Frieda Amran in public

 

 

Ahir tahun 2014 yang lalu di Amsterdam di bulan Desember tanggal 17, kami menyelanggarakan peluncuran website kami. Acara ini dihadiri oleh bermacam-macam kalangan masyarakat. Salah satu pengunjung acara kami adalah Frieda Amran, penulis, penyair dan antropolog yang tinggal di Belanda. Berikut ini adalah kesan-kesan beliau atas acara dan tujuan kami.

 

“Sudah waktunya membuka hati dan mata”

Lima puluh tahun. Setengah abad. Angka ini seolah-olah angka keramat yang sepertinya berlaku di mana-mana.

Di Belanda, untuk memperingati ulang tahun yang ke-50, keluarga dan teman biasanya membuatkan boneka besar untuk yang berulang tahun. Boneka perempuan yang menggambarkan Sarah untuk perempuan dan boneka lelaki yang menggambarkan Abraham untuk lelaki. Kepercayaan ini rupanya didasarkan atas cerita mengenai Sarah yang tak kunjung hamil dari suaminya, Abraham. Baru setelah berusia lanjut (kalau tak salah, 90 tahun), Sara hamil dan melahirkan Isak. Barangkali kepercayaan ini membawa makna dan doa agar yang berulangtahun ke-50 itu mendapatkan berkah di usia lanjut—seperti halnya Sarah dan Abraham.

Bagi ahli sejarah dan cendekiawan sosial-politik, angka 50 tahun itu istimewa dan ditunggu-tunggu karena segala arsip yang berkait dengan suatu peristiwa baru boleh dibuka 50 tahun na dato. Barangkali, pembekuan arsip seperti itu dilakukan untuk melindungi orang-orang yang terlibat dan terkait dalam peristiwa tertentu. Kurasa, ketika batas 50 tahun itu ditentukan, rata-rata manusia hanya mencapai usia 70 tahun sehingga saat arsip itu dibuka, tokoh-tokoh penting di dalam suatu peristiwa sudah meninggal dunia. Bagaimana pun, imbas pembukaan arsip itu barangkali diduga tidak akan terlalu besar bagi tokoh itu atau terutama, bagi orang-orang inosen lain yang secara tidak langsung terkait dengan peristiwa atau tokoh tadi: yaitu suami, isteri atau anak.

Tahun depan, 30 September 2015, Indonesia, negara dan bangsa, akan berhadapan dengan peristiwa hitam yang terjadi 50 tahun yang lalu. Gestapu. Setengah abad sudah berlalu dan masih banyak di antara kita yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu? Apa yang menyebabkannya? Siapa saja yang menggerakkannya—di dalam dan di luar negeri? Mengapa peristiwa yang menyebabkan darah dan air mata berceceran sepanjang nusantara masih terselimuti tanda tanya? Pun setelah setengah abad berlalu. Mengapa peristiwa itu (bisa) terjadi? Mengapa aku—rakyat biasa—tidak tahu jalan cerita yang sebenarnya? Mengapa? Barangkali itu adalah pertanyaan yang paling penting. Mengapa?

Hari Rabu yang lalu, 17 Desember 2014, diadakan peluncuran International People’s Tribunal di dua tempat: Jakarta dan Belanda. International People’s Tribunal (IPT) digagas dan dibentuk oleh beberapa orang yang peduli, antara lain Saskia Wieringa, Nursyahbani Katjasungkana (yang menjadi General Coordinator IPT 1965), Sri Ningsih Tun Ruang, Fediya Andina, Ratna Saptari, aktifis-aktifis HAM, seniman, cendekia, akademisi dan
berbagai orang awam.

Tribunal rakyat itu bertujuan untuk mendapatkan pengakuan internasional bahwa peristiwa pelanggaran HAM itu memang terjadi; untuk memberikan restitusi bagi korban dan keluarganya yang masih merasakan dampaknya dalam kehidupan mereka di masa kini; untuk mengumpulkan data dan bukti-bukti terjadinya pelanggaran HAM itu; untuk membantu menciptakan klimat politik di Indonesia yang mengakui dan peduli pada hak-hak azasi manusia; untuk melindungi para korban dari rekriminasi dan diskrimasi di masa-masa mendatang dan untuk mengadili pelaku-pelaku peristiwa berdarah itu.

Aku terdiam mendengar deretan tujuan yang ingin dicapai. Alangkah berat tujuan yang ingin dicapai. Alangkah panjang jalan yang harus ditempuh
untuk mencapainya. Alangkah banyak keringat, tekanan batin, airmata dan caci-maki yang harus tumpah sebelum tujuan itu tercapai.

Mengapa tribunal rakyat seperti itu dirasakan perlu diadakan untuk menghadapi peristiwa yang terjadi pada dan sekitar 30 September 1965 di Indonesia? Pada waktu itu terjadi pelanggaran hak azasi besar-besaran di Indonesia: diperkirakan lebih dari 1.000.000 orang yang tidak bersalah menjadi korban. Mereka bukanlah korban perang karena tak ada perang pada waktu itu. Setelah setengah abad, negara masih belum menyelidiki apa yang sebetulnya terjadi. Dan, sampai sekarang pun, keluarga para korban masih saja didiskriminasi dan ditekan. Sampai sekarang pun, suara-suara mereka masih dibungkam.

