Oleh: Karlina Supelli
Saudara-saudara yang terhormat, Salam Budaya,
Batang Garing atau Pohon Kehidupan berbuah dan berdaun emas. Pucuknya runcing menjulang ke langit seolah-olah menunjuk ke kuasa Ranying Mahatala Langit yang menurunkan para leluhur ke Bumi(1). Di sekitar pohon terlihat rupa-rupa bentuk. Tampak dua ekor ketam, masing-masing di kiri dan kanan bagian batang yang dekat ke tanah. Saat kedua ketam berpasangan, mereka beranakpinak banyak sekali. Lewat kecerdasan menganyam perempuan-perempuan Dayak Ngaju menuangkan kisah asal muasal mereka langsung dari ingatan menjadi selembar tikar rotan(2). Ketika hutan menipis, rotan semakin langka.
Di Kalimantan Timur, perempuan Dayak Benuaq memintal serat tanaman Doyo (Curculigo latifola) menjadi benang, mencelupnya ke pewarna dari sari tetumbuhan lalu menenunnya menjadi ulap (tenun) Doyo yang elok. Sudah beberapa belas tahun terakhir ini perempuan-perempuan Dayak Benuaq kesulitan menemukan tanaman Doyo yang hanya hidup di lantai-lantai hutan yang gelap dan lembap. Hutan sekitar kampung beralih menjadi perkebunan raksasa monokultur, atau habis terbabat untuk industri perkayuan atau bekas galian tambang yang dibiarkan menganga meninggalkan kubangan raksasa.
Bagi banyak masyarakat adat di Indonesia, hutan bukan sekadar sumber mata pencaharian. Hutan terutama adalah acuan bagi rasa merasa akan kosmos, sejarah muasal, tata hukum dan tunjuk ajar perilaku. Di atas tikar dan tenun itulah terjalin kisah tawa dan airmata suku mereka serta adat kebiasaan. Kita dapat menilik ukiran di Rumah Lamin masyarakat Dayak Kenyah Datah Bilang Hulu di Kalimantran Timur untuk menemukan kisah migrasi mereka menembus hutan dan meniti tepian sungai. Mereka berjalan selama hampir satu abad sambil mengolah tanah untuk berladang. Kelekatan dengan hutan, tanah dan sungai juga kita temukan dalam nyanyian panjang Orang Petalangan, Bujang Tan Domang. Atau dalam tuturan Orang Amungme tentang danau sebagai sumsum tulang, tanah sebagai tubuh dan gunung sebagai kepala. Dari karya-karya budaya seperti itulah kita mengerti bingkai pengetahuan dan sistem nilai yang melahirkan cara bertindak terhadap alam serta sesama. “Sakola Hate,” demikian seorang tetua adat Baduy Dalam menamakannya.
Dengan penggalan-penggalan pendek itu marilah kita bayangkan Indonesia tiga puluh dua tahun yang akan datang, pada peringatan seabad kemerdekaan. Itulah saat hutan di Kalimantan diramalkan mendekati punah apabila laju pembabatan tidak berkurang—2-6x lapangan sepak bola per menit. Itulah juga saat sebagian besar mineral yang berharga serta minyak bumi sudah tersesap habis, kecuali ekplorasi menghasilkan sumber-sumber baru terbukti di cekungan-cekungan ramalan. Bersama kerusakan hutan dan lenyapnya puspa satwa, rupa-rupa intuisi, imajinasi dan sumber-sumber pengetahuan tergulung pelan-pelan ke balik kabut waktu.
Mungkin kita tidak perlu terlalu gelisah. Kita tidak menyesali peradaban kuno yang punah lebih daripada kita menyesali mamut yang juga sudah binasa, demikian pendapat filsuf Richard Rorty. Manusia masa depan boleh jadi akan lebih baik dengan kemajemukan budaya hasil persilangan yang kaya(3). Seperti mamut meninggalkan fosil, kebudayaan meninggalkan jejak dan tradisi dari generasi yang sudah mati. Dia bagai mimpi buruk yang menghantui benak generasi berikutnya. Masalahnya, kita tahu bahwa kita bukan sedang berada di ruang akademis untuk mempertarungkan gagasan tentang siapa sang pemenang dalam evolusi kebudayaan. Kita berhadapan dengan persekongkolan untuk memperebutkan apa saja yang bisa dijarah dari negeri ini. Lahirlah ironi berikut ini: sementara kearifan lokal terus disanjung sebagai tradisi yang perlu dirawat dan diwariskan, rujukan material-spiritualnya justru hancur berantakan. Rupanya bukan tradisi itu sendiri yang ingin dibela, melainkan citra tentang tradisi yang lebih mudah untuk dikemas dalam pertunjukan.
Jerit Kepala adat besar Masyarakat Dayak Bahau pun menggema sepanjang Mahakam, “hutan raya di sini adalah hidup kami … dengan kehilangan hutan … kami akan kehilangan segalanya … Kami akan mempertahankannya dengan nyawa kami”(4). Tentu merupakan suatu tragedi apabila ramalan pelapor khusus PBB tentang Masyarakat Adat dan Hak atas Pangan sungguh menjadi kenyataan(5). Pembangunan industri ketahanan dengan membuka hutan seluas sejuta hektar di sekitar Merauke justru akan meruntuhkan ketahanan pangan 50.000 anggota suku Malind dan sekitarnya.
***
Saudara-saudara yang terhormat,
Bagaimanakah kita akan memahami isi dialog kebudayaan kita sekarang ini? Atau mungkin pertanyaan itu keliru? Mungkin dialog itu sudah lama berhenti dan kita terseret sajamengikut arah ke mana arus mendamparkan kita. Alangkah sulitnya memenuhi undangan untuk menyampaikan Pidato Kebudayaan ini.
Saya tidak fasih dengan kerumitan masalah-masalah kebudayaan, apalagi kalau ditinjau dari realisasinya yang paling langsung dan kasat mata, yaitu seni. Cukup lama saya menjadi peneliti bidang ilmu-ilmu kealaman, khususnya kosmologi dan astrofisika. Sebuah bidang yang dalam keluhan C.P Snow di kuliah terbuka 1959 di Universitas Cambridge, berada di kutub berseberangan dengan humaniora atau ilmu-ilmu budaya. Tidak adajembatan di antara keduanya. Snow mengkritik pola pendidikan yang membentangkan jurang lebar di antara keduanya—a gulf of mutual incomprehension(6).
Dari salah satu sisi jurang itulah terdengar sindiran penyair William Blake kepada Newton sang begawan fisika jauh di seberang, “May God us keep/From Single vision and Newton’s sleep!” Blake menganggap Newton telah memicu cara pandang materialistik yang menciutkan dunia ke visi tunggal. Sungguh berbahaya jurang itu, kata Snow di bagian akhir kuliahnya. Ilmu dan teknologi akan melesat tanpa dibarengi dengan perkembangan kebudayaan dan moral yang memadai, padahal keduanya merupakan landasan material bagi hidup kita. Snow menutup kuliahnya dengan sebuah himbauan,
Demi kehidupan intelektual … demi masyarakat Barat yang hidup kaya raya namun rapuh di tengah-tengah kemiskinan dunia, demi kaum miskin yang tidak perlu hidup miskin seandainya dunia cukup cerdas … Menjembatani dua budaya itu adalah sebuah keharusan, baik dalam arti intelektual maupun praktis. Ketika keduanya terpisah, masyarakat tidak lagi dapat berpikir dengan bijak.
Bukan karena himbauan Snow ketika akhirnya saya memutuskan belajar filsafat. Kosmologi membawa saya jauh ke tepian semesta, ke sebuah masa ketika kosmos masih berupa dawai-dawai energi yang orkestrasinya menghadirkan ruang waktu beserta seluruh isinya, termasuk aneka gejala sehari-hari yang kini menggelisahkan kita. Kosmologi, sebuah bidang perbatasan yang membuat saya tidak dapat mengabaikan mitologi sekaligus tidak dapat mengabaikan fisika dan matematika. Juga sebagai bagian dari ilmu-ilmu kealaman kontemporer, kosmologi meneruskan kerinduan purba manusia untuk memahami asal usulnya. Di situ saya terbentur pada corak antropologis pengetahuan. Atau dengan ungkapan lebih sederhana, batas pengetahuan manusia ketika berhadapan dengan kehendak yang selalu ingin mengetahui lebih.
Pelan-pelan saya belajar. Di dalam tubuh saya, di antara sel-selnya yang renik terdapat materi yang sama dengan yang terdapat di ruang-ruang senyap antar bintang. Saya adalah alam. Tubuh saya patuh kepada hukum gravitasi sama seperti benda-benda langit.
Tubuh saya akan hancur terurai menjadi tanah dan debu. Suatu hari tubuh saya akan kembali ke alam. Namun, saya juga belajar mengatasi hukum-hukum alam yang deterministik sekaligus memanfaatkannya, dimulai dengan belajar berenang lalu naik pesawat terbang.
