Tentang International People’s Tribunal
Sebagai pengadilan rakyat, kekuatan Tribunal terletak pada kapasitasnya untuk memeriksa bukti-bukti, melakukan pencatatan sejarah yang akurat mengenai dan kejahatan kemanusiaan dan genosida yang terjadi, dan menerapkan prinsip-prinsip hukum kebiasaan internasional (the international customary law) pada fakta-fakta yang ditemukan. Tribunal ini tidak dimaksud untuk menggantikan peran negara dalam proses hukum.
Ada dua macam People’s Tribunal: IPT yang bersifat ad hoc (per kasus) dan yang bersifat tetap (terlembaga).
People’s Tribunal memiliki format pengadilan HAM secara formal. IPT membentuk Tim Peneliti profesional dan menyusun Panel Hakim internasional. Tim Peneliti bertugas menghimpun, meneliti dan mengkaji data dan kesaksian, dan merumuskannya secara hukum, serta menyerahkannya kepada Tim Jaksa Penuntut. Tim Jaksa ini akan mendakwa negara berdasarkan bukti-bukti yang diajukan tentang pihak-pihak yang bertanggung jawab atas genosida dan kejahatan kemanusiaan yang meluas dan sistematis yang dilakukan negara. Bukti-bukti tersebut terdiri dari dokumen-dokumen, bahan-bahan visual (audio), keterangan-keterangan saksi dan sarana hukum lain yang diakui.
Berdasarkan bukti-bukti tersebut, Panel Hakim akan menimbang dan merumuskan dakwaan dan menjatuhkan sanksi-sanksi hukum, serta mengusulkan reparasi dan ganti-rugi bagi para korban dan penyintas, kepada negara yang harus menyelesaikannya secara hukum. Para hakim akan menghasilkan putusan berdasarkan materi yang disajikan dan memanggil negara terkait agar negara menyadari kegagalan negara untuk bertanggungjawab pada para korban, baik secara hukum maupun moral. Putusan Panel Hakim ini dapat digunakan sebagai dasar untuk mengubah narasi sejarah; dan sebagai dokumen lobi untuk menghasilkan Resolusi PBB mengenai kejahatan-kejahatan tersebut.
TPT dibentuk pada 2000 sebagai respon atas kejahatan seksual – sistim perempuan penghibur yang disebut ‘comfort system’ – yang dilakukan tentara Jepang di masa Perang Dunia II. Tribunal ini bertujuan mengangkat ‘comfort system’ ini agar menjadi perhatian masyarakat internasional, dalam rangka menuntut keadilan atas kejahatan yang terjadi, dan atas dampak impunitas yang dialami para korban.
TPT menggunakan dakwaan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan internasional. Semua dakwaan ini terkait perkosaan dan bentuk kekerasan seksual lainnya. TPT diorganisir oleh para aktivis perempuan dan LSM-LSM HAM di Asia dan LSM-LSM internasional lainnya. TPT mengumpulkan kesaksian korban yaitu para perempuan korban dan veteran Jepang, serta dokumen dan bukti-bukti sejarah dan temuan akademik (sejarahwan, ahli hukum, psikolog).
Pada 2001 TPT menyatakan ‘comfort system’ sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan (Crimes against Humanity). TPT juga menetapkan kesepuluh tertuduh (Kaisar Hirohito dan sembilan perwira tinggi dan menteri-menteri yang terkait, bersalah. Mereka dinyatakan terlibat dalam pembentukan ‘comfort system’ serta berkuasa dan berkapasitas untuk menghentikan perkosaan berskala luas tersebut.
