Gde Putra | Sumber: Indoprogress.Com

Meyakininya mati adalah cara untuk bertahan hidup bagi keluarga korban, agar bisa menghindari pertanyaan-pertanyaan mengenai nasib anggota keluarganya yang hilang. Mereka tak ingin pertanyaan-pertanyaan itu memberatkan langkah mereka saat melewati jalan terjal pasca pembantaian massal 65. Mereka harus berjuang dari nol, dipersulit oleh pemerintah, serta dililit stigma PKI.

TIDAK ada keraguan bahwa jumlah korban kekerasan Peristiwa G30S 1965, sangatlah luar biasa besar. Namun, yang masih samar adalah kepastian kabar kematian korban peristiwa itu sendiri, karena seringkali bersumber pada desas desus tanpa bukti serius. Selain itu, pihak keluarga belum pernah melihat mayat anggota keluarganya yang menjadi korban. Pemerintah melarang pihak keluarga mencari tubuh anggota keluarganya yang konon telah dibantai. Pihak keluarga akhirnya bersepakat anggota keluarganya yang tak pulang-pulang itu telah mati.

Kematian seperti inilah yang menimpa kakek saya, Gung Kak Raka. Keluarga kami dipaksa menelan desas-desus bahwa kakek tewas di tangan tameng, jagal anti Komunis di Bali.

Ceritanya, pada bulan Desember 1965, pemuka desa bersama beberapa orang datang ke tempat kakek saya dibui. Mereka mengajak kakek keluar dari tempat pesakitannya. Entah dibawa kemana, yang jelas setelah itu kakek tidak pulang ke rumah. Kabar berhembus bahwa kakek telah dibunuh.

Kakek berada di bui bukan karena ditangkap, melainkan dia menyerahkan diri. Ada anggapan ketika itu lebih aman jika orang-orang yang dituduh PKI berada di tangan aparat. Berada di luar sangat beresiko, karena massa anti komunis tak segan-segan menyiksa dan membantai mereka.

Bagaikan melompat dari mulut singa ke mulut buaya, berada di tangan aparat tidaklah aman. Tentara memerintahkan pemuka desa untuk menjemput warganya yang diperkirakan simpatisan PKI untuk dieksekusi. Massa anti Komunis membakar rumah kakek. Harta bendanya dijarah, dan buku-bukunya dirampas. Pihak keluarga berlindung di pura keluarga hingga situasi terasa aman. Mereka berharap massa tidak berani bertindak beringas karena pura adalah tempat suci, dan darah manusia pantang menetes di area pura.

Ada yang menganggap kakek saya simpatisan PKI karena dia sering bergaul dengan pentolan-pentolan PKI. Namun ada juga yang mengatakan dia bukan PKI, tetapi Soekarnois. Upaya penumpasan PKI ke akar-akarnya oleh tentara bersama para milisi , tidak hanya menyasar para simpatisan partai berlambang palu arit itu saja, namun juga para Soekarnois yang menyebar di berbagai partai maupun non partai.

Kakek lahir di Kesiman, Denpasar Bali. Kakek adalah seorang guru. Kakek juga pernah menjabat sebagai sekretaris di hotel Bali Beach, dan terlibat dalam kepanitiaan upacara Eka Dasa Rudra di pura Besakih pada tahun 1963. Kakek kadang bepergian ke luar Bali untuk sebuah pertemuan. Hal ini nampak dari beberapa foto kakek berpose di samping pesawat. Kakek mempunyai 5 anak, dan dua istri. Ibu saya adalah anaknya yang paling tua.

Upacara kremasi kakek saya unik, tidak mengunakan jenasah melainkan dengan tanah sebagai representasi dari tubuhnya. Tanah itu diyakini mengandung unsur tubuh kakek karena dipercayai berasal dari tempat dia dibunuh. Kremasi tanpa tubuh ini berlangsung pada tahun 1971.

Bukannya pihak keluarga bermaksud lancang menyepakati anggota keluarganya yang tidak pulang-pulang itu telah berada di alam baka. Ada perasaan dosa menghantui keluarga jika kakek tidak diupacarai kalau seandainya memang benar dia telah mati. Upacara ngaben ini penting agar arwah kakek bisa tenang, dan bisa bereinkarnasi. Lagi pula pemerintah tidak ingin warganya mengusik peristiwa berdarah tersebut sehingga satu-satunya pijakan untuk diyakini oleh keluarga adalah desas-desus.

Pertanyaan mengenai bagaimana nasib orang-orang yang tak pulang-pulang terlalu beresiko untuk dicari jawabannya pada masa Orde Baru (Orba). Meyakini mereka “mati” bagi sebagian anggota keluarga jauh terasa lebih aman daripada meyakininya “hilang”.

