Kamis, 12 November 2015 | 08:15 | Reporter : Ramadhian Fadillah
Kalau mau begitu, kita adili Belanda juga (sebab) berapa yang dibunuh Belanda di sini (Indonesia). Lebih banyak lagi
(Muhammad Jusuf Kalla}
Sidang Rakyat Internasional (IPT) dengan agenda menguak pembantaian warga dituding komunis sepanjang 1965-1966 telah dimulai di Niewekerk, Kota Den Haag, Belanda. Tujuh hakim dan enam jaksa mulai menggali kesaksian sejarawan, penyintas pembantaian, eksil politik, bekas tahanan politik di Pulau Buru, maupun saksi ahli peristiwa pemberangusan Partai Komunis Indonesia.
Para terdakwa adalah pemerintah Indonesia, khususnya Pangkostrad Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi presiden; para perwira yang terlibat penculikan serta pembunuhan 6 jenderal; serta perwira dan pimpinan regu paramiliter yang memerintahkan pembantaian rakyat sipil terduga komunis selama 1965-1966.
Para terdakwa disebut melakukan sembilan pelanggaran HAM berat. Rinciannya, para pelaku disokong pemerintah Indonesia, terlibat dalam pembunuhan, perbudakan, penahanan, penyiksaan, kekerasan seksual, penganiayaan, penghilangan paksa, penganiayaan dan propaganda, dan dugaan keterlibatan negara lain dalam kejahatan kemanusiaan.
Menanggapi kegiatan para aktivis itu, pemerintah Indonesia geram. Wapres Jusuf Kalla menilai itu cuma pengadilan semu. Belanda juga tak pantas mendukung kegiatan tersebut. Negara-negara maju yang kini bersuara keras soal HAM nyatanya adalah negara yang paling banyak melakukan pembantaian dan pelanggaran HAM di masa lalu.
“Kalau mau begitu (gelar pengadilan rakyat), kita adili Belanda juga (sebab) berapa yang dibunuh Belanda di sini (Indonesia). Lebih banyak lagi. Berapa yang dibunuh Amerika di Irak? Berapa yang dibunuh (Bangsa) Eropa di Vietnam? Berapa dibunuh oleh negara Barat di Afghanistan. Boleh, kalau Barat mau begitu, kita juga adili di sini,” ujarnya.
Menurutnya, bisa lebih dari satu juta orang bersedia menjadi saksi pelanggaran HAM yang dilakukan Belanda di Tanah Air.
Senada dengan JK, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu juga menanggapi sinis pelaksanaan sidang pertama peradilan rakyat tersebut. Dia menyebut tahun 1965 rakyat bergerak karena lebih dulu PKI menculik enam jenderal dan satu perwira TNI AD.
“Begini ya, tahun ’65 itu yang duluan siapa? Kalau dulu tidak ada pemberontakan tidak ada masalah ini, jadi yang memulai duluan itu jelas melanggar HAM,” tegas Ryamizard usai menghadiri upacara hari pahlawan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (10/11).
Ryamizard menyatakan, tak mau lagi mengungkit-ungkit tragedi berdarah yang dialami rakyat Indonesia tersebut. Dia berharap, kejadian itu bisa menjadi pelajaran bagi kaum muda.
“Sudahlah tidak perlu di ungkit-ungkit lagi, ini jadi mundur kita harus maju. Belanda juga pernah melakukan banyak pelanggaran HAM. Ke depannya kita harus maju biar tidak ada penjajahan-penjajahan lagi,” sambungnya. [ian]
Sumber: Merdeka.Com
This post is also available in: English