan Anda?

Terima kasih. Saya merasa dikelilingi satu dunia yang mengulurkan tangan kepada saya. Hal yang tidak ditemukan di negeri saya. Jadi sekali lagi saya ulangi. Saya mengharapkan tim hakim bisa sampai kepada keputusan yang katakanlah memberikan cahaya kalau bukan matahari buat perubahan ke arah perbaikan dari hidup berbudaya di masyarakat Indonesia yang selama puluhan dihancurkan oleh rezim Angkatan Darat.

Anda sepertinya sudah mempersiapkan untuk tampil di sini

Sejak muda saya memang pembaca baik. Juara pembaca sajak di Sumatra Utara. Juga pemain teater. 63 muncul di gedung kesenian Jakarta memainkan peran kedua penting dari drama sinandang yg ditulis oleh seorang bernama Ibrahim Hamid ataU MH yang meninggal di Belanda ini.

Jadi itu merupakan bekal bagi Anda untuk bertutur tentang jalan hidup Anda dan semua peristiwa yang pernah Anda alami?

Saya kira secara mental saya sudah siap seperti dikatakan oleh Mulya Lubis dalam opening statementnya. “Saya tidak tahu apakah saya akan pulang dengan bebas. Apakah akan diintrogasi atau malahan ditahan.” Tapi kembali saya katakan. Ini adalah episode terakhir dari hidup saya dan saya harus memberikan sesuatu kepada bangsa saya.

Bagaimana Anda melihat, membayangkan kesaksian ini diterima oleh publik di tanah air?

Saya sadar, ada pernyataan saya yang mengejutkan  mereka. Saya katakan bahwa saya seorang komunis. Saya percaya bahwa PKI bisa dan mampu membangun tatanan baru yang namanya sosialisme itu. Bisa. Saya percaya itu. Dan kalau itu gagal dan saya ditertawakan oleh dunia, tidak apa-apa. Tapi paling tidak sebagai manusia saya sudah punya cita-cita.

Tapi memang itu terjadi dulu dan sekarang di dunia kita tahu komunisme sudah tidak ada, walaupun di Indonesia masih dianggap sebagai hantunya. Orang sudah menganggap ini soal pelanggaran HAM.

Komunisme itu sebenarnya tidak perlu dilawan, kecuali kalau yang menata pemerintahan itu adalah orang-orang yang korup. Kalau Anda memperhatikan masyarakat Anda seperti misalnya di negara Skandinavia partai komunis tidak laku. Ini yang menjadi masalah. Dan di negeri saya penduduk itu diabaikan. Saya tiga belas tahun bekerja di majalah Tempo. Tiga belas tahun lagi di PBB. Pajak saya berapa. Setiap tahun saya membayar pajak bumi bangunan 700 ribu. Anak saya sekolah. Saya harus bayar. Saya ditabrak motor dan patah kaki, tapi saya harus bayar. Pemerintah sepreti apa.  Ini yang membuat komunisme itu muncul. Tetapi orang yang berkepala batu anti komunis tidak mau memahami ini. Itu yang menjadi suatu bencana buat pembangunan masyarakat kita.

Dan yang penting sekarang adalah bukan lagi komunisme, tapi adalah penghargaan terhadap HAM dan penuntasan masalah-masalah HAM di masa lampau.

Saya kira iya. Saya itu yang paling penting. Dan kecenderungan2 pikiran orng tidak bisa Anda hambat.

Anda harus memberikan jalan kepada orang untuk mengutarakan pendapat dia. Hanya saya termasuk orang yang setuju jika film pengkhiatan G30S diputar kembali, tetapi juga diberikan keesmaptan kepda karya2 film lain seperti Johsua Oppenheimer juga ditonton orang yang sama. Saya kira itu esensi daripada penikmatan kehidupan bagi kebebasan. Jadi tidak saling menekan dan saling mengeliminir. Kita bisa berbeda di dalam wacana, tapi kita kan tidak membawa senjata untuk mebunuh orang.

Anda akan tetap pulang kan?

Pada detik ini saya belum ingin menjawabnya. Nanti di belakang akan saya beri tahu.

This post is also available in: Indonesian