Meyakininya mati adalah cara untuk bertahan hidup bagi keluarga korban, agar bisa menghindari pertanyaan-pertanyaan mengenai nasib anggota keluarganya yang hilang. Mereka tak ingin pertanyaan-pertanyaan itu memberatkan langkah mereka saat melewati jalan terjal pasca pembantaian massal 65. Mereka harus berjuang dari nol, dipersulit oleh pemerintah, serta dililit stigma PKI.

Ada kisah menarik yang saya dengar mengenai “mayat hidup” setelah peristiwa kekerasan itu berlangsung. Anggota keluarga yang diyakini telah mati, tiba-tiba nongol di rumah keluarganya. Dia keluar dari persembunyiannya karena situasi tidak lagi mencekam. Salah seorang penyintas 65 yang pernah saya wawancarai mengalaminya. Baginya sikap keluarga yang menganggapnya mati bisa dimengerti karena pencarian tidak dimungkinan.

Pemupukan kebencian terhadap komunis oleh rezim Orba menciptakan ketakutan yang sangat bagi keluarga ibu saya. Kisah hidup mengenai kakek jadi kabur. Bahkan ibu saya berbohong dengan menjawab “kakekmu meninggal karena sakit” ketika saya bertanya tentangnya. Rezim Orba mengarahkan para orang tua untuk menjadi “aparatur pelupaan” di hadapan anak-anaknya. Orang tua ideal, yang ingin dibentuk rezim militeristik ini, adalah orang tua pembohong.

Saya mengalami dilema semenjak bocah. Guru-guru di sekolah mengajarkan komunis itu jahat. Sementara, ketika saya tidak sengaja menyimak percakapan ibu-ibu di rumah, cerita mereka sangat berbeda. Saya mendengar bahwa kakek saya dibunuh karena dia seorang komunis. Dari cerita mereka, saya tahu bahwa kakek disiksa dan kemudian tubuhnya dipamerkan di alun-alun kota oleh massa anti komunis, yang didukung oleh tentara. Dari cerita-cerita itu pula saya mendengar bahwa kakek adalah seorang ayah yang penuh kasih pada anak-anaknya. Sangat berbeda dengan kisah-kisah tentang seorang komunis yang keluar dari mulut guru saya.

Saya sempat merasa bingung dan ingin tahu mengapa ada dua versi yang begitu kontras, tetapi perasaaan itu hilang begitu saja. Barangkali karena saya di sekolah dibiasakan “menerima” tanpa boleh membantah, sehingga rasa ingin tahu saya bisa lenyap dengan mudah. Pada masa Orba, anak-anak tidak dididik berpikir untuk mencari tahu sesuatu, namun dididik berpikir untuk menerima sesuatu tanpa boleh dipertanyakan.

Metode hafalan sangat lumrah ketika itu. Murid pintar adalah murid yang pandai menghafal. Lomba cerdas cermat digalakkan di berbagai sekolah, yaitu lomba bagi murid-murid yang pintar menghafal. Metode menghafal di sekolah-sekolah adalah bagian dari cara rezim Orba meredam pemikiran kritis dari usia dini. Rasa ingin tahu sebagai akar dari pemikiran kritis ini ingin dibungkam agar berbagai kebobrokan rezim ini tak tersentuh, termasuk kisah-kisah kekerasan 65.

Pembungkaman rasa ingin tahu ini dengan sangat sinis kembali ditunjukkan di masa kini oleh Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo. Dia dengan enteng menjawab “Emangnya gua pikirin?” ketika menanggapi kritik tentang keputusannya memutar film G30S. Film itu sarat propaganda Orba. Statemen itu menyiratkan sejarah Orba bak sebuah keyakinan yang tak perlu dipertanyakan lagi. Dia menolak keingintahuan kita terhadap hal-hal di luar propaganda Orba.

 

Hukum Kharmaphala

Namun, satu hal yang dilupakan oleh rezim Orba dan aparatusnya adalah kegigihan keluarga korban dalam mencari keadilan, meskipun mereka dibungkam dan dipersulit oleh negara. Sebagian besar para tetua di keluarga saya sangat percaya hukum Kharmaphala, yaitu setiap orang akan memetik hasil dari perbuatannya.

Acapkali nenek saya berujar bahwa hukum Kharmaphala telah berlangsung ketika salah seorang jagal, atau pemuka desa yang dia yakini terlibat dalam pembantaian, mengalami kesusahan di hari kemudian. Keadilan dalam hukum Kharmaphala menjadi tumpuan keluarga korban ketika pemerintah tidak berlaku adil terhadap mereka.

Peristiwa kekerasan 65 bukan semata tentang “siapa yang hilang”, namun juga merembet tentang “apa yang hilang” setelah kejadian itu. Ada berbagai kasus mengenai dirampasnya tanah dan rumah milik orang-orang hilang itu. Ada yang dirampas oleh aparat negara, bahkan oleh kerabatnya sendiri.

Janda korban 65 sulit melawan perampasan tanah. Anak-anak mereka juga tak bisa berbuat apa-apa karena masih kecil. Perempuan yang ditinggal suami ini hidup dalam kesendirian dan ketakutan. Mereka juga terkena stigma sebagai janda PKI.

