Dimulai saat Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1955, di mana Partai Nasional Indonesia (PNI) meraih 22,3% suara, Madjelis Sjuro Moeslimin Indonesia (Masjoemi) 20,9%, Nahdlatul Ulama (NU) 18,4%, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) 16,5%.
Masuknya PKI ke dalam partai empat besar, membuat posisi tawar politis PKI kian besar. Kondisi ini membuat resah sejumlah kelompok dalam Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang belum lupa dengan peristiwa Madiun 1948 tujuh tahun silam.
Diwaktu yang bersamaan, terjadi ketidakpuasan para pejabat lokal dan komandan militer di daerah terhadap kebijakan ekonomi pusat. Kondisi itu makin diperparah dengan mundurnya Wakil Presiden Mohammad Hatta, pada 1 Desember 1956.
Dengan mundurnya Hatta, maka tidak ada lagi yang bisa mengimbangi politik Soekarno yang makin condong ke kiri, dan menjadi wakil dari luar Jawa. Perkembangan ini juga sejalan dengan terjun bebasnya pengaruh Masjoemi dalam pemerintah pusat.
Atas situasi itulah, maka muncul gagasan bagi orang-orang di luar Jawa untuk bangkit melawan pusat yang dianggap hanya mewakili kepentingan Jawa dan orang-orang Jawa. Akhirnya, pada 2 Maret 1957, diumumkan Piagam Perjuangan Permesta.
Pembacaan piagam dilakukan oleh Letkol Saleh Lahade, melalui Radio Makassar. Pada waktu yang bersamaan, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia bagian Timur Letnan Kolonel Samual mengangkat diri sebagai penguasa perang daerah itu.
Piagam itu menuntut agar keempat provinsi yang termasuk dalam TT VII, yaitu Sulawesi Selatan-Tenggara, Sulawesi Utara-Tengah, Maluku, dan Kepulauan Sunda Kecil diberi otonomi keuangan yang seluas-luasnya untuk kemakmuran di daerah.
Mereka juga menuntut agar Hatta dikembalikan kepada posisinya sebagai Wakil Presiden RI. Dari sikapnya, Soekarno enggan mengembalikan kedudukan Hatta. Hal ini membuat para pemberontak semakin berani dengan melakukan pembunuhan-pembunuhan.
Pada 30 November 1957, terjadi upaya pembunuhan oleh sekelompok pemuda aktivis Muslim dari Bima terhadap Soekaro saat dia sedang mengunjungi sekolah anak-anaknya di Jakarta. Peristiwa ini dikenal juga dengan Peristiwa Cikini 1957.
Soekarno berpendapat, CIA telah memanfaatkan komplotan ekstrem kanan yang dimotori Letkol Zoelkifli Loebis, pendiri Badan Rahasia Negara Indonesia (BraNI) dan Saleh Ibrahim untuk melenyapkan dirinya. Tudingan itu terbukti 22 tahun kemudian.
Dalam satu sesi pertemuan Komite Intelijen Senat AS yang diketuai Senator Frank Church dengan mantan Wakil Direktur CIA bidang perencanaan operasi Richard Bissell Jr terungkap, bahwa Seoakrno memang sudah masuk dalam sasaran tembak.
Dengan meningkatnya perlawanan, maka pada 10 Februari 1958, para pemberontak memberikan ultimatum dari Padang agar kabinet Djuanda mengundurkan diri dalam tempo lima hari, dan supaya dibentuk kabinet baru oleh Hatta dan Sultan Yogya.
Bila tuntutan itu tidak dipenuhi, mereka mengancam membentuk pemerintah tandingan di Sumatera. Sikap pemerintah menolak tuntutan. Akhirnya, pada 15 Februari 1958 di Padang, dibentuk PRRI dengan Perdana Menteri Sjafruddin Prawiranegara.
PRRI memiliki kekuatan militer dari resimen-resimen di Sumatera Barat, Tapanuli dan Sulawesi Utara. Sedang di Sumatera Selatan dan Kalimantan, mereka tidak mendapatkan dukungan kuat, karena dua daerah ini hanya setuju perjuangan politik.
Merasa operasinya telah tercium, AS kemudian banting stir dengan mendukung aksi pembangkangan di Sumatera dan Sulawesi melalui sandi oeprasi klandestin “Haik”. Pertemuan-pertemuan dengan para pemberontak pun mulai rutin dilakukan.
Seorang pejabat konsulat AS di Medan Dean Almy langsung menemui Kolonel Maludin Simbolon di Bukittinggi. Dalam pertemuan itu, Almy menyerahkan bantuan keuangan sebesar USD50. Pertemuan lanjutan dilakukan dua bulan kemudian, di Singapura.
Pada pertemuan kedua itu, Almy memberikan bantuan senjata bagi 8.000 personel pemberontak di Sumatera. Selain dengan Maludin, Almy juga membuat sejumlah kesepakatan-kesepakatan dengan tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) Soemitro.
