Saya Menemukan Penjara yang Lebih Besar dari Sekadar Satu Sel

Pada 11 November 2015 Martin Aleida memberi kesaksiannya di hadapan Majelis Hakim, Jaksa dan hadirin di tribunal rakyat di Nieuwe Kerk, Den Haag. Sejak 1963 ia bekerja sebagai wartawan Harian Rakyat di Jakarta hingga ia menjadi tahanan dalam Operasi Kalong pada 1965.

Jaksa : Saya ingin mengetahui apa yang terjadi pada Saudara pada tahun 1965 ?

Martin Aleida[MA]: Majelis yang saya muliakan, registrar, dan prosecutor dan hadirin yang berbahagia. Saya bekerja sebagai wartawan Harian Rakyat sejak tahun 1965. Sejak peristiwa terjadi, saya dan empat kawan saya ditangkap, oleh Operasi Kalong dilancarkan oleh Angkatan Darat dan dipimpin oleh seorang kapten resimen Para Komando Angkatan Darat Kapten Soeroso. Saya dan teman-teman saya ditempatkan di kamp konsentrasi yang terletak di seberang jalan Budi Kemuliaan, Komando distrik militer 0501 Jakarta Pusat. Di seberang jalan itu ada gedung tua, gedung sekolah yang sudah tidak dipakai itu dikelilingi kawat berduri dan ketika saya masuk ada sekitar 300 tahanan.

Ruangan interogasi terletak di kantor Komando Distrik Militer 0501 dan di sebelahnya ada dapur dan tahanan-tahanan wanita ditempatkan di sana. Saya dan kawan-kawan seperjuangan saya percaya, bahwa wakil ketua dua Partai Komunis Indonesia, kawan Nyoto dibunuh pada akhir November. Tetapi istrinya Sutarni dan lima anaknya disekap di dapur di komando distr

Tarni ditangkap, dijebloskan ke kamar itu bersama 5 anaknya. Yang tertua antara 7 atau 9 tahun, perempuan, dan yang paling kecil adalah 2 bulan. Interogasi –karena namanya Operasi Kalong, operasi ini bergerak seperti kalong– berlangsung selalu tengah malam dengan menggiring tahanan yang akan diperiksa menyeberangi jalan Budi Kemuliaan dan diperiksa dan disiksa dengan berbagai rupa di ruangan interogasi. Kira-kira beberapa langkah dari ruangan interogasi itu, seperti saya katakan tadi, ada dapur di mana Tarni dan ke lima anaknya ditahan juga aktivis-aktivis perempuan di situ. Juga termasuk kekasih saya yang sekarang menjadi istri saya. [tersendat, red). Maaf, setiap kali interogasi yang diiringi oleh penyiksaan; Ibu Tarni, orang-orang dewasa di dalam dapur itu, terbangun karena teriakan dari orang yang disiksa. Dan terkadang anak mereka juga terbangun.

Pemimpin redaksi saya, Mula Naibaho, dikirim ke dalam kamp di mana saya berada. Dan dia mengatakan kepada saya, “Sudahlah saya yang bertanggungjawab”. Dan dia duduk dan dia membuka bajunya, dan di sana saya menemukan luka yang diakibatkan oleh pukulan ekor pari. Babak belur dan luka itu masih berdarah, ketika bajunya dibuka. Dan satu-satunya obat yang tersedia adalah beras dan kencur.

Mula Naibaho, menurut dia, disuruh berjongkok dan membuka baju. Dan dia distetrum, dan dia dipukul, dengan ekor pari tadi. Tapi ini orang luar biasa. Seorang tentara yang menyaksikan itu, mengatakan kepada saya, bahwa dia tidak berteriak. Dia hanya menggigil. Sesudah distrum, dan dipukul dengan ekor pari, dia diangkat dan dimasukan ke dalam bak mandi yang terletak di belakang dapur. Dikeluarkan dari sana, dia diminta menghabiskan satu piring penuh sambal.

Saya tidak sampai setahun ditahan. Saya tidak bisa menjawab mengapa saya dibebaskan. Apakah karena saya muda dan ganteng ? Tetapi saya percaya, saya dibebaskan karena di kantong saya, tidak ditemukan nama yang lain kecuali nama dari ayah saya, dan surat-surat cinta saya terhadap junjungan hati saya, pacar saya, yang sekarang menjadi istri saya.