Keadaan tertekan dan dijejali berbagai tanggung jawab– dari mengurus anak, mencari nafkah hingga membuat sesajen untuk upacara– membuat mereka kesulitan menghadapi pengklaiman tanah. Para janda semakin terjepit sebab dalam budaya Bali yang patriarkhis, hanya laki-laki paling berhak bicara mengenai warisan sekalipun formalnya janda bisa mewarisi tanah peninggalan suaminya.

Dalam situasi inilah, sejarah kelam 65 mengalami pembungkaman berlapis-lapis. Negara Orba membungkam kemunculan sejarah kelam ini agar kebobrokannya tak terungkap. Begitu juga para tetua pencaplok tanah yang tak mau kebusukannya terungkap pasca goro-goro 65. Para sepuh ini tak mau anak cucu dari orang-orang yang dikremasi tanpa jenasah menuntut hak atas tanah yang mereka caplok.

Saya pikir, persoalan penyerobotan tanah pasca 65 oleh orang-orang sekerabat di Bali bersifat massif melihat jumlah korban peristiwa berdarah itu tidak bisa dibilang sedikit. Dalam penelitian Robert Crib ,sejarawan dan ahli politik dari Australia, tercatat 80.000 orang menjadi korban di pulau dewata ketika itu. Sudah barang tentu dari sekian banyak orang itu adalah orang-orang yang memiliki hak atas tanah waris, ataupun telah memiliki rumah dari hasil kerja keras mereka, dan berbagai harta benda lainnya.

Konflik berlatar kekerabatan ini semakin rumit karena mereka yang saling tak cocok ini dituntut untuk meredam emosinya dikarenakan ritus-ritus di pura keluarga menuntut mereka untuk bertemu, bahkan bergotong royong bersama. Eksistensi pura keluarga adalah tanggung jawab mereka yang saling berseteru ini.

Kisah konflik antar kerabat ini barangkali kurang menarik bagi mereka yang ingin menuntut negara agar bertanggung jawab atas peristiwa kekerasan ini, sebab konflik terasa bersifat horisontal yaitu kerabat vs kerabat, bukan vertikal antara negara vs rakyat. Namun kalau kita memang ingin menyelami persoalan 65 secara lebih luas, maka konflik bernuansa kekerabatan tak boleh ditampik. Bukan saja terfokus pada peristiwa pembantaian berlangsung, melainkan penting juga mempelajari dan merefleksikan kompleksitas pasca kekerasan 65.

Di arena kekerabatanlah kita bisa menemukan bagaimana kekerasan 65 dinarasikan, dimunculkan dan ditenggelamkan oleh orang-orang dekat. Dalam arena kekerabatanlah pelaku sejarah bukan semata mereka tokoh-tokoh di “pusat” semacam politisi dan jenderal, melainkan orang-orang dekat di sekitar kita, bisa kakek, nenek, paman, ayah atau ibu kita. Sejarah bukanlah milik mereka para tokoh-tokoh besar itu. Narasi kekerasan 65 tidak semata ada dalam arena konflik antar penyintas, warga yang berempati, atau pegiat HAM vs pejabat-pejabat pro Orba, melainkan antar kerabat di dalam keluarga korban itu sendiri.

Sekarang jaman sudah beda, situasi lebih terbuka. Narasi-narasi mengenai kekerasan 65 bermunculan. Satu per satu para penyintas 65 mulai berani bersuara di hadapan publik, dan buku sejarah di luar versi negara mulai bisa diakses meski Komunisphobia juga terus direproduksi oleh negara. Walau demikian, hukum karmaphala masih tetap diyakini, terutama oleh generasi tua di keluarga saya. Kadang hal ini bisa berujung pasif karena keadilan dipercayai akan datang, bukan diraih lewat perjuangan.

Sama sekali saya tidak bermaksud menyalahkan generasi tua. Bagi saya hal itu patut dimaklumi mengingat mereka hidup dalam penderitaan pasca 65, dan mereka sudah makan asam garam dipersulit negara. Kharmaphala begitu merasuk sebab Kharmaphala membuat mereka kuat menghadapi perasaan tak adil akibat ditindas rezim Orba.

Generasi muda hari ini selayaknya menerjemahkan hukum karmaphala dengan cara beda. Perlawanan terhadap upaya pembungkaman serta menuntut pertanggungjawaban negara, dan berbagai organisasi serta instansi-intansi terkait dalam peristiwa kekerasan 65, adalah pahala yang layak diterima bagi para dalang kekerasan. Menuntut pertanggungjawaban adalah buah yang pantas dipanen para jagal.***

__________

Penulis adalah penulis lepas yang aktif di komunitas taman 65, sebuah komunitas yang mempelajari persoalan kekerasan 65 dan dampaknya.

This post is also available in: English