Surat Cinta Joshua!
Wawancara dengan Joshua Oppenheimer 1
Jagal (The Act of Killing), film pertama saya membantu membuka, katakanlah mendorong transformasi soal cara Indonesia membicarakan masa lalunya. Publik, media dan akhirnya pemerintah bahkan mulai bicara tentang genosida sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan sebagai sesuatu yang perlu ditangani. Dan, lebih penting lagi bagi saya, bicara tentang warisan impunitas di masa kini, yang merupakan topik film sesungguhnya: apa yang terjadi sekarang ini di masyarakat bila para pelaku kejahatan tetap bercokol di kekuasaan selama beberapa dasawarsa.
Film pertama akhirnya mulai………
Senyap lebih menyoroti para korban dari film anda yang pertama. Apakah sejak awal dua film itu ada di benak anda?
Ya, ada satu adegan di dalam Senyap, yang sebetulnya merupakan asal usul kedua film; adalah adegan dua laki-laki turun ke pinggiran sungai sambil bergantian memainkan peran korban dan pelaku. Ketika merekam adegan tersebut bulan Januari 2004, saya lakukan satu hal yang belum pernah saya lakukan, yaitu mempertemukan dua orang pelaku dari desa yang bersebelahan. Dua pelaku itu berbicara satu sama lain, mereka itu dari kelompok ormas dan milisi pembantai yang sama namun memimpin kelompok itu di desa yang bertetangga. Saya tidak melakukan itu sebelumnya karena itu berbahaya: mereka dengan mudah dapat saling mengkritik cara masing-masing berbicara kepada saya, lalu melapor ke atasan di garis komando, yang menyebabkan kami ditendang keluar atau ditangkap.
Jadi saya ambil saja risiko ketika itu dan dengan ngeri mendapati bahwa apa yang saya rekam secara pribadi ternyata terjadi di depan umum. Seakan-akan mereka membaca dari naskah yang sama. Seakan-akan semua ini sistemik. Saat itu saya benar-benar merasa seolah-olah Nazi telah menang. Perang Dunia ke II dan 40 tahun kemudian, mendengar bagaimana mereka bicara. Pada saat itu saya sadar akan menghentikan semua hal lain yang saya kerjakan. Ada beberapa proyek lain yang saya laksanakan, dan saya akan menghabiskan bertahun-tahun hidup saya sejauh itu diperlukan untuk menggarap situasi ini. Saya tahu bahwa akan ada dua film, yang satu tentang kebohongan orang untuk membenarkan perbuatannya, dan yang lain tentang dampak mengerikan kebohongan itu. Salah satu film itu akan membahas kehampaan moral yang dihasilkan sejarah pemenang. Juga sebuah film tentang khayalan, pelarian diri dan rasa bersalah, satu mimpi demam dari sebuah film, itulah Jagal.
Namun demikian saya tahu bahwa saya harus membuat film kontemporer yang sama urgennya tentang apa artinya bagi seorang manusia, seorang ibu, sebuah keluarga, bila hidup selama 50 tahun dalam ketakutan dan kesenyapan.
Apakah mungkin membuat film ketiga, ketika sekarang kesenyapan sudah berakhir?
Anda tahu, sebuah trilogi lebih lazim dari sebuah karya dua-jilid, namun karya dua-jilid itu ujungnya lebih terbuka. Dan saya merasa bahwa bab pertama membuka ruang bagi bab kedua untuk menunjukkan kepada khalayak umum Indonesia betapa besar kebutuhan akan kebenaran dan rekonsiliasi. Dan melalui contoh si Adi yang bermartabat dan penuh cinta empati, juga contoh si anak perempuan yang dengan segala kemanusiaan dan keanggunan meminta maaf atas nama ayahnya, film kedua ini hadir dan memperlihatkan bahwa kebenaran dan rekonsiliasi itu mungkin, berada di dalam jangkauan kita, paling tidak bagi generasi lebih muda. Saya kira bab yang ketiga adalah milik rakyat Indonesia (Penonton bertepuk tangan).
Apa kabar Adi ?
