Punggawa metal Indonesia, Siksakubur, resmi melepas album penuh kedelapan bertajuk “Mazmur: 187” pada bulan November 2016 kemarin. Album cadas terbaik yang dirilis label Armstrecth Records dalam format CD ini berisi 10 buah komposisi brutal dan gelap. Proses rekaman untuk album ini sendiri dilakukan di Nada Musika Studio, Surabaya. Bersama operator rekaman Endro Wibowo (Jagal) dan Hizkia (Crucial Conflict), Siksakubur melewati berbagai proses mulai dari rekaman, mixing dan mastering yang luar biasa melelahkan. Semua kelelahan dan keringat kemudian terbayar lunas di album “Mazmur: 187”. Setelah mengibarkan bendera musik bawah tanah selama 20 tahun terakhir, band yang saat ini diperkuat oleh Andre Tiranda (Gitar), Rudy Harjianto (Vokal), Ricky Rangga (Gitar), Gilang (Bass) dan Adhytia Perkasa pada drum, melalui album terbarunya berhasil menyuguhkan kesepuluh materi death metal bernuansa oldschool dan tetap gahar. Tidak seperti album sebelumnya (Self-titled, 2015), kali ini vokalis Rudy Harjianto pun terdengar lebih leluasa dan melebur.

Nampaknya kapasitas kami untuk mengulas karya se-gahar “Mazmur: 187”, belum begitu kompeten saat ini. Namun bukan suatu hal yang mengurungkan niat kami untuk menulisnya. Ada hal lain yang membuat album ini layak untuk diangkat, yakni konten di dalamnya yang tidak biasa. Album “Mazmur: 187”, dikutip dari wawancara Andre Tiranda bersama Indonesianmetal.com, tidak memiliki sangkut-paut religi baik tajuk maupun konten-konten di dalamnya. Mazmur memiliki arti puji-pujian, sedangkan angka 187 sendiri merupakan sandi pembunuhan. Mazmur: 187 kemudian diinterpretasikannya sebagai album berisi lagu pujian para pembunuh. Pembunuhan atas siapa ?

Siksakubur – Mazmur: 187

Belakangan, Siksakubur memang aktif mengangkat isu kemanusiaan, seperti yang tertulis pada lagu berjudul “Honay”, yang tercantum dalam album sebelumnya (Self-titled, 2015). Lagu tersebut diciptakan sebagai bentuk solidaritas sekaligus kritik terhadap konflik yang terjadi dan menimpa masyarakat di tanah Papua. Dan melalui album terbaru kali ini, Siksakubur kembali mengangkat sebuah topik yang mengajak kita agar tidak lupa akan tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Indonesia. Peristiwa tersebut dikenal dengan Tragedi 1965, genosida besar-besaran yang menewaskan jutaan penduduk Indonesia yang dituduh ‘Komunis’ tanpa melalui peradilan.

Melalui dua materi berjudul “Sumpah Berbisik Part 1” dan “Sumpah Berbisik Part 2”, Siksakubur mengangkat Tragedi 1965 seperti yang tergambar dalam film dokumenter berjudul “Jagal (The Act Of Killing)” karya Joshua Oppenheimer. Sebuah film yang mengekspos mantan algojo dan para pelaku di balik peristiwa tersebut untuk menjelaskan dan merekonstruksi aksi pembantaian yang mereka lakukan. Mungkin film ini juga menjadi inspirasi pembuatan album “Mazmur: 187”. Pada kedua lagu tersebut, Siksakubur turut menyelipkan potongan percakapan dalam adegan film serta melakukan kolaborasi bersama Doddy Hamson (Komunal) pada lini vokal. Atmosfir kengerian rasanya sudah cukup klimaks meski baru sampai pertengahan album. Tabik !

Saat ini, Siksakubur tengah disibukan dengan jadwal tur album. Setelah membuka rangkaian turnya di Pulau Kalimantan, Siksakubur kemudian menginvasi negara tetangga yakni Malaysia dan Singapura. Melalui perbincangan bersama Rudy Harjianto, saat tengah ‘plesir’ di Semarang beberapa waktu lalu, Siksakubur dan dirinya telah mempersiapkan rangkaian tur ke berbagai daerah yang menurutnya menarik untuk disinggahi, Pulau Jawa salah satunya. “Kita sekarang pengen maen aja ke pelosok-pelosok, rencana maen di Semarang juga – kita pengen punya bekal cerita waktu kita manggung nanti,” ujar vokalis yang akrab disapa Giant (Jayen).

This post is also available in: Indonesian