Benar bahwa tragedi 1965-66 dan rangkaian peristiwa masa-masa setelahnya selalu menarik untuk diangkat kembali dalam perbincangan bertema Hak Asasi Manusia. Tragedi kemanusiaan yang juga disebut dengan geger gestok ‘65 dan lebih menyoroti serangkaian kekejian yang terjadi sejak awal Oktober 1965, memang belum mendapat pengakuan bersalah dari negara. Meskipun menurut banyak ahli dan peneliti sejarah Indonesia, lembaran sejarah hitam bangsa ini telah mulai tersingkapkan tirai-tirai yang menutupinya.

Peringatan Hari HAM Internasional tahun ini juga ditandai dengan cara unik oleh komunitas sinema, yakni pemutaran dan diskusi film dokumenter. Ada 2 film karya para sineas yang dimaterikan di markas Cinema Lover’s Community (CLC) Purbalingga (12/12). Masing-masing “Masean’s Messages” karya sutradara Dwitra J Ariana (Bali) dan “Luka Di Tanah Merah” karya sutradara Bowo Leksono (Purbalingga) yang jua merupakan film dokumenter berlatar tragedi ’65 produksi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Purwokerto.

Momentum peringatan Hari HAM, meski digelar dalam lesehan sederhana, tak mengurangi khidmat dalam menyimak realitas sejarah masa lalu yang sarat dengan kebrutalan operasi militer namun seakan hendak dibisukan kebenarannya sepanjang masa.

 

Masean’s Messages

Film dokumenter “Masean’s Messages” berdurasi 70 menit besutan sineas Dwitra J Ariana yang dibawanya langsung dari Bali ini, lebih bertutur dari sisi bagaimana kearifan lokal masyarakat Banjar Masean dalam melihat dan menempatkan sebuah tragedi kemanusiaan secara adil sekaligus elegan ke dalam penyelesaian kultural. Capaian “rekonsiliasi” yang prosesnya dirintis dari insiatif pemakaman kembali para korban Tragedi ’65 yang ditanam pada sebuah kuburan massal di Desa Batuagung, menjadi sesuatu yang disakralkan dan disepakati bersama.

Dan Dwitra mendokumentasikan inisiatif rekonsiliasi demikian sejak dari pemikiran dan proses realisasinya. Kearifan tradisional Bali Barat dimana tak kurang dari 80 persen populasi pada era 60-an merupakan pendukung politik aliran kiri, memang rentan menjadi korban kebrutalan operasi militer pada masa itu. Publik juga tahu bahwa seorang pejabat Gubernur Bali juga hilang pada masa operasi militer Gestok 65 itu.

Dari sisi teknis sineas bandel ini mendokumentasikan semua, termasuk eksplorasi pemikiran beserta kontradiksinya; dengan bahasa visual dari kamera yang tak henti bergerak namun tak menyakitkan mata pemirsa.

Kearifan Karmapala Masean sendiri mengimani bahwa setiap kejadian dalam realitas sehari-hari tak pernah berdiri sendiri. Begitulah, selama berpuluh-puluh tahun pasca geger gestok ’65, Banjar Masean didera berbagai peristiwa irrasionil yang tertunda penyelesaiannya. Teror gaib, kasus bunuh diri, mendera dimana-mana. Barangkali memang serangkaian peristiwa gaib itu berjalan seiring dengan realitas bagaimana kebenaran dibiarkan terkubur untuk kepentingan politik rejim. Kebenaran bahwa telah terjadi pembantaian manusia dan tindakan demikian itu menentang karmapala.

Masean’s Messages di tangan Dwitra menjadi sinema yang bertutur soal kontradiksi spiritualitas dan sekaligus mencoba menemukan jalan keluar secara arif. Jalan yang tak lagi memisahkan aspek kemanusiaan dalam kubu-kubu politisasi warisan rejim kekuasaan. Ada pengakuan, ada pengampunan; dimana nilai-nilai kemanusian ditinggikan. Lalu disepakati upacara adat yang suci digelar sebagai perhelatan agung untuk itu. Dan Masean’s Messages mebahasakannya dengan jujur dan bernas.

 

Luka Di Tanah Merah

Suasana di perkebunan karet Singaranting yang menjadi lahan kuburan massal.
[Foto: ©Aris Andrianto /Beritagar

Film kedua yang digelar (12/12) malam itu lebih menukik pada subyek sejarah yang menuturkan realitas empiris yang dilakoninya pada jalan hidup yang hendak dibisukan sepanjang masa. Sejumlah wartawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Purwokerto mencoba mengurai labirin yang membeku di peta konflik agraria daerah Cilacap Barat. Fakta bahwa kebrutalan operasi militer Gestok 65 itu juga diikuti oleh aksi-aksi dimana politik kekuasaan telah pula melakukan perampasan tanah-tanah rakyat.

“Film berdurasi 20 menit ini belum cukup menjelaskan problem agraria yang sangat kompleks di sana”, ucap Bowo Leksono sang sutradara.

“Dari film ini kita bisa belajar sejarah dari pelaku langsung, mereka yang selama ini memperjuangkan tanahnya kembali. Ini masih terkait dengan rangkaian peringatan hari HAM Internasional 10 Desember kemarin,” sambung Aris Andrianto. Ketua AJI Kota Purwokerto ini menggandeng Sugeng Petrus, petani yang dituduh anggota PKI dan dipaksa kehilangan tanah garapannya.

Hasil riset agraria sejumlah wartawan AJI menyebutkan terdapat tak kurang dari 7.000 keluarga petani di daerah ini terampas tanahnya. Peta perampasan tanah warisan leluhur ini, dilakukan negara dan korporasi serta aparatus koersifnya melalui 3 pola. Yakni terjadi pada masa penumpasan pemberontakan DI/TII, issue nasionalisasi asset asing dan masa pembantaian massal Tragedi 65. [arp]

This post is also available in: English