Ayu Diasti Rahmawati | Oktober 6, 2017 4.38pm WIB

Polarisasi atau rekonsiliasi?

Film produksi Orde Baru berjudul “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI” baru-baru ini mengemuka lagi dalam perdebatan publik setelah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memerintahkan “nonton bersama” film tersebut. Presiden Joko Widodo pun turut meramaikan perdebatan melalui usulnya untuk memperbarui film itu agar cocok untuk generasi milenial.

Perlu tidaknya film seputar tragedi 1965 diputar ulang atau diperbarui mengundang pro kontra. Beberapa pihak setuju film tersebut perlu diputar di stasiun televisi karena generasi muda perlu belajar sejarah, atau bahkan karena dianggap mewakili sejarah yang sebenarnya.

Sementara pihak yang lain berpendapat film tersebut tak layak tonton karena terlalu banyak memuat adegan kekerasan, maupun berpotensi memunculkan kembali stigma pada para korban pembantaian pasca malam 30 September 1965.

Pertanyaan saya, sejauh apa upaya untuk mendorong pemutaran film G30S mampu memberi celah bagi upaya menyembuhkan trauma kolektif itu?

Sebagai medium, film dapat mendorong kekerasan maupun perdamaian. Apa yang harus kita pertimbangkan agar penggunaan medium film untuk memperkenalkan generasi milenial pada sejarah Indonesia—khususnya Tragedi 1965—mampu memberi celah bagi rekonsiliasi, dan bukan malah melanggengkan narasi kekerasan dan menciptakan polarisasi?

 

Bagaimana memaknai rekonsiliasi?

Rekonsiliasi pada umumnya dibayangkan sebagai suatu kondisi yang akan segera tercapai setelah masing-masing pihak bertemu (biasanya pemimpin dari kelompok-kelompok yang bertikai), berunding untuk menyelesaikan permasalahan di antara mereka, berjabat tangan, dan menghasilkan suatu kesepakatan bersama.

Atau, rekonsiliasi juga dibayangkan terjadi setelah sebuah mekanisme penyelesaian konflik diterapkan, seperti perjanjian damai, keadilan transisional, komisi kebenaran, dan pendirian memorial. Pada level sikap, rekonsiliasi juga seringkali dipahami sebagai tindakan memaafkan (forgive) sembari melupakan (forget) pengalaman bertikai dengan harapan masing-masing pihak dapat kembali melanjutkan hidup, “sama-sama dari nol”.

 

Seorang ahli rekonsiliasi, Lederach, berargumen setidaknya cara pandang yang menitikberatkan pada mekanisme penyelesaian konflik menyimpan dua kelemahan.

Pertama, keberadaan mekanisme-mekanisme tersebut memang penting bagi rekonsiliasi, tetapi tercapai tidaknya rekonsiliasi hanya bisa diukur dari bagaimana pihak-pihak yang bertikai berhubungan satu sama lain setelahnya. Rekonsiliasi itu soal relasi—bagaimana mengembalikan hubungan yang rusak antara pihak-pihak yang bertikai dan membangun interaksi yang lebih damai di antara keduanya.

Artinya, rekonsiliasi bukanlah sekadar hasil atau tujuan, tetapi juga proses. Mekanisme-mekanisme penyelesaian konflik di atas akan kehilangan artinya jika dalam prosesnya justru menumbuhkan kecurigaan, mempertebal prasangka, memperlebar jurang perbedaan, sehingga semakin memberi peluang bagi masing-masing pihak untuk memandang pihak lainnya sebagai musuh.

Kedua, rekonsiliasi bukanlah pelupaan (forgetting). Membangun perdamaian setelah pertikaian mengharuskan semua pihak mengakui pengalaman-pengalaman kekerasannya serta di mana masing-masing pihak berada saat kekerasan terjadi (truth), lalu merefleksikannya untuk mendorong pemaafan (mercy) dan pemenuhan rasa keadilan (justice). Rekonsiliasi justru ditandai dengan kemauan untuk mengingat (remembrance) dan mempelajari akar-akar permasalahannya sehingga kekerasan serupa tidak terulang lagi di masa depan.

Dalam konteks Gerakan 30 September dan Tragedi 1965, proses rekonsiliasi di atas mungkin akan terasa sedikit rumit dan berliku karena kekerasan yang bertumpuk.

Peristiwa malam 30 September merupakan sebuah peristiwa politik yang tidak dapat dilepas dari konteks politik global dan nasional saat Perang Dingin. Namun episode kekerasan yang terjadi setelahnya menunjukkan bagaimana penguasa secara sadar berupaya membersihkan “lawan-lawan politiknya” dengan memanfaatkan benih-benih permusuhan di level akar rumput di beberapa daerah di Indonesia.

Sehingga perlu diakui bahwa Tragedi 1965, bagi sebagian orang, pertama-tama dialami serta diingat (dan karenanya seringkali tampak) sebagai konflik horizontal di level komunal–antara kelompok komunis versus kelompok agamais, kelompok komunis versus kelompok nasionalis, antartetangga, sesama mahasiswa dan guru, pegiat PKK, aktivis partai, dan sebagainya–alih-alih sebagai kekerasan oleh negara dan militer.

