Proses ini membantu membawa kemajuan dalam hukum internasional, selain membawa serta dimensi moral dan politik. Yakni menuntut pertanggung-jawaban pelaku atas kejahatan pada skala yang sangat besar. Sekalipun pelaku tidak berada di tempat kejahatan, gugatan publik dapat mendudukkannya di depan persidangan.

Pada acara Soft Launcing website IPT1965, di IISG Amsterdam, desember lalu dilakukan diskusi panel dengan mengetengahkan, Martha Meijer pakar HAM dan advokasi internasional, Dr Frederiek de Vlaming, pengamat dan penulis tribunal yang disahkan PBB, Prof (Emeritus) Nico Schulte Nordholt, pakar politik dan ikhwal Indonesia, dan Francisca Pattipilohy, seorang penyintas kekerasan tahun 1965 yang pernah ditahan di Indonesia.Berikut laporannya.

 

Impunitas dan kegagalan negara

Martha Meijer, on website IPT 1965 launch in Amsterdam

Martha Meijer, pada peluncuran website IPT 1965 di Amsterdam

Soal pertama yang dikedepankan oleh Martha Meijer adalah arti impunitas, terbingkai dalam konteks nasional dan internasional. Pertanyaannya, sejauh mana kekerasan 1965 dapat ditempatkan dalam definisi tersebut dan apa saja yang harus diperhitungkan dalam perjuangan melawan impunitas.

Dia menjelaskan bahwa impunitas menunjuk pada kegagalan negara dalam menuntut pelanggaran seperti penyiksaan, genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan serta pelanggaran HAM lainnya yang dilakukan atau diampuni oleh lembaga-lembaga negara. Meijer berpendapat bahwa di tingkat nasional maupun internasional sudah tersedia dasar hukum untuk melawan impunitas. Pertama, Kovenan (perjanjian) Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (ICESCR) telah disahkan dalam undang-undang oleh Pemerintah Indonesia.

Pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965 jatuh di bawah kedua kovenan tersebut, karena meliputi penangkapan sewenang-wenang, pembunuhan di luar hukum (ekstra judisial), penghilangan secara paksa, penyiksaan, diskriminasi, pengerjaan secara paksa, pelanggaran kebebasan berekspresi, penganiayaan (tanpa maksud menyiksa), peradilan secara tak wajar dan penghukuman mati.

Tentu saja harus ada bukti dan dokumentasi yang menetapkan jenis, tempat dan waktu pelanggaran yang terjadi, siapa saja korban dan pelakunya dan siapa yang memberi perintah untuk melakukan pelanggaran tersebut. Sesungguhnya, pembuktian sudah diberikan oleh Komisi Nasional Hak hak Asasi Manusia (Komnasham) dalam laporannya tahun 2012 mengenai peristiwa 1965-1966. Laporan ini mengandung fakta-fakta yang cukup untuk memperlihatkan bahwa kejadian-kejadian saat itu bersifat struktural, dan juga menyebut para pelaku.

Walaupun demikian, Meijer juga melihat adanya beberapa masalah yang terkait perlawanan terhadap impunitas. Pertama, PBB sendiri memiliki cacad karena cukup banyak negara anggota adalah penjahat juga. Kedua, definisi impunitas telah ditetapkan, namun amatlah sulit menentukan instrumen yang mengikat untuk menghadapinya. Selanjutnya, beragam dimensi dari perlawanan terhadap impunitas terbuka untuk interpretasi, seperti pelanggaran HAM dan identifikasi rantai komando.

Pada akhirnya perlu dipertimbangkan adalah, antara lain, bahwa tujuan bersama proyek ini harus jelas, pembuktian harus meyakinkan dan pelaku harus memperoleh peradilan yang wajar. Beberapa faktor turut memperkuat perlawanan ini, seperti kerjasama antara pegiat Indonesia dan non-Indonesia, dan antara penyintas dan pihak luar. Dan juga telah adanya perjanjian internasional serta konsep-konsep yang membentuk kerangka yang kuat.

 

Tribunal sebagai patokan pertanggungjawaban

Frederiek de Vlaming

Frederiek de Vlaming, dengan pengalamannya meneliti berbagai tribunal dari dekat, membandingkan perkembangan tribunal-tribunal resmi seperti tribunal Yugoslavia dan Rwanda, dengan tribunal-tribunal informal (seperti yang diusulkan oleh IPT), dan perbedaan-perbedaan diantara mereka.