Demikianlah ilmu-ilmu kealaman membawa saya tertatih-tatih melalui jalan melingkar akhirnya sampai ke pengertian kebudayaan. Filsafat membantu saya memahami, kelirulah kita apabila melawankan alam dengan budaya. Kebudayaan adalah alam yang membangun daya-daya bagi transendensi—alam yang melampaui kealamannya sendiri(7) Hidup dalam kebudayaan adalah hidup terayun dalam tegangan ini.
***
Ada masa ketika kebudayaan dipandang sebagai pencapaian tertinggi peradaban
dalam menata rasa merasa, olah pikir dan laku bertindak agar sejalan dengan nilai-nilai agung yang memantulkan kemanusiaan manusia—nilai-nilai keindahan, keluhuran, dan kebaikan. Manusia bukan satu-satunya mahluk yang mengolah alam. Tetapi dialah satu-satunya mahluk yang sekaligus juga mengolah budi (mind; nalar hanyalah salah satu aspek budi). Dari upaya mengolah tanah untuk bertahan hidup, kata agri-cultura mendapat makna figuratifnya menjadi cultura animi. Seperti lahan subur yang tidak membuahkan panen kecuali kita olah, demikianlah budi manusia tidak menghasilkan apa-apa kecuali kita olah dengan tekun. Demikian keyakinan Marcus Tullius Cicero, filsuf dan orator Romawi abad pertama sebelum Masehi(8)
Kira-kira dua setengah abad sebelumnya, filsuf Yunani Aristoteles melahirkan istilah koinonìa politikè dalam karyanya Politicon (c. 335-323 SM). Para filolog sepakat bahwa istilah inilah yang pada abad pertengahan diterjemahkan ke bahasa Latin menjadi societas civilis, atau civil society. Kita menerjemahkannya menjadi masyarakat warga atau masyarakat sipil. Apa hubungannya dengan kebudayaan? Bagi Aristoteles, manusia yang sudah membangun kota (Yunani: polis; Latin: civitas) dan hidup sebagai warga kota/negara (civis) tidak lagi melulu mengikuti naluri alamiahnya dan bertindak semau-maunya tanpa aturan. Warga akan bertindak sebagai komunitas politik yang bertujuan mencapai kebaikan tertinggi bagi kehidupan bersama(9). Dari civis, civitas lahirlah civilization.
Melalui sejarah yang panjang, konsep-konsep tersebut berjalin dan tidak selalu memperlihatkan batas-batas yang tegas(10). Para pemikir Eropa sampai akhir abad ke-18 masih menggunakan kata kebudayan dan peradaban secara saling bertukar. Kebudayaan meliputi proses belajar dan pengejawantahan nilai-nilai intelektual, spiritual dan estetik manusia sebagai mahluk yang beradab, khususnya seni, sastra, filsafat, agama, ilmu pengetahuan, dsb. Peradaban menandai proses dan hasil belajar tersebut. Dalam refleksinya atas Revolusi Prancis, misalnya, Edmund Burke menulis, “sikap kita, peradaban kita, dan semua hal-hal baik yang terkait dengan keadaban dan dengan peradaban”(11).
Dipandu oleh semangat Pencerahan yang percaya pada gagasan manusia universal, para pemikir Eropa percaya bahwa semua manusia, kendati berbeda ras dan asal muasalnya, akan sampai ke tingkat peradaban yang sama. Seolah-olah ada garis lempang—hukum sejarah—yang akan membawa setiap kelompok masyarakat di dunia ke arah yang sama. Tentu ada pengandaian bahwa kebudayaan tertinggi manusia terjelma dalam kebudayaan Eropa. Dalam pengertian ini, baik kebudayaan maupun peradaban sama-sama mengandung makna deskriptif dan normatif.
Kebudayaan dalam arti normatif menunjuk ke kemampuan manusia mengatasi tegangan antara determinisme alam dan peluang bagi kebebasan budi, antara naluri-naluri yang buas dan pertimbangan etis. Peradaban dalam arti normatif menunjuk ke bentuk-bentuk masyarakat yang telah tercerahkan oleh kemanusiaannya sebagai lawan dari barbarisme. Darwinisme sosial yang berkembang abad ke-19 tidak saja menjadi alat analitis, tetapi strategi untuk menyebarluaskan peradaban Barat ke kawasan lain dunia. Sebuah misi memberadabkan kelompok masyarakat yang dinilai barbar. John Stuart Mill menuliskan pendapatnya dengan tegas, “Masyarakat ‘barbar’ perlu ditaklukkan dan dikuasai oleh orang asing demi kebaikan mereka sendiri … Orang-orang barbar tidak punya hak sebagai bangsa kecuali hak untuk menerima perlakuan … yang akan membuat mereka beradab” (12). Tidak perlu refleksi panjang untuk melihat kaitan gagasan di atas dengan pelunakan kata kolonialisme menjadi misi pemberadaban.
Perjumpaan dengan keanekaragaman kebudayaan di luar Eropa menimbulkan kegamangan di kalangan ilmuwan dan para pemikir Barat. Ketika di Eropa berkumandang ideal Pencerahan mengenai kesamaan martabat manusia universal, di kawasan kolonial penduduk pribumi menerima perlakuan tidak manusiawi. Kaum Romantisis melancarkan kritik yang keras terhadap rasionalitas dan pengandaian sejarah linier manusia. Dari situ mereka membedakan konsep kebudayaan dari peradaban, seraya menekankan bahwa kebudayaanlah yang semestinya menjadi penanda bagi perkembangan manusia. Setiap masyarakat mengembangkan cara hidup menurut bingkai pengetahuan dan perangkat nilainya sendiri. Tidak ada narasi tunggal menuju satu model peradaban. Kita tidak dapat membandingkan kebudayaan yang berbeda dengan mengenakan tolok ukur yang berasal dari suatu kebudayaan. Para pemikir Jerman abad ke-19 menggunakan kata Zivilisation untuk menunjuk ke konsep utilitarian kebudayaan seperti teknologi, ekonomi, hukum, dll. Sedang Kultur berisi pencapaian tertinggi aspek rohani dan intelektual seperti sastra, seni, ilmu pengetahuan, dan agama. Dari bingkai inilah lahir konsep kemajemukan dan relativisme budaya. Pada masa pascakolonial, yang lain dan yang berbeda ini menuntut cerita-cerita kecil didengar ketimbang kisah besar yang mau mendaku kesahihan universalitas. Dari satuan- satuan kebudayaan itu lahir satuan-satuan politik. Kebudayaan menjadi landasan jati diri suatu bangsa berdasarkan keterikatannya ke tanah air, tradisi dan bahasa.
Ketika aspek deskriptif dan normatif peradaban retak sehingga suatu peradaban tidak lagi dapat menjadi tolok ukur bagi hal-hal yang baik dan luhur, kebudayaan akan mengambil peran sebagai kritik atas peradaban. Namun yang sebaliknya juga dapat terjadi. Bila suatu kebudayaan dipandang masih memperlihatkan ciri-ciri kaum belum beradab, peradaban mengambil tugas untuk mendidik kebudayaan. Segeralah tampak bahwa kedua konsep ini, kebudayaan dan peradaban, kendati berbeda landasan epistemologisnya sama-sama dapat digunakan untuk mencapai tujuan politis.
Entah sebagai misi meningkatkan peradaban atau sebagai koreksi budaya, pemerintah kolonial Belanda membungkusnya ke dalam Politik Balas Budi menjelang permulaan abad ke-20. Kebudayaan ibarat paket yang dapat disusun rapi ke dalam kotak lalu dikirim ke tanah jajahan untuk meningkatkan cara pikir, cara merasa dan cara bertindak penduduk terjajah agar sesuai dengan tolok ukur kebudayaan modern, namun masih dalam kontrol kepentingan kolonial. Ketika Politik Balas Budi terbukti tidak terlalu berhasil, pemerintah kolonial beralih ke ‘tugas mulia’ mendukung pengembangan ilmu-ilmu murni, sehingga melahirkan apa yang dalam sejarah ilmu dikenal sebagai periode gemilang keilmuan Hindia Belanda menjelang akhir zaman kolonial(13). Kajian atas periode ini memperlihatkan hubungan saling menguatkan antara strategi politik dan ilmu-ilmu murni melalui politik-kebudayaan.
***
Kebudayaan adalah peta jerih payah manusia yang tidak pernah selesai. Sebagian selalu saja berisi kawasan yang tidak terjelajahi, sebagian lainnya tinggal sebagai kawasan gelap yang menjadi terang sedikit demi sedikit hanya kala perjalanan membawa kita sampai ke sana, sebagian lainnya tidak pernah terealisasi sama sekali, dan sebagian lagi terbuka sebagai kemungkinan-kemungkinan baru. Strategi kebudayaan kolonial untuk membentuk pamong praja pribumi yang cukup cerdas tetapi jinak, justru menjadi siasat kaum muda terdidik nasionalis untuk mempersiapkan Indonesia.