Russell Tribunal on Palestine (RToP)
RToP dibentuk pada 2009 karena para penyelenggaranya menganggap masyarakat internasional mendiamkan berbagai pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Israel. RToP bermaksud menggalang dan mendorong keterlibatan masyarakat sipil internasional dalam isu Palestina. Tribunal ini menyelidiki pendudukan Palestina yang berkepanjangan oleh Israel karena Israel dianggap tidak melaksanakan resolusi-resolusi resolusi PBB, dan tidak mengindahkan pandangan Mahkamah Keadilan Internasional (ICJ, International Court of Justice) mengenai pembangunan tembok yang memisahkan wilayah Palestina. RToP juga menyelidiki tanggungjawab Israel dan negara-negara lain khususnya Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa dan organisasi internasional terkait (PBB, Uni Eropa, Liga Arab).
RToP membentuk Komite Pendukung Internasional yang terdiri dari tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai negara, termasuk Israel. Diantaranya: sejumlah pemenang Nobel, mantan Sekertaris Jenderal PBB, mantan pemimpin negara, serta perwakilan dari berbagai unsur masyarakat sipil seperti penulis, jurnalis, aktor, ilmuwan, guru besar, hakim, pengacara, dan lain lain. RToP merupakan tribunal yang sah karena tidak mengacu kepada pemerintah atau partai politik tertentu sebagai sumber, melainkan kepada kalangan profesional yang kredibel dan berkomitmen pada hak-hak fundamental yang menjadi dasar RToP.
RToP merangkum sejumlah pelanggaran hukum internasional yang dilakukan oleh Israel (termasuk praktek apartheid terhadap Palestina), tanggung jawab Amerika Serikat, organisasi internasional (Perserikatan Bangsa Bangsa dan Uni Eropa), dan korporasi swasta yang membantu Israel dalam pelanggaran hukum internasional.
Ada kasus-kasus kejahatan serius yang dapat terselesaikan dan ada yang masih menuntut penyelesaian. Kasus-kasus tersebut dapat diselesaikan dengan pendekatan keadilan yang retributif (retributive justice), misalnya melalui mekanisme pengadilan, mekanisme restoratif (restorative justice) seperti rekonsiliasi, reparasi dan kompensasi serta memorialisasi. Sementara itu, beberapa kasus kejahatan serius masih menunggu penyelesaian. Misalnya kejahatan serius masa lalu yang terjadi dibawah kediktatoran Presiden Fransisco Franco di Spanyol (1936-1975). Di masa itu lebih dari 100.000 orang dibunuh, dihilangkan, dan 300.000 bayi diculik, serta ratusan ribu lain menjadi korban kekerasan. Hingga kini, pemerintah Spanyol belum menindaklanjuti tuntutan penyelidikan atas kejahatan serius ini.
Tentang International People’s Tribunal untuk Kejahatan terhadap Kemanusiaan 1965 (IPT 65)
PT 1965 diperlukan agar negara – lembaga-lembaga kejaksaan dan pengadilan – melakukan proses hukum atas kasus-kasus pembantaian 1965 dan dampaknya berdasarkan penelitian secara menyeluruh dan menyediakan reparasi dan ganti-rugi kepada para korban dan penyintas. Meskipun sudah banyak bukti tentang kejahatan-kejahatan kemanusiaan dan genosida pada 1965 dan setelahnya, namun pemerintah Indonesia gagal mengadili para pelaku kejahatan tersebut. Selain itu, IPT 1965 perlu menuntut pelaku di semua jajaran untuk meminta maaf secara resmi, dan sungguh-sungguh, serta memberikan ganti rugi dan reparasi bagi para korban, penyintas dan keluarganya.
Kegagalan negara Indonesia tersebut tidak boleh (dibiarkan) membungkam suara para korban dan keluarganya, karena pemerintah Indonesia tidak boleh (dibiarkan) meninggalkan tanggung jawabnya atas kejahatan-kejahatan kemanusiaan dan genosida. IPT 1965 diselenggarakan untuk memperbaiki kecenderungan yang berakar panjang dalam sejarah untuk mengabaikan, meremehkan, dan mengaburkan genosida dan bentuk-bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya, khususnya tindak perkosaan, kekerasan seksual serta penyiksaan terhadap para tahanan perempuan.