Sejak 1993 terjadi revolusi di dalam PBB ketika badan ini memperkenalkan tribunal kejahatan perang untuk menuntut berbagai bekas kepala negara. Sementara Martha Meijer menyimpulkan bahwa “tiada alat yang mengikat melawan impunitas”, pendapat Frederiek de Vlaming tentang tribunal lebih positif, karena bila kita menengok masa lalu, sudah banyak langkah maju yang diambil dunia internasional.

Dua puluh tahun yang lalu tidaklah mungkin menuntut kepala negara, tidak ada kelembagaan untuk melakukannya. Namun saat ini kita memiliki mekanisme dan lembaga untuk itu, yang bertempat di Nederland. Dan juga, walaupun pengadilan kriminal tidak dapat menghentikan perang di Yugoslavia, mengingat masih banyak kejahatan besar dilakukan di Kosovo dan Serbia di tahun 2000, paling tidak pengadilan tersebut memulai mengembangkan patokan atau standar untuk membuat orang bertanggung jawab atas pengawalan perang tersebut dan atas kejahatan selama perang berlangsung.

Maka proses ini membantu membawa kemajuan dalam hukum internasional, selain membawa serta dimensi moral dan politik yaitu gagasan untuk menuntut pertanggung-jawaban pelaku atas kejahatan pada skala yang sangat besar, sekalipun pelaku tidak berada di tempat kejahatan (delik) itu sendiri melainkan duduk di belakang meja. Ini dianggap mutlak sebagai sebuah keberhasilan sekalipun tidak dapat disangkal bahwa kita beroperasi dalam konteks yang sangat terpolitisasi.

Tribunal non-PBB yang tidak resmi muncul sejak tahun 1966, tatkala orang dikejutkan oleh perbuatan AS selama perang di Vietnam. Dan meskipun yang terlibat adalah negara yang paling berkuasa di dunia dan seorang presiden yang masih memegang kekuasaan, dan meskipun orang mengira tak ada apapun yang bisa dilakukan, suara menentang semakin gencar khususnya dari para intelektual Eropa.

Sejak itu tribunal-tribunal rakyat melawan kejahatan perang bermunculan, di mana tidak ada dukungan politik untuk sebuah tribunal resmi. Maka berlangsunglah beberapa tribunal menuntut negara-negara di Amerika Latin dan baru-baru ini diselenggarakan 4 persidangan Tribunal Rakyat untuk Palestina.
Seperti juga sudah dikemukakan oleh Martha Meijer, Dr. de Vlaming mengatakan bahwa tak dapat disangkal adanya banyak perangkap dan juga pemberitaan negatif diseputar tribunal-tribunal rakyat ini. Karena itu, pertama, tujuan IPT harus jelas.

 

Dibutuhkan kerangka hukum yang jelas

Kritik utama adalah bahwa tribunal-tribunal rakyat ini berpihak. Penyiksaan sering dilakukan oleh banyak pihak, dan hal ini harus diakui. Kedua,tribunal rakyat harus memiliki kerangka hukum yang jelas. Walaupun bukan tribunal yang resmi sehingga tidak akan diadakan penuntutan ataupun putusan secara hukum, kategori kejahatan haruslah jelas. Sebab yang terjadi di tahun 1965 dapat dikerangkakan sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, sebab kejahatan itu terhitung sistematik, berupa kebijakan, dan terjadi secara meluas, ahli-ahli hukum tahu langkah-langkah mana yang harus diambil. Ketiga, penting untuk dijelaskan siapa saja yang akan dilibatkan untuk mendukung prosedur-prosedur yang berlaku.

Dalam sebuah sebuah tribunal rakyat, umumnya terdapat beragam komposisi “bangku”. Biasanya ada 12 atau 13 orang yang duduk di bangku. Selain pengacara ada pengemuka umum dan seniman, dengan maksud menarik perhatian umum. Namun, Dr de Vlaming menekankan, meskipun bukan tribunal resmi , tribunal rakyat harus dibuat semirip mungkin dengan tribunal formal.

Dengan hampir berakhirnya Tribunal Yugoslavia, pengacara dan ahli hukumnya bisa dianggap wadah cadangan para ahli yang turut bersumbang-pikir mengenai aspek-aspek penting seperti: bagaimana mengerangkakan kejahatan-kejahatan dan memilih hakim; bagaimana menangani saksi; bagaimana mengorganisasi persidangan; sejauh mana tribunal sebaiknya berjalan serupa tribunal resmi; apakah perlu merinci pelaku secara perorangan atau haruskah tribunal ini dilihat semata-mata sebagai kampanye pencarian kebenaran; dan siapa target utama tribunal ini: negara atau perorangan. Demikian upaya agar hasil-hasil Tribunal akan dianggap serius dalam arti memperoleh pengakuan umum yang lebih besar.