Surat orang tua saya itu, berbunyi, semacam wasiat. Karena pada awal, saya kira akhir 1966, mereka akan berangkat menunaikan ibadah haji. Yang pada waktu itu, memerlukan waktu 3 bulan. Di surat itu disebutkan, pembagian harta kala mereka meninggal. Rumah ini buat si A, tanah itu buat si Polan.

Perlu saya tambahkan, saya tidak lahir di Jakarta. Saya lahir di Tanjung Balai, di Sumatra Utara. Surat kedua, adalah surat-surat cinta saya dengan kekasih saya. Saya tidak bisa mengatakan, apakah karena dua surat itu, saya dibebaskan. Tetapi seperti tadi Saskia Wieringa mengatakan, administrasi tentara memang kacau. Dan korbannya adalah kami.

Setelah dibebaskan, saya menemukan penjara yang lebih besar daripada sekadar satu sel. Saya tidak punya teman. Kadang-kadang saya berjalan, mengikuti rel kereta api sampai 30 km untuk mencari teman. Bagaimana harus hidup ?

Seorang wartawan, seorang penulis, seorang guru, malahan seorang dalang; tidak boleh kembali ke dalam lapangan mereka. Keterampilan saya satu-satunya adalah menulis. Selain wartawan saya juga menulis cerita-cerita pendek. Saya menulis beberapa cerita pendek, dan tentu saja dengan mengganti nama. Nama saya saudara Prosecutor, bukanlah Martin Aleida pada waktu itu, nama saya adalah Nurlan. Hakim yang saya muliakan, Prosecutor yang saya hormati, nama adalah penting, dia adalah pemberian orang tua saya dan saya langsung menggantinya. Sendiri! Tanpa mereka [tersendat-Red]

Dengan beberapa cerita pendek, saya melamar dan bisa bekerja di Majalah Tempo. Namun setelah itu pun ia dipanggil untuk diinterogasi sebanyak 3 kali. Tekanan psikologis yang saya alami adalah bahwa yang memeriksa saya itu adalah kawan saya sendiri. Jadi interogasi berjalan dengan lancar, karena pengkhianat ini tahu saya siapa. Terima kasih yang mulia, terima kasih prosecutor.

Jaksa: Baik Saudara Saksi. Tadi ada beberapa sahabat Anda katakan, yang ditahan. Bisa Anda sebutkan siapa-siapa saja namanya dan perlakuan-perlakuan apa yang mereka terima di Kodim 0501 ?

MA: Ditangkap dan ditahan bersama saya pertama Putu Oka Sukanta, dia masih hidup; kedua T. Iskandar AS dia wartawan juga, tetapi kemudian juga dia bisa bekerja di Majalah Tempo dan dia termasuk wartawan Tempo yang menerima hukuman percobaan satu tahun karena masalah penulisan yang menjadi perkara; ketiga pelukis Zaini. Yang dua lagi, adalah satu pembantu dari saudara Putu Oka Sukanta karena kami bersembunyi di rumah khusus; kemudian yang satu lagi saya lupa. Dan yang satu lagi adalah adik pelukis bernama Marah Djibal.

Yang paling menderita diantara kami adalah saudara Putu Oka Sukanta karena di kantongnya ditemukan sejumlah nama. Karena Jendral Nasution menyerukan penumpasan sampai akar-akarnya, maka yang dicari adalah nama, tidak perduli apakah dia komunis atau tidak, apakah dia bayi atau orang tua. Dan saudara Putu Oka menolak untuk mengatakan siapa itu, dan dia sama seperti saudara Mula Naibaho, kalau tidak lebih kejam menerima penyiksaan serupa.

Jaksa: Apakah itu terjadi setiap hari, setiap waktu?

MA: Operasi Kalong ini adalah operasi yang memuaskan pihak Angkatan Darat karena merekalah yang menangkap orang seperti Soepardjo, orang seperti Soedisman karena mereka memanfaatkan orang-orang yang tidak tahan disiksa untuk mencari oang-orang yang dituduh komunis yang dianggap bersalah walaupun mereka tidak berdosa. Jadi nama itu yang penting bagi mereka untuk mencari mereka, orang dalam ranka apa yang disebut red drive di seluruh negeri.

 

Jaksa: Saudara saksi, apakah Anda tahu kenapa Anda ditangkap dan diperlakukan seperti itu ?

