Anggota Watimpres Sidarto Danusubroto mendorong penyelenggaraan simposium serupa di berbagai daerah. Pemerintah diminta menjamin keselamatan para korban. (Dokumen International People's Tribunal Media)

Anggota Watimpres Sidarto Danusubroto mendorong penyelenggaraan simposium serupa di berbagai daerah. Pemerintah diminta menjamin keselamatan para korban. (Dokumen International People’s Tribunal Media)

source: CNN Indonesia

Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, melalui Pendekatan Kesejarahan secara resmi ditutup pada Selasa (19/4) petang.

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto, saat membacakan refleksi simposium, menyebut keterlibatan negara pada konflik kekerasan masa lalu.

“Kami mengakui adanya konflik horizontal dan mengakui adanya keterlibatan negara,” ucapnya.

Sidarto mengharapkan kebesaran jiwa dari berbagai pihak menyikapi kasus pelanggaran hak asasi manusia itu. Dia berkata, Tragedi 1965 telah menimbulkan korban dalam skala besar.

Korban, kata Sidharto, mencapai belasan ribu. Mereka disiksa, dipenjara tanpa alasan atau menjadi tahanan politik serta dirampas haknya sebagai warga negara.

“Saya harap simposium ini merekomendasikan rehabilitasi umum kepada korban HAM, supaya hak sipil mereka dipulihkan dan dikembalikan,” kata Sidarto.

Sidarto menegaskan, stigma negatif kepada korban harus dihentikan. Ia berkata, dosa turunan tidak boleh lagi terwujud.

Simposium yang terselenggara di Jakarta itu juga diharapkan berlangsung di daerah-daerah lain. Sidarto berkata, pemerintah wajib menjamin kegiatan itu berlangsung tanpa intimidasi kelompok intoleran.

“Negara harus hadir dalam melindungi warga, itu sesuai konstitusi,” ucapnya.

Usai relfeksi penutupan, para peserta saling bersalaman. Tidak sedikit korban Tragedi 1965 menitikan air mata.

Simposium selama dua hari terakhir menggunakan pendekatan kesejarahan dalam melihat tragedi 1965.

Berbagai tuntutan, usulan dan rekomendasi diutarakan pihak korban dan organisasi masyarakat sipil. Di antara mereka sebagian besar sepakat, negara harus mengakui peristiwa kekerasan yang terjadi di sekitar 1965 dan 1966.

Ketua Panitia Pengarah Agus Widjojo berkata, tim perumus akan menggali dan menganalisis dialog dan kesaksian yang muncul pada simposium.

Tim perumus berjanji akan menyerahkan laporan dan rekomendasi simposium kepada Menko Polhukam, Luhut Binsar Pandjaitan. Agus berharap, dokumen tersebut dapat menjadi rujukan Presiden Joko Widodo dalam mengambil kebijakan. (abm)

This post is also available in: Indonesian