Catatan Dari: Ollenk
Mengisi liburan panjang dan hari HAM sedunia yang jatuh tepat hari ini (10/12), saya mencoba menuliskan tentang kondisi penegakan HAM kita yang kadang hiruk-pikuk diperbincangkan lalu kemudian redup; tak bercahaya.
Kala momen politik tiba, issue HAM pun ramai didiskusikan dan diperdebatkan, dan kala kuasa sudah di tangan, issue HAM pun lenyap kayak pesulap pandai menilep ingatan dan nalar sehat kita.
Pelanggaran HAM berat sudah menggunung, dari kasus ‘65-66, DOM Aceh, DOM Papua, Tanjung Priok, Talangsari, Trisakti, Semanggi I & II, Petrus hingga kasus Abepura, Wasior-Wamena dan kasus Munir.
Pada April 2016 lalu, pemerintah menyelenggarakan simposium nasional membedah tragedi 1965 (di Aryaduta_Red), tapi Juni 2016 di Balai Katini juga diselenggarakan simposium tandingan yang dipelopori purnawirawan TNI dan beberapa Ormas Islam.
Menurut saya, pemerintah tidak memiliki desain dan strategi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, kasus 65-66 bukan satu-satunya aib HAM negara Indonesia sehingga perlu penanganan secara komprehensif-holistik.
Penyelesaian HAM berat tak memerlukan lagi simposium atau seminar-seminar. Sekarang saat eksekusi, seperti kata Jokowi. Hasil penyelidikan kasus HAM berat sudah dilakukan Komnas HAM, sekarang tinggal Kejaksaan Agung perlu menindak-lanjuti ke proses penyidikan dan penuntutan.
Bahwa dalam penyelidikan ada kekurangan, kewenangan Kejagung-lah yang menyempurnakan sehingga dapat dibawa ke persidangan pengadilan.
Tapi kenapa Kejaksaan Agung tidak menindak lanjuti?. Disini penegakan hukum HAM terhenti karena sangat tergantung pada kemauan politik pemegang kekuasaan yaitu Presiden.
Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, menindak-lanjuti ke proses penyididikan dan penuntutan kasus pelanggaan HAM berat bergantung apakah Presiden Jokowi mau atau tidak?. Bukan soal ada hukum yang mengatur atau tidak.
Saya membaca kembali apa sih visi-misi Jokowi-JK?. Pada halaman 27 secara jelas disampaikan bahwa: “…akan menyelesaiakan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti: Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talangsari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965”.
Visi Misi tersebut di atas merupakan janji yang tertulis dan akan dilaksanakan apabila terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Alhamdulillah, Jokowi-JK benar terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden dan dilantik pada 20 Oktober 2014.
Keterpilihan Jokowi-JK tidak bisa dilepaskan dari janji penuntasan kasus pelanggaran HAM di atas, sehingga para pegiat dan pembela HAM pun juga memberi dukungan politik pada pilpres dua tahun lalu.
Bahkan sesi debat capres yang paling seru adalah soal HAM, yang merupakan jualan pasangan Jokowi-JK hingga meraih kekuasaan.
Dua tahun sudah kekuasaan rezim Jokowi-JK, tetapi harapan penyelesaian kasus HAM sebagaimana dijanjkan hanya janji palsu, Jokowi-JK telah meng-PHP rakyat dengan buaian visi misi yang melangit tapi tak membumi, tertuang tapi tak terlaksana; berjanji tapi ingkar.
Apa bedanya dengan rezim SBY sebelumnya?. Dalam kasus kematian pejuang HAM Munir, SBY menjanjikan akan segera menyelesaikan kasus tersebut dengan mengatakan bahwa kasus Munir merupakan “test of our history”. Benar saja, kasus Munir akhirnya menjadi sejarah tanpa proses hukum bagi otak dan perencana pembunuhan keji itu.
Salah satu kegagalan penegakan hukum HAM karena para elit dan pemegang kebijakan tertinggi (Presiden dan Wakil Presiden) memelihara para pelaku pelanggar HAM berat di masa lampau.
Sesungguhnya, baik era SBY maupun Jokowi tahu siapa orangnya, tetapi akhirnya harus amnesia karena lebih memilih mempertahankan kekuasaan dibandingkan dengan melaksanakan janji dan kebenaran yang penuh resiko.
Impunitas pun semakin terawat dengan baik bahkan mereka diberi posisi strategis dengan kedudukan dan jabatan yang bisa mempengaruhi penyelesaian kasus HAM berat itu.
Apalah lacur, korban dan keluarga pelanggaran HAM berat ditempatkan secara tidak adil oleh penguasa padahal sumber kekuasaannya berasal dari korban dan keluarganya yang memberi suara di saat pilpres kemudian dihempaskan begitu saja setelah kekuasaan berada di tangan, lalu bersekutu dengan kutu-kutu loncat mengharap perlindungan dari si lucu nan lugu.
Saya sudah membaca RANHAM pemerintah tahun 2015-2019 beserta RPJM hingga tahun akhir periode Presiden, kesimpulan hipotetiknya bahwa saya tidak memiliki harapan soal pelanggaran HAM berat dapat diselesaikan oleh rezim Jokowi-JK kendatipun sisa masa pemerintahannya masih ada tiga tahun.
Mungkin benar kata Kepala Desa di kampung saya: “Syukur-syukur kamu saya janji, jangan lagi kamu minta saya untuk melaksanakannya”. “Kabbulampe…” demikian ujarku saat mendengar kalimat itu.
Pasar Minggu, 10 Desember 2016
This post is also available in:
English