Konstruksi musuh di level akar rumput inilah yang kemudian dirawat dan diperkokoh dari generasi ke generasi oleh propaganda-propaganda Orde Baru sehingga sekarang, setiap kali upaya penyelesaian terhadap kekerasan masa lalu digulirkan, negara selalu bisa berkelit dengan kembali menggunakan sentimen permusuhan yang sama yang membuat rakyat bertikai satu sama lain.

 

Film untuk rekonsiliasi

Mungkinkah film menjadi medium rekonsiliasi dalam kondisi demikian? Mampukah film tentang G30S atau Tragedi 1965 menciptakan ruang di mana pihak-pihak yang bertikai dapat menceritakan pengalaman kekerasannya masing-masing?

Dapatkah sebuah film yang dibuat agar cocok untuk generasi milenial mendorong pengakuan yang lebih tulus, sehingga memunculkan tindakan-tindakan pemaafan dan pemenuhan rasa keadilan setidaknya di level komunal?

Tentu bisa, tetapi dengan beberapa prasyarat.

Pertama, film tersebut harus mampu memberi ruang bagi beragam narasi mengenai kekerasan karena narasi pelaku dan narasi korban tidak dapat diperlakukan sebagai sesuatu yang benar-benar tunggal.

Narasi pelaku, misalnya, tidak hanya terdiri dari narasi kekerasan negara. Tetapi juga narasi pelaku-pelaku di level akar rumput yang mungkin berbasis trauma yang nyata. Sementara narasi penyintas juga terdiri dari berbagai testimoni milik korban generasi pertama (mereka yang mengalami kekerasan), hingga keturunannya baik di generasi kedua maupun ketiga yang mungkin berbeda sehingga persepsi dan ekspektasi mereka terhadap rekonsiliasi pun beragam.

Porsi lebih besar tentu harus diberikan kepada penyintas karena dalam setiap upaya menyuarakan ingatan tentang kekerasan, cerita penyintas merupakan narasi yang paling sering terpinggirkan baik karena trauma maupun pembungkaman oleh struktur yang lebih dominan. Ruang untuk menegosiasikan ingatan-ingatan tentang kekerasan inilah yang perlu diakomodasi oleh sebuah proses pembuatan atau pemutaran film.

Kedua, film tersebut harus berkomitmen dan berbasis pada penelitian. Banyak riset empiris telah dilakukan tentang Gerakan 30 September dan Tragedi 1965—misalnya, tentang konteks apa yang melatarbelakangi peristiwa penculikan di malam 30 September, bagaimana kekerasan terjadi di berbagai daerah di Indonesia dan di berbagai bidang, bagaimana pengalaman orang-orang yang terkena dampak kekerasan, atau bagaimana upaya-upaya rekonsiliasi diusahakan dan menemui banyak tantangan.

Riset-riset ini merupakan sumber informasi baru yang dapat memperkaya proses diskusi setelah pemutaran atau pembuatan film tentang kekerasan di masa lalu.

Ketiga, film tersebut harus mendorong pemanusiaan kembali (rehumanisasi). Kemanusiaan adalah hal yang pertama-tama hilang dalam setiap peristiwa kekerasan. Sementara itu, film-film tentang kekerasan terkadang justru mempertegas aspek kekerasannya sehingga terkadang justru memantik trauma kembali atau memperkokoh konstruksi musuh.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan personalisasi: membawa aspek personal, karakteristik kemanusiaan dari masing-masing subjek yang hilang karena proses dehumanisasi yang selalu menyertai semua tindak kekerasan. Personalisasi tidak boleh melupakan konteks sosial, politik, ekonomi yang menjadikan para subjek tersebut diri mereka yang sekarang.

Keempat, kesuksesan rekonsiliasi juga bergantung pada kemampuan masyarakat membuka diri terhadap narasi-narasi yang berbeda, mengelola konflik secara nirkekerasan, dan berpikir kritis.

Malam 30 September tahun ini sayangnya sudah terlewati dengan pemutaran-pemutaran “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI” di alun-alun, sekolah, pesantren, bahkan masjid di berbagai tempat di Indonesia.

Jika film akan digunakan sebagai medium pembelajaran sejarah dan rekonsiliasi, maka seharusnya ia menjadi bagian dari proses pendidikan generasi milenial yang dilakukan tanpa paksaan.

Pemutaran-pemutaran alternatif perlu dilakukan agar penonton milenial tidak kembali diperlakukan sebagai objek penerima informasi yang pasif, melainkan dilatih sebagai subjek aktif yang dapat mempertanyakan, mengkritik, mendiskusikan, dan membandingkan apa yang mereka tahu dengan film atau sumber-sumber pengetahuan yang lain

***

Ayu Diasti Rahmawati, Lecturer of International Relations and Researcher at Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada

Sumber: TheConversation.Com

 

This post is also available in: English