Senin 23 Oktober 2017 – 16:56
Peranan Angkatan Darat di sepanjang tahun-tahun genting sebelum dan sesudah peristiwa 30 September 1965 memang tidak terelakkan. Matra darat Tentara Nasional Indonesia ini berada di pusaran ketegangan politik kala itu.
Hal ini tidak mengejutkan mengingat periode awal 60-an adalah aksi ketegangan politik antara Partai Komunis Indonesia dan Angkatan Darat. PKI serta organisasi Barisan Tani Indonesia melakukan banyak aksi pendudukan tanah guna menuntut Undang-Undang Pokok Agraria yang dianggapAD sebagai aksi yang membahayakan. Kemudian wacana Angkatan Kelima pada awal 1965 untuk mempersenjatai buruh tani ditentang keras oleh AD.
Peristiwa malam 30 September berupa penculikan dan pembunuhan tujuh perwira AD menunjuk PKI sebagai kambing hitamnya. Mahkamah militer luar biasa (Mahmilub) memutus PKI dan perwira menengah seperti Letkol Untung, Jenderal Oemar Dhani, Brigjen Soepardjo bersalah atas peristiwa G30S. Orde Lama berganti Orde Baru ditandai dengan superioritas AD yang berjalan beriringan dengan kuatnya stigmatisasi terhadap orang-orang yang dikaitkan dengan komunis.
Namun, ada peristiwa yang tidak bisa ditampik dan mengekor setelahnya; pembunuhan massal dan pemenjaraan tanpa proses hukum terhadap orang-orang yang dikaitkan dengan komunis. Amnesty Internasional menyebutkan 1 juta manusia dibunuh. Badan Intelijen Amerika Serikat, CIA, dalam laporannya menyebut korban dibunuh menyentuh angka 500 ribu. Hingga kini, tuntutan atas keadilan masih terus digaungkan oleh penyintas.
Tragedi 1965 memang peristiwa sejarah yang begitu abu-abu. John Roosa dalam buku Dalih Pembunuhan Massal, Benedict Anderson dengan Cornell Papernya, dan kerja-kerja akademik lainnya menyebutkan bahwa AD bukan pihak yang pasif dan korban yang tak berdaya selama 1965. Fakta-fakta ini masih bergelut guna menuntun pencarian kebenaran.
Pembukaan arsip rahasia AS tentu memberi narasi baru untuk membuka sengkarut sejarah. Dokumen tersebut merupakan bagian dari catatan keluar masuk Kedutaan Besar AS di Jakarta, Indonesia dari 1964-1968. Proses deklasifikasi dilakukan dua lembaga nirlaba National Security Archive (NSA) dan National Declassification Center (NDC) serta lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).
Isinya terdiri dari catatan para diplomat AS tentang interaksi mereka dengan politisi, beberapa narasumber anonim, dan pengamatan mata atas peristiwa dan laporan media massa. Dalam dokumen deklasifikasi yang terbit Selasa (17/10), Angkatan Darat menjadi pihak yang paling banyak disebut dalam 39 dokumen deklasifikasi peristiwa sebelum dan sesudah Tragedi 1965.
Menguatnya PKI pada awal tahun 60-an bukan perkara receh bagi AS yang menjadi kekuatan utama Blok Barat. AS kala itu tengah beradu pengaruh dengan Blok Komunis di timur. Memiliki Partai Komunis terbesar ketiga setelah Uni Soviet dan China, AS tentu tidak mau Indonesia lepas begitu saja.
AS melihat bahwa AD langsung bergerak cepat pasca peristiwa 30 September. Dalam laporan Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, tertanggal 12 Oktober 1965, Kedutaan AS memperoleh informasi dari staf Kedubes Jerman Barat. bahwa AD tengah menyiapkan upaya penggulingan Sukarno karena tidak puas terhadap respons Presiden atas laporan.
Catatan tersebut menyebutkan bahwa ada pertemuan antara Sukarno dan Menteri Pertahanan saat itu, Jenderal AH Nasution, pada 11 Oktober 1965 guna melaporkan PKI sebagai dalang peristiwa 30 September. Namun Sukarno menolak argumen tersebut yang memicu berkembangnya permainan di balik layar untuk menggulingkan Sukarno.
“AD Indonesia sekarang mempertimbangkan kemungkinan menggulingkan Sukarno sendiri dan sedang mendekati beberapa kedutaan negara-negara Barat untuk memberitahukan bahwa tindakan ini mungkin terjadi,” tulis laporan tersebut.
Dalam periode yang sama, AD melalui Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo sudah bergerak untuk membasmi PKI ke luar Jakarta. Pembasmian PKI dan simpatisannya tidak sepenuhnya dilakukan melalui tangan AD. Operasi tersebut juga ditopang oleh keterlibatan beberapa kelompok masyarakat.
Sebuah laporan tertanggal 18 Oktober 1965 menyebutkan bahwa aksi-aksi memberangus PKI telah terjadi di beberapa daerah seperti di Medan, Sumatera Selatan, Makassar, dan Jawa Tengah. Arsip yang secara khusus mencatat percakapan dengan ajudan Ruslan Abdulgani Soetarto menyebut bahwa aksi di Jawa Tengah dilakukan kelompok Muslim yang dibekingi AD.