Presiden baru, Joko Widodo (sejak 20 Oktober 2014) semasa kampanye pemilihan umum presiden telah berjanji akan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk yang terkait dengan Peristiwa 1965. Namun, persoalan ini kemudian dikesampingkan dari daftar prioritas. Jaksa Agung H.M. Prasetyo, menyatakan bahwa “solusi permanen” harus dicari untuk pelanggaran hak-hak asasi manusia masa lalu termasuk “tragedi 1965″ (The Jakarta Post, 22 Mei 2015). Solusi ini akan dicari dalam bentuk upaya rekonsiliasi. Dengan demikian, pemerintah telah mengabaikan tahap pencarian kebenaran dan keadilan, padahal tanpa tahap tersebut, upaya rekonsiliasi tak akan bermakna. Dari reaksi pemerintah terhadap Laporan Komnas HAM (2012) tentang Peristiwa 1965 juga telah jelas bahwa mekanisme domestik untuk melaksanakan sejumlah rekomendasi laporan tersebut, sama sekali tidak memadai.
PT 1965 akan diselenggarakan pada 10-13 November 2015 di Den Haag. Kota Den Haag dipilih karena merupakan simbol keadilan dan perdamaian internasional. Lembaga-lembaga seperti International Court of Justice (Mahkamah Pidana Internasional) dan sejumlah pengadilan atau tribunal khusus dan penting, seperti Tribunal Yugoslavia, diselenggarakan, atau memiliki kantor Sekretariat, di kota tersebut. Tribunal Tokyo (Pengadilan Perempuan Internasional atas Kejahatan Perang tentang Perbudakan Seksual Militer Jepang) menyelenggarakan sidang putusannya di Den Haag (2001).
Yurisdiksi IPT 1965 didefinisikan dalam Piagam IPT 1965, yakni:
“meliputi kejahatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai bentuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan lainnya di bawah ketentuan International Customary Law, KUHP Indonesia serta Hukum Hak Asasi Manusia Indonesia dan harus mencakup seluruh wilayah Indonesia. Kejahatan ini termasuk, namun tidak terbatas pada, tindakan-tindakan berikut: genosida, pembunuhan massal, pemusnahan, deportasi, perkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang lain, penghilangan paksa, kerja paksa dan perbudakan, penyiksaan dan penganiayaan. Pengadilan juga harus memiliki yurisdiksi atas tindakan atau kelalaian oleh negara Indonesia dan keterlibatan oleh negara lain, termasuk Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Australia dan Inggris, yang melanggar hukum internasional sehubungan dengan kejahatan sebagaimana dimaksud pada paragraf di atas. Periode waktu dalam yurisdiksi tribunal ini adalah sejak tanggal 1 Oktober 1965 hingga saat piagam IPT 65 diadopsi (2015).”
Piagam ini harus disetujui oleh Panel Hakim sehingga memberi yurisdiksi kepada IPT 1965 atas genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan menurut hukum kebiasaan internasional (International Customary Law) serta hukum hak asasi manusia Indonesia. Selain itu, Tribunal IPT 1965 memiliki kewajiban untuk menyatakan secara jelas, berdasarkan bukti-bukti yang diajukan, apakah semua tuntutan didukung oleh bukti-bukti yang cukup atau tidak, serta untuk memberikan putusan atas dasar bukti yang disajikan.
a) Untuk pemerintah Indonesia
Meski hasil dari Tribunal IPT 1965 tidak secara otomatis mengikat negara Indonesia secara legal-formal, namun karena sifatnya sebagai mekanisme Pengadilan Rakyat di tingkat internasional, maka hasil dan kesimpulan IPT 1965 dapat menjadi landasan hukum bagi masyarakat untuk menuntut negara agar mampu menegakkan keadilan atas tragedi 1965-1966 sekaligus menghentikan impunitas bagi para pelakunya.
