Sumber : KBR, 1 Oktober 2016

Penyintas tragedi 1965/1966 pada aksi kamisan, menagih janji Presiden Joko Widodo untuk segera menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Tanah Air. (Foto: Antara)

Penyintas tragedi 1965/1966 pada aksi kamisan, menagih janji Presiden Joko Widodo untuk segera menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Tanah Air. (Foto: Antara)

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tak sepakat dengan pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto yang menyebut penyelesaian tragedi 1965/1966 hanya bisa ditempuh melalui mekanisme nonyudisial.

Anggota Komnas HAM, Siti Noor Laela mengatakan, telah meminta pertemuan khusus dengan Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan rekomendasi penyelesaian kasus 65/66. Ia berharap, Jokowi bisa memutuskan langsung pilihan mekanisme penuntasan atas tragedi kemanusiaan tersebut.

“Kami bersurat kemudian kepada Presiden Jokowi untuk meminta waktu Presiden untuk mendiskusikan ini secara langsung. Karena, Komnas HAM memiliki konsep, gagasan, ide penyelesaian pelanggaran HAM berat,” ungkap Noor Laela saat dihubungi KBR, Sabtu (1/10/2016).

Meski begitu, Noor Laela enggan memerinci gagasan dan konsep penyelesaian. Ia hanya mengatakan, surat permintaan untuk mendiskusikan masalah tersebut sudah dikirim ke Sekretariat Negara pada September lalu.

“Jadi kami ingin mendiskusikan ini dengan Presiden. Semoga Presiden Jokowi memiliki waktu luang untuk berdiskusi dengan Komnas HAM. Yang ingin kami diskusikan adalah konsepnya Komnas HAM setelah sekian tahun mengalami perbaikan-perbaikan,” katanya.

Lebih lanjut, Noor Laela menegaskan, Menko Wiranto tak perlu campur tangan soal perbedaan pandang antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM dalam menyikapi kasus yang sudah 51 tahun terkatung ini. Apabila pemerintah ingin menempuh jalur non-yudisial, maka hal tersebut tak berarti mengesampingkan penyelesaian secara yudisial. Sebab, penyelesaian melalui jalur hukum merupakan kewenangan lembaganya dan Kejaksaan Agung.

“Pak Menko (Menkopolhukam Wiranto–Red) tidak usah komentari soal teknis hukum, kalau soal pembuktian itu soal Komnas HAM dengan Kejaksaan. Jauh yang lebih penting adalah apa yang bisa dilakukan negara, itu lakukan. Kalau Pak Jokowi bilang kerja, kerja, kerja, ya berarti jangan Omdo (omong doang–Red),” tukasnya.

Komisioner Komnas HAM yang juga menjadi anggota tim gabungan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu di bawah Kemenkopolhukam ini pun mengingatkan, salah satu program Nawacita pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mencantumkan perihal penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM maka seyogyanya para pembantu presiden ikut mewujudkannya.

“Janji Pak Jokowi di Nawacita, itulah yang harus dikerjakan oleh pembantunya, menterinya. Jadi, jangan Presiden ngomong kerja, menteri harus kerja, rakyatnya harus kerja, tetapi faktanya untuk pelanggaran penyelesaian HAM berat Omdo, Omdo. Kita menuntut konsistensi dari pemerintah mengambil tanggung jawab terhadap korban,” jelas Noor Laela.

Apabila pemerintah ingin menempuh penyelesaian non-yudisial, Noor Laela juga mewanti-wanti agar tak terjebak pada rekonsiliasi palsu. Yakni hanya pada upaya mendamaikan tanpa diikuti rehabilitasi terhadap hak-hak korban dan menghapus stigma terhadap penyintas 65/66.

“Negara harus ambil dulu tanggung jawabnya baru kemudian rekonsiliasi. Korban ekstrim kanan maupun ekstrim kiri sampai sekarang mengalami diskriminasi. Jadi, kalau kita datang ke Talang Sari, mereka tidak dilibatkan dalam pembangunan, mereka tidak mendapat jaminan pendidikan dan kesehatan,” pungkasnya.

This post is also available in: Indonesian