bernard_dahm

Bagi mahasiswa Jerman yang mengambil jurusan studi Indonesia/Asia Tenggara, nama Bernhard Dahm bukan nama asing.
Editor DW,  Hendra Pasuhuk berbicara dengan peneliti senior berusia 84 tahun ini tentang toleransi.

Profesor Bernhard Dahm sudah mengkuti perkembangan Indonesia sejak tahun 1960an. Dia mewawancarai Presiden Soekarno, juga setelah peristiwa pembantaian anti komunis 1965-1966 dan ketika Soekarno keluar istana dan digantikan oleh Jendral Suharto. Dia kemudian melakukan penelitian tentang masalah identitas, adat dan budaya pada berbagai kelompok etnis di Indonesia.

Bukunya Sukarnos Kampf um Indonesiens Unabhängigkeit, yang merupakan bahan disertasinya, terbit tahun 1966 dan hingga kini menjadi buku standar bagi mahasiswa Jerman yang mengambil jurusan studi Indonesia/Asia Tenggara. Tahun 1987 buku ini diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh LP3ES dengan judul: Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan.

Bukunya yang lain: Indonesien. Geschichte eines Entwicklungslandes 1945–1971 (Indonesia, Sejarah Sebuah Negara Berkembang 1945-1971) menerangkan perkembangan politik dan budaya yang terjadi sampai pergantian kekuasaan dari apa yang disebut Orde Lama ke era Orde Baru. Tahun 1984, Dahm menjadi Guru Besar dan Dekan Jurusan Studi Kawasan Asia Tenggara di Universitas Passau sampai memasuki masa pensiun 1997.

Bernhard Dahm yakin bahwa Indonesia tetap akan menjadi masyarakat yang pluralistis. Berbagai kekalutan politik saat ini dilihatnya sebagai proses pencarian di masa transisi. Seperti juga Soekarno, dia percaya bahwa Pancasila dan gagasan NASAKOM adalah jalan tengah yang bisa menjadi landasan kuat bagi Indonesia menghadapi berbagai tantangan globalisasi. Dahm menerjemahkan NASAKOM sebagai nasionalisme, agama dan sosialisme, yang pada jaman Soekarno memang disuarakan dengan lantang oleh gerakan komunisme.

Peneliti yang kini berusia 84 tahun itu menjawab pertanyaan seputar perkembangan Indonesia yang diajukan DW (Hendra Pasuhuk). Berikut petikan wawancaranya:

DW: Sejak tahun 1960an Anda meneliti tentang Indonesia, dan belakangan lebih banyak tentang kawasan Asia Tenggara. Kalau ingin menyimpulkan perkembangan politik dan budaya di Indonesia secara singkat dari 1945 hingga kini, bagaimana Anda akan menggambarkannya?

Bernhard Dahm: Sejarah modern Indonesia bisa dirangkum dengan dua nama: Soekarno dan Pancasila. Indonesia terdiri dari ribuan pulau, ratusan bahasa dan begitu banyak budaya lokal yang terkandung dalam adat. Pancasila adalah gagasan yang bisa menyatukan bangsa-bangsa di Indonesia, dengan motto utamanya: Bhinneka Tunggal Ika. Pada prinsipnya, Pancasila adalah gagasan tentang toleransi dan keadilan sosial.

Soekarno dan para pemikir lain ketika itu mencari formula yang bisa menjadi falsafah kebangsaan, katakanlah sebagai motor utama nation building. Lalu Soekarno memperkenalkan konsep Pancasila. Jangan lupa, gagasan para pendiri Republik Indonesia ketika itu tidak hanya berkaitan dengan negaranya.

Kita harus ingat, tugas kemerdekaan Indonesia bukan hanya ditujukan untuk memerdekaan rakyatnya dari penjajahan Belanda, melainkan memerdekakan seluruh bangsa-bangsa yang terjajah dari kolonialisme dan imperialisme, membebaskan manusia dari eksploitasi. Jadi Soekarno dan rekan-rekannya mencari gagasan yang bisa berlaku universal.

Gagasan toleransi Pancasila bisa dibilang cukup berhasil saat itu. Tahun 1955, Indonesia yang baru sepuluh tahun merdeka menggelar konferensi Asia Afrika. Gagasan Pancasila ketika itu diakui dan bahkan diadopsi oleh gerakan Asia Afrika.

Dan Soekarno juga membawa Pancasila ke PBB..

Tahun 1960, Soekarno memperkenalkan konsep Pancasila kepada dunia dalam pidatonya yang terkenal di hadapan Sidang Umum PBB di New York. Judulnya: To Build The World a New. Dia menawarkan prinsip toleransi Pancasila diterapkan bagi perdamaian dunia, yang ketika itu sedang terpecah antara blok Barat dan blok Timur. Soekarno menawarkan sebuah konsep tata dunia yang baru.

Soekarno ketika itu merangkum konsepsi politiknya sebagai NASAKOM: nasionalisme, agama, komunisme. Kita harus memahami komunisme di sini sebagai sosialisme, karena dasar pemikirannya adalah prinsip keadilan sosial, yang juga menjadi dasar pemikiran politik Karl Marx.

Jadi Soekarno yakin, perbedaan dan perpecahan dunia dalam persaingan ideologis saat itu bisa dijawab dengan menghormati nasionalisme, agama dan prinsip sosialisme.

Tapi politik Soekarno akhirnya gagal..

