misbach_ipt1965

Den Haag, Nieuwe Kerk 12 november 2015

Intan dihadirkan sebagai saksi untuk pembuktian tuduhan Penghilangan Paksa.

Ia bersaksi di balik tirai hitam. Pertama-tama jaksa menanyakan apakah sudah siap dan bagaimanya keadaannya. Saksi menjawab telah siap dan berada dalam keadaan baik. Jaksa kemudian meminta ia bersaksi apa yang terjadi dengan keluarganya di tahun 1965.

Intan: “Terima kasih buat kesempatan yang diberikan bagi saya pada siang hari ini. Perkenankan saya cerita kronologis yang terjadi pada tragedi 65. Papa saya adalah seorang petani namun beliau begitu berjuang untuk menjadi guru dan mengajar. Tahun 50 ada pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan beliau terpilih 5 tahun kemudian terpilih Dewan Pemerintah Daerah. Setelah 5 tahun kemudian beliau diangkat menjadi kepala keuangan, disitulah beliau kerja untuk menghidupi istri dan kami sebagai anak-anak dan kami sesungguhnya dalam pendidikan.”

 Pada tahun 1963 ayahnya diberhentikan dengan hormat sebagai kepala keuangan dan pensiun. Setahun kemudian ia sakit. Dan disarankan dokter ke Surabaya untuk perawatan. Pada 5 Juli ayahnya ke Surabaya. Setelah menjalani pemeriksaan medis ayahnya minta ijin menjemput istrinya untuk menemaninya di Surabaya dan melanjutkan perawatan. Pada 27 september 1965 berangkat dengan kapal laut dan sampai 2 oktober. Intan tinggal di sebuah lembah dan tidak mengetahui apa yang sedang terjadi pada waktu itu. Dia akan belanja ke pasar dan memang melihat jalanan sangat sepi. Ketika itu ada seorang tetangga bertanya padanya mau kemana, ia menjawab mau belanja.

Kemudian Intan bertutur:   “Lho kamu tidak tau ada terjadi. Terjadi apa? Katanya ada tragedi G30S. G30S itu apa? Saya terus bertanya dan bertanya. Dan mereka menerangkan. Lalu mereka mengatakan kakak kamu sudah diangkat. [ditangkap-Red] Diangkat? Kesalahannya apa sehingga dia diangkat? Dia sudah dipukuli habis-habisan dan ada di rumah sakit. Saat itu saya segera ke rumah sakit untuk mencari tahu. Ternyata dia sudah tidak ada. Rumah sakit mengatakan dia sudah dijemput oleh polisi. Dan berada di kantor polisi. Saya menyusul ke sana. Saya pergi ke kantor polisi untuk membawa makan karena sudah sore. Mereka mengatakan: tidak bisa bertemu ibu! Mengapa tidak bisa bertemu? Ya tidak bisa ibu, ini ada perintah dari atasan. Atasannya itu siapa? Kodim! Betul Kodim? Saya menghadap Kodim, karena mereka adalah pelindung masyarakat. Saya menghadap Kodim. Sampai di Kodim: Ibu ini terlalu bandel, mencari-cari. Saya yang bandel atau bapak yang bandel. Saya langsung diangkat tanpa tahu kesalahannya”.

Ternyata ayahnya juga dijemput oleh polisi dan ditahan atas perintah Kodim, ketika kembali ke tempat tinggalnya. Mereka sempat bertemu, dan ayahnya juga tidak mengerti apa alasan penangkapannya. Intan mencari informasi tentang ayahnya dan alasan penangkapannya. Sementara kakaknya sudah babak belur pada penangkapan sebelum ayahnya ditangkap.