 

MA: Seperti saya katakan, dan ditegaskan oleh Saskia Wieringa, administrasi tentara itu kacau. Kita tidak tahu, dan ketika saya ditangkap saya tidak mendapatkan apa-apa kecuali todongan pisau. Dan kemudian di belakang adalah dua truk atau dua jip, saya kira, yang isinya tentara. Tidak ada surat. Tidak ada Pak… Mengapa saya ditahan ? Saya tidak tahu. Saya langsung dibawa. Mengapa saya dibebaskan, saya juga tidak tahu. Inilah negeri saya pada waktu itu. Dan beginilah kekuasaan memerintah negeri.

 

Jaksa: Saudara saksi selain dari Kodim 0501 apakah ada yang terlibat atau apakah ada instruksi lain, oleh siapa, apakah anda tau siapa yang memerintahkan proses penangkapan itu ?

MA: Seperti saya katakan markas komando dari operasi Kalong itu terletak di Komando Distrik Militer 0501, Jakarta Pusat. Ini pasti Angkatan Darat ini pasti bukan ‘gang’ gelap. Ini pasti Angkatan Darat. Dan Operasi Kalong memiliki beberapa tempat, seperti antara lain sudah disebutkan oleh Bejo Untung, di jalan Gunung Sahari. Tapi pusatnya Kodim 0501, dan jika Saudara pergi ke sana, gedung itu sudah tidak ada. Kamp konsentrasi itu sudah tidak ada. Sekarang berdiri Indosat.

 

Jaksa: Terkait 300 orang, yang Anda katakan, pada saat Anda ditangkap, apakah semuanya merasakan atau diperlakukan seperti Putu Oka atau Iskandar AS. Atau mungkin ada hal lain yang mungkin Anda dengar atau Anda lihat yang terjadi pada ratusan tahanan ?

MA: Tidak semua mereka disiksa, saya kira tidak sampai separoh dari jumlah itu dan jumlah yang 300 itu bisa bertambah bisa berkurang. Bisa dibebaskan, seperti saya. Tetapi banyak juga yang dikirim ke penjara. Ke Cipinang, ke Salemba, atau ke Tangerang. Jadi Angka itu berubah dari saat ke saat.

Jaksa: Saya lanjutkan, tadi saudara Saksi. Saudara tadi mengatakan saudara tidak tahu alasan saudara ditahan, tapi saudara juga menjelaskan sampai 1963 saudara adalah wartawan Harian Rakyat. Apakah menjadi wartawan Harian Rakyat menyebabkan Anda ditahan? Perlu saja jelaskan pada Majelis Hakim, bahwa Harian Rakyat itu selalu dipersepsikan dan dinyatakan sebagai organ media resmi PKI. Bisakah Anda jawab ?

MA: Terima kasih Saudara Prosecutor, tetapi saya harus mengoreksi satu hal, saya bekerja mulai tahun 1963. Harian Rakyat itu berafiliasi kepada partai komunis. Saya percaya pada sosialisme dan saya yakin partai komunis bisa membangun tatanan masyarakat sosialis di Indonesia, tapi saya tidak membawa kartu anggota PKI.

Saya tidak mengerti dan tidak pernah dikatakan mengapa saya ditahan, diperiksa karena saya seorang komunis. Saya tahu, kita menduga-duga apakah karena wartawan Harian Rakyat, makanya diperiksa. Sekarang saya bertanya mengapa saudara T. Iskandar AS yang adalah wartawan Bintang Timur juga diperiksa. Jadi semua ini adalah dugaan-dugaan yang kita tidak pernah tahu. Dan yang saya hadapi ketika akan dibebaskan adalah, saya disuruh mengisi -mungkin sekarang namanya proses verbal. Dan itu hanya mengisi nama, pekerjaan, tempat dan tanggal lahir, kemudian ehm.. tidak jelas alasan penangkapan. Cuma saya mengisi satu kolom yang menyebutkan saya adalah wartawan yang meliput kota praja Jakarta. Ini saya sembunyikan, ini sebetulnya persembunyian, sebenarnya pada taraf terakhir saya adalah wartawan yang meliput kegiatan Presiden Soekarno.

Itu saya tandatangani, dan … saya lupa apakah ada surat tanda bebas dari tahanan… saya sudah lupa. Yang penting bahwa saya melihat, orang menderita. Apa yang menyangkut diri saya, tidak terlalu lengket dalam ingatan saya.