 

Perlindungan saksi korban

Fransisca Pattipilohy

Kedua presentasi oleh Martha Meijer dan Frederiek de Vlaming ditanggapi oleh Prof Nico Shulte Nordholt dan Francisca Pattipilohy. Nico Schulte Nordholt bertutur mengenai kenyataan politik di Indonesia saat ini. Dia menilai bahwa walaupun tidak dapat disangkal bahwa IPT teramat penting, situasi politik di Indonesia tidak segera mendukung (kondusif) untuk pemberian pengakuan oleh pemerintah baru

Dia menjelaskan bahwa sekalipun presiden baru Jokowi berniat baik, beliau masih dikelilingi oleh pejabat-pejabat yang menganut ideologi militer tentang Republik Indonesia (NKRI) dan, sebagai bagian dari itu, dogma militer tentang pembunuhan di tahun 1965. Selama orang-orang ini ada dalam posisi kontrol, tidak akan ada tanggapan positif terhadap IPT karena “1965” masih dianggap sebagai masalah keamanan.

Nico

Selain itu, tambahnya Schulte Nordholt, di masyarakat Indonesia sedang berlangsung radikalisasi kelompok-kelompok Islam dan gagasan bahwa komunis adalah atheis sepenuhnya disokong oleh gerakan radikalisasi ini. Maka, tambahnya, kita harus menghadapi kekuatan-kekuatan yang menentang ini, segera setelah cerita-cerita (tentang “1965”) disebar-luaskan, halmana berarti bahwa kita harus melindungi mereka yang memberi kesaksian, dan kesaksian-kesaksian itu sendiri yang akan digunakan sebagai bahan bukti di dalam proses ini.

Pentingnya penyebaran informasi
Sembari mengedepankan sisi yang lebih positif, Cisca Pattipilohy mengingatkan para hadirin bahwa sejarah telah memperlihatkan kita beberapa contoh, khususnya dari masa setelah kemerdekaan Indonesia, di mana peningkatan kesadaran politik di masyarakat Belanda (tentang peran Belanda, au) adalah proses yang lamban, tetapi akhirnya terjadi perubahan dan muncullah pengakuan umum tentang kesalahan-kesalahan di masa lalu.

Pattipilohy menekankan bahwa walaupun perlawanan terhadap impunitas atas pembunuhan-pembunuhan 1965 mungkin adalah hal yang paling sulit yang kita hadapi, penyebaran informasi mengenai situasi terkait 1965 tetap teramat penting. Menurutnya, film-film buatan Joshua Oppenheimer memainkan peran signifikan dalam memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia bahwa kejahatan-kejahatan semacam itu benar-benar telah terjadi.

 

Menumbuhkan kesadaran publik

Dari presentasi-presentasi dan tanggapan hadirin pada soft launching ini, tersimpul adanya beberapa lapisan aksi yang harus dipertimbangkan. Dua pembicara pertama mengangkat diskusi tentang semua faktor penentu dalam langkah-langkah ke arah IPT (Tribunal) itu sendiri dan ke arah tujuan memperoleh pengakuan internasional dan dari PBB atas terjadinya pembunuhan-pembunuhan serta impunitas yang diciptakan negara Indonesia.

Ini berarti bahwa selain memperoleh dukungan pengacara dan lembaga-lembaga internasional, kita mesti memperoleh bahan bukti yang cukup kuat untuk membangun tuntutan. Dan tidak kurang penting adalah perlindungan mereka yang menyajikan bahan bukti atau merupakan bagian dari pembuktian tersebut. Dua pembicara berikutnya mengangkat diskusi tentang situasi politik Indonesia saat ini dan upaya meningkatkan kesadaran publik.

Dari hadirin ada yang mengingatkan bahwa dalam menciptakan lingkungan yang lebih sadar, kita harus berhati-hati agar tidak memberi amunisi kepada lawan politik untuk menjatuhkan pemerintah sekarang; atau menstigmatisasi anggota keluarga para pelaku yang selama ini membantah adanya peristiwa (1965) ini dan lalu memperlakukan mereka sebagai penjahat.

Satu pertanyaan yang berarti yang diajukan pada akhir acara adalah bahwa bila kampanye ini harus berdengung agar memperoleh perhatian khalayak umum. Pasalnya dengungan seperti apa yang harus diciptakan…

This post is also available in: English