Apa yang menarik dalam pelbagai silang pendapat untuk mendefinisikan kebudayaan Indonesia adalah bahwa bingkai konseptual di atas tidak mengalami banyak perubahan. Kedua pihak yang berdebat sama-sama memaknai kebudayaan dengan mengandaikan adanya golongan yang sanggup memilah mana nilai-nilai yang layak dibudidayakan serta dinamakan kebudayaan Indonesia, dan mana yang tidak. Kemerdekaan tidak membebaskan kebudayaan dari tegangan antara kebebasan berkreasi dan kepentingan politik maupun bisnis. Melalui macam-macam pertarungan akademis dan ideologis, kebudayaan dalam pelbagai wujudnya— apakah itu sistem gagasan, perilaku ataupun benda-benda—dipilah tidak lagi berdasarkan kandungan instrinsiknya yang akan membuat kita dengan jernih dapat mencerna dan memahami apa itu kebaikan tertinggi, keindahan dan keluhuran. Nilai-nilai itu dipilah berdasarkan tolok ukur kegunaan. Ketika turun ke dalam kebijakan kebudayaan, arti kegunaan terus bergeser mengikuti motif politik-ekonomi yang dominan.
Pada mulanya kegunaan memang dilekatkan ke cita-cita humanistik menghadirkan modernisasi, namun pergeseran selanjutnya menafsirkan kegunaan sebagai mobilisasi massa untuk mendukung politik zaman, dan lalu untuk membentuk subjek budaya yang patuh menjalankan pembangunan serta menjaga kestabilan politik. Nilai-nilai budaya diperlakukan lebih sebagai aturan dan bukan sebagai terang budi dan rasa merasa yang dengan cara kreatif akan mengembangkan cara berpikir dan bertindak. Kebudayaan menjalankan fungsi pedagogis searah untuk melatih perilaku warga negara mencapai tujuan politik nasional maupun internasional.
***
Reformasi membawa cukup banyak perubahan bagi praktek-praktek pekerja budaya, terutama menyangkut kebebasan berekspresi. Pada saat bersamaan, nalar ekonomi atau nalar korporasi yang semakin leluasa mencengkeramkan pengaruhnya ke hampir semua bidang kehidupan, membuat apa yang tampak sebagai demokratisasi kebudayaan sebetulnya lebih tepat dilihat sebagai kebebasan yang batas-batasnya ditentukan oleh kepentingan pasar.
Tentu saja, tanpa pasar tidak ada kesejahteraan seniman dan para pekerja budaya. Masalahnya bukan ada atau tidak ada pasar. Sejak dahulu kala pasar sudah ada. Persoalannya adalah bagaimana nalar ekonomi mengendalikan, mengatur dan mengarahkan pelbagai bidang seperti pendidikan, politik, kebudayaan, dll melulu berdasarkan prinsip dan kinerja pasar.
Asal muasal nalar korporasi adalah kepentingan ekonomi-politik. Tepatnya, nalar ekonomi (reason of economy) yang digerakkan oleh motif dagang. Dalam bingkai ini, model individu yang dijajakan adalah Homo oeconomicus (14). Siapakah mahluk ekonomi itu? Kata Hollis dan Nell, “siapapun dia, kita tahu pasti, dia adalah sosok yang akan memburu hasratnya, apapun itu, dengan ganas” (15). Pada mulanya, nalar ekonomi punya maksud mulia. Ia lahir dari rahim monarki absolut di Eropa Barat yang tumpuannya adalah nalar kenegaraan (reason of state). Nalar kenegaraan menempatkan negara di atas semua pertimbangan, termasuk agama dan moralitas. Ada ancaman besar menunggu di sini. Negara dapat jatuh ke petualangan otoritarianisme. Agar nalar kenegaraan tidak menjadi sebagai satu-satunya prinsip, pandit-pandit ekonomi-politik menciptakan mekanisme di dalam nalar kenegaraan itu sendiri. Dari sejarah ekonomi-politik, kita belajar bagaimana motif dagang pelan-pelan memangsa motif kenegaraan dengan menyusupkan logika internal ekonomi ke dalam berbagai elemen konstitusional.
Kalau kita kembali ke pengertian kebudayaan dan civis (warga negara), tanpa perlu tergelincir ke konsep civilization, dapatlah kita menarik hubungan antara kebudayaan dan konsep tentang masyarakat warga. Bolehlah kita katakan bahwa salah satu cita-cita kebudayaan adalah merancang pendidikan untuk menghasilkan warga negara yang mempunyai visi mengenai kebaikan tertinggi bagi kehidupan bersama. Apakah itu dalam pendidikan, seni, ilmu, politik, hukum, dsb. Cita-cita inilah yang diam-diam dicuri oleh nalar ekonomi dan dialihkan ke agenda untuk mendidik konsumen. Konsumen tidak dididik untuk mampu mengembangkan daya-daya abstrak-imajinatif-kreatif serta berpikir kritis dan rasional. Konsumen dididik hasrat (naluri, emosi) dan kebiasaan-kebiasaan kulturalnya agar menghendaki segala hal gemerlap yang ditawarkan pasar. Sebuah bangsa yang warganya telah kehilangan daya berpikir abstrak-imajinatif dan kreatif tidak mungkin memiliki imajinasi kolektif tentang negara-bangsa.
***
Saudara-saudara yang terhormat,
Barangkali sebagian dari kita bertanya-tanya. Perlukah kita gelisah dengan gejala itu? Ada baiknya kita menyimak informasi mengenai kegemaran dan kepercayaan diri masyarakat Indonesia untuk berbelanja. Dari hasil penyigian beberapa bulan pertama tahun 2013 ternyata indeks kepercayaan konsumen Indonesia paling tinggi (124) di antara 58 negara-negara Asia Pasifik, Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa dan Timur Tengah. Kepercayaan diri orang Indonesia untuk berbelanja bahkan jauh lebih tinggi daripada masyarakat negara-negara makmur seperti Switzerland (98) dan Norwegia (98) (16). Konsumen Indonesia juga mudah terpengaruh iklan.
Barangkali kita kurang jeli. Konsumerisme adalah proses kebudayaan dalam ideologi tata dunia baru yang kita sebut globalisasi (17). Melalui berbagai label yang menggiurkan ideologi itu mendesakkan gaya hidup mewah, prestise, status dan prinsip-prinsip kenikmatan ke dalam benak bawah-sadar konsumen. Mengertilah kita bahwa konsumerisme bukan hanya soal psikologis atau gejala sosial, melainkan gejala budaya yang sengaja dirancang untuk memungkinkan mesin industri gaya hidup terus berputar. Seperti mahluk rakus yang tidak pernah kenyang, konsumerisme melahap lahan hijau untuk pembangunan sentra-sentra bisnis dan mencampur aduk ruang-ruang kultural dengan ruang-ruang ekonomi.
Dalam dunia kontemporer, salah satu sumber kenikmatan terbesar berasal dari teknologi digital. Inilah teknologi yang melahirkan dunia maya dan kita boleh bangga karena Indonesia adalah salah satu dari sepuluh negara pengguna terbanyak internet. Namun penggunaan terbanyak (95%) masih untuk media sosial. Indonesia juga merupakan negara pengguna aktif facebook nomor empat di dunia. Lebih menakjubkan lagi, ciapan (twit) terbanyak ternyata berasal dari Jakarta. Jakarta adalah kota dengan ciap-ciap tertinggi di dunia, 15 twit/detik.
Sebuah budaya baru telah lahir bersama teknologi digital. Itulah budaya selalu terhubung (always online), budaya komentar (comment culture) (18) dan kecenderungan untuk selalu berbagi (sharing) (19). Gejala ini membawa kita ke situasi paradoks. Sementara kita menyadari bahwa masalah-masalah yang mendera semakin membutuhkan pemikiran yang mendalam, “kita menciptakan budaya berkomunikasi yang justru mengurangi waktu kita untuk berpikir tanpa tersela … di bawah godaan untuk segera melontar komentar … kita tidak lagi punya cukup waktu untuk memikirkan problem-problem yang rumit,” tulis seorang peneliti media sosial Sherry Turkle (20). Hasrat untuk segera berkomentar atau menyimak komentar orang lain tentang kita, menjadikan kita mahluk pauseable, bisa dijeda, seperti tape atau video recorder(21).
Hidup dalam simpang siur informasi dan kemungkinan merancang diri secara baru tentu melahirkan kegagapan yang luar biasa. Informasi dengan gampang mengambil wujud kebenaran, promosi iklan mengambil bentuk komunikasi intim, dan citra menggantikan realitas. Kalau hermeneutik berisiko menggusur kebenaran ke permainan kosa kata, teknologi digital merancang isi kebenaran dan menciptakan dunia makna. Tanpa tersedia cukup waktu untuk menakar informasi, citra hadir silih ganti, tumpang tindih sebagai potongan-potongan realitas berisi pernyataan yang terpatah-patah. Dunia maya merupakan sebuah dunia tidak teraba tetapi menimbulkan efek yang nyata dan dialami sebagai ruang, relasi, pencipta nilai-nilai baru(22).
