Sebulan setelah Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminta para menterinya mendokumentasikan dan memeriksa kuburan massal pembantaian anti komunis 1965-1966, organisasi Human Rights Watch yang berpusat di New York memperingatkan agar ahl-ahli forensik dilibatkan.
Tanpa ahli forensik, penggalian kuburan massal malah bisa menghancurkan bukti-bukti penting dan aklhirnya sangat menyulitkan identifikasi mayat, tulis HRW dalam pernyataan yang dirilis hari Senin (23/05/16).
“Penggalian kuburan massal korban 1965-1966 merupakan langkah penting menuju akuntabilitas… Indonesia,” kata Phelim Kine, wakil direktur divisi Asia Human Rights Watch. Di tempat-tempat seperti Kosovo dan Irak, penggalian spontan dan tidak terorganisir malah merumitkan identifikasi korban dan menghancurkan bukti-bukti, tambahnya.
Sebelumnya, pada 16 Mei lalu HRW juga mengirim surat terbuka kepada pemerintah Indonesia dan meminta agar pemerintah mengatur keamanan di situs-situs kuburan massal agar tidak terjadi “penggalian yang tidak sah”.
“Tekad pemerintah Indonesia untuk menggali situs-situs yang mungkin (menjadi lokasi) kuburan massal adalah sebuah tindakan politik yang berani,” kata Phelim Kine. “Tapi penggalian tergesa-gesa yang dilakukan tanpa keterampilan ahli yang berpengalaman dapat merusak bukti penting dan menghambat upaya untuk membawa keadilan bagi para korban 1965-1966.”
Awal bulan ini, pemerintah Indonesian mengumumkan akan membentuk tim khusus untuk menyelidiki daftar sekitar 122 lokasi kuburan massal yang telah disampaikan oleh beberapa kelompok advokasi korban ke Komnas HAM dan ke kantor Menteri Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Pandjaitan.
Pembunuhan massal dimulai Oktober 1965, tak lama setelah aksi penculikan dan pembunuhan enam jenderal sayap kanan Angkatan Darat. Suharto, seorang perwira tinggi militer yang saat itu tidak terlalu dikenal, mengisi kekosongan kekuasaan dan menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang berupaya melakukan kudeta. Saat itu, PKI dengan sekitar 3 juta anggota adalah partai komunis terbesar dunia di luar Uni Soviet dan Cina.
Aksi-aksi menentang pengungkapan peristiwa pembantaian 1965-1966 belakangan kembali marak di indonesia, diikuti dengan penyitaan dan pemberangusan buku dan pelarangan berbagai acara diskusi, seminar dan pameran budaya yang berhubungan dengan peristiwa 1965.
Kalangan pengamat menilai ada perpecahan di kalangan perwira dan tokoh-tokoh militer, antara kelompok yang ingin agar bagian sejarah Indonesia yang gelap dan brutal diselidiki lagi untuk melancarkan rekonsiliasi, dan kelompok yang samasekali menentang peristiwa 1965 diungkit-ungkit.
Perbedaan pandangan terutama mencuat antara Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Terutama Ryacudu disebut-sebut punya ambisi besar untuk menjadi Presiden Indonesia menggantikan Jokowi.
This post is also available in: English