Rabu, 11 November 2015 | 07:12 | Reporter : Ardyan Mohamad, Muhammad Radityo

“Kalau ada pengadilan HAM, kami justru adili Belanda bertindak kejam di Indonesia” 

(Muhammad Jusuf Kalla)

Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) yang mencari keadilan bagi korban pembantaian massal 1965 resmi digelar pada 10 November di Kota Den Haag, Belanda. Pemerintah tidak merespon positif kegiatan digelar koalisi pegiat hak asasi lintas negara itu.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menyesalkan pemerintah Belanda memberi izin kegiatan tersebut. Dia mengatakan Negeri Kincir Angin seharusnya tidak membantu pegiat mengungkit isu sensitif bagi Indonesia itu, karena bisa dibalas nantinya oleh pemerintah RI.

“Kalau ada pengadilan HAM, kami justru adili Belanda bertindak kejam di Indonesia. Dia bayar juga,” ujar JK di kantor Wakil Presiden, Jakarta, kemarin.

Jaksa Agung HM Prasetyo turut mengkritik penyelenggaraan IPT. Kasus pembantaian 500 ribu hingga 3 juta warga terduga komunis setengah abad lalu adalah urusan internal Indonesia. Kalau memang ada sidang rakyat, seharusnya digelar di Tanah Air.

“Kita mengharapkan bahwa masalah kita, kita selesaikan sendiri. Tidak harus ada campur tangan pihak lain,” kata Jaksa Agung saat ditemui di Taman Makam Nasional Kalibata dalam rangka Hari Pahlawan.

Sebelumnya, saat dihubungi merdeka.com, Ketua Panitia IPT Nursyahbani Katjasungkana mengatakan sekilas kegiatan mereka lebih mirip seminar yang diikuti sejarawan, penyintas pembantaian, eksil politik, maupun saksi ahli. Namun, tak sekadar bincang-bincang ilmiah, IPT serius menghadirkan serangkaian bukti pendukung dengan tujuan akhir menguak apa yang terjadi di balik pembersihan komunisme 1965.

Aktivis perempuan yang pernah menjadi anggota DPR RI ini justru mempertanyakan sikap birokrat maupun politikus yang alergi terhadap kegiatan IPT. Sebab, Presiden Joko Widodo tahun lalu mendukung upaya pengungkapan pelanggaran hak asasi berat yang pernah terjadi di Tanah Air.

“Bila ada yang menyebut ‘case closed’ ini sangat tidak sepaham dengan Nawa Cita Pak Jokowi yang akan mengusut setiap kasus HAM hingga tuntas,” kata Nursyahbani.

Untuk menunjukkan keseriusan IPT mencari celah hukum soal gugatan atas pembantaian itu, dihadirkan tujuh hakim. Mereka di antaranya Sir Geoffrey Nice, Helen Jarvis, dan Cees Flinterman.

Sedangkan jaksa dalam forum IPT yang bertugas untuk mengusut kemungkinan pidana pada pembantaian 1965-1966 adalah Silke Studzinsky. Dia pernah bekerja sebagai pengacara sipil keluarga korban pembantaian Kamboja sepanjang 2008-2012.

IPT digelar selama empat hari. Seluruh agenda kegiatan bisa disaksikan lewat sambungan internet di situs resmi mereka. Pada hari pertama kemarin, fakta-fakta soal pembantaian massal 1965 akan diungkap. Sedangkan hari ini, sidang fokus membahas penyiksaan tahanan politik terduga komunis dan kekerasan seksual bagi tapol perempuan.

Untuk hari ketiga dan keempat, penghilangan paksa terduga komunis dan keterlibatan negara lain dalam pembantaian massal ini turut dibahas.

Jaksa Agung Prasetyo ragu IPT bisa

menyediakan langkah hukum konkret menyeret pemerintah Indonesia ataupun militer dalam kasus pembantaian 1965. Dia menilai rekonsiliasi keluarga korban dan pelaku lebih masuk akal dibanding mengajukan gugatan pidana ke pengadilan internasional.

“Karena kasusnya terjadi puluhan tahun lalu, saya rasa akan sulit untuk mendapatkan bukti-buktinya, saksi-saksi.”

Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, turut mengkritik Belanda karena mengizinkan berlangsungnya kegiatan IPT. Kendati hasil persidangan ini tidak ada makna hukumnya dan pemerintah dapat mengabaikan, namun akan mengundang kontroversi di publik Indonesia.

“Apakah ada muatan politis dari pemerintah Belanda dengan membiarkan International People Tribunal pembantaian PKI 1965 dilaksanakan di Den Haag? Apakah ada keinginan dari pemerintah Belanda untuk memecah belah rakyat Indonesia?” kata Hikmahanto dalam keterangan tertulisnya.

Hikmahanto menuntut Belanda tidak menggunakan standar ganda dalam isu penegakan hak asasi. Secara tidak langsung, Hikmahanto menyatakan ancaman balik Wapres JK beralasan.

“Ketika berbicara kekejaman pemerintah Indonesia ia bersedia dijadikan ajang, tetapi ia tidak bersedia ketika negara dan tentaranya melakukan kekejaman,” tandasnya.

Selain mengumpulkan data membawa kasus pembantaian ini ke ranah hukum pidana, IPT sekaligus berusaha meluruskan stigmatisasi atas komunisme. Sebab, selain korban langsung yang dibunuh, istri dan anak yang tidak tahu apa-apa turut menderita karena ikut dicap komunis. Di KTP bekas tahanan politik, ada cap Eks Tapol (ET) membuat seluruh keluarga PKI dipersulit akses ekonominya atau kerap diperlakukan tidak adil di sekolah.

JK memastikan apapun tujuan akhir IPT, bila mengarah pada upaya rehabilitasi korban pembantaian maka pemerintah bakal menolak. Sebab pemerintah pun jadi korban konflik politik menjelang gerakan 30 September, dengan terbunuhnya beberapa jenderal TNI Angkatan Darat.

“Jenderal itu terbunuh, kan? Masak pemerintah minta maaf karena para jenderal terbunuh,” kata JK.

Pembantaian atas nama pembersihan anggota PKI oleh pelbagai sumber, termasuk dari pusat data TNI, menelan korban jiwa di kisaran 500.000 hingga 3 juta penduduk. Di luar korban tewas, puluhan ribu orang ditahan tanpa proses pengadilan selama bertahun-tahun di kamp konsentrasi, misalnya Pulau Buru.

[ard]

Sumber: Merdeka.Com

This post is also available in: English