Tidak hanya pemberangusan secara fisik, AD mulai terjun ke ranah politik dengan menggembosi serikat buruh yang terafiliasi dengan PKI, SOBSI. Selanjutnya catatan pertemuan Sekretaris Kedua Kedubes AS Robert Rich dengan aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Adnan Buyung Nasution yang menceritakan perlunya kelompok politik moderat mendukung ‘pembantaian’ yang digalang oleh AD. Oktober 1965, AD mulai di atas angin menginjak PKI yang mulai sekarat.
Selanjutnya, arah angin seakan berpihak kepada tujuan AD untuk memusnahkan PKI. AS melakukan catatan terpisah dari peristiwa-peristiwa penumpasan kelompok komunis di Jawa Timur, Medan, Makassar, dan Surakarta. Di Surakarta, RPKAD memperlakukan daerah basis PKI itu layaknya zona perang. AD juga menangkap serikat buruh SOBSI di kilang minyak yang berlokasi di Medan.
Pada Desember 1965, tekanan AD terhadap Soekarno berhasil. Dalam laporan mingguan berjudul Joint Weeka no.45, Kedubes AS mencatat pertemuan Sukarno dengan Nasution dan Soeharto. Soeharto menghendaki adanya Komando Operasi Tertinggi (KOTI). Sukarno yang awalnya kukuh kemudian membiarkan AD. Pangdam Siliwangi saat itu, Ibrahim Adjie, telah memberlakukan KOTI di Jawa Barat. Ditambah sikap-sikap partai moderat yang telah berpihak ke AD membuat Sukarno menuruti permintaan AD.
Desember 1965 menjadi momen semakin menguatnya pengaruh AD. Enam arsip rahasia Kedutaan AS sepanjang bulan Desember secara umum menjelaskan bagaimana AD mampu mendekati kelompok-kelompok di akar rumput untuk sama-sama menjalankan agenda pemberantasan orang-orang komunis.
Di Sumatera, AD berhasil memengaruhi partai politik dan organisasi masyarakat. AD bahkan mempersenjatai hansip di Sumatera guna “memperluas komando militer langsung ke setiap desa di Sumatera.” Di Jawa Tengah, RPKAD mempertemukan Partai Katolik, Ikatan Pemuda Kristen Indonesia (IP-KI), dan NU untuk mendukung agenda pembasmian PKI. Pada akhirnya, laporan ini juga menyinggung bagaimana AD kesulitan mengontrol kelompok masyarakat tersebut dalam melakukan aksi kekerasan.
Hingga Desember, rangkaian tragedi telah membuat 100.000 orang telah dibunuh dalam kampanye yang diorganisisasi AD melawan terduga pendukung PKI, termasuk setidaknya 10.000 orang di Bali. Kedutaan AS menyebut hal tersebut sebagai “keberhasilan AD yang mencolok.”
Seiring dengan masih berlangsungnya aksi huru-hara di akar rumput, AD mulai mengintensifkan cara-cara non-militer untuk menghapus pengaruh ideologi komunis. Hal ini meningkat setelah Soeharto memperoleh Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) pada tahun 1966.
Laporan tanggal 27 April 1966 menyebutkan bahwa surat kabar militer ‘Angkatan Bersendjata’tanggal 25-26 April 1966 memproduksi artikel tentang peran Mao Zedong dan Aidit dalam Gerakan 30 September. Melalui artikel ini, Mao memerintahkan Aidit untuk melaksanakan gerakan kudeta pada malam hari tanggal 30 September disertai dengan perintah spesifik untuk membunuh para jenderal AD. “Supaya hari nasional Republik Rakyat Indonesia Cina akan jatuh pada tanggal 1 Oktober, hari nasional RRC,” tulis artikel tersebut.
Upaya pemretelan ideologi komunis dilanjutkan dengan pembersihan pegawai negeri sipil pada Juni 1966. Korps Polisi Militer AD mengorganisir ujian ideologi terhadap para PNS guna membuktikan afiliasi politik mereka.
Menjelang akhir tahun 1966, Kedutaan AS melihat AD semakin kuat menancapkan pengaruhnya. Arsip tertanggal 5 November 1966 menceritakan perjalanan staf Kedutaan beserta jurnalis New York Times ke beberapa daerah di Jawa Tengah dan mewawancarai beberapa petinggi militer.
Kunjungan tersebut mempertontonkan peran baru AD dalam masyarakat. Petinggi AD menjelaskan pendisiplinan warga melalui pembatasan pertemuan antarwarga, kartu identitas baru, hingga penutup jalan. Militer digambarkan sebagai “penengah politik baru, inovator ekonomi dan pendidik lokal.”
Arsip rahasia Kedutaan AS ini menjadi catatan penting yang melengkapi sejarah Indonesia. Indonesia pasca 65 memasuki era politik militer yang mencapai kemenangannya ketika Soeharto dilantik oleh MPRS pada 27 Maret 1968 yang dilanjutkan dengan pemerintahan Orde Baru selama 21 tahun. Selama itu juga, PKI dan komunis menjadi kata yang angker dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Hingga saat ini, TNI masih dalam proses mempelajari arsip deklasifikasi AS. Kapuspen TNI Mayor Jenderal Wuryanto berujar bahwa TNI belum bisa mengambil sikap. “Masih dipelajari,” ucap Wuryanto melalui pesan singkat kepada kumparan
Sumber: Kumparan.Com
This post is also available in: English