Dari segi kemanusiaan tribunal ini sangat berarti bagi para penyintas, namun secara lugas dan dipandang dari segi hukum ini tidak punya banyak arti. Begitu dapat disimpulkan penjelasan Ko Swan Sik, pakar hukum internasional ketika ditanya tim media IPT mengenai makna International People’s Tribunal 1965 di Den Haag.
Dia sendiri tidak bisa membayangkan bila tragedi semacam yang dituturkan para saksi itu menimpa dirinya atau keluarganya. “Bagaimana mungkin orang bisa melakukan kekejaman serupa itu terhadap sesamanya?” Itulah pertanyaan yang tiap kali muncul.
Mendengar kesaksian para korban pelanggaran HAM 1965 di tribunal ini para hadirin, jaksa dan juga para hakim terlihat terpukul. Ruang sidang sangat hening. Banyak yang menyapu linangan air mata mendengar kesaksian Martin Aleida, wartawan Harian Rakyat yang terpaksa mengganti nama pemberian orang tuanya. Kesaksian untuk ibu Rahayu, korban kekerasan seksual sangat menyayat hati.
Sebagai pakar hukum internasional Ko mengerti para korban mencari keadilan, namun peradilan seharusnya berjalan di Indonesia. Selanjutnya ia berharap pemerintah dan lembaga-lembaga seperti Komnas HAM akan mampu menyelesaikan masalah ini melalui jalan hukum. Hanya bila ada pengakuan para korban telah mendapat perlakuan sangat tidak adil maka baru bisa melangkah ke rekonsiliasi. Tribunal ini bisa dilihat sebagai tekanan moral.
This post is also available in: Indonesian