Hasil Tribunal IPT 1965 dapat menjadi sumber legitimasi bagi negara Indonesia untuk membuktikan diri sebagai negara yang mampu memenuhi pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat yang dilakukannya di masa lalu; dan menjadi bagian dari masyarakat internasional yang dihormati karena tanggap dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu tersebut.
Putusan IPT 1965 juga dapat digunakan juga sebagai dasar untuk mengubah buku teks sejarah untuk pendidikan anak sekolah dan untuk keperluan lain dalam rangka melawan propaganda kebencian yang terus-menerus dilakukan oleh
rezim Soeharto.
b) Untuk masyarakat umum
Bagi masyarakat umum, hasil dari Tribunal IPT 1965 akan menjadi preseden yang baik untuk proses penyelesaian sejarah konflik politik Indonesia selama periode 1965-1966 secara lebih adil. Diharapkan, hal itu dapat menyumbang pada upaya bersama untuk menciptakan iklim politik Indonesia yang mengakui dan menghormati hak hak asasi manusia. Dengan demikian, cara-cara politik kekerasan, baik genosida maupun kejahatan kemanusiaan lainnya, tidak akan dapat ditolerir baik oleh negara maupun masyarakat.
c) Untuk korban dan peyintas
Bagi para korban tragedi 1965-1966, penyintas dan keluarganya, hasil Tribunal IPT 1965 ini dapat berkontribusi pada proses pemulihan mereka sebagai korban genosida dan kejahatan kemanusiaan. Karena proses IPT 1965 ini merupakan upaya pencarian kebenaran tentang Peristiwa 1965 dan dampak ketidakadilan yang terjadi, maka adanya pengakuan negara bahwa telah terjadi genosida dan kejahatan kemanusiaan pada periode 1965-1966 merupakan kunci bagi proses pemulihan para korban. Upaya-upaya pemulihan korban yang dimaksud termasuk proses rehabilitasi, reparasi, restitusi atau ganti-rugi. Dampak lain yang diharapkan dari hasil Tribunal IPT 1965 adalah penghapusan stigma terhadap para korban dan keluarganya sebagai pihak yang secara langsung atau tak langsung pernah terkait pada PKI. Penghapusan stigmatisasi tersebut diharapkan dapat memulihkan kedudukan hukum para korban, penyintas dan keluarganya.
IPT 1965 juga bertujuan mendapatkan pengakuan internasional atas tindak genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara Indonesia pada Peristiwa 1965 dan dampaknya, juga atas keterlibatan sejumlah negara Barat dalam pembantaian massal.
Selain itu, IPT 1965 bermaksud menarik perhatian internasional yang berkelanjutan terhadap genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara Indonesia pada 1965 dan dampaknya, antara lain dengan mengundang Pelapor Khusus PBB Untuk Pelanggaran HAM di Masa Lalu, ke Indonesia.
PT 1965 telah bekerja sejak 2013 dan saat ini, September 2015, tengah merampungkan hasil penelitian untuk dirumuskan secara hukum oleh Panel Hakim internasional. Sidang tribunal IPT 1965 akan digelar di Den Haag, Belanda, pada tanggal 10 sampai dengan 13 November 2015. Sidang bersifat terbuka bagi publik dan akan disiarkan langsung melalui live streaming. Pembacaan keputusan Panel Hakim akan dilakukan di Jenewa, Swiss, pada waktu yang akan diumumkan kemudian.
IPT 65 akan bekerjasama dengan lembaga-lembaga negara seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas HAM, dan Komnas Perempuan, serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan lembaga perlindungan hukum seperti Kontras dan LBH/YLBHI terkait dengan isu keselamatan dan perlindungan korban dan pekerja pembela HAM di dalam negeri, serta akan bekerja sama dengan organisasi internasional seperti Peace Brigade dan Protection International.