Film-film yang dibuat oleh Joshua Oppenheimer mulai menyingkap kabut misteri peristiwa itu. Kabut. Seperti itulah yang ada di pikiranku kalau memikirkan 30 September 1965. Ketika itu, aku baru saja sebulan sebelumnya merayakan ulang tahun yang keenam. Aku tidak tau apa yang terjadi.

Yang teringat hanyalah bayangan aku memegang tangan Ibu. Kami berdiri bersama tetangga-tetangga di kompleks perumahan itu. Orang-orang tua itu berbisik-bisik: “Pak Anu dibawa pergi ..” Di kejauhan, di dalam gelap, langit yang hitam memerah. Apakah rumahnya dibakar? Entahlah. Hal itu tidak dibicarakan lagi. Tak ada orang yang bertandang lagi ke rumah keluarga itu. Apakah anaknya dulu temanku bermain? Apakah kami pernah bersama-sama menangkap kodok hijau di rawa-rawa di depan rumah? Entahlah. Aku tak ingat lagi. Malam itu seperti kabut di ingatanku.

Beberapa orang korban peristiwa itu berbagi cerita di dalam soft-launching IPT 1965 di Amsterdam. Ada Pak Sarmadji, lelaki tua yang dulunya belajar di Tiongkok dan tak dapat lagi pulang ke tanah air. Ia terpaksa tinggal di negeri Belanda yang memberinya izin tinggal. Barangkali kepalanya juga
dipenuhi tanda tanya. Ia berusaha mengumpulkan semua dokumentasi dan penerbitan mengenai peristiwa 30 September 1965.

Ada Ibarruri Sudharsono binti Aidit. Ia adalah putrid sulung Aidit, tokoh utama PKI. Ketika peristiwa itu terjadi, ia berumur 15 tahun. Ia di Moskwa. Ibunya di Indonesia bersama adik-adiknya. Ia tidak boleh kembali ke tanah air. Seperti debu yang kehilangan tempat untuk jatuh, ia berkeliling ke Macao, entah ke mana lagi, sampai akhirnya, berhasil tinggal di Prancis. Entah berapa tahun berselang sebelum ia akhirnya tahu bahwa ibundanya masih hidup dan keluarga itu berhasil berkabar melalui surat yang dikirimkan dari Moskwa ke Indonesia melalui seorang teman yang tinggal di Jepang. Ah, sedih betul aku mendengar ceritanya. Bagaimana rasanya bila aku tidak tahu apakah ibuku masih hidup atau tidak? Bagaimana rasanya bila aku tidak dapat berkabar dengan Ibu dan adikku? Bagaimana rasanya bila aku yang menjadi ibu itu dan tak tahu apakah anakku masih hidup atau sudah mati?

Ada Yusuf Sudrajat, seorang anak muda yang tak tahu bahwa kakeknya—yang selama ini dikatakan sudah meninggal dunia—ternyata masih hidup
di negeri Belanda. Ada Cisca Pattipilohy—seorang perempuan tua, mantan wartawan dan antropolog–yang sempat ditangkap tapi kemudian dilepas dan kembali ke negeri Belanda. Ia tidak pernah bertemu lagi dengan suaminya, yang juga ditangkap waktuitu dan kemudian meninggal dunia di dalam penjara.

Mendengar cerita-cerita mereka, aku teringat pada temanku, seseorang yang pintar, ramah dan cantik. Kukira ia akan menjadi wanita karir yang bintangnya akan melesat setelah selesai sekolahnya. “O, tidak!” Kata teman-temanku. “Ia takkan bisa apa-apa. Ayahnya adalah tokoh PKI.”
Aku teringat pada seorang teman yang ibunya tak pernah nampak di rumahnya kalau aku bermain ke sana. “Jangan tanyakan ke mana ibunya!” bisik teman-temanku yang lain. “Ia di Pulau Buru. Gerwani.”
Aku teringat pada masa-masa melamar kerja di Universitas Indonesia—menjadi pegawai negeri sipil Republik Indonesia. Teringat pada syarat menyerahkan surat berkelakuan baik dan tidak terlibat dalam G30S/PKI. Itu saja tak cukup. Aku harus menyerahkan keterangan mengenai keluarga yang bersih dari pengaruh-pengaruh komunisme: ayah-ibu, kakek, paman, tante, kerabat lain harus bersih dan tidak terlibat. Surat berkelakuan baik itu juga diminta ketika aku mengurus surat-surat untuk belajar di negeri Belanda pada tahun 1982.

Aku bersih dari komunisme. Aku dan keluargaku tidak terlibat dalam peristiwa yang berkaitan dengan peristiwa G30S/PKI. Aku dapat menutup mata.

Tetapi, ternyata, bukan hanya mataku saja yang kututup. Aku juga menutup hati. Kurasa bukan hanya aku. Mungkin juga kau, kau dan kau menutup
mata dan menutup hati pada peristiwa hitam yang pernah melumurkan darah merah di sepanjang negeri kita.

Sudah waktunya aku membuka mata dan membuka hati.
Sudah waktunya kita semua membuka mata dan membuka hati.

This post is also available in: Indonesian