Analisis di atas mungkin terkesan berlebihan dan terlalu pesimistik. Namun kalau kita perhatikan hubungan antara laju pertumbuhan pengguna internet di Indonesia yang bersifat eksponensial dan garis linier pertumbuhan indeks pembangunan manusia pada kurun waktu yang sama, barangkali kebanggaan kita akan terasa getir. Indeks pembangunan manusia menunjuk ke derajat kesehatan, perbaikan pendidikan dan kesejahteraan hidup wargakebanyakan(23).
Kesenjangan yang mencolok antara dua pola pertumbuhan itu sekurang-kurangnya menggambarkan betapa tidak ada korelasi antara kecanggihan menggunakan piranti teknologi dan jatuh bangun hidup warga kebanyakan. Di satu sisi, setiap jam dua ibu di Indonesia meninggal karena melahirkan, porsi terbesar tenaga kerja Indonesia adalah lulusan SD ke bawah (55,1%)—penanda bagi tingginya putus sekolah. Sementara kefasihan membaca sekitar 30% siswa berusia 15 tahun berada di bawah tingkat paling rendah(24). Artinya, sementara 7 juta penduduk masih buta huruf, tingkat melek huruf siswa-siswa itu belum sampai ke tahap yang memungkinkan mereka berpartisipasi efektif dan produktif dalam hidup sehari-hari. Di lain sisi, ekonomi semakin jauh meninggalkan produksi barang/jasa kebutuhan riil sehari-hari. Ekonomi lebih berhubungan dengan transaksi produk-produk finansial yang memungkinkan orang meraih laba besar hanya dengan mengandalkan rumor bahwa akan terjadi transaksi.
Saya sama sekali tidak bermaksud menyederhanakan persoalan teknologi digital ini ke urusan baik atau buruk belaka. Saya juga tidak bermaksud menegasikan karya-karya kreatif mencengangkan yang lahir dari generasi muda dengan memanfaatkan teknologi digital dan dunia maya. Seperti banyak gejala di bawah langit, teknologi mengandung kemenduaan di dalam struktur pengembangannya dan karena itu melahirkan sikap ambigu terhadap teknologi. Kemenduaan mendasar teknologi di dalam rancangannya inilah yang memaksa kita mengikuti cara kerjanya melalui kenikmatan gaya hidup yang dihasilkan. Sebuah paksaan yang membius. Dalam arti ini pula teknologi kontemporer bukan sekadar menghadirkan benda. Dia menghadirkan piranti (device). Benda masih mempunyai kaitan dengan konteks tetapi piranti menyembunyikan bagaimana dan mengapa suatu jenis teknologi lahir. Konteks dianggap tidak relevan bagi pengguna(25). Kinerja masyarakat modern konsumtif digerakkan oleh prinsip-prinsip formatif piranti ini. Prinsip ini mencerabut seluruh bingkai kultural teknologi yang terjalin dalam proses, produk dan praktek. Satu-satunya hal yang mengemuka adalah fungsi kemudahan mencapai tujuan dan kenikmatan. Pelan-pelan kita beralih dari masyarakat teknofobia (takut akan teknologi) ke teknofilia (pecinta
teknologi).
Dalam kebudayaan tradisional, teknologi merupakan upaya manusia untuk mencapai keseimbangan dengan alam. Ketika keseimbangan tercapai, masyarakat pengguna akan menganggap teknologi sudah memenuhi fungsinya. Teknologi berikutnya muncul apabila ada tantangan lingkungan yang tidak dapat lagi ditangani oleh teknologi lama. Corak ini membedakannya dengan teknologi kontemporer yang memang sengaja dirancang untuk tidak mencapai keseimbangan. Teknologi baru akan menciptakan dan memaksakan sasaran yang sebelumnya tidak terbayangkan, semata-mata karena teknologi dapat melaksanakannya dan karena ada sistem ekonomipolitik yang menopangnya. Dia seperti mahluk yang gelisah, selalu mau baru(26). Lewat daur berulang itulah teknologi menjinakkan selera manusia dan terus menerus meningkatkan hasrat akan piranti yang pada gilirannya menggemukkan pundi- pundi para pemodal.
Refleksi mengenai dampak teknologi terhadap cara kita berpikir dan bertindak menjadi tragis ketika kita menyadari, betapa lemah kapasitas kita sebagai bangsa untuk memproduksi piranti teknologis dalam keanekaragaman bentuknya. Bius teknologi bukan hanya membuat kita rancu membedakan mana yang kita perlukan dan mana yang kita inginkan, melainkan juga melepaskan cengkeraman kita ke dunia kongkret.
Untuk tidak mengulang litani mengenai hal itu, saya memaksudkan uraian di atas sebagai cermin. Betapa diskusi-diskusi kebudayaan yang cenderung membatasi diri pada nilai-nilai luhur atau kebudayaan sebatas warisan akan terdengar gagap dan hampir-hampir lumpuh menghadapi brutalitas fakta sosial, ekonomi dan politik sebagai realitas objektif sehari-hari kita. Saya melihat ada dua hal yang dapat diturunkan dari paparan di atas.
Pertama, pegangan kepada nilai-nilai memberi kita alasan yang bagus, kuat dan masuk akal untuk bertindak baik dan mengubah perilaku yang kita anggap buruk. Keyakinan itu mengandaikan nalar dan rasionalitas mampu menundukkan hasrat. Namun seorang filsuf dari Inggris, David Hume, tidak percaya begitu saja. “Nalar adalah, dan semestinya hanya menjadi budak hasrat”(27). Kesimpulan yang terdengar suram ini tentu bukan anjuran agar kita memuja irrasionalitas. Hubungan rumit antara tindakan dan nalar serta emosi inilah yang direfleksikan oleh perempuan filsuf Martha Nussbaum. Orang termotivasi mengubah tindakannya hanya jika alasan-alasan yang masuk akal juga menggerakkan emosinya(28). Jika argumen Nussbaum dapat diterima, mengertilah kita mengapa upaya-upaya rasional untuk memahami budaya material serta petuah moral untuk mengontrol aneka dampaknya tidak pernah memadai. Semua upaya itu tidak akan bekerja kecuali kita berhasil mengaitkannya dengan kemampuan mendidik hasrat (naluri dan emosi)—mengarahkan gerak batin yang semula bergolak tanpa irama ke rasa-merasa yang terkendali. Jika demikian, tentulah seni dan sastra mempunyai peran yang juga penting dalam proses pendidikan dan bukan sekadar tempelan demi memenuhi kurikulum.
Kedua, hidup dalam kebudayaan tentulah berarti bahwa kita berlaku dan bertindak menurut bingkai pengetahuan dan perangkat nilai dalam kebudayaan itu. Namun, kecenderungan yang cukup luas untuk menaruh perhatian terlalu berat kepada kebudayaan sebagai sistem nilai membuat kita cenderung tergesa-gesa mengambil sikap normatif. Bahaya dari pendekatan ini adalah kita mendepolitisasikan masalah-masalah sosial-ekonomi dan politik dengan mengajukan solusi moral. Seolah-olah “kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan peradaban” (kutipan) dapat selesai apabila kita melekatkan aneka kecakapan yang sedang kita pelajari ke kesalehan. Seolah-olah kekerasan remaja hanya perkara moral yang lemah. Korupsi yang ganas di negeri ini adalah salah satu bukti nyata bahwa tidak selalu ada kaitan langsung antara moralitas dan kesalehan. Lagak moralis dan saleh tidak akan menjadikan kita bangsa bermoral.
Dengan ngeri kita menyaksikan bagaimana orang menyerang, menindas dan membunuh atas nama kesalehan yang terkunci dalam bingkai penafsiran sempit. Saya kira kita dapat sepakat di sini. Gejala kekerasan semacam itu, kendati meminjam identitas yang dapat dibaca sebagai gerakan kultural, sebetulnya merupakan gerakan politik untuk mengambil alih ruang-ruang kebudayaan dan bingkai kekuasaan yang akan menentukan arah masa depan kita.
Penafsiran dapat menjadi bagian dari upaya untuk menyeragamkan identitas lewat kata. Alih-alih menemukan kata bagi makna, kelompok-kelompok semacam ini memaksakan kata kepada makna dan mendaku kebenarannya. Barangkali kita perlu mengingat lagi ucapan
George Orwell, “Hal terburuk yang dapat dilakukan oleh kata-kata terjadi ketika kita membiarkan diri kita takluk kepada kata-kata”(29).
Saudara-saudara yang Terhormat,
Rupanya pengertian kita tentang apa yang bermakna bagi manusia memang masih sangat miskin. Kita gagap menimbang peristiwa dan kerap keliru mengambil langkah. Mungkin kita terlalu terbiasa dengan gagasan rasionalitas yang instrumental karena hanya model itulah yang kita kenal, atau karena itulah satu-satunya sarana yang kita percayai akan mengarahkan kita mencapai tujuan secara efisien. Padahal nalar instrumental hanya sebagian kisah saja di dalam cara kerja dalam keilmuan. Ilmu dan teknologi tidak selalu dapat dipisahkan. Teknologi memang bekerja berdasarkan nalar itu. Akan tetapi, ilmu punya rasionalitasnya sendiri.