Tentang Peristiwa 1965 dan Pelanggaran HAM Berat
Kasus kekerasan 1965 terjadi beberapa hari setelah sekelompok perwira militer tingkat menengah – sekaligus pendukung fanatik Presiden Sukarno dan beberapa pemimpin PKI, yang menyebut dirinya ‘Gerakan 30 September’) menculik dan membunuh 6 jenderal pada malam 30 September 1965. Mereka menyatakan telah membawa Presiden Sukarno untuk melindunginya demi mencegah terjadinya kudeta militer. Sementra itu, jenderal Suharto mengambil alih kendali militer. Periode ini sejak itu disebut sebagai ‘Peristiwa 1965’.
Jenderal Suharto segera menyalahkan PKI dan seluruh organisasi massanya atas pembunuhan para jenderal tersebut. Pada 10 Oktober, Soeharto mendirikan Komando untuk Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB), sebuah aparat intelijen dan keamanan ekstra-konstitusial. Kopkamtib bertugas mengontrol dan menuntut secara politik, dengan kekuatan hukum yang berlebih, untuk melakukan hal-hal berikut: mencabut perlindungan terhadap PKI, melakukan pengejaran dan menahan para anggota dan simpatisannya. Setelah KOPKAMTIB didirikan, kampanye massif dilakukan dimana-mana secara sistematis terkait fitnah seksual dimana anggota organisasi perempuan progresif Gerwani dituduh mengebiri para jenderal. Kampanye fitnah tersebut dibarengi kampanye teror terhadap orang-orang yang dicurigai komunis, termasuk kelompok perempuan sosialis, para aktivis kiri, seniman, intelektual progresif, anggota kelompok petani dan serikat buruh, anggota komunitas etnis Cina. Selain itu, pelecehan juga banyak terjadi terhadap para penikmat budaya populer dan penganut agama lokal; banyak diantara mereka dipenjara dan/atau dibunuh. Pada 1966 Soeharto berhasil menggulingkan kekuasaan Presiden Soekarno dan tahun berikutnya ia dilantik sebagai Presiden baru. Dia mendirikan rezim militer yang represif, yang berkuasa hingga 1998.
Sejak akhir Oktober 1965, para tentara terlatih, unit-unit milisi bersenjata dan kelompok-kelompok agama yang direkrut, organisasi mahasiswa dan serikat buruh sayap kanan melakukan pembantaian. Ratusan ribu orang tak berdosa dibunuh, dipenjarakan, disiksa, diperkosa, dan banyak dari mereka menghilang untuk selamanya. Antara Oktober 1965 dan Maret 1966 diperkirakan 500.000 hingga sejuta orang tewas dan lebih dari 1,7 juta orang dipenjarakan tanpa proses pengadilan. Pemusnahan kelompok-kelompok ini masuk dalam kategori genosida di bawah standard hukum kebiasaan internasional. Kampanye terror, fitnah dan hasut tidak berhenti selama 1965-1966. Orde Baru yang didirikan Presiden Soeharto mencabut paspor ratusan mahasiswa dan simpatisan PKI yang menolak mendukung pemerintahannya. Banyak diantara mereka selama bertahun-tahun mengalami stateless (tanpa kewarganegaraan), sehingga status mereka tidak pasti hingga mereka belakangan mendapat suaka di negara-negara Eropa.
Seperti dijelaskan dalam laporan CIA 1978, pembunuhan 1965 di Indonesia dapat diklasifikasi sebagai “salah satu pembunuhan massal terburuk di abad ke-20.” Namun, genosida ini hampir tak dikenal secara internasional, sedangkan pembunuhan massal di Rwanda, Yugoslavia dan Kamboja mendapat perhatian besar kalangan internasional. Selama lebih dari tiga dasawarsa Orde Baru, pemerintah Soeharto berkuasa secara otoriter, membungkam kampanye hak-hak asasi manusia. Manipulasi politik berlanjut melalui propaganda menyebar kebencian yang dilakukan secara intensif dalam rangka menanamkan keyakinan pada khalayak bahwa Gerwani telah melakukan kekejaman terhadap para jenderal, termasuk penyiksaan seksual. Propaganda kebencian lainnya mengampanyekan bahwa PKI adalah organisasi atheis yang mendalangi ‘Gerakan 30 September’. Propaganda ini berlangsung terus menerus, melawan bukti-bukti sebaliknya, yang menunjukkan bahwa PKI sebagai suatu entitas keseluruhan, maupun ormas-ormasnya tidak terlibat dalam Peristiwa 1965 itu.
