Kamis, 21 Juli 2016 17:13 | Reporter : Muhammad Radityo 

Majelis Hakim International People Tribunal (Pengadilan Rakyat Internasional) 1965 pada Rabu (20/7) lalu, menyatakan pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas 10 kejahatan kemanusiaan berat pada kurun 1965-1966. Keputusan majelis didasarkan atas proses pengadilan selama 10-13 November 2015 di Kota Den Haag, Belanda.

Kementerian Luar Negeri Indonesia memandang putusan IPT 1965 sekadar perhatian para pegiat terhadap kasus di masa lalu, serta wujud kebebasan berdemokrasi.

“Kegiatan itu di luar kerangka hukum nasional dan internasional,” menurut Juru Bicara Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir, di kantornya, Jakarta, Kamis (21/7).

Menurut putusan IPT 1965, salah satu fakta adanya pelanggaran HAM adalah terbunuhnya lebih dari 500 ribu orang di seluruh Indonesia atas tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia.

Pemerintah dinyatakan bersalah memafasilitasi pembantaian tersebut, yang melibatkan organisasi paramiliter, ormas keagamaan, serta warga sipil. Hasil sidang akan disosialisasikan anggota IPT ke PBB dan lembaga internasional lainnya

Suasana Sidang Rakyat Internasional 1965 di Den Haag

Menyinggung vonis tersebut, pria akrab disapa Tata ini yakin tak ada dampak apapun dari hasil sidang IPT terhadap citra pemerintah RI. “Komitmen indonesia soal HAM sudah kritis”,” kata Tata.

Sebelumnya diberitakan Majelis Hakim IPT 1965 lewat siaran streaming dari Amsterdam menyatakan pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas 10 kejahatan kemanusiaan berat pada kurun 1965-1966. Selain itu, pemerintah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia turut terlibat membantu pelanggaran hak asasi manusia tersebut.

Keputusan majelis didasarkan atas proses pengadilan selama 10-13 November 2015 di Kota Den Haag, Belanda.

“Genosida di Indonesia harus dimasukkan dalam genosida-genosida utama di dunia pada abad ke 20,” kata Ketua Majelis Hakim Zak Yacoob.

Selain itu, pemerintah Indonesia menahan lebih dari 600 ribu orang di kamp konsentrasi Pulau Buru tanpa peradilan yang layak. Tuduhan ini mencakup pula penyiksaan tahanan diduga komunis, penghilangan paksa, serta kekerasan seksual yang dialami tahanan politik perempuan oleh aparat keamanan selama Gestok.

“Panel hakim merekomendasikan agar pemerintah Indonesia minta maaf kepada para korban, penyintas dan keluarga mereka,” kata majelis hakim.

[ard]

Sumber: Merdeka.Com

This post is also available in: English