Apa yang digambarkan oleh Nussbaum sedikit banyak berlaku dalam ilmu dengan cara yang berbeda. Ketika sedang mencoba menjelaskan cara kerja ilmu, ahli fisika Pierre Duhem terpaksa meminjam ungkapan Blaise Pascal yang terkenal, esprit de finesse, untuk menggambarkan “pertimbangan yang baik” dan membedakannya dari upaya sengaja nalar diskursif untuk mendemonstrasikan teorema (30), “Kita mengetahui kebenaran tidak melulu melalui nalar, tetapi juga lewat hati, kata Pascal … dan pada pengetahuan hati serta naluri itulah nalar semestinya bertopang serta melandasi semua wacananya”.
Duhem mau memperlihatkan bahwa ilmuwan tidak menjalankan kegiatannya mengikuti aturan-aturan kaku seolah-olah ada kaidah-kaidah algoritmik yang harus dipatuhi. Dalam kerja-kerja keilmuan, tidak cukup apabila ilmuwan hanya mampu membaca gejala lalu menggunakan nalar kalkulatif. Dia bekerja terutama dengan daya-daya imajinasi. Dia bahkan membayangkan, di manakah dirinya di tengah-tengah gejala itu. Apa yang dia rasakan ketika membayangkan dirinya di sana?
Mungkin dia takjub, seperti Kepler terpesona oleh laju gerak planet-palent yang mengedari Matahari. Dari rasa kagum itulah dia kemudian menuangkan selisih kecepatan gerak planet ke dalam tangga nada dan melahirkan “Musik Langit”. Dari selisih kecepatan tertinggi dan terendah gerak Bumi, Kepler ‘mendengar’ senandung senyap Bumi (mi-fa-mi) yang nyata meski tanpa suara. Dia juga menemukan, ketika beberapa planet berada serentak di posisi ekstrimnya masing-masing, hasilnya adalah motet. Saturnus dan Jupiter bersuara bass, Mars tenor, Bumi dan Venus kontra-alto, Merkurius soprano. Pada waktu-waktu tertentu, keenam-enamnya dapat terdengar secara serentak, demikian dia menulis dalam Keselarasan Dunia (1618). Ketika sedang merefleksikan catatan Kepler itulah fisikawan Wolfgang Pauli menulis(31).
Jembatan yang menghubungkan data yang tidak beraturan ke Ide-ide adalah gambar- gambar yang sudah ada lebih dulu di dalam batin … (gambar-gambar itu) tidak dapat ditaruh ke dalam pikiran atau dihubungkan ke ide-ide yang terumuskan secara rasional… gambar-gambar berisi emosi yang kuat … jangan sekali-kali [kita] mengatakan bahwa nalar hanya merumuskan tesis yang rasional.
Ilmuwan juga dapat merasa kecewa seperti Copernicus. Dia tidak puas dengan sistem Ptolemeus yang dia nilai buruk seperti “monster … bertubuh manusia tapi semua anggota tubuhnya datang dari tubuh yang berbeda-beda dan direkat sembarangan”. Kekecewaan itu membuat Copernicus melakukan lompatan imajinasi dan membuat tilikan. Dia bayangkan dia adalah Aeneas, pahlawan Troya yang berkata, “Kita berlayar meninggalkan pelabuhan, dan daratan serta kota-kota pun menjauh”(32). Lewat analogi itu Copernicus mengantisipasi model tata planet dengan cara menghubungkan apa yang teramati ke kemungkinan yang tidak teramati langsung, tetapi secara intuitif merupakan hal yang dia ketahui betul. Dari intuisi itulah lahir model tata surya yang sekarang kita kenal, dengan Bumi sebagai salah satu planet.
Ilmuwan juga bisa merasa gemetar seperti fisikawan-cum-filsuf ilmu Henri Poincaré. Ilmu membuat dia mengerti. Kebenaran ibarat hantu yang berkelibat tapi tak pernah dapat dijerat. Apakah itu berarti bahwa harapan kita yang paling berharga dan paling bermakna bagi kita membuat kita seperti orang-orang yang mau menjaring angin? keluh Poincaré. Betapapun meletihkan jerih payah itu dan betapapun ilmu, sangat boleh jadi tidak pernah untuk bahkan mendekati kebenaran, dia yakin pencarian kebenaran tidak pernah boleh berhenti.
Ilmuwan juga be rangan-angan seperti Einstein membayangkan dirinya mengendarai seberkas cahaya lalu merumuskan teori kenisbian. Atau Kekulé yang merumuskan benzena sesudah bermimpi melihat seekor ular menggigit ekornya sendiri. Atau fisikawan Murray Gell-Mann, yang menemukan zarah elementer penyusun materi alam dengan bertopang di atas prinsip keindahan bentuk-bentuk simetris. Ketika ilmuwan menghadapi kesulitan memilih satu dari dua teori karena dua-duanya sama-sama didukung oleh data yang sama, tidak sedikit yang menggunakan intuisi estetik untuk membuat putusan. Seperti inilah fisikawan-matematikawan Henri Poincaré menggambarkannya(33), (1905, 186),
Ilmuwan tidak mempelajari alam karena kegiatan itu berguna; dia mempelajari alam karena kegiatan itu menggembirakan hatinya, dan hatinya gembira karena keindahannya. Seandainya tidak indah, tidaklah alam pantas untuk diketahui, dan seandainya alam tidak pantas diketahui, hidup menjadi tidak berarti. Tentu saja saya tidak sedang membicarakan keindahan yang tercerap oleh indera, yaitu keindahan kualitas dan penampakan; bukannya saya menganggap remeh keindahan tersebut tetapi keindahan semacam itu tidak ada kaitannya dengan sains … yang saya maksudkan adalah keindahan yang lebih agung yang muncul dari penangkapan nalar murni akan keselarasan tatanan antar bagian-bagiannya …Inilah yang memberi kerangka bagi keindahan yang mempesona indera… keindahan intelektual mencukupi dirinya sendiri, dan demi keindahan inilah, mungkin lebih daripada demi kebajikan masa depan umat manusia, para ilmuwan mengabdikan diri bagi kerja yang panjang dan melelahkan.
Pada akhirnya, kesesuaian dengan dunia empiris menjadi batu ujian bagi ilmu karena bagaimanapun, di jantung ilmu bekerja the most ruthless skeptical scrutiny of all ideas, old and new, kata Carl Sagan.
Kita mungkin masih ingat bagaimana Max Weber menjelaskan dampak nalar instrumental bagi masyarakat modern. Nalar itu menyingkirkan yang magis, yang menimbulkan pesona dari dunia. Dunia menjadi kering dan sekadar sumber daya yang siap diolah menjadi hal-hal yang berguna bagi manusia. Hilangnya pesona itu kiranya tergambarkan lewat komentar Edwin Burtt(34),
Dunia yang dianggap orang sebagai tempat dia hidup – dunia yang kaya akan warna dan suara, harum dengan wewangian, penuh gelak tawa, cinta dan keindahan … dijejalkan ke pojok sempit otak mahluk-mahluk organik yang tercerai berai. Dunia yang sungguh-sungguh dianggap penting adalah dunia yang kaku, dingin, tidak berwarna, senyap, dan mati; sebuah dunia bilangan, sebuah dunia gerak yang terukur secara matematis dalam keteraturan mekanis. Manusia memandang dunia kualitas cuma efek kecil dari sebuah mesin yang tak terkirakan besarnya itu.
Sebetulnya, pesona itu tidak pernah sungguh-sungguh hilang. Pesona itu hilang dari cara pandang para teknokrat dan birokrat sehingga mereka mengira hanya seni yang mampu menyingkap keindahan semesta. Namun sayangnya, dari para teknokrat itulah lahir pelbagai kebijakan yang menata sistem pendidikan. Merataplah C.P. Snow.
Model pendidikan yang dipandu oleh logika utilitarianism in extremis, yang sibuk mengejar ranking nilai, tentu tidak mampu mengungkap kekayaan dimensi kognitif kebudayaan yang antara lain mengemuka melalui ilmu pengetahuan. Sulit membayangkan bagaimana pemahaman instrumental tentang ilmu sanggup menghasilkan pengalaman eksistensial yang dapat menjadi kekuatan transformatif untuk mengubah cara pandang kita terhadap realitas. Ilmu memang bukan satu-satunya sumber pengetahuan. Akan tetapi kita perlu mengembangkan ilmu kalau kita mau berusaha berhenti melulu menjadi bangsa konsumen.
Distorsi yang terjadi ketika ilmu-ilmu murni diperlakukan secara instrumental adalah penerapan kebijakan yang pukul rata. Ilmu-ilmu murni dikenai tolok ukur keberhasilan yang sama dengan ilmu-ilmu terapan yaitu adanya hasil-hasil yang dapat segera dimanfaatkan untuk kebutuhan industri. Padahal logika ilmu-ilmu murni bertopang di atas harapan ideal untuk mencari kebenaran(35), dan tidak penting kapan kebenaran itu tercapai. Juga seandainya ilmu sampai pada kebenaran, ilmuwan tidak dapat mengetahuinya secara pasti. Dia bisa tahu kapan ilmu salah, tetapi tidak dapat memastikan kapan ilmu itu benar. Konsepsi bahwa ilmu sedemikian pasti dan tidak terbantahkan sudah usang namun rupanya masih membayang- bayangi ilmu ketika masuk ke medan kehidupan sehari-hari.