Ya, secara menyedihkan dan mengerikan. Dimulai dengan penculikan dan pembunuhan brutal para Jendral. Lalu aksi pembalasan yang dilancarkan Suharto dan kubu militer secara lebih mengerikan lagi. Kekejaman luas yang terjadi saat itu menjadi semacam negasi dari tesis toleransi yang mau ditawarkan Indonesia sebagai solusi perpecahan dunia. Dan sampai sekarang, Indonesia belum sembuh dari luka dalam itu. Banyak kejadian mengerikan yang terjadi saat itu, keluarga-keluarga terpisahkan, begitu banyak orang terbunuh..

Semua itu terjadi di tengah ketegangan dunia memasuki era perang dingin..

Betul. Saat itu Amerika sedang bersiap melakukan intervensi di Vietnam untuk membendung komunisme, dan Amerika Serikat begitu naif untuk percaya, bahwa jika mereka masuk ke Vietnam, semuanya akan berjalan lancar sesuai skenario mereka. Tapi yang terjadi kemudian sangat lain, baik di Vietnam, di mana AS mengalami kekalahan besar untuk pertama kalinya, maupun di kawasan-kawasan lain seperti misalnya Irak. Di sana AS juga membawa bencana, ketika mereka melakukan intervensi.

Kembali ke Indonesia, Soekarno waktu itu sangat terpukul dengan terjadinya aksi kekerasan dalam skala luas. Karena hal itu sangat bertentangan dengan citra toleransi Indonesia yang sering dia gembar-gemborkan. Saya sendiri sempat bertemu dengan Soekarno setelah peristiwa itu, saya mengunjungi dia di Istana. Dia sudah membaca buku saya. Ketika itu saya bertanya, apakah perkembangan terakhir itu berarti bahwa Indonesia telah kehilangan jiwa toleransinya, bahwa semangat toleransi sudah berakhir di Indonesia.

Soekarno menjawab, dia tidak percaya tesis itu. Dia bilang kepada saya, dia tetap percaya pada kekuatan tradisi dan adat. “Jika kamu ingin tahu tentang jiwa dan semangat ke-Indonesia-an, jangan datang ke Jakarta atau Surabaya atau Bandung, pergilah ke daerah-daerah, pergilah ke Tapanuli Selatan, ke Mandailing, pergilah ke Banyuwangi, atau ke Makasar dan daerah pelosok lain”. Dan saya memang di kemudian hari melakukan penelitian di sana, tentang identitas dan adat, dengan bantuan asisten-asisten Indonesia saya. Kembali ke Soekarno, dia tetap yakin, bahwa Indonesia pada akhirnya akan kembali ke tradisi pluralisme dan toleransi, yang menurut dia sudah tertanam dalam adat istiadat bangsa-bangsa Nusantara.

Soekarno tetap yakin dan berpegang pada prinsip toleransi Pancasila..?

Dia sangat yakin, prinsip Pancasila dan NASAKOM, yang merupakan jalan tengah dan faktor penyatu antara kalangan agama dan kalangan sosialis, adalah masa depan Indonesia. Dia bilang, selalu akan ada pemikiran agama dan dasar-dasar sosialisme yang kuat di Indonesia, kedua prinsip itu saling bersaing.
Saya berikan mereka Pancasila, kata Soekarno. Saya yakinkan kaum Marxis, agar mereka menerima prinsip Ketuhanan. Lalu saya yakinkan kubu Islamis, bahwa ajaran Marx adalah analisa jitu yang memberi kita instrumen untuk mencapai keadilan sosial. Kalau mereka semua mau saling menerima dan melepaskan doktrin-doktrin yang ditolak pihak lain, maka Indonesia akan berjaya. Dan mereka semua, kubu Agama dan kubu sosialis, mau menerima Pancasila demi kepentingan nasional.

Bagaimana dengan Anda? Apa pandangan Anda tentang masa depan toleransi di Indonesia?

Saya mengikuti nasehat Soekarno dan melakukan penelitian tentang identitas dan peran adat pada masyarakat lokal, terutama generasi mudanya, itu tahun 1980an. Dan memang temuan kami adalah, 80 persen generasi muda saat itu mengenal baik istilah-istilah yang behubungan dengan adat lokalnya. Jadi ikatan adat itu memang kuat. Dan pada tingkat lokal, kita memang melihat ada kesediaan menerima perbedaan, ada prinsip toleransi dan keadilan. Pengaruh tradisi dan adat cukup kuat, walaupun sejak tahun 1970an ada pengaruh besar dari budaya barat melalui perkembangan media televisi. Jadi saya percaya, Soekarno benar.

Prinsip dasar kehidupan tradisional di Nusantara adalah toleransi dan pluralisme. Bahkan Suharto tidak menolak Pancasila. Dia malah menggunakan Pancasila sebagai instrumen untuk mengukuhkan kekuasaannya. Dan kita lihat sekarang, mayoritas rakyat Indonesia dan kelompok mainstream Islam tidak setuju dengan pembentukan negara Islam atau penerapan UU Syariah menggantikan konstitusi Republik Indonesia.

Tapi kita di Barat juga perlu menyadari, bahwa masyarakat Indonesia punya tradisi relijius yang kuat. Mereka percaya adanya Tuhan dan pada kehidupan setelah kematian. Ini faktor yang tidak bisa dipisahkan dari Indonesia. Tapi Indonesia bukan negara Islam. Ini adalah bukti paling kuat untuk tradisi toleransi dan pemikiran pluralisme.

This post is also available in: Indonesian