JAKARTA – IPT65 bekerjasama dengan Komnas Perempuan dan YLBHI selenggarakan diskusi bertema “Jalan Berkeadilan Bagi Penyintas” selama 3 hari mulai 17-19 Maret 2017. Bertempat di Kantor Komnas HAM, Jl. Latuharhari 48, Jakarta Pusat, Minggu (19/3).
Harri Wibowo, selaku ketua pelaksana kegiatan bertajuk,’Jalan Berkeadilan Bagi Penyintas’ IPT65 menyatakan, semenjak simposium di Hotel Aryaduta setahun yang lalu, Maret 2016 telah melakukan advokasi dan membangun komunikasi intensif dengan Komnas HAM.
“Bahkan sudah menyerahkan pada akhir Juni lalu pula,” tandasnya saat jumpapers di hadapan awak media di ruang Komnas Perempuan, kantor Komnas HAM di jalan Latuharhari nomor 4B, Jakarta Pusat pada minggu (19/3).
Adapun sebelumnya berdasarkan pantauan pewarta selang kegiatan,”Jalan Berkeadilan Bagi Penyintas” diselenggarakan oleh IPT65 bekerjasama dengan Komnas Perempuan dan YLBHI yang digelar selama 3 hari di beranda Komnas HAM semenjak tanggal 17-19 maret 2017, turut hadir pula, seperti Bejo Untung perwakilan YPKP/IPT65, Sunarsih, Rachma (YLBHI), Ayu Wahyuningrum (Dosen FISIP UI, peneliti), Magdalena Sitorus (istri dari Asmara Nababan, mantan Sekretaris Jenderal Komnas HAM), Nursyahbani yang merupakan salah satu anggota dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (Senat), dan tahun 2004 Nursyahbani terpilih sebagai Anggota Parlemen.
Selain itu turut pula pameran seni rupa (lukisan) secara visual juga alat peraga penyiksaan serta lukisan ‘Repro Karya’ Lorong Genosida 65-66 momen IPT65, pentas musik, peluncuran buku berjudul Buku Final Report itu berisi dakwaan, putusan IPT 65 dan buku ‘Dari Beranda Tribunal’ baik dr dua (2) versi bahasa Inggris dan Indonesia, secara umum berisikan mengenai IPT65, lalu pula buku yang dituliskan merupakan lebih personal lebih banyak menceritakan pihak-pihak yang terlibat people tribunal selama itu digelar.
Kemudian, lebih lanjut Harri Wibowo mengatakan,”Dimana hasil putusan hakim Zac Yacoob, dimana telah ada dua (2) tuntutan dikemukakan, baik itu usulan agar Komnas HAM atas temuan dan data dihimpun setelah simposium di Aryaduta, Lalu juga mengenai temuan kuburan massal,” ujarnya menekankan kembali.
Soalnya, sambung Harwib sapaan akrab Harri Wibowo menyebutkan bahwa dari data yang dihimpun dari korban dan tidak kurang dari sejumlah 120 titik jumlah kerangka dan jenasah yang bervariasi. Maka itulah kemudian diberikan kepada komnas HAM, soalnya dirasa mestinya Komnas HAM mengambil langkah langkah yang proteksi atas temuan yang di dalam kuburan massal selain itu juga salah satu mandat penting dari komnas ham adalah melakukan penyelidikan di dalam pelanggaran kemanusiaan masa lalu.
Lebih lanjut papar Harwib menjelaskan selain telah dikodefikasi oleh Mahkamah Internasional, peristiwa itu telah dinyatakan merupakan salah satu bentuk ‘Crimes Against Humanity Problem’. Namun yang menjadi persoalan kini menurutnya temuan dan kesaksian dari IPT65 belum ditindaklanjuti oleh pihak Kejaksaan Agung RI, padahal mestinya ditindaklanjuti guna melengkapi bukti hukum.”Lalu, bukti tidak kalah dari bukti hukum, adalah bentuk temuan kuburan massal tadi, hingga sampai pada bulan 25 Januari 2017 lalu pertemuan hasil komunikasi 2 mei sebelumnya,” ungkapnya penuh nada kekecewaan.
Sebabnya apa, menurut Harri merasa kondisinya kini ada banyak alasan bahkan dapat kesimpulannya Komnas HAM tidak mau melanjuti kuburan massal. Padahal peristiwa 65-66 itu bentuk kejahatan kemanusiaan dimana terjadi penangkapan sewenang-wenang, kamp kerja paksa, perbudakan (seksual, perkosaan), pengucilan (orang yang tidak bisa kembali dr Eropa),” paparnya.
Sementara itu, Mariana Amiruddin selaku Komisioner Komnas Perempuan menyampaikan alasan Komnas Perempuan turut andil ikut serta dalam persoalan yang terjadi di Indonesia akibat pada 1965 itu, sejatinya demi merasa menghormati dengan mengumpulkan data dan fakta berbasis gender.
“Kami tidak mampu melakukan penyelidikan, namun hanya mampu proses pengumpulan data dan fakta berbasis gender saja, karena itu merupakan tugas dan tanggungjawab Komnas Perempuan,” ungkapnya kembali.
“Komnas perempuan ingin sama-sama melihat bahwa dalam hal ini dijalankan oleh negara, dimana Komnas HAM ingin melakukan penyelidikan dan bongkar kuburan massal serta menujukan pada Presiden Joko Widodo,” tukas Mariana penuh harapan.
Adapun di lokasi dan waktu bersamaan, Dollorosa Sinaga selaku aktivis IPT65 menjelaskan upaya komitmen meneruskan yang merupakan hasil dari persidangan Internasional Den Hag bahkan setelah diadakan simposium, Negara dianggap belum berani menunjukan niatnya.
“Maka itulah disini kami berkumpul dan sepakat meneruskan perjuangan ini, tidak hanya berbentuk simposium, namun berbentuk Kongres. Tujuannya akan mendesak pada negara untuk menuntaskan kasus yang diajukan IPT65,” tandasnya.
“Kami akan sosialisasikan laporan ini ke 9 (sembilan) kota. Pra Kongres ini tentang sosialisasi, hasil keputusan akhir IPT65, lalu ke semarang. Pra Kongres bertujuan memberikan masukan yang diperoleh secara substansial dari tiap kota lalu membahas kembali pengalaman serta kondisi yang dialami dalam pengungkapan terjadi pada 1965,” tuturnya.
“Ke depan akan membawa persoalan ini dalam bentuk kongres dan menghasilkan resolusi untuk pemerintah. Dimana negara dapat menuntaskan persoalan 1965,” jelasnya menekankan.
“Kami berkumpul dan sepakat meneruskan perjuangan ini, tidak hanya berbentuk simposium, namun berbentuk Kongres dimana akan mendesak kepada negara untuk menuntaskan kasus yang diajukan IPT65,” tukasnya.
Kami akan sosialisasikan laporan ini ke 9 (sembilan) kota. Pra Kongres ini tentang sosialisasi, hasil keputisan akhit IPT65, lalu ke semarang. Pra Kongres bertujuan utk memberikan masukan yang diperoleh secara substansial dari kawan kawan tiap kota lalu akan membahas dengan kami, dimana akan bahas pengalaman mereka kondisi yang dialami dalam pengungkapan yang terjadi pada 1965.
“Akan membawa persoalan dalam bentuk kongres, dan menghasilkan resolusi untuk pemerintah dimana negara dapat menuntaskan persoalan 1965,” tutupnya. [Nicholas]
sumber: Radar Indonesia
This post is also available in: English