Tentu kita mengerti bahwa landasan politis bagi suatu kebijakan publik sejatinya adalah manfaat terbanyak bagi sebanyak mungkin orang (utilitarianisme) dalam waktu sesingkat-singkatnya. Setiap pemerintah, idealnya, akan menyusun kebijakan penelitian dan strategi pendanaannya berdasarkan azas tersebut. Masalah muncul ketika ancangan yang sama diterapkan ke perguruan tinggi. Di sinilah kita sebetulnya melihat kemiripan antara kerja seorang seniman dengan ilmuwan. Mereka sama-sama dipandu oleh kesetiaan kepada proses dan proses tidak dapat dipenggal di tengah jalan. Tidak sedikit peneliti dari bidang- bidang yang kering dan seniman terpaksa bergabung dengan bidang-bidang yang lebih mendatangkan keuntungan ekonomi. Risikonya, bidang-bidang yang ‘kering’ mengalami pengerdilan. Corak kebudayaan yang berkembang di negeri ini tampaknya belum memungkinkan bidang-bidang kontemplatif mendapat ruang untuk berkembang. “Elemen pembangkit ilmu pengetahuan di negara kita nyaris hang”, tulis Bambang Hidayat, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Astronomiwan dan mahaguru bagi banyak mahasiswa di Indonesia(36).
Bahwa ilmu juga berjalin dengan industri, militer, dan politik adalah fakta yang tidak dapat dibantah. Tetapi argumen sosiologi pengetahuan kerap tidak cukup kuat untuk menunjukkan bahwa unsur konstitutif ilmu pun melulu hasil konstruksi sosial. Artinya, sebagai salah satu penopang kebudayaan modern, ilmu memang seringkali tidak memiliki otonomi karena pilihan-pilihan penelitiannya sangat bergantung ke kepentingan penyandang dana. Orang yang paling tidak bebas dalam hal ini, kata Einstein, adalah ilmuwan. Tapi dalam mendiskusikan ilmu-ilmu murni dan seni serta karya- karya budaya yang sejenis, kita perlu jeli membedakan antara otonomi dari integritas. Jacob Clay mendukung misi pemberadaban kolonial. Apakah ‘kebenaran’ hasil eksperimennya berupa pancaran sinar kosmis di atmosfer kota Bandung akan berbeda seandainya dia pindah haluan ideologis? Agak sulit saya membayangkan hal itu. Namun, demikianlah integritas dan otonomi menjadi permasalahan yang sangat serius dan debat panjang bukan hanya di dalam ilmu namun di dalam kerja-kerja budaya umumnya dan bahkan hidup kita sendiri.
Saudara-saudara yang Terhormat,
Bagaimanakah paparan simpang siur di atas akan membawa kita kembali ke dunia sehari-hari? Perkenankan saya mengajak Anda melintasi kawasan padat lalu lintas di depan Istana Negara. Kalau Anda berada di sana setiap Hari Kamis sore, Anda akan menyaksikan rombongan orang berbaju hitam berdiri satu jam tanpa bicara, dan membiarkan potret dalam gendongan mereka menyampaikan pesan. Pada potret-potret itu terlihat wajah anak atau suami mereka yang hilang diculik atau dibunuh dalam berbagai peristiwa kekerasan politik di negeri ini. Di atas darah kematian merekalah tokoh-tokoh politik dan para mahasiswa menemukan pintu masuk bagi Reformasi.
Reformasi dapat kita pandang sebagai upaya menggambar ulang peta kebudayaan untuk menjelmakan apa yang baik bagi hidup bersama. Pada mulanya, kita masih menebar banyak omongan mengenai masyarakat warga karena kita percaya bahwa sebuah negara yang baik bukan hanya dibangun oleh badan-badan publik dan pasar, tetapi juga masyarakat warga. Anggota masyarakat warga bukan hanya kerumunan orang yang sibuk memburu kepentingannya sendiri-sendiri, tetapi tatanan warga yang sadar akan arti hidup bernegara. Kalau sejak beberapa tahun terakhir ini omongan itu tidak lagi ramai, mungkin karena sejak awal kita keliru menafsirkan arti masyarakat warga—sebuah konsep yang licin.
Di Indonesia, perjuangan menegakkan HAM merupakan salah satu gerakan yang melahirkan organisasi masyarakat warga. Maka bukan gejala yang berlebih-lebihan apabila kita sempat terperangkap dalam oposisi masyarakat warga dan militer kala mendiskusikan civil society. Padahal jika kembali ke akar katanya, antitesis dari civility bukanlah militer melainkan kekerasan, ketidakberadaban. Penafsiran yang melawankan civil society dengan militer berangkat dari ingatan sosio-kultural kita yang mencatat tradisi militerisme yang meninggalkan catatan panjang pelanggaran hak-hak asasi manusia yang belum membuahkan keadilan sampai hari ini.
Konsep masyarakat warga juga sempat menerima pemaknaan yang cukup sempit sebagai oposisi pemerintah dengan, tampaknya, belajar dari Revolusi Eropa Timur (1989)(37). Gagasan lain adalah masyarakat warga sebagai pengawas serta pengimbang kekuasaan negara, pasar serta kekuatan primordial agama. Negara-negara donor juga memasukkan konsep tentang masyarakat warga ke dalam agenda tata kelola pemerintahan (good governance) yang merupakan garis haluan bagi anggota-anggotanya. Tujuannya adalah agar negara-negara anggota menghormati prinsip-prinsip ekonomi pasar dan demokrasi sebagai syarat hubungan internasional.
Untuk menghindari perdebatan panjang mengenai konsep-konsep di atas, saya akan kembali saja ke evolusi awal pengertian civil society dan cultura animi. Dalam penafsiran ini masyarakat warga terdiri dari rupa-rupa elemen mandiri dalam masyarakat yang mengarahkan kegiatan-kegiatannya untuk menjelmakan kebaikan tertinggi bagi hidup bersama. Tentu ini terdengar sangat abstrak. Karena ini mungkin menjadi lebih kongret apabila kita melihat kebudayaan sebagai pergumulan sehari-hari menyangkut bagaimana kita hidup di dalam kebudayaan, mengenali jalan-jalan yang buntu atau dinding-dinding yang berjamur. Namun ini berarti kita bersiap menggarap keseharian yang rutin dan membosankan. Kita membangun kritik terhadap kebiasaan-kebiasaan publik melalui siasat- siasat sederhana(38).
Mengapa? Karena kita tidak sedang berbicara tentang kebudayaan sebagaimana dipahami para pembuat kebijakan, yakni sebagai produk dan sebagai warisan. Menyangkut kebudayaan kita berbicara tentang tugas tanpa akhir menyangkut jejaring makna dan tindakan serta karut marut perwujudannya. Dengan menaruh kebudayaan ke realitas objektif sehari- hari kita jumpai realitas estetik, religius, spiritual, intelektual, ekonomi, sosial dan politik bertemu secara serentak dan berproses bersama-sama. Refleksi yang menekankan titik-berat pada salah satu unsur lagi-lagi akan menciutkan makna kebudayaan.
Dengan pertimbangan itu, saya membayangkan beberapa kemungkinan sebagai siasat.
Pertama, ruang-ruang publik kita sudah terlalu gaduh dengan komentar siapa saja yang bisa menjadi pakar bidang apa saja untuk segala persoalan yang sedang kita hadapi. Tidak ada yang salah dengan keinginan menjadi selebriti asal tidak membuat masyarakat kehilangan pegangan, kalau bukan malah berbalik menganggap sepele persoalan serius yang sedang menjadi perbincangan. Tugas kebudayaan para budayawan dan intelektual adalah menghidupkan kembali, pada aras praktek, perbedaan yang ketat antara komentar-komentar acak dan pemikiran yang mengakar di perenungan yang mendalam.
Kedua, dalam dunia pemikiran. Kebudayaan adalah siasat untuk mentransformasikan konsep ekonomi dari urusan pasar ke mata pencaharian warga biasa dan bukan jual beli uang itu sendiri. Seiring dengan ini, transfer teknologi perlu sungguh-sungguh mendapat perhatian sampai ke tahap inovasi untuk memproduksi barang-barang kebutuhan sehari-hari dan infrastruktur pendukungnya. Para insinyur perlu serius memikirkan krisis insinyur yang sekarang sedang kita alami. Para ahli pangan dan perguruan tinggi perlu membangun siasat untuk menarik kembali minat anak-anak muda memasuki jurusan Pertanian dan Perikanan yang kian sepi peminat. Tentu dengan catatan, sesudah lulus mereka tetap bekerja di bidangnya dan bukan masuk ke sektor finansial.
