Rabu, 11 November 2015 | 15:46 | Reporter : Sri Wiyanti

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menilai Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal (IPT) untuk korban pembantaian massal tahun 1965, bukan pengadilan yang sebenarnya. Sebab, peradilan itu digelar atas inisiatif Komunitas korban 1965 di tanah air maupun luar negeri.

Sidang Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal (IPT) untuk korban tragedi pembantaian massal di Indonesia pada 1965 itu diadakan di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015. Jika itu terjadi, JK mengancam akan menggugat Belanda dan negara-negara lain Barat yang juga berperan dalam pelanggaran HAM di beberapa negara.

“Itu kan persidangan bukan pengadilan sesungguhnya. Kalau pengadilan sesungguhnya, bisa bertahun-tahun. Itu hanya pengadilan semu. Tak usah kita tanggapi,” kata JK di Istana Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (11/11).

Menurut JK, hukum yang berlaku adalah hukum yang diterapkan di Indonesia. Hal ini senada dengan pendapat Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu dan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno.

JK justru menilai, negara-negara lain lebih banyak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), berupa penghilangan nyawa secara massal. JK menyebut negara-negara besar seperti Amerika Serikat.

“Kalau mau begitu (gelar pengadilan rakyat), kita adili Belanda juga (sebab) berapa yang dibunuh Belanda di sini (Indonesia). Lebih banyak lagi. Berapa yang dibunuh Amerika di Irak? Berapa yang dibunuh (Bangsa) Eropa di Vietnam? Berapa dibunuh oleh negara Barat di Afghanistan. Boleh, kalau Barat mau begitu, kita juga adili di sini,” ujarnya.

Menurutnya, bisa lebih dari satu juta orang bersedia menjadi saksi pelanggaran HAM yang dilakukan Belanda di Tanah Air.

Seperti diketahui, pada tanggal 10-13 Nopember 2015, akan digelar International People’s Tribunal (IPT) untuk korban tragedi pembantaian massal di Indonesia pada 1965 akan digelar di Den Haag, Belanda. Program yang mulai digagas pada 2013 oleh komunitas korban 1965 tersebut, ditujukan untuk militer di bawah komando Jenderal Suharto, yang kemudian menjadi presiden RI.

Ada empat agenda besar yang dibahas di pengadilan rakyat tersebut. Pertama, membahas tentang pembantaian massal dan perbudakan. Kedua, membahas tentang penahanan, penyiksaan, dan kekerasan seksual. Ketiga, membahas tentang pengasingan atau eksil, penghilangan paksa, dan propaganda kebencian. Keempat, membahas tentang keterlibatan negara lain. [tyo]

Sumber: Merdeka.Com

This post is also available in: English