Salah satu ironi besar dari film ini, dan barangkali saya memperkenankan sedikit ketegangan di sini.. Adi adalah yang menyukai…… Kami membuat film ini pada tahun 2012 setelah kami membuat dan mengedit Jagal tetapi sebelum mengedarnya. Ketika saya kembali untuk shooting dengan Adi, Adi adalah kawan saya sejak awal dan dia telah menonton semua yang kami perlihatkan kepadanya selama produksi Jagal. Dan hal itu sungguh mentransformasi dia.
Ketika saya kembali ke Indonesia tahun 2012 saya tanya kepada Adi bagaimana kami akan mulai, dan dia mengatakan bahwa dia merasa perlu ketemu para pelaku karena: “Saya kira jika ketemu saya, mereka akan mengakui bahwa perbuatan mereka itu salah, dan saya akan mampu memaafkan mereka. Kami kemudian akan bisa hidup bersama sebagai manusia dan membangun masyarakat, dan keluarga saya akan terangkat keluar dari perangkap ketakutan yang mencekam orang tua saya. Saya tidak ingin anak-anak saya mewarisi penjara ketakutan yang mengurung orang tua saya.“ Pada awalnya saya mengatakan jangan, kami tidak bisa menjumpai pelaku, terlalu berbahaya. Saya belum pernah melihat film yang mempertontonkan penyintas berhadapan dengan pelaku, sementara pelaku itu masih berkuasa. Saya kira ini belum pernah dilakukan dalam sejarah film dokumenter, konfrontasi seperti itu sementara para pelaku masih dalam kekuasaan. Karena itu saya bilang tidak.
Tetapi Adi menjelaskan mengapa dia ingin menjumpai pelaku, lalu saya berpikir betapa luhurnya niat ini, sehingga mestinya itu mungkin dan kita harus mencari jalan untuk melakukannya secara aman. Namun, ironi besar adalah , walaupun Adi telah pergi menjumpai orang-orang itu untuk mencoba paling tidak menciptakan suasana untuk meminta maaf, dia sesungguhnya diperlakukan sebagai buronan. Dia dan keluarganya… Kami terpaksa membantu mereka pindah ke sebuah lokasi yang lebih aman di Indonesia, terbebas dari bayang-bayang orang-orang yang melakukan (kejahatan) ini terhadap keluarganya, memungkinkan anak-anaknya masuk ke sekolah yang lebih baik, sehingga keluarganya berada di tengah komunitas pembuat film, aktivis HAM, wartawan kritis yang dapat mendukung dan menghormati kerja mereka.
Tentu saja kami mempunyai Rencana B dan Rencana C, termasuk mengungsikan mereka dari Indonesia, tetapi setelah respon media yang begitu bagus atas film ini di Indonesia, saya meragukan apakah hal itu masih perlu. Namun ini merupakan tragedi yang jelas, dan sebuah pertanda betapa masih panjangnya jalan yang harus ditempuh Indonesia menuju demokrasi sejati, dengan hukum yang berlaku sama baik bagi yang paling berkuasa maupun bagi yang paling rentan. Inilah tolok ukur demokrasi yang sesungguhnya.
Kenyataan bahwa mereka harus pindah dan direlokasi , meninggalkan tempat asalnya, adalah pertanda betapa jauhnya negara masih harus berjalan sebelum kita dapat menghormatinya sebagai demokrasi.
Apa hubungan anda sendiri dengan Indonesia setelah kedua film ini?
Kedua film ini saya lihat sebagai satu karya, karena keduanya merupakan satu penjelajahan bagi saya. Saya pikir bahwa saya belajar banyak tentang pengampunan Adi. Saya belajar betapa pentingnya untuk tidak begitu saja mencap seseorang yang telah melakukan kekejaman sebagai makhluk kejam yang mengerikan. Karena setiap makhluk manusiawi, bahkan pelaku yang paling menakutkan sekalipun, sebetulnya sama rentannya dengan seekor burung kecil. Kita semua begitu rapuh. Saya berharap film-film ini mendorong semua untuk saling menjaga dan merawat. Ini adalah surat cinta saya untuk Indonesia, ini surat cinta crew kami untuk Indonesia. (Penonton bertepuk tangan).
(1)lSetelah screening film Senyap (The Look of Silence) di Festival Internasional Film Dokumenter Amsterdam (IDFA) tanggal 23 Nopember 2014.
This post is also available in: English
Leave A Comment
You must be logged in to post a comment.