Ketiga, kesan bahwa ilmu pengetahuan mau menindas jenis-jenis pengetahuan yang lain masih cukup kuat di masyarakat. Kendati tidak sampai dianggap sebagai musuh masyarakat, ilmu belum berhasil mengambil hati masyarakat. Siasat kebudayaan adalah mentransformasikan sikap yang terkesan ilmulah satu-satu model pengetahuan yang sahih ke pengakuan , “Saya mungkin salah dan Anda mungkin benar, dan melalui sebuah upaya kita mungkin akan semakin mendekati kebenaran.”(39)
Keempat, terkait dengan tanggung jawab. Kebudayaan adalah siasat mentransformasikan politik untuk menciptakan kepemimpinan sebagai etos tanggung jawab dan bukan kekuasaan. Tanggung jawab adalah jalan sepi sang pemimpin. Dia bahkan tidak dapat membuang tanggung jawab ke kekuatan-kekuatan adidunia dan membawa-bawa Tuhan untuk menjelaskan bencana akibat kelalaian manusia. Inilah juga saat para ilmuwan dan para guru filsafat memikirkan siasat dalam fungsi pengabdian masyarakat untuk melatih kebiasaan publik agar setia kepada proses dan kejadian agar dapat jernih menyoroti peristiwa-peristiwa yang memang merupakan tanggung jawab manusia untuk mengelolanya. Ilmu punya batasnya dalam berhadapan dengan misteri hidup. Tapi sikap mudah bersembunyi dalam pernyataan saleh dan terdengar suci bisa menjadi tanda malas berpikir. Bukankah bencana akibat salah kelola lingkungan lalu sering cepat-cepat dianggap sebagai akibat Tuhan yang sedang murka?
Kelima, dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan adalah siasat untuk menjadikan kebiasaan berbelanja bukan karena kita mau tapi karena perlu; menonton pagelaran seni, film, acara-acara televisi sebagai bagian dari mendidik selera dan mendidik hasrat. Kita tidak dapat mengubah penyediaan (supply) karena pertimbangan para pebisnis adalah apa yang paling laku. Maka jalan yang perlu kita ambil adalah: bagaimana mengubah permintaan (demand). Kebiasaan mendidik hasrat pada gilirannya akan membantu kita memahami perbedaan antara tugas warga negara dan statusnya sebagai konsumen. Konsumen memilih untuk meningkatkan kenyamanan pribadi, warga negara memilih untuk menyumbang pada kepentingan bersama. Politik bukan perkara suka atau tidak suka. Kita memilih karena komitmen dan tanggung jawab kepada kehidupan publik.
Keenam, inilah saatnya kita memikirkan langkah-langkah kongkret pada tingkat seluas bangsa untuk membangun kebiasaan baru sehingga kebiasaan mencontek, plagiarisme, mencuri uang negara beralih menjadi kebiasaan hidup dengan integritas dan berkata benar. Melatih kebiasaan bicara benar kepada teman, kepada saudara, anak, orang tua, dalam hukum politik, dsb.
Ketujuh, kepada para profesional dalam bidang apapun juga. Inilah saat kita mengembalikan makna “profesi” ke makna asalinya, professio (Latin), yang secara harafiah berarti “janji publik”. Profesional adalah seseorang yang memiliki otoritas tidak saja karena dia memiliki keahlian, tetapi karena dia mengucapkan janji publik (sejarahnya kembali ke sumpah Hippokrates c. abad ke-4 SM). Dia mendapatkan otoritasnya karena kepakaran-cum- komitmen moral kepada publik. Seseorang disebut profesional bukan terutama dia pakar di bidangnya, melainkan karena dengan kepakarannya dia menjalankan tugas dan pada saat bersamaan dia menjadikan keahliannya sebagai sumbangan bagi kepentingan masyarakat.
Kedelapan, inilah juga saat kita melatih anak-anak kita untuk tidak hanya melakukan apa yang mereka suka. Kalau mereka hanya suka menonton TV kita latih mereka membaca. Tawaran ini bukan sok intelektualis, melainkan latihan untuk membiasakan diri setia kepada komitmen. Ciri kematangan seseorang adalah ketika dia sanggup melaksanakan suatu pekerjaan bukan karena dia suka, melainkan karena dia berkomitmen.
Inilah juga saat kita dalam skala terprogram mensistemasisasikan dan mengkodifikasi sumber-sumber pengetahuan daerah serta melakukan kajian untuk melihat kemungkinan mengembangkannya menjadi pengetahuan sistematik, misalnya obat-obatan, resolusi konflik, teknologi, ketahanan pangan, dsb. Hal ini sudah cukup banyak dilakukan tetapi belum terprogram secara sistematik. Kondisi lingkungan yang menyedihkan merupakan ancaman terbesar bagi sumber-sumber budaya yang tersebar luas di Indonesia.
Mengapa tawaran saya adalah siasat dan bukan peta besar atau strategi? Dengan rendah hati saya berpendapat bahwa dalam kondisi seperti sekarang kita perlu menetapkan prioritas. Seandainya pun kita sanggup menggambar peta besar, perjalanan kita akan tersendat-sendat sebelum kita berhasil mentransformasikan kebiasaan-kebiasaan publik kita.
Apabila hal-hal ini terlihat terlalu biasa mungkin karena selama ini pemahaman kita tentang kebudayaan terlalu esoterik dan besar sehingga kita berpandangan bahwa kebudayaan hanya urusan para empu. Dengan mengambil model kebudayaan sebagai siasat sehari-hari untuk menerobos gang-gang buntu, saya sebetulnya mengambil model banyak pekerja budaya di Indonesia yang sudah selalu melihat kebudayaan sebagai tugas yang dia pilih dan komitmen untuk menjalankannya. Kini juga lahir komunitas-komunitas anak muda yang menjalankan kegiatan pelestarian dan pengembangan karya-karya budaya tanpa banyak ribut dan tidak menuntut panggung. Mereka, di antaranya, menyusun arsip-arsip pustaka nusantara dengan cara mencengangkan sehingga teks-teks kuno yang semula terlihat kusam bertumpuk di gudang terpampang menjadi kisah hidup sejarah Indonesia. Menariknya, ada kelompok yang melakukan kegiatan itu untuk melampiaskan kejengkelan terhadap situasi kultural dan ketidakpedulian pemerintah terhadap banyak karya-karya budaya(40). Sungguh bentuk kemarahan yang kreatif. Tidak ada gaduh politik kendati apa yang mereka kerjakan sesungguhnya sangat politis—merawat sejarah agar tidak tergulung ke dalam pelupaan. Tampaknya sekaranglah saatnya kita merumuskan ulang makna semangat pejuang.
***
Dalam kebudayaan kita ibarat terayun dari satu kemungkinan ke kemungkinan lainnya: antara kebutuhan untuk refleksi mendalam dan tuntutan kepraktisan, antara sarana dan tujuan, antara wacana yang membangun kepercayaan dan janji yang tak pernah terpenuhi, antara yang universal dan partikular, antara yang sudah meletak ada dan orisinalitas, antara prinsip meniru bergerombol seperti kawanan hewan dan otentisitas, antara keinginan untuk hidup dan faktisitas kematian. Kebudayaan adalah tegangan kreatif antara ketakbermaknaan kita di tengah-tengah kemahaluasan kosmik dan pertanyaan-pertanyaan bermakna yang justru kita temukan dalam lingkup kecil hidup sehari-hari, antara sub specie aeternitatis dan sub specie humanitatis. Kita tidak memilih salah satu. Di dalam kebudayaan diri mengalami tegangan tanpa henti antara kekakuan tradisi dan kelenturan diri untuk menemukan jalan-jalan baru.
Sementara kita mencoba bertahan hidup di tengah-tengah karut marut dunia, kebudayaan menjadi jalan untuk memilah dan memilih realitas sampai kita menemukan siasat bagi dunia yang selalu terolah baru. Pada akhirnya, transformasi kebudayaan dalam skala luas berlangsung secara diam-diam tanpa tepuk sorak panggung, tanpa perayaan.
***
PUPU TAGUA(41)
Pupu tagua .. tagua laman pupu
Babio..babio tanah tarah
Encuke encuke riapm bunga
Riapm bunga tagua tanyung ransa
Pupu tagua tagua lama tuha
Pupu tagua tagua lama tuha
Tanah tumuh tumuh mula manyadi
Karosi’ karosi’ mula ada
Sunge sunge baikatn
Munti’ ba robukng munti barobukng
Batakng ba kulat
Pupu tagua tagua lama tuha
Pupu tagua tagua lama tuha
Nate bapadi lontatn ba pulut
Sunge ba nanga toluk bagana
Hutatn ba puaka
PUPU TAGUA
Kampung pupu tagua
Nama tanah di daerah tersebut
Sungai encuke dan riam bunga
Riam bunga tagua di tanjung ransa
Kampung tertua yaitu pupu tagua
Kampung tertua yaitu pupu tagua
Tanah itu tumbuh dan menjadi awal
Ada tanda kehidupan
Sungai ada ikannya
Bambu ada rebungya
Batang kayu ada jamurnya
pupu tagua kampung tua
pupu tagua kampung tua
di tanah yang mendaki ada padinya,
tanah yang datar ada padi pulut
sungai ada telaganya teluk ada penunggunya
hutan kekuatan magisnya
Catatan Akhir
1 Ada beberapa variasi mengenai kisah asal usul Suku Dayak. Lihat misalnya Tjilik Riwut, Maneser Panatau Tatu Hiang : Menyelami Kekayaan Leluhur, penyunting Nila Riwut (Yogyakarta: Pusaka Lima, 2003).
