Ilustrasi: Edi Wahyono | Minggu, 1 Oktober 2017

Hampir semua film karya sutradara-sutradara yang dicap punya hubungan dengan PKI dimusnahkan. Kini hanya tersisa satu film yang masih bisa ditonton.

Ada nama Bachtiar Siagian terselip di antara para penerima Anugerah Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada September 2016. Satu hal yang tak akan mungkin terjadi pada masa Presiden Soeharto.

Menurut Kementerian Kebudayaan, Bachtiar adalah “salah satu pembaru dalam penyutradaraan dan penulisan skenario film yang berlandaskan realitas sosial sebagai kekuatan ekspresi”. Untuk Anugerah Kebudayaan kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru ini, nama Bachtiar bersanding dengan bintang film Widyawati Sophiaan, Candra Darusman, Leo Kristi, dan perupa Semsar Siahaan (almarhum), tetangga dan teman Bachtiar.

“Kami sebagai keluarga tentu menghargai anugerah itu,” kata Indra Porhas Siagian, putra Bachtiar, beberapa hari lalu. Sepanjang hidupnya, Bachtiar, yang berpulang pada 19 Maret 2002, sudah menyutradarai puluhan film, menulis puluhan naskah skenario film dan drama, juga menulis lagu, novel, dan puisi. Menurut Bunga Siagian, adik kandung Indra, pematung Dolorosa Sinaga-lah salah satu yang menyokong Anugerah Kebudayaan untuk ayahnya.

Sekarang barangkali hanya segelintir orang pernah dengar nama Bachtiar Siagian. Selama Orde Baru, nama Bachtiar, juga sutradara-sutradara yang diberi stempel ‘kiri’, seperti Basuki Effendy, Kotot Sukardi, dan Tan Sing Hwat alias Tandu Honggonegoro, memang disetip dari sejarah perfilman di negeri ini. Padahal pada 1960-an, nama Bachtiar Siagian sering dianggap setara dengan Usmar Ismail, bapak film Indonesia.

Sebelum Bachtiar menerima Anugerah Kebudayaan, setahun sebelumnya Kementerian Pendidikan memberikan Satyalancana Kebudayaan kepada Kotot Sukardi. Sutradara ‘kiri’ ini dianggap menjadi perintis pembuatan film anak-anak lewat karyanya, seperti Si Pintjang dan Layang-layangku Putus.

“Jelaslah bahwa move anti-film India itu adalah keliru dan digerakkan dengan maksud-maksud tertentu.”

Bachtiar Siagian

Tapi sayang, nyaris tak ada lagi film karya sutradara-sutradara ‘kiri’ ini yang kini bisa dinikmati. Setelah geger 1965, hampir semua karya mereka dimusnahkan. Hanya tersisa satu film, yakni Violetta, dari sekitar 30 film karya sutradara-sutradara ‘kiri’ ini yang masih bisa ditonton. Naskah skenario Violetta, yang diproduksi pada 1962, ditulis oleh Bachtiar Siagian. Dia pulalah yang menyutradarai film yang dibintangi oleh Fifi Young, Bambang Hermanto, dan Rima Melati ini.

Cerita film ini sebenarnya jauh dari ‘seram’, apalagi jika dibandingkan dengan film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C Noer. Violetta berkisah tentang Indarningsih yang menjaga putrinya, Violetta, bak menjaga seorang tawanan. Indarningsih takut putrinya akan bernasib seperti dia, punya anak tanpa ayah yang bertanggung jawab.

Menurut sutradara Garin Nugroho dalam bukunya, Krisis dan Paradoks Film Indonesia, dari semua film yang dihasilkan para sutradara ‘kiri’ itu, hampir tak ditemukan cerita yang benar-benar bernapas komunisme. Baik film karya Bachtiar, Kotot, Bambang Hermanto, maupun Basuki Effendy, satu-satunya sutradara yang duduk dalam kepengurusan Sekretariat Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), rata-rata ceritanya tak banyak beda dengan naskah film karya sutradara lawan-lawannya, seperti Usmar Ismail.

Film Pulang yang disutradarai Basuki Effendy, misalnya, mengangkat cerita soal Tamin, mantan serdadu KNIL yang merasa bersalah lantaran tak pernah berjuang untuk tanah airnya. Demikian pula film Bachtiar Siagian yang merebut penghargaan film terbaik dalam Festival Film Indonesia pada 1960, Turang, juga tak mengangkat isu-isu berbau komunis, seperti penindasan buruh dan perebutan lahan petani. Turang berkisah soal perjuangan rakyat di Tanah Karo melawan penjajah Belanda.