Jaksa: Saudara faktual bekerja pada Harian Rakyat walaupun saudara mengatakan tidak punya kartu anggota PKI, tapi tanpa kartu anggota PKI, apakah saudara anggota PKI ?

 

MA: Saya pernah disumpah sebagai anggota partai komunis dan saya bangga untuk itu. Ketika itu umur saya baru 20, saya mendapat pintu untuk bakat saya sebagai penulis ketika mereka berikan saya kesempatan untuk menulis beberapa cerita pendek si Harian Rakyat yang setiap hari memuat cerita pendek. Saya tidak menyesal pada pilihan saya ketika saya muda. Dan kalaupun akhir hidup saya seperti ini, saya merasa saya punya cita-cita. Saya adalah manusia, saya bangga bahwa saya punya cita-cita walaupun semua orang mengutuk apa yang saya cita-citakan itu.

Jaksa: Saya menghargai pilihan-pilihan politik yang saudara punya. Saya mengajukan pertanyaan itu karena Saudara diinterogasi sebagai tindaklanjut dari operasi Kalong, sementara saudara mengatakan tidak tau saudara ditahan, karena apa. Apakah dalam interogasi yang dilakukan tengah malam, interogator pernah mengatakan bahwa saudara ditahan karena saudara anggota Partai Komunis Indonesia?

MA: Tidak. Sama sekali tidak.

Jaksa: Tidak ada alasan lain?

MA: Tidak, tidak ada alasan lain, dan saya tidak perlu bertanya.

Jaksa: Saudara menyaksikan begitu banyak penyiksaan, saudara melihat istri Nyoto, saudara bertemu pemimpin redaksi Harian Rakyat yang disiksa dengan ikan pari. Selama anda diperiksa, ditahan satu tahun penyiksaan-penyiksaan apa yang dilakukan terhadap anda ?

MA: Saya termasuk orang yang beruntung dari sekian juta manusia yang dituduh terlibat. Saya tidak disentuh apapun. Saya hanya disuruh mengisi ketika akan keluar, semacam proces verbal. Dan saya tidak mengerti, ini mungkin nasib, atau apapun, saya tidak bisa menjelaskan. Beberapa bulan setelah ditahan saya diangkat sebagai semacam lurah ,jadi kamp konsentrasi itu dijaga tidak hanya oleh Angkatan Darat tapi juga pasukan-pasukan pertahanan sipil yang misalnya bertugas di kantor pos besar, yang bertugas di kantor tilpon. Dan mereka bergilir.

Nah ketika mereka akan melakukan pemeriksaan terhadap tahanan apakah ada yang lari atau tidak, maka sayalah yang membacakan nama-nama dari tahanan-tahanan tadi. Itulah fungsi saya sebagai lurah sampai saya dibebaskan. Perlu saya jelaskan setelah saya dibebaskan, saya masih harus memenuhi kewajiban melapor setiap minggu. Itu bulanan, saya sudah lupa. Kemudian dimundur dua minggu sekali, sebulanan kemudian di mundur lagi tiga bulan sekali sampai akhirnya saya memutuskan tidak melapor lagi.

 

Sama juga halnya ketika menjadi wartawan Tempo, setelah diinterogasi saya diminta melapor tiap minggu ke markas Kodam Jaya seminggu sekali, kemudian dua minggu sekali, tapi yang paling jahat adalah saya ingin mereka jadikan infroman mereka. Mereka bertanya: apakah saudara kenal Sinar Kae Timo. Saya kenal tapi saya kenal tapi saya tidak meliput masalah-masalah politik, saya meliput olah raga dan kedokteran. Jadi ini saya kira tekanan-tekanan psikologis untuk membuat seorang manusia menjadi pengkhianat. Inilah yang harus saya hadapi.

Jaksa : Masih ada yang ingin Saudara kemukakan ?

MA: Sebagai korban, Saudara Prosecutor masih ingat ketika Majelis Hakim belum masuk ke dalam ruangan Saudaralah yang saya jabat tangannya, karena Anda mengulurkan tangan kepada saya sebagai korban karena tidak ada orang lain yang melakukan itu buat kami.

Kepada Hakim yang mulia saya percaya hati Anda adalah emas, keberanian dan kebijaksanaan Anda saya harapkan menghasilkan sesuatu yang memberikan sinar, kalau bukan matahari buat budaya bangsa saya yang sudah dihancurkan lebih dari 30 tahun. Yang Mulia terima kasih.

This post is also available in: English