Sejalan dengan itu, Panglima Operasi Angkatan Laut (AL) AS Laksamana Arleigh Burke memerintahkan kepada Panglima Armada VII (Pasific) Laksamana Felix Stump menggerakkan kekuatan AL AS yang berbasis di Teluk Subic, Filipina, ke Indonesia.
Sejak itu, dalam berbagai kesempatan, baik secara sembunyi-sembunyi atau rahasia dan terbuka, AS mulai melakukan dropping senjata api. Senjata itu dibawa dengan memakai pesawat amfibi jenis PBY 5 Catalina milik Angkatan Udara (AU) Filipina.
Senjata-senjata itu didaratkan di Danau Singkarak, Sumatera Barat, dan Danau Tondano, Sulawesi Utara. Ada juga senjata dan logistik yang dikirim dengan penerjunan dari udara, seperti di kawasan Bandara Tabing, Sumatera Barat.
Sedangkan melalui jalur laut, senjata dan logistik dibawa menggunakan kapal barang milik Caltex atau kapal selam AS yang bergentayangan di perairan Riau. Tidak hanya menyokong dana, senjata, dan logistik, AS juga menerjunkan militernya.
Para tentara AS itu dikerahkan untuk mengoperasikan senjata berat dan sejumlah pesawat terbang. Tidak hanya itu, mereka juga memberikan pelatihan perang terhadap para pemberontak untuk ditempatkan di kawasan Danau Singkarak dan Tondano.
Tidak cukup di situ, AS juga membangunkan sejumlah pemancar radio bagi para pemberontak untuk memudahkan mereka saling berkomunikasi di lapangan. Untuk memperkuat pasukan udaranya, para pemberontak mendirikan AU Revolusioner (AUREV).
Pasukan udara ini dipimpin langsung oleh CIA yang berkedok sebagai pegawai perusahaan angkutan udara Taiwan Civilian Air Transport milik CIA. Pasukan ini memiliki tiga pesawat pemburu F-51D Mustang, dan enam pesawat pengebom B-26/25 Invander.
Selain itu, ada juga sejumlah pesawat ringan AT 11 Kansan, dua pesawat transpor Beechcraft, dan satu pesawat amfibi PBY 5 Catalina. Seluruh pesawat itu berasal dari Filipina dan Taiwan. Sedang yang menjadi pilotnya dari CIA dan pemberontak.
Reaksi RI terhadap pemberontakan ini sangat keras. Perang saudara pun akhirnya berkecamuk. Dengan persenjataan dari AS, para pemberontakan melakukan pembunuhan dan memerangi saudara mereka sendiri. Pemberontakan pun dapat ditumpas.
Pada Minggu pagi, di bulan April 1958, terjadi pertempuran hebat di Pulau Ambon. Pesawat-pesawat pemberontak menembaki pemukiman penduduk dan sebuah gereja yang di dalamnya sedang berlangsung upacara kebaktian. Bangunan itu hancur.
Meski demikian, tentara RI berhasil menembak jatuh pesawat pemberontak. Pilot pesawat selamat, setelah nyangkut di pohon kelapa. Namun kaki dan tulang pahanya patah. Akhirnya, tentara RI membawa pilot tersebut ke rumah sakit dan merawatnya.
Ternyata, pilot itu seorang warga negara Amerika bernama Allen Pope. Dalam surat-surat yang ditemukan pada diri Pope, diketahui bahwa dia adalah seorang agen CIA yang memiliki lisensi untuk civil air transport yang sengaja diutus AS.
Dari sinilah misi rahasia AS untuk menggulingkan Soekarno terbongkar. Selama menerbangkan pesawat pengebom, Pope sudah banyak membunuh rakyat Indonesia. Awalnya RI menjatuhkan hukuman mati kepada Pope, tapi akhirnya dia dibebaskan.
Proses pembebasan Pope juga berlangsung licik. AS memanfaatkan kelemahan Soekarno dengan meminta seorang wanita cantik bekas pramugari Pan American Airways yang mengaku sebagai istri Pope untuk memaafkannya setelah apa yang dia lakukan.
Dengan menggunakan air mata sebagai senjata, wanita itu berhasil meluluhkan hati Soekarno. Setelah Pope sembuh dari sakit yang dideritanya, dia akhirnya dibebaskan justru oleh orang yang akan dibunuhnya, yaitu Presiden RI Soekarno.
Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi tentang Gagalnya Operasi CIA dalam Pemberontakan PRRI/Permesta diakhiri. Semoga memberikan manfaat kepada para pembaca.
Sumber Tulisan
*Santoso Purwoadi, PRRI-Permesta Pemberontakan Para Kolonel, Dirty War, Edisi Koleksi Angkasa XXIV.
*Budiarto Shambazy, Menjegal Komunis, Memburu Teroris, CIA Dinas Rahasia Paling Berpengaruh di Dunia, Angkasa Edisi Koleksi, No 69, 2010.
*ULF Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI, LP3ES, Cetakan Kedua, November 1988.
*Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yayasan Bung Karno-Media Pressindo, Edisi Revisi, Cetakan Kedua 2011.
(san)
Sumber: SindoNews
This post is also available in: English