2 Saya mengucapkan terima kasih kepada Dr. Marco Mahin yang menjelaskan makna Tikar Pohon Kehidupan dan proses pembuatannya.
3 Richard Rorty, “A Pragmatist View of Rationality and Cultural Difference,” Philosophy East and West , Vol. 42, No. 4, Mt. Abu Regional East-West Philosophers’Conference, “Culture and Rationality” (Oct., 1992), p. 588 [pp. 581-596].
4 Lihat “Jerit sepanjang Mahakam” dalam Z. A. Anis, Syaharuddin, A. Aziz dalam K. Supelli, B. Ahnan, R. P Widjomo, K. R. Indirasari (penyun.), Warisan Teknologi Masyarakat Kalimantan Timur Dayak (Samarinda: KPA, 2012).
5 Forest Peoples Programme, “Permohonan untuk Mempertimbangkan Lebih Lanjut mengenai Situasi
Masyarakat Adat Merauke, Provinsi Papua, Indonesia, dalam Prosedur Aksi Mendesak dan Peringatan Dini dari Komisi Pemberantasan Diskriminasi Rasial,” 25 Juli 2013, butir 15.
6 C. P. Snow, “The Two Cultures,” The Rede Lecture 1959, diterbitkan kembali dalam versi perbaikan, C.P. Snow, Leonardo , Vol. 23, No. 2/3, New Foundations: Classroom Lessons in Art/Science/Technology for the 1990s. (1990), p. 169-173. Sebelumnya, tahun 1956 Snow sudah menulis artikel dengan judul yang sama.
7 Ungkapan yang terakhir ini saya pinjam dari Terry Eaggleton, The Idea of Culture (Oxford: Blackwell, 2000), p. 3-4.
8 Kata “culture ” awalnya dipakai dalam konteks bercocok tanam, agricultura [Latin: agri (ager ) + cultura (colere )]. Agricultura berarti mengolah lahan agar cocok bagi hunian manusia. Dalam colere terkandung sikap menumbuhkan, merawat dan membudidayakan. Lihat Cicero, Tusculan Disputations , diterjemahkan oleh Andrew Peabody (Boston: Little, Brown, and Co, 1886), p. 96.
9 Lihat B. Herry-Priyono, B. Sketsa Evolusi Istilah Civil Society (14 Februari 2008; belum dipublikasi). Bdk. Helmut K. Anheier, Stefan Toepler, Regina List (eds.), International Encyclopedia of Civil Society (New York: Springer, 2010). 23
10 Di Inggris, sebutan peradaban bagi kebudayaan tinggi di kota-kota berasal dari Scot James Boswell [Robert J.C. Young, Colonial Desire: Hybridity in Theory, Culture and Race (London: Routledge, 1995), p. 30].
11 Dikutip dalam Raymond Williams, Keywords, A Vocabulary of Culture and Society (Oxford: Oxford
University Press, 1983), p. 58.
12 John Stuart Mill, “On Liberty” dalam Mortimer J. Adler (ed.) Great Book of the Western World (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc., 1996 [1869]), pp. 271-272)]
13 Hal ini sudah pernah saya bahas dalam kesempatan lain sehingga tidak saya bahas lagi di sini (lihat Karlina Supelli, “Memburu Nalar di bawah Bayang-bayang Hasrat,” diterbitkan dalam Prosiding Seminar Menimbang Peradaban Bangsa , Jubileum 50 Tahun Duta Wacana (Yogyakarta, 6-7 Agustus 2012). Lihat juga Peter Boomgaard, “The Making and Unmaking of Tropical Science: Dutch Research on Indonesia, 1600-2000”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) Vol. 162, No. 2/3 (2006), pp. 191-217.
14 Tentang nalar ekonomi dan kenegaraan bdk. Maria Bonnafocus-Boucher, “From Government to
Governance,” Ethical Perspective: Journal of The European Ethics Network , Vol. 12, No. 4 (2005), pp. 521-534.
15 Martin Hollis & Edward Nell, Rational Economic Man (1975), dikutip dalam B. Herry-Priyono, “Berburu Manusia Ekonomi,” Majalah Basis No. 01-02, Tahun ke-57 (Januari-Februari, 2008), p. 4.
16 The Nielsen Company, Consumer Confidence: Concerns and Spending Intentions around the World , Quarter 2, 2013, 2nd edition.
17 Hubungan antara identitas, status dan kenikmatan diuraikan dengan rinci oleh Alan Tomlinson dalam Consumption, Indentity and Style: Marketing, Meanings and Packaging of Pleasure (London: Routledge, 1990).
18 Sherry Turkle melakukan penelitian yang mendalam mengenai kebiasaan-kebiasaan baru yang mempengaruhi carakita membentuk makna akibat perkembangan teknologi Digital (Lihat Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other , New York: Basic Books, 2011).
19 Geert Lovink, Networks without a Cause: A Critique of Social Media , Cambridge: Polity Press, 2011, p. 50-62.
20 Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), p.166.
21 Sherry Turkle, Alone Together , p 161.
22 Rob Shields, The Virtual (Routledge: London, 2003), p. 3.
23 Lihat Yanuar Nugroho, “Media, Budaya dan Upaya merawat Cita-cita Hidup Bersama,” disampaikan pada resepsi 18 tahun Aliansi Jurnalis Independen (Jakarta: 2012).
24 Lihat Australian Council for Educational Research, PISA 2009 Plus Results: Performance of 15-year-olds in reading, mathematics and science for 10 additional participants (Camberwell: ACER, 2011); Bdk. OECD (2010), PISA 2009 at a Glance , OECD Publishing.
25 Paradigma teknologi sebagai piranti dapat dilihat dalam Albert Borgmann, Technology and the Character of Contemporary Life (University of Chicago Press, 1984), pp. 42-43.
26 Lihat Hans Jonas, “Towards a Philosophy of Technology,” dalam Robert Scharff & Val Dusek (eds.),
Philosophy of Technology: The Technological Condition (Oxford: Blackwell Publishing, 2003), Ch. 18.
27 David Hume, A Treatise on Human Nature (England: Hammondsworth,1987/1739), p. 297.
28 Martha Nussbaum, “Comment on Charles Taylor’s `Explanation and Practical Reason’”, in The Quality of Life , eds. Martha Nussbaum and Amartya Sen, p. 237 (Oxford: Clarendon Pers, 1993, pp. 232-241).
29 George Orwell, “Politics and the English Language,” A Collection of Essays (New York: Hartcourt Brace, 1953), pp. 169-170.
30 Pierre Duhem, German Science (La Salle: Open Court, 1991 [1915]), p. 8..
31 Dikutip dalam Chandrasekhar, “The Perception of Beauty and the Pursuit of Science”, Applied Optics , Vol. 29, Issue No.16 (1990). 24
32 N. Copernicus. De revolutionibus orbium coelestium . Terj Charles Glenn Wallis dalam M. Adler, ed. Great Books of The Western World. Encyclopaedia Britannica Vol. 15, 1996 [1543], p. 520.
33 Poincaré, H., “The Value of Science” terj. George Bruce Halsted dalam The Value of Science: Essential Writings of Henri Poincaré (New York: The Modern Library, 2001 [1905]), p. 186.
34 Burtt, The Metaphysical Foundation of Modern Science (New York: Dover Publications, Inc., 2003 [1954]), pp. 238-239.
35 Pengertian kebenaran di sini dimaksudkan sebagai “kebenaran keilmuan” (scientific truth ). Problem epistemologis menyangkut kebenaran keilmuan tidak saya bahas karena sudah pernah saya bahas dalam kesempatan lain (lihat Karlina Supelli, “Ciri Antropologis Pengetahuan” dan “Apa yang masih tertinggal dalam Ihsan Ali-Fauzi dan Zainal Abidin Baqir (penyunt.), Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme (Jakarta: Mizan, 2011).
36 Bambang Hidayat, “Membangunkan Ilmu Indonesia,” Kompas (29 Juni 2012), p. 7.
37 Sejarah kemunculan kembali konsep masyarakat warga dalam teori-teori politik Eropa abad ke-17 dan ke-18 cukup panjang. Lihat Jean L. Cohen, Andrew Arato, Civil Society and Political Theory (Cambridge, Mass.: The MITPress, 1997).
38 Bagian ini merupakan modifikasi dari naskah yang saya tulis dan bacakan dalam Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisjahbana 4 Oktober 2013.
39 Karl Popper, The Open Society and its Enemies Vol. 2 (London: Routledge, 1992), p. 249.
40 Diskusi dengan Badan Pengurus DKJ, Oktober 2013.
41 Dalam bahasa Dayak Krio, salah satu subetnis Dayak di Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat.
Saya berterima kasih kepada Gustaf Harry untuk menyediakan teks ini.
This post is also available in: English