Tentara Indonesia dan kelompok-kelompok sekutunya melakukan genosida dan kejahatan-kejahatan kemanusiaan ini tepat pada puncak Perang Dingin. Negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, Inggris dan Australia merasa lega karena pemimpin salah satu negara penting di Asia yang cenderung berpihak ke arah politik kiri telah diturunkan dari kekuasaan. Meski mereka sadar bahwa tragedi itu benar-benar terjadi di Indonesia, Negara-negara tersebut tetap diam, bahkan mendukung tentara.
Kejahatan serius 1965 di Indonesia berdampak luas hingga generasi hari ini. Peristiwa 1965 dan pembantaian serta dampaknya menjadi beban sejarah yang tak terselesaikan. Pertanyaan-pertanyaan seputar jutaan korban dan pembiaran serta diskriminasi masih belum terjawab. Banyak keluarga dan komunitas di Indonesia masih menyimpan konflik, dan belum bisa hidup berdampingan dalam damai sebagai sebuah bangsa yang besar. Disamping itu, bentuk dan pola kekerasan yang terjadi sepanjang 1965 hingga 1967 masih sering terjadi, dengan menggunakan pembenaran anti komunis serta stigmatisasi yang membuat warga atau pun kelompok-kelompok masyarakat menjadi target kekerasan. Rantai kekerasan yang demikian harus diputus. Masyarakat di era baru demokrasi di Indonesia harus belajar dari masa lalu yang kelam, dan membangun standar moral baru kemanusiaan yang akan menguatkan kebangsaan Indonesia.
Konsep kejahatan Genosida seperti dirumuskan dalam hokum internasional, dalam ‘Convention on the Prevention and Punishment of Genocide (Genocide Convention’ telah disepakati dalam Sidang Umum PBB pada 1948. Konvensi ini merumuskan ‘Genosida’ sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan dengan niat dan tekad untuk menghancurkan, keseluruhan atau pun sebagian, suatu kelompok nasional (bangsa), ethnic, rasial, atau religius (“acts committed with the intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnic, racial or religious group”).
Lebih dari 130 negara telah meratifikasi Konvensi Genosida ini, namun Indonesia tidak/belum.
Niat atau tekad untuk melakukan genosida dapat ditarik/dicermati dari adanya pola sistimatik dari tindakan-tindakan yang terkoordinir. Para pelakunya tidak harus berniat memusnahkan seluruh kelompok. Penghancuran sebagian saja dari suatu kelompok, misalnya hanya kelompok yang berpendidikan, atau, dalam kasus Indonesia, penghancuran/pemusnahan para pemimpin, para kader PKI (Partai Komunis Indonesia) dan ormas-ormasnya yang terkait, itu saja sudah merupakan suatu Genosida.
Di Indonesia 1965-1966, seperti juga di Argentina dan Kamboja, para korban dibunuh bukan karena identitas ethnik, nasional (kebangsaan), rasial atau religious mereka. Mereka dibunuh oleh sebab keyakinan politik yang dituduhkan kepada mereka. Sejarawan Argentina Daniel Feierstein berargumen bahwa para pelaku kejahatan dalam ‘Perang Kotor’ Argentina (1974-1983) bermaksud menghancurkan suatu struktur sosial tertentu, yaitu kelompok oposisi politik sayap kiri. Tujuan mereka adalah menciptakan perubahan mendalam yang akan mengubah kehidupan seluruh masyarakat. Dengan demikian, pembantaian yang terjadi dapat disebut ‘Genosida’.