Intan melanjutkan kesaksiannya: “Satu minggu kemudian mama saya ditahan dengan catatan yang mengatahan bahwa papa saya adalah anggota PKI di mana terjadi Gerakan G30 S. Lalu saya bertanya dimana bapak tahu. Memang sudah diadili!? Sudah ada pengadilan yang menanyakan kepadanya, sehingga bapak berani menahan orang tua saya. Lalu satu minggu kemudian mama saya ditahan.Tahanan rumah. Tidak boleh menjenguk. Satu minggu kemudian saya datang menjenguk papa saya. Katanya tidak ada lagi. Jadi ada dia mana. Ya ada di penjara di Kupang, katanya. Penjara? Saya datang di penjara di Kupang. Mereka mengatakan tidak ada orang yang dipenjara. Dimana ayah saya?”

Ibunya ditahan, tanpa mengetahui alasan penahanan. Tanpa rasa takut Ina tetap melanjutkan usaha mencari ayah dan kakak kandungnya. Mencolok karena pada waktu itu kebanyakan orang merasa takut. Tiap kali Ina harus mendengar bahwa Kodim menganggapnya sebagai ibu yang terlalu rewel. Intan menjelaskan bahwa ayahnya, kakaknya, paman, 2 sepupu, paman dan bibi, jadi 7 anggota keluarganya hilang. Berulang kali dia menanyakan ke mana dan di mana mereka?

Intan bersaksi sambil melawan tangisnya: “Kalau mereka bersalah sudah diadili atau belum. Di mana dia diadili. Dan sekarang kalau dia ada dia ditahan dimana. Kalau sudah mati dia dikubur di mana. Kalau kita punya seekor binatang mati saja kita gali lubang dan kita kubur. Apa lagi ini manusia. Apa memang ada hukum rimba yang terjadi sehingga hal ini boleh terjadi. Sampai dengan saat ini 7 orang keluarga saya hilang tanpa sebuah kesan. Kami tidak tahu dimana mereka berada. Kami tidak tahu mereka mati atau hidup. Sebagai anak sungguh kami sangat sakit melihat semua yang terjadi ini. Sehingga saat itu saya mengatakan: Tuhan berikan pada hambamu ini umur panjang sehingga suatu ketika mau menyaksikan itu. Tuhan, Engkau sangat baik, dan hari ini saya ada di sini bukan karena kehebatan saya, tapi Tuhan yang luar biasa.”

Banyak diantara hadirin menyapu air mata. Namun Intan, sebagai manusia ia tetap bertanya apa yang telah terjadi. Ia berterimakasih bisa menyampaikan kesaksiannya.

Intan:“Dengan catatan mereka mengatakan bahwa bapak saya adalah anggota BTI. Saya katakan: Saya kira BTI adalah Barisan Tani Indonesia, itu adalah resmi diresmikan oleh pemerintah jugasaat itu. Itu tidak bisa disangkali. Pemerintah tidak bisa menyangkali dirinya. Dia hanya memberikan keputusan hukum rimba. Dan sampai dengan hari ini sebagai anak, sebagai keluarga terus menjerit. Dan menjerit.”

Intan merasa inilah yang menyebabkan lingkungannya mencibir dan memandangnya seolah-olah dia penghianat bangsa, penghianat negara. Getaran suara Ina menjelaskan kesedihannya, ia kehilangan tujuh anggota. Dia berharap keputusan Majelis Hakim akan membawa suka cita baginya dan bagi ibunya.

Intan: “Khususnya mama saya yang ditahan, diduga bahwa anggota Gerwani. Saya berincang-bincang dengan kepala Kodim, kalau anggota Gerwani pak, sudah mengadili sehingga bapak bisa memutuskan bahwa dia telah membuat banyak orang menderita?! Saya minta mama saya dibebaskan. Pada zkhirnya dia mau membebaskan tapi dengan catatan: tahanan rumah. Saya terus bertanya tahanan rumah juga pasti ada terjadi sesuatu. Harus ada pengadilan, harus ada keputusan. Setiap kali saya bersaksi air mata sayaberlinang tidak henti-hentinya.”

 

This post is also available in: Indonesian