sumber: bergelora.com
Program Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) yang akan melakukan rehabilitasi umum sebagai salah satu jalan menuju rekonsiliasi menunjukkan kemampuan Lemhanas dengan tepat menterjemahkan Nawacita dan kebijakan politik Presiden RI, Joko Widodo yang menghendaki penyelesaian seluruh perkara Hak Asazi Manusia (HAM) masa lalu terutama perkara kejahatan HAM berat 1965 dan sesudahnya. Hal ini disampaikan oleh Koordinator International People’s Tribunal (IPT) 1965, Nursjahbani Katjasungkana kepada Bergelora.com di Denpasar, Jumat (20/5).
“Kami barusan mendapat respon dari komunitas internasional yang menyambut baik pernyataan Gubernur Lemhanas, Letjend TNI (Purn) Agus Widjojo dan sikap pemerintah Indonesia atas kemajuan rencana penyelesaian kasus 1965,” ujarnya menjelang bedah buku “Nasib Para Soekarnois: Penculikan Gubernur Bali Sutedja, 1966” yang ditulis oleh wartawan Sinar Harapan, Aju.
Menurutnya jika kebijakan Lemhanas ini merupakan tindak lanjut dari pokok-pokok rekomendasi “Simposium Tragedy 1965 : Pendekatan Kesejarahan” yang diselenggarakan oleh Dewan Pertimbangan Presiden, Lemhanas, Komnas HAM, Forum Silahturahmi Anak Bangsa (FSAB) atas dukungan Menkopulhukam, maka langkah Lemhanas patut diacungi jempol.
“Lemhanas telah menjadi jembatan untuk mengatasi perbedaan pendapat yang ada atas peristiwa kejahatan HAM Berat 1965 untuk lebih jauh mengungkap kebenaran atas petistiwa tersebut,” ujarnya.
Menurut Nursjahbani, tanpa pengungkapan kebenaran sangat muskil rekonsiliasi yang sejati dan penegakan keadilan bagi korban dapat ditegakkan. Untuk itu, pembentukan Komite ad hoc Kepresidenan untuk Pengungkapan Kebenaran dan Pemulihan Korban yang digagas oleh masyarakat sipil sangat patut dipertimbangkan.
“Kami mendukung Lemhanas memimpin proses ini dengan melibatkan wakil korban dan pendampingnya serta para peneliti dari kalangan akademisi,” ujarnya.
Lebih lanjut Nursjahbani mengharapkan agar Komite Kepresidenan tersebut bisa memperoleh fakta obyektif tentang peristiwa Madiun 1948 dan G30-S 1965 dan kejahatan HAM yang terjadi.
“Dari fakta obyektif inilah kita bisa belajar dari kesalahan masa lalu dan mencegah keberulangan serta memberikan keadilan bagi korban demi kemanusiaan sebagai satu-satunya alasan mengapa kita membela korban sekarang ini,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa anak cucu pada generasi mendatang berhak belajar dari kesalahan semua pihak di masa lalu tersebut. Dengan kata lain generasi muda sekarang butuh kejujuran.
“Sudah terlalu lama mereka dibohongi dengan propaganda dan fabrikasi kepalsuan sejarah baik 1948 maupun 1965. Akhirnya mereka mencari sendiri,” ujarnya.
Nursjahbani menegaskan bahwa di era keterbukaan informasi dan kemajuan tehnologi informasi saat ini, generasi muda gampang mengakses informasi dan hasil penelitian dari para ahli dan kisah-kisah korban 1965 sendiri.
“Mereka menolak didikte orang atau institusi yang punya kuasa dan mengontrol sumber informasi. Generasi sekarang menuntut kebenaran itu diungkap dengan sejujurnya dan seluas-luasnya. Jangan ada yang ditutupi lagi,” ujarnya mengutip pernyataan Gubernur Lemhanas, Letjend TNI (Purn) Agus Widjojo dalam acara Indonesia Lawyers Club di TVOne Senin (16/5) lalu.
Menurutnya juga, bangsa Indonesia akan tak bisa melakukan rekonsiliasi dengan disatu pihak mengakui adanya kejahatan terhadap kemanusiaan yakni dengan merehabilitasi korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara, namun dilain pihak menolak keterlibatan negara dalam kejahatan tersebut.
“Adalah tugas mulia Lemhanas yang selama ini mempersiapkan calon pemimpin negara untuk merekonsiliasikan fakta-fakta sejarah. Caranya adalah dengan menghapuskan segala bentuk sejarah hasil propaganda dan fabrikasi Orde Baru atas peristiwa kejahatan berat HAM tersebut serta meluruskan sejarah tentang peristiwa Madiun 1948.
Hal ini penting menurutnya terutama karena beberapa pihak menghubungkan peristiwa Madiun 1948 tersebut dengan peristiwa G30-S yang mengorbankan para Jenderal dan menjadikan alasan melakukan pembantaian 3 juta orang serta penyiksaan, penahanan, kekerasan seksual, pencabutan paspor, penghilangan paksa dan pembinasaan (persekusi) yang bahkan terjadi sampai sekarang.
“Jika semua itu tidak diluruskan dan tidak diselesaikan, bukan tidak mungkin masyarakat international akan menuntut negara kita berdasarkan Konvensi Genocide 1948. Semoga tidak terjadi,” tegasnya. (Web Warouw)
This post is also available in: Indonesian