Bisa jadi, meski ‘berteduh’ di bawah payung Lekra, tak semua sutradara ‘kiri’ ini seorang komunis. Suatu hari pada 1964, sutradara Misbach Yusa Biran bertemu dengan Kotot Sukardi. Mereka memang sudah kenal lama. Tapi, pada saat itu, Misbach dan Kotot ada di dua pihak berseberangan. Kotot aktif di organisasi ‘kiri’, sementara Misbach sangat dekat dengan kubu lawannya.

 

Basuki Effendy di kamp Pulau Buru
Foto: dok. Guardian

Kepada Misbach, Kotot mengatakan masuk Lekra bukan lantaran setuju dengan komunis. “Saya hanya ingin mengabdi untuk rakyat,” kata Kotot dikutip Misbach (almarhum) dalam bukunya, Kenang-kenangan Orang Bandel. Kotot juga mengaku percaya kepada Allah. Saat meninggal, sutradara ‘kiri’ itu minta dimakamkan secara Islam.

* * *

Lahir di Binjai, Sumatera Utara, pada 19 Februari 1923, Bachtiar merupakan sutradara ‘kiri’ paling produktif dan sering dianggap yang paling berbakat. Menurut Bunga, ayahnya menyutradarai 13 film layar lebar hingga meletusnya peristiwa 1965.

Pada Kongres Lekra I pada 22-28 Januari 1959 di Solo, dibentuk Lembaga Film Indonesia sebagai organisasi payung seniman-seniman perfilman di lingkungan Lekra. Bachtiar ditunjuk menjadi Ketua Lembaga Film Indonesia dan Kotot Sukardi menjadi wakilnya.

Meski secara struktural tak berada di bawah Partai Komunis Indonesia, Lekra dianggap sebagai organisasi sayap kebudayaan partai palu-arit tersebut. Apalagi ada tokoh PKI, seperti Njoto, di daftar pendirinya. Otomatis pula Lembaga Film Indonesia dicap sebagai organ PKI.

Dalam Kongres I Lekra di Solo, Njoto, anggota Komite Pusat PKI, berpidato bahwa, dalam hal kebudayaan, “Politik adalah panglima.” Kongres juga menelurkan lima panduan berkarya bagi seniman-seniman yang berhimpun di Lekra dan organisasi-organisasi di bawahnya, yakni Meluas dan Meninggi, Tinggi Mutu Ideologi dan Mutu Artistik, Tradisi Baik dan Kekinian Revolusioner, Kreativitas Individual dan Kearifan Massa, serta Realisme Sosialis dan Romantik Revolusioner.

 

Tahanan politik di kamp Unit XV Indrapura di Pulau Buru
Foto: dok. VDP

Di layar bioskop, lawan tangguh Lembaga Film Indonesia dan Sarekat Buruh Film dan Sandiwara (Sarbufis), yang berafiliasi dengan organisasi buruh underbouw PKI, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), adalah Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi). Pada masa itu, pada 1960-an, organisasi yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama ini dipimpin oleh sutradara kondang Usmar Ismail dan pengusaha film Djamaluddin Malik.

Lewat media-media corong berhaluan kiri seperti Harian Rakjat dan Bintang Timur, seniman-seniman Lekra ‘menghajar’ kelompok-kelompok lain yang dianggapnya antek kapitalis-imperialis dan kontrarevolusi. Pada 1957, Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI), yang dipimpin Djamaluddin dan Usmar, memutuskan menutup semua studio film sebagai protes atas membanjirnya film India.

Lekra dan Lembaga Film Indonesia yang dipimpin Bachtiar menentang keras sikap PPFI. Dalam artikelnya di majalah Aneka pada 1957, Bachtiar menulis ketidakpercayaannya terhadap tujuan protes kelompok Usmar dan Djamaluddin. Menurut Bachtiar, bukan film India, melainkan film-film dari Amerika Serikat yang justru paling banyak diputar di Indonesia kala itu.

“Jelaslah bahwa move anti-film India itu adalah keliru dan digerakkan dengan maksud-maksud tertentu,” dia menulis. Bachtiar juga mengkritik film-film di layar bioskop yang lebih banyak mengumbar “khayalan, paha, dan komedi murahan”, film-film yang hanya “mematahkan semangat revolusioner yang sangat diperlukan bangsa dan negara dalam masa pembangunan”.

Pada Konferensi Nasional I Lembaga Film Indonesia pada Januari 1964, Bachtiar Siagian dan teman-temannya mengancam akan ‘mengganyang’ film-film Amerika di Indonesia. Bersama organisasi-organisasi ‘kiri’ lain, seperti Sarbufis, Gerwani, SOBSI, dan Lekra, Lembaga Film Indonesia membentuk Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat pada April 1964. “Saya boikot film AS untuk si korban imperialis…. Saya boikot film Amerika Serikat untuk Vietnam Selatan,” penyair Lekra, Sitor Situmorang, menulis sajak di Harian Rakjat.


Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim
Sumber: X.Detik.Com

This post is also available in: English