Profesor Helen Fein dari Universitas Harvard berpendapat Genosida merupakan suatu rangkaian tindakan yang dimaksud para pelaku untuk menghancurkan suatu kolektivitas melalui pembunuhan massal atau pun pembunuhan selektif terhadap anggota kelompok (kolektivitas) tersebut, sehingga reproduksi sosial maupun biologis dari kolektivitas tersebut terhenti.
Dalam kasus Indonesia, para pelaku pembantaian 1965-1966 jelas mempunyai niat dan tekad untuk menghancurkan suatu kelompok nasional tertentu. Kelompok tersebut ditunjuk oleh para pelaku pembantaian itu sendiri, dan pembunuhan massal itu terjadi secara sistimatis dan meluas. Dengan demikian, masyarakat Indonesia telah berubah total, sejarahnya ditulis kembali dan semua ini sangat mempengaruhi masa depan bangsa.
Argumen-argumen diatas – adanya tindakan sistimatik dan meluas; adanya niat dan tekad pemusnahan; adanya kelompok tertentu yang ditunjuk oleh pelaku menjadi sasaran; adanya dampak bagi seluruh masyarakat, sejarah nasional dan masa depan negeri – meyakinkan Tribunal IPT 1965 untuk mengklasifikasikan pembantaian 1965-1966 sebagai suatu ‘Genosida’.
Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu di Indonesia
Pada 2012, Komnas HAM melakukan investigasi tentang kejahatan kemanusiaan 1965 dan menemukan bahwa kekerasan tersebut adalah bentuk Kejahatan Kemanusiaan yang sistematis dan meluas. Komnas HAM merekomendasikan tindak lanjut investigasi kriminal oleh Jaksa Agung dengan menggelar pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili para pelaku, dan membentuk KKR, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi non-yudisial. Namun, Jaksa Agung menolak laporan Komnas HAM dengan alasan bahwa temuan-temuan Komnas HAM tidak layak dan tidak memadai secara hukum. Penelitian dan penyelesaian pro justisia oleh negara atas kasus kasus 1965 dan dampaknya ini selama 50 tahun terakhir, telah diabaikan karena alasan alasan politik.
Sebelum Komnas HAM menginvestigasi latar belakang dan pelaksanaan genosida serta kejahatan-kejahatan kemanusiaan lainnya, beberapa organisasi masyarakat sipil telah melakukan penelitian terhadap kejahatan-kejahatan tersebut dan menantang sejarah nasional versi pemerintah Soeharto yang dipaksakan.
Beberapa diantara mereka telah aktif dalam upaya-upaya membangun perdamaian dan rekonsiliasi di tingkat akar rumput: Syarikat, Lakpesdam NU, KontraS, Elsam, KKPK/Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran, JPIT Kupang, YAPHI Solo, SKP HAM Palu, Pakorba, Sekber 65, dll.
Pada November 2000, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP ’65), mendapat izin otoritas lokal untuk memulai penggalian kuburan massal di Kaliworo di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah; pada 2002 juga mendapat izin menggali situs pembunuhan di Blitar, Jawa Timur. Namun, kedua proyek tersebut terhambat oleh organisasi Muslim lokal. Di Blitar, otoritas lokal membatalkan izinnya dan menyatakan penggalian tersebut akan membangkitkan kerusuhan sosial. Dalam iklim yang anti-komunis ini, YPKP’65 hanya berhasil melakukan penggalian di Wonosobo dengan bantuan Ansor dan Jaringan Muda NU. Upaya itu membuktikan lokasi tersebut merupakan salah satu situs pembunuhan massal di kabupaten itu.
Kelompok-kelompok yang terlibat berasal dari kalangan masyarakat sipil dalam dan luar negeri. Mulai dari kelompok para korban peristiwa 1965-1966, peneliti, LSM dan lembaga-lembaga HAM, media, organisasi massa.
This post is also available in: English