Bimo Wiwoho | Rabu, 02/08/2017 23:17 WIB

Jakarta – Relawan International People’s Tribunal 1965 (IPT 65), Reza Muharam menilai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto merupakan dalang atas terhambatnya kasus penuntasan pelanggaran hak asasi manusia pada tahun 1965-1967.

Reza kemudian membandingkan upaya yang dilakukan Wiranto dengan Menko Polhukam sebelumnya, Luhut Binsar Pandjaitan, terkait dengan tindak lanjut hasil Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 yang digelar pada 18-19 April 2016 lalu.

Simposium Nasional saat itu digelar saat Luhut menjabat Menko Polhukam. Setelah simposium, kata Reza, Luhut sempat mengadakan rapat dengan ketua panitia Simposium, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Agus Widjojo, lembaga negara terkait, dan para korban 1965.

Rapat itu membahas rekomendasi sebagai kelanjutan dari simposium untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang 1965-1967.

Menurut Reza, sejak Wiranto diangkat menjadi Menko Polhukam pada 27 Juli 2016, rekomendasi yang telah ditampung dalam rapat-rapat usai simposium itu tidak pernah ditindaklanjuti hingga kini.

“Sampai sekarang itu dipeti es kan atau disembunyikan oleh Pak Wiranto,” kata Reza di kantor Komisi Nasional Perempuan, Jakarta, Rabu (2/8).

Reza menganggap dirinya selaku peserta simposium dan para korban, serta masyarakat, berhak mengetahui hasil rekomendasi yang telah ditampung dalam rapat.

Ia pun menyatakan bahwa pemerintah, khususnya Wiranto, wajib menindaklanjuti rekomendasi yang telah ditampung sebagai bentuk kelanjutan penuntasan kasus pelanggaran HAM 1965.

Korban Tragedi Peristiwa 1965. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Berharap Jokowi

Ketidakpercayaannya kepada Wiranto, tidak membuat Reza skeptis kepada Presiden Joko Widodo atau pemerintah secara umum.

Ia mengaku tetap optimis seraya berharap agar Presiden Joko Widodo betul-betul melanjutkan komitmennya untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM 1965.

“Saya masih berharap kepada Pak Jokowi, tapi saya tidak percaya kepada Wiranto. Setelah diangkat menjadi menteri, Sepertinya kita set back ke zaman Orde Baru,” kata Reza.

Pengacara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Pratiwi Feby menambahkan, pemerintahan Jokowi-JK memang telah menunjukkan iktikadnya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM 1965 dengan mengadakan simposium pada 2016 lalu.

Akan tetapi, dia menyayangkan sikap pemerintah yang seolah tidak konsisten dengan kembali mendiamkan kasus 1965 setelah mengadakan simposium.

“Sampai hari ini enggak ada kelanjutan,” kata Pratiwi di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu (2/8). (wis)

This post is also available in: Indonesian